Tema artikel ini merupakan potongan ayat Al-Qur’an, ayat ke-48 dari surah al-Maidah, yaitu firman Allah Ta’ala:
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Ibn Abbas menafsirkan kata syir’atan wa minhajan dengan: jalan dan sunnah. Sedangkan dalam al-Qamus, kata al-nahj diartikan dengan: jalan yang jelas. Sama dengan arti manhaj dan minhaj. Ibn Katsir menyatakan: “Jalan yang mudah dan jelas.”
Terkait dengan ayat tersebut, Ibn Katsir rahimahullah menulis:
Ini adalah informasi tentang beberapa umat yang berbeda agama, mengingat bahwa Allah mengutus para rasul dengan syariat hukum yang beragam, tetapi sama dalam prinsip tauhid. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari, Abu Hurairah radhiyallahu anhu menceritakan bahwa Nabi bersabda:
“Kami semua para Nabi adalah saudara seibu, agama kami satu.[1]
Yang Ibn Katsir maksud adalah tauhid yang diajarkan Allah kepada setiap Rasul utusan-Nya dan dikandung oleh setiap kitab yang diturunkan-Nya. Sebagiamana Allah berfirman:
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. (QS. al-Anbiya: 25)
Allah juga berfirman:
{وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ}
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu.” (QS. al-Nahl: 36)
Adapun syariat-syariat yang mereka bawa, maka berbeda-beda dalam hal perintah dan larangan. Kadang kala ada hal tertentu diharamkan dalam syariat ini, sedang dalam syariat lain dihalalkan; atau sebaliknya. Begitu pula terdapat hal yang diringankan dalam syariat ini, sedang pada syariat yang lain lebih berat. Semua itu tentunya sejalan dengan hikmah Allah yang luar biasa dan sesuai dengan hujjah-Nya yang tak terkalahkan.[2]
Sa’id ibn Abi Arubah menyebutkan penjelasan Qatadah seputar firman Allah:
Yaitu “jalan dan sunnah (cara).” Sunnah tersebut berbeda-beda. Dalam Taurat, sunnah itu merupakan syariat, dalam Injil juga merupakan syariat, begitu pula dalam Al-Qur’an. Di dalamnya Allah menghalalkan atau mengharamkan apa yang Dia kehendaki. Agar Allah mengetahui siapa yang taat dan siapa yang tidak. Sedang agama yang diterima oleh Allah hanya ketauhidan dan keikhlasan dalam beribadah kepada-Nya sesuai dengan petunjuk yang dibawa oleh para rasul.
Perbedaan antara Syir’ah dan Minhaj
Umat Muhammad memiliki syir’ah dan minhaj tersendiri. Pada umat ini, minhaj lebih spesifik dibanding syariat. Karena syariat bisa sama, tetapi beda minhaj. Seperti kewajiban shalat, puasa, dan zakat. Puasa, misalnya, diwajibkan atas kita sebagaimana telah diwajibkan kepada umat terdahulu sebelum kita. Akan tetapi Allah menghalalkan al-rafats (bercampur dengan istri, pent.) bagi kita pada waktu malam, (yang pada umat-umat terdahulu, hal itu diharamkan).
Allah juga menetapkan syarat-syarat dan hukum-hukum tertentu dalam kewajiban shalat kita, yang hal itu tidak ditetapkan pada umat lainnya, dan begitulah seterusnya. Banyak syariat yang pada pokoknya sama, tetapi minhaj yang ditetapkan untuk umat ini berbeda dengan minhaj yang ditetapkan bagi umat lainnya. Intinya, minhaj umat ini lebih spesifik dari umat lainnya.
Minhaj benar yang wajib diikuti oleh seorang Muslim adalah minhaj yang sejalan dengan petunjuk Nabi dan jalan generasi pertama umat ini. Sebab, umat ini telah terpecah menjadi beberapa firqah, sebagaimana telah disinyalir oleh Nabi yang shadiq dan mashduq dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
وتفترق أمتي ثلاثاً وسبعين فرقة».
Orang Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, orang-orang Nasrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku juga akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.[3]
Al-Baihaqi menyatakan:
Sepertinya perpecahan mereka inilah yang dimaksudkan dalam hadits yang kami riwayatkan dari Abu Hurairah. Hal ini didukung oleh riwayat Mu’awiyah dalam hadits yang sama bahwa Nabi bersabda: “Semuanya di Neraka kecuali satu, yaitu al-jama’ah,” dan riwayat Amru ibn Auf: “Kecuali satu, yaitu Islam dan jama’ah kaum Muslim,” juga riwayat Abdullah ibn Amru: “Kecuali satu, yaitu apa yang aku jalani bersama para sahabatku.”[4]
Para sahabat hanya sepakat dalam masalah-masalah prinsip. Tidak satu pun di antara mereka diriwayatkan menyelisihi apa yang kami sebutkan dalam kitab ini. Adapun perkara-perkara furu’, maka sebagian di antaranya, utamanya yang tidak didukung oleh nash Al-Qur’an dan Sunnah, ada yang disepakati dan ada pula yang diperselisihkan oleh mereka.
Apa yang telah mereka sepakati, maka tidak boleh seorang pun di antara sahabat menyelisihinya. Sedang apa yang mereka perselisihkan, maka syariat ini memberikan peluang bagi mereka untuk berbeda pendapat. Karena syariat ini telah menyuruh mereka untuk berijtihad dan ber-istinbat (menyimpulkan hukum, pent.), sementara ia tahu bahwa hal itu berpotensi untuk membawa perbedaan pendapat. Tidak hanya itu, syariat juga menjamin dua pahala bagi yang hasil ijtihadnya tepat, dan satu pahala bagi yang hasilnya keliru. Dengan tetap ada kemungkinan benar atau salah, tetapi kesalahannya diampuni.”[5]
Abdul Qahir menyatakan:
Hadits yang berkenaan dengan perpecahan umat memiliki banyak sanad dan diriwayatkan dari Nabi oleh sejumlah sahabat, seperti: Anas ibn Malik, Abu Hurairah, Abu Darda’, Jabir, Abu Sa’id al-Khudri, Ubay ibn Ka’ab, Abdullah ibn Amru ibn ‘Ash, Abu Umamah, Watsilah ibn Asqa’, dan yang lainnya. Dan diriwayatkan bahwa para khulafa’ al-rasyidin telah menyebutkan perpecahan umat setelah mereka menjadi beberapa firqah. Mereka juga menyebutkan bahwa yang selamat hanya satu firqah, sedang yang lainnya sesat di dunia dan terancam Neraka di akhirat.”[6]
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Permasalahan tauhid, prinsip-prinsip umum, perkara etika, dan akhlak yang baik adalah misi yang dibawa oleh para rasul dengan tingkat perbedaan kuantitas dan kualitas dalam syariat masing-masing.
2. Umat ini memilki syariat dan minhaj tersendiri yang dikhususkan oleh Alah untuk mereka. Ini merupakan nikmat besar yang diberikan Allah kepada umat ini. Meskipun dalam beberapa sisi tertentu, umat lain juga mendapatkan keistimewaan tersebut.
3. Syariat, minhaj dan beberapa prinsip lainnya memiliki hubungan dan persamaan. Tetapi minhaj lebih umum daripada yang lain. Karena minhaj mencakup perkara-perkara prinsip yang bukan masalah aqidah, namun tetap menjadi karakteristik umat ini dan disepakati oleh para salaf. Sedang permasalahan aqidah ada yang bersifat prinsip tetapi ia berlaku umum dan ditetapkan dalam semua syariat.
Muslim yang menyimpang dalam perkara tersebut berarti menyelisihi kebenaran yang ada pada umat-umat lain. Sedang orang yang benar dalam perkara tersebut belum tentu ia tepat dalam keseluruhan minhaj yang dikhususkan oleh Allah dan dijalani oleh pendahulu umat ini radhiyallahu anhum.
Jika demikian adanya, maka dapat dipahami bahwa kesesatan bisa terjadi dalam beberapa perkara aqidah. Dan kalau kesalahan tersebut terjadi dalam perkara aqidah pokok, maka hal itu merupakan kesesatan besar yang dapat bertambah dengan semakin mengakarnya kesesatan tersebut dan sejauh mana unsur prinsipilnya. Atau boleh jadi kesesatan tersebut terjadi dalam masalah minhaj yang spesifik bagi umat ini.
Minhaj yang bahayanya sangat besar bagi orang yang berpaling daripadanya dari kalangan para pengikut agama adalah minhaj yang dijalani oleh generasi awal umat ini.
Adapun perkara yang diperselisihkan oleh Ahlus Sunnah hingga mereka berbeda manhaj di dalamnya seperti dalam beberapa perkara furu’, maka yang tepat adalah bahwa manhaj yang diridhai dan disyariatkan oleh Allah dalam hal tersebut hanya satu.
Kadang-kadang kebenaran tersebut berada pada suatu kelompok Ahlus Sunnah, tetapi kadang-kadang pula berada pada kelompok Ahlus Sunnah lainnya. Tetapi alasan kelompok atau orang yang menyelisihinya tidak jauh.
Adapun perkara yang telah disepakati oleh umat ini atau disepakati oleh Ahlus Sunnah, maka tidak boleh diselisihi karena hal itu merupakan minhaj lurus yang tidak boleh menyimpang daripadanya. Karena mereka adalah kelompok yang selamat.
Atas dasar itu, jika dipandang dari sudut penyimpangan orang-orang yang menyimpang, maka minhaj dapat dibagi kepada tiga bagian:
1. Minhaj umum bagi orang-orang Islam, yang diperselisihkan oleh Ahlus Sunnah dan firqah lainnya. Maka perbedaan dalam hal ini dapat ditolerir selama hal itu lahir dari hasil ijtihad yang benar. Dalam hal ini orang yang menyelisihi tidak boleh dijelek-jelekkan.
2. Minhaj spesifik dan disepakati oleh internal firqah najiyah (kelompok yang selamat, pent.) dan thaifah manshurah (golongan yang mendapat pertolongan, pent.); Ahlus Sunnah. Orang yang menyimpang daripadanya berada pada kondisi berbahaya, walaupun tetap ada peluang untuk ditolerir bagi yang benar-benar memenuhi syarat untuk itu, tanpa menghilangkan sikap tegas terhadap penyimpangannya.
3. Minhaj yang disepakati oleh seluruh komponen umat ini, seperti dalam kebanyakan masalah qath’iyah. Penyimpangan dari minhaj jenis ini dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Beberapa contoh dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Minhaj yang pertama, misalnya mayoritas masalah-masalah furu’ dalam bidang fiqh yang bersifat praktis atau teoritis yang diperselisihkan oleh para ulama.
2. Contoh poin kedua adalah penyimpangan sekte-sekte Islam dan pelaku bid’ah ‘aqadiyah dari kalangan generasi awal umat ini terhadap Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
3. Contoh poin ketiga adalah penyimpangan orang-orang liberal dan pelaku bid’ah kufriyah yang masih mengklaim dirinya sebagai Muslim.
Dengan demikian, dapat dipahami pula bahwa sebagian penganut Ahlus Sunnah dapat keliru dalam beberapa masalah, tetapi hal itu tidak mengeluarkannya dari kelompok Ahlus Sunnah secara umum. Sebaliknya, sebagian Ahlul Bid’ah dan firqah bisa benar dalam beberapa perkara tertentu, tetapi hal itu tidak otomatis menjadikannya masuk ke dalam kelompok firqah najiyah dan thaifah manshurah.
Sementara itu, ada kelompok lain yang menganggap segala penyimpangan dari minhaj Ahlus Sunnah secara otomatis mengeluarkan pelakunya dari kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah dan memasukkannya ke dalam salah satu firqah yang sejalan dengan penyimpangannya dalam perkara tersebut.
Padahal yang benar adalah sikap pertengahan. Karena, barangsiapa komitmen dengan prinsip-prinsip kelompok yang menyimpang dari al-salaf al-shalih tidak boleh dimasukkan ke dalam kelompok Ahlus Sunnah dalam artinya yang spesifik, yaitu kelompok yang komitmen dengan tuntunan Salaf dan apa yang disepakati oleh sahabat radhiyallahu anhum, serta tidak keluar daripadanya. Orang yang komitmen dengan mazhab Asy’ariyah dalam perkara keimanan, sifat-sifat Allah, dan masalah takdir bukanlah golongan Ahlus Sunnah dalam arti khusus tersebut. Meskipun kadang-kadang kelompok Asy’ariyah dan Maturidiyah dan kelompok lain yang tidak jauh penyimpangannya tetap disebut juga sebagai kelompok Ahlus Sunnah. Penggunaan istilah ini dipakai sebagai lawan dari kelompok Rafidhah dan Qadariyah dan kelompok Islam lainnya. Sebab, penyimpangannya dari Ahlus Sunnah cukup besar.
Adapun orang yang keliru dalam beberapa masalah tertentu dengan asumsi bahwa apa yang ia lakukan itulah mazhab Salaf, dan lahir dari hasil ijrihad yang keliru karena pengaruh lingkungan hidupnya atau faktor lain yang masih dapat ditolerir, maka ia tidak boleh dikeluarkan dari kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah, tetapi tetap diingatkan terhadap kesalahan dan penyimpangannya dari manhaj Ahlus Sunnah, bahkan kesalahannya dibantah.
Ia tetap bagian dari Ahlus Sunnah selama penyimpangannya bukan dalam perkara prinsip yang menjadikannya masuk ke dalam kelompok lain, karena ia menyerukan prinsip mereka. Dengan tetap menyatakan penyimpangannya dari minhaj kebenaran (minhaj Ahlus Sunnah) dalam perkara tersebut.
Beberapa Manfaat dari Klasifikasi Ini
1. Mengenal siapa yang wajib dicintai dan dibela. Ahlus Sunnah dengan istilah khusus tersebut lebih wajib dicintai dan dibela dari kelompok lainnya. Karena telah dimaklumi bahwa cinta dan benci karena Allah termasuk di antara tali keimanan yang paling kuat. Dan siapa yang lebih dekat kepada manhaj Allah maka ia lebih wajib dan banyak dicintai daripada yang lain.
Adapun orang yang jauh dari Sunnah dan minhaj firqah najiyah dan thaifah manshurah, maka kecintaan kepadanya berkurang sesuai kadar penyimpangannya, hingga ada yang tidak mendapat hak loyalitas dan kecintaan di hati sama sekali, seperti mayoritas pelaku bid’ah kufriyah.
2. Tidak mengeluarkan seseorang atau suatu kelompok dari golongan Ahlus Sunnah hanya karena kesalahan dan penyimpangan dari minhaj Ahlus Sunnah akibat kesalahan pendapat dan ijtihad, selama mereka masih komitmen dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah.
3. Tidak mencampur-adukkan dan menyamakan antara Ahlus Sunnah dengan golongan lainnya yang menyimpang dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah, dan mengikuti manhaj golongan di luar Ahlus Sunnah. Karena tidak sama antara dai petunjuk yang berjalan di atas cahaya dari Allah dengan orang lain yang salah, meskipun tetap dapat uzur atau ditolerir.
4. Mengenal orang yang keluar dari golongan Ahlus Sunnah dalam arti khusus ataupun umum. Dan mengatahui klasifikasi manusia dari sudut pandang dekat atau jauhnya mereka dari minhaj dan jalan yang lurus memiliki pengaruh dalam mengklasifikasi mereka menjadi empat bagian dalam program-program dakwah dan kerja-kerja praktis.
Kelompok-kelompok itu adalah;
a. Kelompok pengikut minhaj yang lurus.
b. Kelompok yang menyimpang, tetapi penyimpangannya tidak jauh.
c. Kelompok yang telah keluar dari golongan Ahlus Sunnah dalam arti khusus; yaitu orang mengikuti tuntunan salaf dan jejak para sahabat.
d. Kelompok yang jauh menyimpang, yaitu pelaku bid’ah besar seperti gologan Rafidhah dan semacamnya.
Kelompok pertama dan kedua biasanya dapat bersatu dalam banyak program dan kegiatan yang menguatkan minhaj Ahlus Sunnah.
Kelompok ketiga tidak bisa bersatu dengan Ahlus Sunnah selama mereka menolak minhaj Ahlus Sunnah, kecuali dalam beberapa perkara atau kondisi tertentu. Seperti mereka dianggap Ahlus Sunnah jika dibandingkan dengan golongan lain. Adapun dalam kegiatan-kegiatan Islam yang umum, terutama yang memiliki unsur pertarungan dengan non-Muslim, maka dari tinjauan kemaslahatan umum menuntut mereka bisa bekerjasama, seperti dalam berjihad dengan tetap mengacu kepada prinsip-prinsip yang telah ditetapkan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Kelompok keempat harus dijauhi dan herus dipahami bahwa sama sekali kita tidak bisa ketemu dengan mereka, kecuali seperti sikap yang diberikan kepada pemeluk agama lain sesuai ketetapan para salaf.
Wallahu a’lam, washallallahu wasallam ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi washahbihi ajmain. **
_____________________________________
[1] Shahih al-Bukhari, no. 3443.
[2] Tafsir Ibn Katsir, Juz III, h. 129.
[3] Sunan Abu Daud, no. 5496; Sunan al-Tirmidzi, no. 2640. Tirmidzi menyatakan: “Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih.”
[4] Tambahan inilah yang berusaha dilemahkan oleh sebagian pihak di era ini. Padahal kenyataannya redaksi tersebut tsabit (shahih). Redaksi من كان على مثل ما أنا عليه وأصحابي) ) diriwayatkan oleh Tirmidzi, no. 2641. Ia mengatakan: “Hadist ini mufassar gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari sini ini.” Juga diriwayatkan oleh Hakim, Juz I, h. 128 dari jalur Abdullah ibn Amru. Dan diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, Juz VIII, h. 22 dari jalur Anas. Ia menyatakan bahwa: “Hadits ini tidak ada yang yang meriwayatkannya dari Yahya ibn Said kecuali Abdullah ibn Sufyan al-Madani dan Yasin al-Zayyat.”
Adapun redaksi (وهي الجماعة) maka diriwayatkan oleh Ahmad, Juz IV, h. 102; dan Abu Daud, no. 4597 dari jalur Mu’awiyah. Juga Ahmad, Juz III, h. 145; dan Ibn Majah, no. 3993 dari jalur Anas. Dan Ibn Majah, no. 3992 dari jalur Auf ibn Malik dan dinilai shahih oleh Syaikhul Islam dalam Majmul al-Fatawa, Juz III, h. 345-349 dan dikomentari secara panjang olehnya. Juga disebutkan oleh al-Kattani dalam kitabnya Nuzhum al-Mutantsir min al-Hadits al-Mutawatir, h. 57. Makna hadits tersebut didukung oleh ayat:
(ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيراً).
[5] Al-I’tiqad, h. 233.
[6] Al-Farq bain al-Firaq, h. 5.
kita tunggu alinshof versi hardcopy! kapan kira2 diterbitkan alinshof jilid I ?