1. Pengertian Nasihat

Secara bahasa nasihat diambil dari kata nasaha, Ibnu Faris rahimahullah mengatakan, “Huruf Nun, Shad, dan Haa adalah kata dasar yang menunjukkan keserasian dan perbaikan antara dua hal.[1] Sedangkan menurut Ibnu Manzur rahimahullah, “Nasaha Al-Syai berarti khalasha atau bersih dan suci, Al-Naasih adalah intisari dari madu atau selainnya.[2]

Adapun secara syara’, menurut Al-Khattabi rahimahullah adalah:

النَّصِيْحَةُ كَلِمَةٌ يُعَبَّرُ بِهَا عَنْ جُمْلَةٍ هِيَ إِرَادَةُ الخَيْرِ لِلْمَنْصُوْحِ لَهُ وَلَيْسَ يُمْكِنُ أَنْ يُعَبَّرَ هَذَا المَعْنَى بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ تَحْصُرُهَا وَتَجْمَعُ مَعْنَاهَا غَيْرُهَا.

Artinya:

Nasihat adalah kata yang mengandung kalimat-kalimat, dengannya diharapkan kebaikan bagi orang yang diberikan nasihat dan mustahil bagi seseorang untuk mengungkapkan makna-makna kebaikan tersebut dengan menggunakan kata lainnya, kecuali kata nasihat.[3]

Nasihat adalah kata yang sangat luas maknanya dan tinggi nilai balaghahnya, sehingga para ulama menjelaskan bahwa mustahil bagi seseorang untuk mengungkapkan makna yang sangat banyak dengan menggunakan satu buah kata, kecuali dengan kata nasihat.

  1. Urgensi Nasihat

Nasihat memiliki kedudukan yang sangat urgen dan tinggi di dalam syariat Islam dan kehidupan manusia. Di antara urgensi nasihat dalam syariat Islam adalah sebagai berikut:

  1. Nasihat adalah salah satu pondasi syariat Islam, Allah subahanahu wa ta’ala berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah: 83:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ.

Terjemahnya:

Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari) kecuali sebahagian kecil dari kamu dan kamu masih menjadi pembangkang.

Syaikh Al-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan mengatakan:

وَهَذِهِ الشَّرَائِعُ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ، التِيْ أَمَرَ اللهُ بِهَا فِيْ كُلِّ شَرِيْعَةٍ، لِاِشْتِمَالِهَا عَلَى المَصَالِحِ العَامَّةِ، فِيْ كُلِّ زَمَانٍ وَمَكَانٍ، فَلاَ يَدْخُلُهَا نَسْخٌ، كَأَصْلِ الدِّيْنِ، وَلِهَذَا أَمَرَنَا بِهَا فِيْ قَوْلِهِ: {وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا} إلى آخر الآية.

Artinya:

Syariat-syariat ini adalah merupakan usuluddin (dasar-dasar agama Islam) yang Allah perintahkan di setiap syariat/agama karena syariat-syariat ini mengandung maslahat umum di setiap zaman dan tempat, sehingga ia tak mungkin dinasakh/dihapus sebagai usuluddin. Olehnya, Allah ta’ala memerintahkan kita dengan firman-Nya, “Dan sembahlah Allah dan janganlah melakukan kesyirikan kepada-Nya dengan sesuatupun”, hingga akhir ayat.[4]

Di antara syariat yang Allah perintahkan dan dijadikan sebagai usuluddin dalam ayat ini adalah bertutur kata yang baik kepada manusia. Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna “wa quuluu linnasi husnan”:

وَقَوْلُهُ تَعَالَى: {وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا} أَيْ: كَلِّمُوهُمْ طَيِّبًا، ولينُوا لَهُمْ جَانِبًا، وَيَدْخُلُ فِي ذَلِكَ الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ بِالْمَعْرُوفِ، كَمَا قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ فِي قَوْلِهِ: {وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا} فالحُسْن مِنَ الْقَوْلِ: يأمُر بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ، وَيَحْلُمُ، وَيَعْفُو، وَيَصْفَحُ، وَيَقُولُ لِلنَّاسِ حُسْنًا كَمَا قَالَ اللَّهُ، وَهُوَ كُلُّ خُلُق حَسَنٍ رَضِيَهُ اللَّهُ.

Artinya:

Dan firman-Nya, “Dan bertutur kata yang baiklah kepada manusia” maknanya berbicaralah kepada mereka dengan baik, dan berbuat baiklah kepada mereka, termasuk di dalamnya adalah amar maruf dan nahi munkar dengan cara yang baik sebagaimana ucapan Al-Hasan Al-Basri, “Dan bertutur kata yang baiklah kepada manusia, maka makna baik dalam perkataan adalah amar maruf nahi munkar, bersikap lembut, memaafkan, berlapang dada, dan bertutur kata yang baik kepada manusia sebagaimana firman Allah, serta mencakup seluruh akhlak baik yang diridai Allah ta’ala.[5]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan menjelaskan bahwa Agama seluruhnya adalah nasihat dalam sabdanya:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ.

Artinya:

Agama adalah nasihat, para sahabat betanya, “Kepada siapa wahai Rasulullah?”, beliau menjawab, “Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan mereka secara umum.”[6]

  1. Nasihat adalah tugas para Nabi dan Rasul Allah, Allah ‘azza wajalla berfirman dalam banyak ayat tentang nasihat kepada umat manusia melalui lisan para Nabi dan Rasul-Nya, seperti firman-Nya dalam Q.S. Al-A’raf: 62 melalui lisan Nuh ‘alaihissalam:

أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنْصَحُ لَكُمْ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ.

Terjemahnya:

Aku menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, memberi nasihat kepadamu dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.

Allah juga berfirman dalam Q.S. Al-A’raf: 68 melalui lisan Hud ‘alaihissalam:

أُبَلِّغُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ.

Terjemahnya:

Aku menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku dan pemberi nasihat yang terpercaya kepada kamu.

Allah juga berfirman dalam Q.S. Al-A’raf: 79 melalui lisan Salih ‘alaihissalam:

فَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَاقَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ وَلَكِنْ لَا تُحِبُّونَ النَّاصِحِينَ.

Terjemahnya:

Kemudian dia (Salih) pergi meninggalkan mereka sambil berkata, “wahai kaumku! Sungguh, aku telah menyampaikan amanat Tuhanku kepadamu dan aku telah menasihati kamu. Tetapi kamu tidak menyukai orang yang memberi nasihat.

Allah kemudian berfirman dalam Q.S. Al-A’raf: 93 melalui lisan Syu’aib ‘alaihissalam:

فَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَاقَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ فَكَيْفَ آسَى عَلَى قَوْمٍ كَافِرِينَ.

Terjemahnya:

Maka Syu’aib meninggalkan mereka seraya berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku telah menyampaikan amanat Tuhanku dan aku telah menasihati kamu. Maka, bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang kafir?.

  1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil bai’at sahabat untuk bernasihat, yang menunjukkan bahwa nasihat adalah perkara yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim sehingga Rasulullah mengambil bai’at atas sahabatnya dalam masalah ini. Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah radiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata:

بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ.

Artinya:

Aku telah membai’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menegakkan salat, menunaikan zakat dan menasihati kepada setiap muslim.[7]

Al-Muhallab rahimahullah menjelaskan bahwa bai’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Jarir untuk menegakkan salat dan menunaikan zakat menunjukkan bahwa kedua amalan ini adalah tiang agama Islam sekaligus sebagai kewajiban setelah tauhid kepada Allah dan mengikrarkan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Adapun bai’at untuk memberikan nasihat kepada setiap muslim, karena kaum Jarir terkenal sebagai masyarakat yang senang melakukan penipuan maka Rasulullah hendak mengajarkan kepada mereka apa yang paling penting untuk mereka ketahui sehingga Rasulullah membai’at Jarir untuk senantiasa menasihati kaumnya dalam persoalan tersebut.[8]

  1. Nasihat adalah tanda baiknya umat, hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Q.S. Ali Imran: 110:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ.

Terjemahnya:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Telah disebutkan sebelumnya pada poin pertama bahwa di antara makna bertutur kata baik kepada manusia adalah melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Oleh karena hakikatnya seorang muslim yang menyeru orang lain kepada kebaikan dan melarang dari kemunkaran sejatinya hanya menghendaki kebaikan bagi orang tersebut, yang merupakan maksud dari nasihat. Sehingga umat yang menegakkan syariat nasihat ini menjadi umat yang terbaik di sisi Allah ‘azza wajalla sebagaimana firman-Nya di atas.

Baiknya sebuah umat karena mereka saling memberikan nasihat juga Allah gambarkan dalam ayat yang lainnya, bahkan mereka akan menjadi umat yang tidak akan merugi selama-lamanya. Allah berfirman dalam Q.S. Al-‘Ashr: 1-3:

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3).

Terjemahnya:

Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih dan saling nasihat-menasihati dalam kebenaran serta saling nasihat-menasihati dalam kesabaran.

Sebaliknya, umat yang tidak memberikan nasihat adalah umat yang tidak terdapat kebaikan padanya sama sekali. Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu pernah berkata:

لَا خَيْرَ فِيْ قَوْمٍ لَيْسُوْا بِنَاصِحِيْنَ وَلَا خَيْرَ فِيْ قَوْمٍ لَا يُحِبُّوْنَ النَاصِحِيْنَ.

Artinya:

Tidak ada kebaikan pada suatu kaum yang tidak memberikan nasihat, dan tidak ada kebaikan pada suatu kaum yang tidak mencintai orang-orang yang memberikan nasihat.[9]

  1. Kepada Siapa Nasihat Diberikan?

Di dalam sebuah hadis yang sahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan kepada siapa seorang muslim memberikan nasihatnya. Beliau bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ.

Artinya:

Agama adalah nasihat, para sahabat bertanya, “Kepada siapa wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan mereka secara umum.”[10]

Imam Al-Nawawi rahimahullah menukil pendapat Imam Al-Khattabi rahimahullah dan beberapa ulama lainnya mengenai makna hadis ini bahwa nasihat diberikan kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan mereka secara umum. Adapun bentuk nasihatnya adalah sebagai berikut:

Nasihat kepada Allah, dengan beriman kepada Allah dan menjauhi perbuatan kesyirikan, meninggalkan perbuatan ilhad (tidak percaya akan adanya Allah), meyakini kesempurnaan Allah dengan sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna dan Mulia, mensucikan Allah dari segala bentuk kekurangan, menjalankan ibadah kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya, mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, wala kepada orang yang mencintai Allah dan bara kepada orang yang membenci Allah, mengakui setiap kenikmatan Allah dan mensyukurinya, ikhlas dan mengajak orang lain kepada hal-hal yang telah disebutkan dengan cara yang baik dan lembut. Imam Al-Khattabi menambahkan bahwa hakikat hal-hal ini sejatinya kembali kepada bagaimana seorang muslim menasihati dirinya sendiri untuk menjalankan perkara-perkara tersebut, sebab Allah subhanahu wa ta’ala Maha Kaya dari nasihat siapapun juga.

Nasihat kepada Kitab Allah, dengan beriman bahwa firman Allah dan kitab Allah adalah kebenaran dan tak ada satupun dari ucapan makhluk yang serupa dengan firman Allah, serta tak satupun makhluk yang sanggup mendatangkan hal yang semisal dengannya, mengagungkan kitab Allah, membacanya dengan sebaik-baiknya dan khusyuk saat mentadabburinya, memberikan hak-hak dari setiap huruf-hurufnya, membela kitab Allah dari setiap bentuk penyelewengan dan tuduhan orang-orang yang tidak mempercayainya, membenarkan kandungan kitab Allah dan menegakkan hukum-hukumnya, memahami permisalan-permisalan yang termaktub di dalamnya, mengambil pelajaran dari nasihat-nasihatnya, mengamalkan ayat-ayat muhkam dan menerima ayat-ayat mutasyabih, mendalami ayat-ayat yang umum, khusus, nasikh dan mansukh.

Nasihat kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan membenarkan risalah beliau, beriman kepada seluruh apa yang disampaikan Rasulullah dari risalah Allah, mentaati perintahnya dan menjauhi larangannya, menolong beliau hidup dan mati, wala kepada orang-orang yang mencintai beliau dan bara kepada orang-orang yang memusuhinya, mengagungkan beliau dan memuliakan setiap haknya, menghidupkan sunahnya, menyebarkan syariat dan dakwahnya, mempelajari agama yang beliau ajarkan dan mengajak orang lain untuk bernasihat kepada Rasulullah serta mengajarkan mereka dengan cara yang baik dan lembut, memuliakan dan mencintai keluarga beliau, berakhlak dengan akhlaknya dan beradab dengan adab-adabnya, menjauhi perbuatan bid’ah dan perbuatan mencela sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Nasihat kepada pemimpin kaum muslimin, dengan menolong mereka di atas kebenaran, mentaati mereka dalam kebenaran, memperingatkan dan menasihati mereka dengan cara yang baik dan lembut, mengingatkan mereka dari apa yang mereka lalai darinya berupa hak-hak kaum muslimin, tidak memberontak kepada mereka, mengajak kaum muslimin untuk taat kepada mereka. Imam Al-Khattabi menjelaskan bahwa termasuk bentuk nasihat kepada pemimpin kaum muslimin adalah mengerjakan salat di belakang mereka, berjihad bersama mereka, menunaikan harta zakat dan sedekah kepada pemerintah kaum muslimin, tidak memberontak apabila nampak kezaliman dari mereka, tidak tertipu dengan pujian dan sanjungan dusta kepada mereka, serta mendoakan mereka dengan kebaikan. Hal ini menurut beliau adalah bagian daripada nasihat kepada pemimpin kaum muslimin apabila mereka adalah para khalifah kaum muslimin atau orang-orang yang diberikan kekuasaan oleh Allah ta’ala.

Nasihat kepada kaum muslimin, dengan menunjukkan kepada mereka maslahat-maslahat ukhrawi dan duniawi, mengatasi keburukan dari mereka, menutupi aib dan kekeliruan mereka, menyeru mereka kepada perkara ma’ruf dan melarang dari perkara munkar dengan penuh kelembutan dan keikhlasan, kasih sayang kepada mereka, memuliakan yang lebih tua dan merahmati yang lebih muda di antara mereka, tidak menipu dan hasad kepada mereka, mencintai untuk mereka apa yang kita cintai untuk diri kita sendiri, dan membenci untuk mereka apa yang kita benci untuk diri kita sendiri, menjaga kehormatan, harta dan jiwa mereka.[11]

Demikian penjabaran makna nasihat sebagai agama Islam, dan kepada siapakah nasihat itu hendaknya diberikan. Secara umum seluruh hal yang disebutkan telah mewakili makna agama Islam yang sempurna, dan kesempurnaan tersebut tak dapat digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selain dengan sabda beliau, “Agama adalah nasihat”.

  1. Hukum Nasihat

Apabila merujuk kepada pengertian nasihat yang telah disebutkan di awal bab ini, bahwasanya nasihat adalah kata yang mengandung kalimat-kalimat, dengannya diharapkan kebaikan bagi orang yang diberikan nasihat tersebut, maka para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya ke dalam tiga pendapat;

Pertama, pendapat Ibnu Hazm rahimahullah bahwa nasihat hukumnya fardhu ‘ain atas setiap muslim. Hal ini sebagaimana perkataan beliau dalam kitabnya Rasail Ibnu Hazm:

النَّصِيْحَةُ مَرَّتَانِ، فَالأُوْلَى فَرْضٌ وَدِيَانَةٌ وَالثَّانِيَةُ تَنْبِيْهٌ وَتَذْكِيْرٌ.

Artinya:

Nasihat terbagi dua, pertama wajib dan bagian dari agama, kedua adalah peringatan dan tadzkir.[12]

Kedua, pendapat Ibnu Battal rahimahullah bahwa nasihat hukumnya fardhu kifayah, apabila telah ditunaikan oleh sebagian kaum muslimin maka telah jatuh hukumnya dari yang lainnya. Beliau berkata:

وَالنَّصِيْحَةُ فَرْضٌ يُجْزِئُ فِيْهِ مَنْ قَامَ بِهِ، وَيَسْقُطُ عَنْ البَاقِيْنَ.

Artinya:

Dan nasihat hukumnya fardhu (kifayah), yang terpenuhi apabila telah ada yang menunaikannya dan akan jatuh hukumnya dari yang lainnya.[13]

Ketiga, pendapat Ibnu Rajab rahimahullah bahwasanya nasihat terkadang hukumnya fardhu ‘ain dan di lain waktu hukumnya mustahab atau dianjurkan. Beliau menjelaskan:

فَالْفَرْضُ مِنْهَا مُجَانَبَةُ نَهْيِهِ، وَإِقَامَةُ فَرْضِهِ بِجَمِيعِ جَوَارِحِهِ مَا كَانَ مُطِيقًا لَهُ… وَأَمَّا النَّصِيحَةُ الَّتِي هِيَ نَافِلَةٌ لَا فَرْضٌ، فَبَذْلُ الْمَجْهُودِ بِإِيثَارِ اللَّهِ عَلَى كُلِّ مَحْبُوبٍ بِالْقَلْبِ وَسَائِرِ الْجَوَارِحِ حَتَّى لَا يَكُونَ فِي النَّاصِحِ فَضْلٌ عَنْ غَيْرِهِ.

Artinya:

Adapun nasihat yang wajib maka dengan menjauhi larangan Allah dan melaksanakan kewajiban dengan seluruh anggota tubuhnya selama dia sanggup menunaikannya. Sedangkan nasihat yang mustahab dan bukan wajib, maka dengan mengerahkan segenap kesanggupan seseorang untuk senantiasa mendahulukan Allah dengan hati dan anggota tubuh dari segala kesenangan, hingga tak ada sesuatupun di sisinya yang melebihi Allah ta’ala.[14]

Sebagai kesimpulan bahwa nasihat berbeda-beda hukumnya, terkadang hukumnya fardhu kifayah dan di waktu lainnya fardhu ‘ain. Namun hukum asalnya bahwa nasihat merupakan fardhu kifayah, apabila telah ada sebahagian kaum muslimin yang menunaikannya maka akan jatuh hukumnya bagi yang lainnya. Akan tetapi hukum ini dapat berubah menjadi fardhu ‘ain dalam dua keadaan:

Pertama, nasihat hukumnya fardhu ‘ain apabila berkaitan dengan kadar keagamaan seorang muslim berdasarkan pendapat Ibnu Hazm rahimahullah. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Agama adalah nasihat”.

Kedua, nasihat juga hukumnya fardhu ‘ain dalam beberapa keadaan:

  1. Apabila seorang muslim meminta nasihat dari saudaranya yang lain, maka hukum memberikan nasihat dalam keadaan ini adalah wajib berdasarkan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ، قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ ؟، قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَسَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ.

Artinya:

Hak seorang muslim terhadap seorang muslim ada enam perkara. Lalu beliau ditanya, “Apa yang enam perkara itu, wahai Rasulullah?” Jawab beliau: “(1) Bila engkau bertemu dengannya, ucapkankanlah salam kepadanya. (2) Bila dia mengundangmu, penuhilah undangannya. (3) Bila dia minta nasihat, berilah dia nasihat. (4) Bila dia bersin lalu dia membaca tahmid, doakanlah semoga dia memperoleh rahmat. (5) Bila dia sakit, kunjungilah dia. (6) Dan bila dia meninggal dunia, ikutlah mengantar jenazahnya ke kubur”.[15]

Maka apabila seorang muslim meminta nasihat dari saudaranya yang lain, maka wajib atasnya untuk menasihatinya sekadar kesanggupan yang dia miliki.

  1. Apabila seorang muslim melihat sebuah kemunkaran dan tidak seorang pun yang mengetahuinya kecuali dia, maka wajib atasnya untuk mengingkari dan menasihati pelaku dosa tersebut dengan tetap memperhatikan bahwa penginkarannya tidak menimbulkan kemunkaran yang baru yang sama apalagi yang lebih besar. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ.

Artinya:

Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah dia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah dia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.[16]

Di dalam hadis ini terdapat perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mencegah kemunkaran yang dilihat oleh seseorang. Maka barangsiapa yang sanggup untuk menginkarinya, maka wajib atasnya untuk melakukannya.

  1. Apabila seorang muslim mengetahui sebuah keburukan atau marabahaya, kemudian tidak ada seorangpun yang mengetahuinya dan menyadarinya, maka wajib atas orang yang mengetahuinya untuk memberikan nasihat kepada pihak-pihak yang terkait. Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam Q.S. Al-Maidah: 67:

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ.

Terjemahnya:

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

Ayat ini dapat dipahami bahwa apabila tidak ada seorang pun yang mengetahui tentang apa yang Allah turunkan kepada umat manusia selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka menjadi wajib hukumnya atas Rasulullah untuk menyampaikan risalah tersebut.

Berkata Al-Nawawi rahimahullah:

إِنَّ الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ فَرْضُ كِفَايَةٍ إِذَا قَامَ بِهِ بَعْضُ النَّاسِ سَقَطَ الْحَرَجُ عَنِ الْبَاقِينَ وَإِذَا تَرَكَهُ الْجَمِيعُ أَثِمَ كُلُّ مَنْ تَمَكَّنَ مِنْهُ بِلَا عُذْرٍ وَلَا خَوْفٍ ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ يَتَعَيَّنُ كَمَا إِذَا كَانَ فِي مَوْضِعٍ لَا يَعْلَمُ بِهِ الا هو أولا يَتَمَكَّنُ مِنْ إِزَالَتِهِ إِلَّا هُوَ وَكَمَنْ يَرَى زَوْجَتَهُ أَوْ وَلَدَهُ أَوْ غُلَامَهُ عَلَى مُنْكَرٍ أَوْ تَقْصِيرٍ فِي الْمَعْرُوفِ.

Artinya:

Sesungguhnya amar maruf dan nahi mungkar hukumnya fardhu kifayah, apabila sebagian kaum muslimin telah menunaikannya maka akan jatuh kewajibannya atas sebagian lainnya, namun apabila tidak ada yang menunaikannya maka seluruh kaum muslimin telah berdosa apabila mereka sanggup melakukannya tanpa ada uzur atau rasa takut. Amar maruf dan nahi mungkar juga terkadang menjadi fardhu ‘ain atas seseorang, seperti apabila dia berada pada tempat yang tidak seorangpun yang mengetahuinya (kebaikan atau keburukan) kecuali dia, atau tidak ada seorangpun yang sanggup menghilangkan sebuah kemungkaran kecuali dia seperti seorang suami yang melihat istri, anak atau budaknya melakukan kemungkaran atau meninggalkan kebaikan.[17]

  1. Adab-adab Nasihat

Menasihati seseorang memiliki adab-adab tertentu yang telah dijelaskan oleh para ulama. Seorang muslim yang ingin menasihati saudaranya hendaknya memperhatikan adab-adab tersebut, agar nasihat yang dia sampaikan dapat diterima dan memberikan pengaruh kepadanya.

Pertama, ikhlas dalam memberikan nasihat, karena memberikan nasihat adalah salah satu ibadah yang agung di sisi Allah ta’ala sedangkan keikhlasan dalam setiap ibadah adalah salah satu syarat diterimanya ibadah tersebut oleh Allah. Allah berfirman di dalam Q.S. Al-Insan: 8-9:

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا (8) إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا (9)

Terjemahnya:

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.

Ayat ini menggambarkan bahwa di antara ciri orang-orang yang berbuat kebajikan dalam kehidupan dunia adalah mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Dari pemberian tersebut, mereka tidak menginginkan sesuatupun kecuali keridaan Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga Allah membalas mereka dengan kenikmatan surga dalam kehidupan akhirat.

Apabila memberi makanan kepada orang-orang yang membutuhkan menuntut seseorang untuk ikhlas kepada Allah dan hanya mengharapkan keridaan-Nya, maka sangatlah pantas jika memberi nasihat untuk kebaikan dunia ataupun ukhrawi seseorang juga dilandasi atas dasar keikhlasan dan hanya mengharapkan keridaan-Nya.

Keikhlasan dalam memberikan nasihat dapat tergambarkan dengan keinginan seseorang kepada saudaranya untuk memperoleh kebaikan dan terjauh dari segala keburukan. Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan bahwa nasihat kepada kaum muslimin adalah dengan mencintai untuk mereka apa yang kita cintai untuk diri kita, dan membenci untuk mereka apa yang kita benci untuk diri kita.[18]

Kedua, memberikan nasihat dengan cara yang baik dan lembut. Oleh karena hati manusia telah dijadikan cinta kepada sikap yang baik dan lembut, dan benci kepada sikap yang keras dan kasar. Allah ta’ala berfirman dalam Q.S. Ali Imran: 159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.

Terjemahnya:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Di ayat lainnya Allah ‘azza wa jalla telah memerintahkan Rasul-Nya untuk mengajak umat manusia dengan cara yang hikmah dan baik. Allah berfirman Q.S. Al-Nahl: 125:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ.

Terjemahnya:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.

Olehnya, sepantasnya bagi seseorang untuk bersikap baik dan lembut dalam tutur kata dan perbuatannya ketika memberikan nasihat kepada saudaranya. Karena nasihat itu diberikan untuk kebaikan saudara kita, sehingga jika dilakukan dengan sikap keras dan kasar maka bukan saja berakibat menjauhnya orang lain, namun juga bertolak belakang dengan tujuan nasihat itu diberikan.

Ketiga, hendaknya seseorang memberikan nasihat setelah melakukan tabayyun terlebih dahulu, dan dia berada keadaan memahami tentang apa yang akan dia sampaikan. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Hujurat: 6:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ.

Terjemahnya:

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Berkata Ja’far bin Muhammad Al-Sadiq rahimahullah:

إِذَا بَلَغَكَ عَنْ أَخِيكَ الشَّيْءُ تُنْكِرُهُ فَالْتَمِسْ لَهُ عُذْرًا وَاحِدًا إِلَى سَبْعِينَ عُذْرًا، فَإِنْ أَصَبْتَهُ وَإِلَّا قُلْ: لَعَلَّ لَهُ عُذْرًا لَا أَعْرِفُهُ.

Artinya:

Apabila sampai kepadamu tentang saudaramu sebuah berita yang engkau ingkari maka beri uzurlah dia sebanyak satu hingga tujuh puluh uzur, apabila engkau benar dalam uzurmu untuknya (maka itulah yang terbaik), jika tidak maka katakanlah, “mungkin saja dia memiliki uzur yang tidak aku ketahui”.[19]

Melakukan tabayyun terhadap berita dan informasi mengenai kesalahan atau kekeliruan seseorang mengandung hikmah yang sangat besar, bahwasanya motivasi seseorang dalam memberikan nasihat sejatinya bukan untuk menertawakan dan mengejek saudaranya yang telah melakukan kesalahan tersebut, akan tetapi karena dia hanya mengharapkan pahala dari nasihatnya, dan agar keadaan saudaranya semakin membaik dan tidak berputus asa dari rahmat Allah.

Setelah melakukan tabayyun, hendaknya seseorang memahami dengan baik tentang apa yang dia sampaikan. Dalam artian nasihat yang dia sampaikan adalah sebuah kebenaran yang berlandaskan ilmu pengetahuan dan hujjah yang jelas. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam Q.S. Yusuf: 108:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ.

Terjemahnya:

Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.

Keempat, memilih waktu dan keadaan yang tepat, karena setiap orang memiliki kepribadian dan watak yang berbeda-beda, sedangkan kepribadian dapat terpengaruhi oleh waktu dan keadaan yang sedang terjadi di sekitarnya. Maka dari itu jangan sekali-kali seseorang menasihati saudaranya di saat dia sedang memiliki kesibukan atau saat hatinya sedang gundah dan marah. Namun nasihati dia tatkala berada dalam keadaan rehat dan santai atau saat hatinya sedang damai dan tenang. ‘Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu pernah berkata mengenai hal ini:

إِنَّ لِهَذِهِ الْقُلُوبِ شَهْوَةً وَإِقْبَالًا، وَإِنَّ لَهَا فَتْرَةً وَإِدْبَارًا، فَخُذُوهَا عِنْدَ شَهْوَتِهَا وَإِقْبَالِهَا، وَذَرُوهَا عِنْدَ فَتْرَتِهَا وَإِدْبَارِهَا.

Artinya:

Sesungguhnya hati memiliki saat-saat dimana ia ingin dan menerima, sebagaimana ia memiliki saat-saat dimana ia enggan dan menolak. Maka ambillah hati di saat ia ingin dan menerima, dan tinggalkanlah saat ia enggan dan menolak.[20]

Kelima, sebisa mungkin untuk mengamalkan nasihat yang akan diberikan. Agar seseorang tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menyeru kepada sesuatu hal namun dia lupa akan dirinya sendiri sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala pada Q.S. Al-Baqarah: 44 perihal apa yang dilakukan oleh sebahagian Ahlu Kitab:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ.

Terjemahnya:

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?

Bahkan Allah mengancam dengan ancaman yang sangat keras atas orang-orang yang menyeru kepada kebaikan sedang dia melalaikannya atau melarang dari keburukan sedang dia mengerjakannya. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Shaf: 2-3:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3).

Terjemahnya:

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

Keenam, bersyukur atas diterimanya nasihat dan bersabar atas akibat yang timbul dari nasihat tersebut. Apabila nasihat seseorang diterima dengan lapang hati maka hendaknya dia bersyukur kepada Allah, dan memuji kepada-Nya karena sesungguhnya Allah semata yang membolak-balikkan hati setiap hamba. Sehingga nasihat yang diberikan diterima seseorang karena mutlak atas taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Di waktu yang lain, terkadang nasihat seseorang menemui jalan buntu dan enggan diterima. Bahkan tidak sedikit pula dapat menyebabkan akibat buruk dari nasihat itu. Maka kewajiban seseorang yang telah memberikan nasihat saat itu adalah bersabar di jalan Allah. Hal ini telah diwasiatkan oleh Luqmanul Hakim kepada anaknya sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Luqman:

يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ.

Terjemahnya:

Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

Ketujuh, menasihati dengan sembunyi-sembunyi. Karena menasihatinya secara sembunyi-sembunyi dan tak disaksikan oleh siapapun biasanya lebih cepat dan mudah untuk diterima dibandingkan menasihatinya di hadapan orang lain. Bahkan sebagian ulama salaf menganggap bahwa menasihati secara sembunyi-sembunyi dianggap sebagai nasihat sedang menasihati secara terang-terangan dianggap sebagai penghinaan kepada orang yang dinasihati.

Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah menukilkan dalam kitabnya:

وَكَانَ السَّلَفُ إِذَا أَرَادُوا نَصِيحَةَ أَحَدٍ، وَعَظُوهُ سِرًّا حَتَّى قَالَ بَعْضُهُمْ: مَنْ وَعَظَ أَخَاهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ، فَهِيَ نَصِيحَةٌ، وَمَنْ وَعَظَهُ عَلَى رُؤُوسِ النَّاسِ فَإِنَّمَا وَبَّخَهُ. وَقَالَ الْفُضَيْلُ: الْمُؤْمِنُ يَسْتُرُ وَيَنْصَحُ، وَالْفَاجِرُ يَهْتِكُ وَيُعَيِّرُ.

Artinya:

Para salaf terdahulu apabila mereka ingin menasihati seseorang maka mereka menasihatinya secara sembunyi-sembunyi, hingga sebagian di antara mereka berkata, “Siapa yang menasihati saudaranya di antara keduanya saja maka hal itu adalah nasihat, dan barangsiapa yang menasihati saudaranya di hadapan manusia maka sesungguhnya dia telah menghinakannya.” Berkata Fudhail rahimahullah, “Seorang mukmin hendaknya menyembunyikan (aib saudaranya) dan menasihatinya, sedang seorang pendosa menyobek (aib saudaranya) dan mencelanya.”[21]

Berkata Imam Syafi’i dalam syairnya yang masyhur:

تَعَمَّدَنِيْ بِنُصْحِكَ فِيْ انْفِرَادِيْ … وَجَنِّبْنِيْ النَّصِيْحَةَ فِيْ الجَمَاعَةِ

فَإِنَّ النُّصْحَ بَيْنَ النَّاسِ نَوْع … مِنْ التَّوْبِيْخِ لاَ أَرْضَى اسْتِمَاعَهُ

Artinya:

Berikanlah nasihat kepadaku saat aku sendiri

Jangan nasihati aku ketika aku berada di depan khalayak ramai

Karena nasihat di tengah manusia itu sebuah bentuk penghinaan

Akupun tidak rida mendengarkan nasihat tersebut[22]

Apabila seorang ulama besar seperti Imam Al-Syafi’i rahimahullah enggan mendengarkan nasihat seseorang kepadanya di depan khalayak ramai, maka bagaimana lagi dengan masyarakat awam yang tidak mengetahui urgensi nasihat dalam syariat Islam dan kehidupan bermasyarakat? Oleh karena itu, memberikan nasihat secara sembunyi-sembunyi merupakan salah satu adab yang berlaku secara umum; kepada kaum muslimin, penuntut ilmu, ulama, dan yang lainnya. Termasuk nasihat kepada umara atau pemimpin, hendaknya diberikan secara sembunyi-sembunyi antara kita dengan para pemimpin kaum muslimin. Apalagi telah diriwayatkan secara khusus dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya perihal cara menasihati pemimpin yang hendaknya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, dan bukan dengan terang-terangan.

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ، حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ، وَغَيْرُهُ، قَالَ: جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارَا حِينَ فُتِحَتْ، فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ عِيَاضٌ، ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ: أَلَمْ تَسْمَعِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا، أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ “؟ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ: يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ، قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ، وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ، أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ “، وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ، إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللهِ، فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ، فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Mughirah, telah menceritakan kepada kami Shafwan, telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al-Hadlromi dan yang lainnya berkata; ‘Iyadl bin Ghonm mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyam bin Hakim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga ‘Iyadl marah. (‘Iyadl radhiyallahu ‘anhu) tinggal beberapa hari, lalu Hisyam bin Hakim mendatanginya, memberikan alasan. Hisyam berkata kepada ‘Iyadl, tidakkah kau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia?.” ‘Iyadl bin Ghanm berkata; Wahai Hisyam bin Hakim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat, namun tidakkah kau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang hendak menasihati penguasa dengan suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia telah melaksanakan kewajibannya”, kamu Wahai Hisyam, kamu sungguh orang yang berani, jika kamu berani kepada penguasa Allah, mengapa kamu tidak takut dibunuh penguasa dan kau menjadi korban penguasa Allah?[23]

Dari hadis ini kita mendapat beberapa pelajaran, di antaranya bahwa Allah ta’ala akan mengazab orang-orang yang mengazab umat manusia dalam kehidupan dunia. Semakin besar azab mereka terhadap umat manusia maka semakin besar pula azab Allah atas mereka.

Pelajaran lainnya dari hadis ini bahwa menyampaikan nasihat kepada para pemimpin hendaknya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Jika misalnya nasihat tersebut telah disampaikan dan tidak didengarkan maka orang tersebut telah lepas dari kewajibannya. Namun kemudian timbul pertanyaan, apakah masalah ini adalah persoalan yang final? dalam artian seseorang yang hendak memberikan nasihat kepada siapapun orangnya maka dia harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi dan tidak boleh dilakukan secara terang-terangan berdasarkan hadis di atas? oleh karena hal ini menjadi polemik tersendiri di kalangan kaum muslimin secara umum. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita menengok kesahihan redaksi hadis di atas yang berisi perintah untuk memberikan nasihat secara sembunyi-sembunyi.

Hadis ini sejatinya diriwayatkan dari beberapa jalur sebagai berikut:

  1. a) Jalur pertama yaitu sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Imam Ahmad, diriwayatkan dari Shafwan, dari Syuraih bin ‘Ubaid, dari ‘Iyadh bin Ghanm. Jalur ini terputus karena Syuraih tidak bertemu dengan ‘Iyadh yang wafat pada tahun 20 hijriyah[24], padahal Syuraih termasuk dalam tingkatan ketiga dari kurun tabi’in[25];
  2. b) Jalur kedua[26], diriwayatkan dari jalur Syuraih bin ‘Ubaid, dari Jubair bin Nufair, dari ‘Iyadh bin Ghanm. Jalur ini juga lemah karena diriwayatkan oleh Muhammad bin Ismail bin ‘Ayyasy yang daif (lemah) karena dia meriwayatkan hadis dari ayahnya Ismail bin ‘Ayyasy yang tidak pernah dia dengarkan darinya[27], sehingga dia menyelisihi riwayat lainnya dengan penyebutan Jubair bin Nufair pada sanadnya;
  3. c) Jalur ketiga[28], diriwayatkan dari Ibnu Zibriq, dari ‘Amru bin Al-Harits, dari Abdullah bin Salim, dari Muhammad bin Walid Al-Zubaidy, dari Fudhail bin Fadalah, dari Ibnu ‘Aidz, dari Jubair dari ‘Iyadh. Sanad ini juga lemah karena Ibnu Zibriq adalah perawi yang soduq namun seringkali keliru dalam riwayatnya bahkan Muhammad bin ‘Aun mengatakan bahwa Ibnu Zibriq pernah berdusta[29], kemudian perawi lainnya yaitu ‘Amru bin Al-Harits adalah seorang yang lemah karena majhul hal atau tidak diketahui keadaannya.[30]
  4. d) Jalur keempat[31], ada penguat untuk jalur ketiga yaitu dari jalur Abdul Hamid bin Ibrahim, namun jalur ini juga lemah karena Abdul Hamid dinilai daif.[32]

Dari keseluruhan jalur tersebut sebagian ulama ada yang meng-hasan-kannya karena masing-masing jalur dapat saling menguatkan. Akan tetapi jika melihat kepada jalur-jalur lain tersebut maka ditemukan bahwa semua jalur itu adalah riwayat yang lemah, ditambah alasan lainnya yang menunjukkan adanya penyelisihan terhadap riwayat yang lebih sahih sehingga jalur-jalur itu tak dapat saling menguatkan. Di antara alasan atau keterangan yang menunjukkan lemahnya riwayat di atas adalah :

Pertama, Imam Muslim rahimahullah dalam kitab Sahih-nya nomor 2613 meriwayatkan hadis ini:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ، قَالَ: مَرَّ بِالشَّامِ عَلَى أُنَاسٍ، وَقَدْ أُقِيمُوا فِي الشَّمْسِ، وَصُبَّ عَلَى رُءُوسِهِمِ الزَّيْتُ، فَقَالَ: مَا هَذَا؟ قِيلَ: يُعَذَّبُونَ فِي الْخَرَاجِ، فَقَالَ: أَمَا إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: إِنَّ اللهَ يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ فِي الدُّنْيَا.

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya dari Hisyam bin Hakim bin Hizam dia berkata: “Saya pernah melewati beberapa orang di Syam yang dijemur di terik matahari sedangkan kepala mereka dituangi minyak. Kemudian Hisyam bertanya: ‘Mengapa mereka ini dihukum?’ Seseorang menjawab: ‘Mereka disiksa karena masalah pajak’. Hisyam berkata: “Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa orang lain di dunia”.[33]

Hadis yang disebutkan oleh Imam Muslim ini nampak tidak menyebutkan tambahan riwayat menasihati pemimpin dengan sembunyi-sembunyi. Sehingga apabila ingin dibandingkan antara riwayat Muslim dengan riwayat-riwayat sebelumnya, maka tentu saja riwayat Muslim jauh lebih kuat;

Kedua, Adanya pertanyaan yang belum terjawab yaitu mengapa hadis ini (tambahan ‘menasihati pemimpin dengan sembunyi-sembunyi’) hanya diriwayatkan dari jalur ulama Syam saja, padahal kandungan hadisnya yang begitu urgen untuk diketahui oleh seluruh kaum muslimin?;

Ketiga, Bagian akhir dari lafaz hadis di atas (yaitu lafaz perkataan ‘Iyadh ‘Kamu Wahai Hisyam, kamu sungguh orang yang berani, jika kamu berani kepada penguasa Allah, mengapa kamu tidak takut dibunuh penguasa dan kau menjadi korban penguasa Allah ta’ala?’), justru menunjukkan penyelisihan terhadap hadis-hadis sahih yang menunjukkan keutamaan ulama yang terbunuh di tangan penguasa yang zalim.

Imam Muslim meriwayatkan dalam sahihnya:

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ: قِيلَ لَهُ: أَلَا تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ؟ فَقَالَ: أَتَرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ؟ وَاللهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ، وَلَا أَقُولُ لِأَحَدٍ، يَكُونُ عَلَيَّ أَمِيرًا: إِنَّهُ خَيْرُ النَّاسِ بَعْدَ مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ، فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى، فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ، فَيَقُولُونَ: يَا فُلَانُ مَا لَكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ، وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُولُ: بَلَى، قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ، وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ.

Artinya:

Dari Usamah bin Zaid berkata: Dikatakan padanya: Bertamulah ke ‘Utsman lalu berbicaralah padanya. Dia berkata: Apa kalian melihatku bahwa aku tidaklah berbicara kepadanya kecuali yang telah saya sampaikan kepada kalian, aku pernah berbicara berdua dengannya tentang sesuatu dimana saya tidak suka untuk memulainya, dan aku tidak berkata kepada siapa pun bahwa aku memiliki pemimpin, dia adalah orang terbaik setelah aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Seseorang didatangkan pada hari kiamat kemudian dilemparkan ke neraka hingga ususnya terburai keluar dan berputar-putar di neraka seperti keledai mengitari alat penumbuk gandumnya, kemudian penduduk neraka bertanya: ‘Hai fulan! Apa yang menimpamu, bukankah dulu kau memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran?’ Dia menjawab: ‘Benar, dulu saya memerintahkan kebaikan tapi saya tidak melakukannya dan saya melarang kemungkaran tapi saya melakukannya’.[34]

Al-Nawawi menjelaskan bahwa ucapan ‘Usamah bin Zaid radiyallahu ‘anhu, “Aku tidak suka untuk membuka pintu perkara yang aku tidak senangi apabila saya yang pertama kali membukanya” maknanya yaitu mengingkari secara terang-terangan terhadap pemimpin di hadapan masyarakat sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang menumpahkan darah ‘Utsman bin ‘Affan radiyallahu ‘anhu, dan dapat dipahami pula dari hadis ini yaitu adab yang penting terhadap pemimpin dan lembut serta menasihati secara sembunyi-sembunyi dengan menyampaikan apa yang diapresiasikan oleh masyarakat agar pemimpin berhenti dari sebuah keburukan. Hal ini semuanya dapat dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (seperti yang dilakukan Ibnu Abi Aufa dan ‘Usamah bin Zaid kepada ‘Utsman), namun jika tidak dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka hendaknya dilakukan secara terang-terangan agar kebenaran tidak hilang.”[35]

Syaikh Ibn Baz rahimahullah pernah ditanya, “Kapankah nasihat dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan kapan ia dilakukan secara terang-terangan?”, maka beliau menjawab:

“Seorang yang memberikan nasihat hendaknya melakukan apa yang paling maslahat, apabila dia melihat bahwa nasihat secara sembunyi-sembunyi lebih besar manfaatnya maka dia menasihati secara sembunyi-sembunyi. Apabila dia melihat bahwa nasihat secara terang-terangan lebih besar manfaatnya maka dia menasihati secara terang-terangan. Akan tetapi apabila dosa itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi maka menasihati pelakunya juga haruslah dengan sembunyi-sembunyi. Jika seseorang mengetahui saudaranya berbuat dosa sembunyi-sembunyi maka dia menasihatinya sembunyi-sembunyi juga dan jangan membuka aibnya. Adapun jika sebuah dosa dilakukan secara terang-terangan seperti meminum khamar dan disaksikan oleh umat manusia di dalam sebuah majelis maka hendaknya dia diingkari secara terang-terangan juga.”[36]

Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah ketika ditanyakan tentang perkara ini beliau mengatakan (setelah menyebutkan beberapa dalil kewajiban amar maruf nahi munkar), “Akan tetapi wajib untuk kita ketahui bahwa perintah-perintah syariat dalam persoalan ini masih ada kemungkinan untuk ditinjau kembali namun dengan cara yang hikmah. Maka jika kita melihat bahwa menasihati secara terang-terangan dapat menghilangkan kemungkaran dan mendatangkan kebaikan maka kita menasihati dengan terang-terangan. Namun jika secara terang-terangan tidak menghilangkan kemungkaran dan tidak dapat mendatangkan kebaikan justru menambah keburukan kepada orang-orang baik dan masyarakat maka kita menasihati dengan sembunyi-sembunyi.”

Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad menyebutkan dalam salah satu tulisan beliau, “Dan apabila nampak kemungkaran dari para penanggung jawab di sebuah negara atau selainnya, baik itu melalui media sosial dan sebagainya maka kewajiban kita (para ulama) untuk mengingkarinya secara terang-terangan sebagaimana munculnya kemungkaran secara terang-terangan pula.”[37]

Menasihati secara terang-terangan apabila terdapat maslahat yang lebih besar padanya sebenarnya bukanlah perkara yang dilarang oleh syariat Islam, olehnya ditemukan ucapan dan pendapat yang senada dengan apa yang kami nukilkan di atas, bahkan sebagian ulama salaf pun mengamalkan hal ini.

Berikut ini kami sebutkan beberapa dalil dan/atau kisah para ulama salaf saat memberikan nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin:

Pertama, kisah nasihat kepada Marwan yang memulai hari raya dengan khutbah kemudian salat ‘Ied sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim:

عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ: أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ. فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ، فَقَالَ: الصَّلَاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ، فَقَالَ: قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ، فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ.

Artinya:

Dari Thariq bin Syihab berkata, “Orang pertama yang berkhutbah pada Hari Raya sebelum salat Hari Raya didirikan ialah Marwan. Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya, ‘Salat Hari Raya hendaklah dilakukan sebelum membaca khutbah’. Marwan menjawab, ‘Sungguh, apa yang ada dalam khutbah sudah banyak ditinggalkan’. Kemudian Abu Said berkata: “Sungguh, orang ini telah memutuskan (melakukan) sebagaimana yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda: “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah dia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah dia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.”[38]

Kisah ini terjadi pada masa pemerintahan Marwan bin Al-Hakam, tatkala kaum muslimin telah berkumpul untuk melaksanakan salat ‘Ied. Marwan sebagai pemimpin saat itu memperhatikan kebiasaan sebagian kaum muslimin dimana mereka hanya melaksanakan salat ‘Ied bersama imam kemudian beranjak pergi dan mereka enggan mendengarkan khutbah ‘Ied. Maka Marwan memutuskan untuk memulai pelaksanaan hari raya dengan berkhutbah terlebih dahulu kemudian melaksanakan salat ‘Ied dan hal ini adalah sesuatu yang belum pernah terjadi sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kaum muslimin yang hadir saat itu mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh Marwan adalah sesuatu yang menyelisihi sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun tak seorangpun yang mengingkarinya. Maka berdirilah salah seorang pria dari kaum muslimin dan berkata kepadanya, “Salat hari raya hendaklah dilakukan sebelum membaca khutbah” sebagai bentuk pengingkaran atas apa yang dilakukan oleh Marwan, dan pengingkaran tersebut justru dilakukan di hadapan kaum muslimin yang hendak melaksanakan hari raya mereka.

Apakah pengingkaran secara terang-terangan ini adalah perbuatan yang keliru? jawabannya tidak, karena salah seorang sahabat Nabi yang juga hadir saat itu yakni Abu Said Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu justru membenarkan perbuatan orang tersebut sembari beliau berhujjah dengan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah dia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah dia mencegahnya dengan hatinya, itulah selemah-lemah iman.”

Al-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam syarahnya bahwa dari hadis di atas mungkin muncul pertanyaan, bagaimana mungkin seorang sahabat yang mulia seperti Abu Said Al-Khudry tidak mengingkari apa yang dilakukan Marwan hingga orang lain yang mengingkarinya? jawabannya boleh jadi Abu Said belum hadir hingga orang tersebut mengingkari Marwan, atau saat itu Abu Said telah hadir namun beliau merasa khawatir akan keselamatannya, atau Abu Said telah berkeinginan untuk melakukan pengingkaran namun didahului oleh orang tersebut maka dia segera berdiri untuk menguatkan orang itu sebagaimana dinukilkan dalam riwayat yang lainnya bahwa Abu Said Al-Khudry dan orang tersebut bersama-sama menarik tangan Marwan untuk tidak berkhutbah sebelum salat ‘Ied.[39]

Kedua, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai sayyid syuhada:

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَالَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ.

Artinya:

Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muttalib dan seseorang yang mendatangi pemimpin yang zalim maka dia menyerunya dan melarangnya lantas pemimpin itu membunuhnya.[40]

Al-Munawi berkata, “Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muttalib paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang syahid pada peperangan Uhud, dan seseorang yang mendatangi pemimpin yang zalim maka dia menyerunya untuk berbuat kebaikan dan melarangnya dari perbuatan keburukan maka dia dibunuh oleh pemimpin tersebut disebabkan amar maruf nahi mungkar yang dia lakukan kepada sang pemimpin. Oleh sebab itu Hamzah adalah penghulu para syuhada dunia dan akhirat, sedangkan orang tersebut adalah penghulu para syuhada akhirat karena keberaniannya untuk mempertaruhkan sesuatu yang paling berharga dari miliknya yaitu jiwanya semata-mata untuk Allah ta’ala.”[41]

Hadis yang juga senada dengan hadis sebelumnya adalah:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ إِمَامٍ جَائِرٍ.

Artinya:

Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Jihad manakah yang paling utama?” beliau menjawab: “Yaitu (mengungkapkan) kalimat yang benar (hak) di hadapan penguasa yang zalim.”[42]

Hadis-hadis yang berisi penjelasan mengenai keutamaan menasihati pemimpin dan mengingkari kezaliman yang mereka lakukan terkadang dibenturkan dengan dalil-dalil lainnya yang berisi perintah untuk taat dan mendengar kepada pemimpin kaum muslimin. Hal ini adalah sikap yang keliru yang lahir dari pemahaman terhadap agama Islam secara parsial. Adapun sikap yang benar mengenai dua bentuk dalil di atas bahwasanya setiap muslim wajib untuk taat dan mendengar kepada pemimpin yang menegakkan syariat Islam atau kepada pemimpin muslim yang tidak nampak darinya kekufuran yang nyata, namun ketaatan kepada mereka hanya apabila mereka menyeru kepada kebaikan dan jika mereka menyeru kepada kemaksiatan maka seorang muslim tidak boleh taat kepada siapapun dalam rangka bermaksiat kepada Allah.

Di samping itu ketaatan kepada pemimpin kaum muslimin tidak berarti kita diam dari kemungkaran dan kezaliman yang mereka lakukan secara nyata, bahkan berdasarkan dalil-dalil yang kita sebutkan di atas, merupakan kewajiban bagi para ulama rabbani dan siapapun yang memiliki kesanggupan untuk mengingkarinya sebatas kemampuan yang dia miliki dengan tetap mempertimbangkan unsur maslahat dan mudarat yang ada.

Ketiga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُ أُمَّتِي تَهَابُ فَلَا تَقُولُ لِلظَّالِمِ يَا ظَالِمُ فَقَدْ تُودِّعَ مِنْهُمْ.

Artinya:

Jika engkau lihat umatku tidak berani mengucapkan kepada orang yang zhalim, ‘engkau zhalim’ maka dia adalah bagian dari mereka.[43]

Ibnu Battal rahimahullah menukil penjelasan Al-Tabari tentang kewajiban mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, “Sebagian ulama memandang apabila seseorang merasa aman dari kezaliman penguasa maka hendaknya dia mengingkarinya, sebagian ulama lainnya memandang bahwa kewajiban seseorang yang menyaksikan kemungkaran dari penguasa adalah mengingkarinya secara terang-terangan dan sebatas kesanggupannya. Pendapat ini diriwayatkan dari sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti ‘Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab radiyallahu ‘anhuma dengan hujjah sabda Rasulullah, “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah dia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah dia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman”, dan dengan hadis di atas, “Jika engkau lihat umatku tidak berani mengucapkan kepada orang yang zhalim, ‘engkau zhalim’ maka dia adalah bagian dari mereka”.[44]

Keempat, keberatan yang diajukan oleh ‘Umar bin Khattab dan para sahabat radiyallahu ‘anhum terhadap keputusan perjanjian hudaibiyah yang dianggap oleh mereka dapat merugikan kaum muslimin. Hingga ‘Umar berkata, “Untuk apa kita menerima kehinaan ini di dalam agama Islam dan kembali (ke kota Madinah) sedangkan Allah belum menurunkan keputusannya antara kita dan mereka (orang-orang kafir Quraisy)?”, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap memaksa para sahabat untuk menerima hasil perjanjian hudaibiyah meskipun berat bagi para sahabat untuk kembali ke kota Madinah dan tidak dapat menyempurnakan ibadah umrah mereka.[45]

Kelima, kisah perjuangan para sahabat dan ulama tabi’in menghadapi kezaliman Hajjaj bin Yusuf Al-Tsaqafi terhadap beberapa orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan membunuh puluhan ulama tabi’in. Sebagaimana diriwayatkan doa Anas bin Malik[46], ‘Abdullah bin ‘Umar[47], dan Sa’id bin Jubair[48] untuk kebinasaan Hajjaj.

Keenam, Ibnul Jauzy rahimahullah mengisahkan bahwa pada hari Kamis tanggal 14 Muharram tahun 458 H, seluruh penduduk kota Bagdad berkumpul dan melakukan parade akbar di jalan-jalan kota Bagdad menuju istana Khalifah menuntut kaum Syi’ah yang saat itu secara terang-terangan melaknat para sahabat Rasulullah pada perayaan ‘Asyura. Hadir dalam parade akbar ini para ulama dan qurra kota Bagdad serta berhasil menekan Khalifah untuk memaksa kaum Syi’ah menandatangani perjanjian hukuman berat bila mereka mengulangi penistaan terhadap sahabat Rasulullah di hari ‘Asyura atau hari-hari lainnya.[49]

Sebagai kesimpulan persoalan ini bahwasanya menasihati pemimpin atau kaum muslimin secara umum hendaknya dilakukan dengan cara dan metode yang terbaik. Menasihati dengan sembunyi-sembunyi adalah cara yang paling baik dan yang senantiasa diserukan oleh para ulama kita sebagaimana telah dinukilkan sebelumnya. Namun, cara tersebut bukanlah satu-satunya jalan dalam masalah ini. Para ulama justru menganjurkan untuk menasihati dengan terang-terangan apabila metode itulah yang lebih maslahat untuk pemimpin ataupun masyarakat.

Meskipun dengan tetap memperhatikan persoalan lainnya, bahwa nasihat secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan berdasarkan maslahat yang ada, berlaku kepada siapapun. Kepada pemimpin ataupun kaum muslimin secara umum, apalagi kepada para ulama. Jangan sampai lahir dikotomi atau perbedaan sikap dalam masalah ini, sehingga seseorang bersikap lembut kepada para pemimpin kaum muslimin, namun di saat yang sama justru bersikap keras dan kasar kepada para dai dan ulama. Untuk pembahasan ini, insya Allah akan kami sebutkan pada pembahasan tahdzir di bab berikutnya.

[1] Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis Lughah, jilid 5 (Beirut: Dar Al-Fikr, 1399H/1979M), h. 425

[2] Muhammad bin Mukrim bin ‘Ali bin Manzur, Lisan Al-‘Arab, jilid 2 (Cet. 3; Beirut: Dar Sadir, 1414H), h. 615.

[3] Hamad bin Muhammad bin Ibrahim Al-Khattabi, Ma’alim Al-Sunan, jilid 4 (Cet. I; Halb: Al-Matba’ah Al-‘Ilmiyah, 1351H/1932M), h. 126.

[4] ‘Abdul Rahman bin Nasir bin Abdullah Al-Sa’di, Taisir Al-Karim Al-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan (Cet, I; Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1420H/2000M), h. 57.

[5] Ismail bin ‘Umar bin Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adzim, jilid 1, h. 317.

[6] Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, jilid 1 (Beirut: Dar Ihya Turats), h. 74.

[7] HR. Bukhari nomor 57 dan Muslim nomor 56.

[8] ‘Ali bin Khalaf bin Battal, Syarah Sahih Bukhari, jilid 2 (Cet. II; Riyadh: Maktabah Rusdy, 1423H/2003M), h. 153.

[9] Al-Harits bin Asad, Risalah Al-Mustarsyidin (Cet. II; Halb: Maktab Al-Matbu’at Al-Islamiyah, 1392H/1971M), h. 71.

[10] Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, jilid 1, h. 74.

[11] Yahya bin Syaraf Al-Nawawy, Al-Minhaj Syarah Sahih Muslim, jilid 2 (Cet. II; Beirut: Dar Ihya Turats, 1392M), h. 38.

[12] ‘Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, Rasail Ibnu Hazm, jilid 1 (Cet. I; Beirut: Al-Muassasah Al-‘Arabiyah, 1980M), h. 363.

[13] ‘Ali bin Khalaf bin Battal, Syarah Sahih Bukhari, jilid 1, h. 129.

[14] Abdur Rahman bin Ahmad bin Rajab, Jami’ Al-Ulum Wal Hikam, jilid I (Cet. VII; Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1422H/2001M), h. 220-221.

[15] HR. Bukhari nomor 1240 dan Muslim nomor 2162.

[16] Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, jilid 1, h. 69.

[17] Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Sahih Muslim, jilid 2, h. 23.

[18] Abdur Rahman bin Ahmad bin Rajab, Jami’ Al-Ulum Wal Hikam, jilid 1, h. 222.

[19] Ahmad bin Husain bin Ali Al-Baihaqy, Syu’ab Al-Iman, jilid 10 (Cet. I; Riyadh: Maktabah Al-Rusyd, 1423H/2003M), h. 559.

[20] Abdullah bin Mubarak, Al-Zuhud Wal Raqaiq (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah), h. 469.

[21] Abdur Rahman bin Ahmad bin Rajab, Jami’ Al-Ulum Wal Hikam, jilid 1, h. 225.

[22] Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, Diwan Al-Imam Al-Syafi’i (Kairo: Maktabah Ibnu Sina), h. 91.

[23] Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jilid 24 (Cet. I; Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1421H/2001M), h. 48.

[24] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Al-Ishabah Fi Tamyiz Al-Sahabah, jilid 4 (Cet. I; Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 1415H), h. 629.

[25] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Taqrib Tahzib (Cet. I; Suriah: Dar Al-Rasyid, 1406H/1986M), h. 265.

[26] Abu Bakar bin Abu ‘Ashim, Al-Sunnah, jilid 2 (Cet.I; Beirut: Al-Maktab Al-Islamy, 1400H), h. 522.

[27] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Taqrib Tahzib, h. 468.

[28] Sulaiman bin Ahmad bin Ayub Al-Tabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, jilid 17 (Cet. II; Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah), h. 367. Juga disebutkan dalam Mustadrak Al-Hakim, jilid 3 (Cet. I; Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 1411H/1990M), h. 329.

[29] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Taqrib Tahzib, h. 99.

[30] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Tahdzib Al-Tahdzib, jilid 8 (Cet. I; India: Matba’ah Dairah Al-Ma’arif Al-Nidzamiyah, 1326H), h. 13.

[31] Abu Bakar bin Abu ‘Ashim, Al-Ahad wal Matsani, jilid 2 (Cet. I; Riyadh: Dar Al-Rayah, 1411H/1991M), h. 154.

[32] Muhammad bin Ahmad Al-Dzahaby, Tarikh Al-Islam, jilid 5 (Cet. I; Darul Garb Al-Islamy, 2003M), h. 367.

[33] Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, jilid 4, h. 2017.

[34] Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, jilid 4, h. 2290.

[35] Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Sahih Muslim, jilid 18, h. 118.

[36] Majalah Al-Islah, nomor 241-17, tanggal 23 Juni 1993 M (Dengan sedikit ringkasan yang seperlunya).

[37] https://al-abbaad.com/articles/78-1433-07-09.

[38] Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, jilid 1, h. 69.

[39] Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Sahih Muslim, jilid 2, h. 22.

[40] Muhammad bin Abdullah Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala Al-Sahihain, jilid 3 (Cet. I; Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 1411H/1990M), h. 215. Hadis ini disahihkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan Al-Albani dalam Silsilah Sahihah nomor 374.

[41] Abdur Rauf bin Taj Al-‘Arifin Al-Munawi, Faidh Al-Qadir, jilid 4 (Cet. I; Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, 1356H), h. 121.

[42] Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jilid 31, h. 124.

[43] Ahmad bin Hanbal, Musnad, jilid 11, h. 394. Hadis ini disahihkan sanadnya oleh Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan disepakati oleh Al-Dzahabi. Namun pada sanadnya terdapat kelemahan yaitu terputusnya sanadnya karena Muhammad bin Muslim bin Tadrus Abu Zubair tidak mendengarkan dari ‘Abdullah bin ‘Amru. Olehnya Syaikh Albani melemahkan hadis ini dalam Silsilah Dhaifah nomor 1264.

[44] ‘Ali bin Khalaf bin Battal, Syarah Sahih Al-Bukhari, jilid 10 (Cet. II; Riyadh: Maktabah Al-Rusyd, 1423H/2003M), h. 51.

[45] ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh, Ikmal Al-Mu’lim, jilid 6 (Cet. I; Mesir: Dar Al-Wafa, 1419H/1998M), h. 154.

[46] Ismail bin ‘Umar bin Katsir, Al Bidayah wal nihayah, jilid 9 (Cet. I; Mesir: Darul Fikr, 1407H/1986M), h. 133-134.

[47] Ismail bin ‘Umar bin Katsir, Al Bidayah wal nihayah, jilid 9, h. 140, dan Muhammad bin Ahmad bin Utsman Al Dzahabi, Siyar a’lam Nubalaa, jilid 3 (Cet. III; Beirut, Muassasah Al Risalah, 1405H/1985M) hal. 230.

[48] Ismail bin ‘Umar bin Katsir, Al Bidayah wal nihayah, jilid 9, h. 116.

[49] Abdur Rahman bin ‘Ali Al-Jauzy, Al-Muntadzam fi Tarikh Al-Umam Wal Muluk, jilid 16 (Cet. I; Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 1412H/1992M), h. 94.

One thought on “AGAMA ADALAH NASIHAT”

Tinggalkan Komentar

By admin