Apakah Al-Qur’an yang Tertulis di dalam Mushaf Merupakan Makhluk?

Kelompok Asya’irah mutaakhirin berkeyakinan bahwa al-Qur’an yang tertulis di dalam mushaf merupakan makhluk Allah –Azza wajalla-. Keyakinan mereka dalam hal ini sangat bertentangan dengan apa yang diyakini oleh Ahlussunnah Waljama’ah, yaitu bahwa apa yang tertulis dalam  mushaf itu adalah kalam Allah –Ta’ala– yang diturunkan dari langit dan bukan makhluk. Keyakinan kelompok Asya’irah dalam perkara ini lagi-lagi justru serupa dengan keyakinan kelompok Jahmiyah yang meyakini bahwa al-Qur’an merupakan makhluk.

Kelompok Asya’irah berkeyakinan bahwa kalam Allah –Azza wajalla– tidak bersuara dan tidak pula berhuruf. Ini yang menjadi landasan mereka dalam menetapkan akidah, sehingga berani berkata bahwa apa yang kita baca dalam mushaf itu hanyalah ibarat dari kalam Allah yang dibuat oleh Nabi Muhammad –Shallallahu ‘alaihi wasallam– atau Malaikat Jibril –Alaihissalam– berdasarkan dari apa yang mereka pahami dari kalam nafsi itu.

Dari sini, muncul keyakinan baru kelompok Asya’irah, yaitu al-Qur’an itu ada dua macam. Yang pertama al-Qur’an Qadim yang bukan makhluk. Ini ada pada diri Allah –Azza wajalla-, dan yang kedua Al-Qur’an Lafzhi ialah merupakan al-Qur’an yang berbahasa Arab yang tertulis di dalam mushaf dan dihafalkan oleh kaum muslimin. Al-Qur’an kedua ini merupakan makhluk dalam akidah mereka.

Jika kita bertanya pada kelompok Asya’irah, adakah ayat al-Qur’an yang menyebutkan hal itu? Mereka akan menjawab tidak! Apakah telah sampai pada kalian bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengatakan hal itu? Mereka berkata, Tidak!. Apakah Allah –Azza wajalla– menurunkan hal itu pada kitab-kitab terdahulu atau ada saorang Nabi dari Nabi-nabi terdahulu yang mengatakannya? Mereka berkata, Tidak!, tapi akal menunjukkan pada apa yang kami nyatakan itu.

Tidak ada landasan kelompok Asya’irah dalam al-Qur’an maupun hadis melainkan sekadar prasangka belaka. Mereka ini masuk dalam kategori firman Allah –Azza wajalla-:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُجَٰدِلُ فِي ٱللَّهِ بِغَيۡرِ عِلۡمٖ وَلَا هُدٗى وَلَا كِتَٰبٖ مُّنِيرٖ 

Terjemahnya:

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (QS. Al-Hajj: 8)

Imam al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’i (W. 774 H.) –Rahimahullah– berkata:

لَمَّا ذَكَرَ تَعَالَى حَالَ الضُّلَّالِ الْجُهَّالِ الْمُقَلِّدِينَ فِي قَوْلِهِ: {وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَرِيدٍ} ، ذَكَرَ فِي هَذِهِ حَالَ الدُّعَاةِ إِلَى الضَّلَالِ مِنْ رُءُوسِ الْكُفْرِ وَالْبِدَعِ، فَقَالَ: {وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ} أَيْ: بِلَا عَقْلٍ صَحِيحٍ، وَلَا نَقْلٍ صَحِيحٍ صَرِيحٍ، بَلْ بِمُجَرَّدِ الرَّأْيِ وَالْهَوَى.

Artinya:

“Ketika Allah menyebutkan keadaan orang-orang sesat yang bodoh dan bertaklid pada firman Allah –Azza wajalla-, “Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat,” maka pada ayat ini Allah –Azza wajalla– menyebutkan keadaan para penyeru kesesatan dari kalangan pemimpin kufur dan ahli bid’ah. Allah –Azza wajalla– berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” Maksudnya tanpa berdasar pada akal yang sehat (alasan yang benar -pent) dan tanpa dalil naqli yang benar dan tegas. Bahkan apa yang mereka dakwahkan itu hanya berdasar pada ra’yu (akal mereka sendiri) dan mengikuti hawa nafsu.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid 3, hal. 190, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut. Cet 3, 1433 H).

Kaum muslimin tidak pernah mengenal ada dua al-Qur’an selama ini hingga muncul kelompok Asya’irah. Imam al-Muwaffaq Ibnu Quddamah al-Hanbali (W. 620 H.) –Rahimahullah– berkata:

فَإِذا لم يكن الْقُرْآن هَذَا الْكتاب الْعَرَبِيّ الَّذِي سَمَّاهُ الله قُرْآنًا فَمَا الْقُرْآن عِنْدهم وَبِأَيِّ شَيْء علمُوا أَن غير هَذَا يُسمى قُرْآنًا فَإِن تَسْمِيَة الْقُرْآن إِنَّمَا تعلم من الشَّرْع أَو النَّص فَأَما الْعقل فَلَا يَقْتَضِي تَسْمِيَة صفة الله قُرْآنًا وَمَا ورد النَّص بتسميته الْقُرْآن إِلَّا لهَذَا الْكتاب وَلَا عرفت الْأمة قُرْآنًا غَيره

Artinya:

“Kalau kitab al-Qur’an yang berbahasa Arab ini yang Allah –Azza wajalla– sebut sebagai al-Qur’an, bukanlah al-Qur’an (yang merupakan kalam Allah menurut Asya’irah), maka apakah al-Qur’an itu menurut mereka? Dengan apa mereka mengetahui bahwa selain kitab al-Qur’an (di mushaf ini) ada yang lain  yang disebut sebagai al-Qur’an juga? Sebab, penamaan al-Qur’an itu diketahui berdasarkan syariat ataupun nash. Adapun akal, maka ia tidak bisa menetapkan penamaan sifat Allah dengan al-Qur’an. Tidak ada satupun nash yang menyebutkan penamaan al-Qur’an kecuali al-Qur’an (yang ada di mushaf -pent) ini. Umat Islam tidak mengenal adanya al-Qur’an selainnya.” (Ibnu Quddamah, Hikayat al-Munazharah Fil Qur’an, Tahqiq`Abdullah bin Yusuf al-Judai’, hal. 33. Maktabah ar-Rusyd-Riyad. Cet. 2, 1418 H.)

Orang-orang yang mengatakan bahwa al-Qur’an yang terdapat di dalam mushaf adalah makhluk Allah –Azza wajalla-, bukan merupakan kalam Allah –Azza wajalla– maka sungguh ia telah kafir. Syeikhul Islam Abu Utsman Ismail bin Abdirrahman Ash-Shabuni Asy-Syafi’i (W. 449 H.) –Rahimahullah– berkata:

ويشهد أصحاب الحديث ويعتقدون أن القرآن كلام الله وخطابه ووحيه وتنزيله غير مخلوق، ومن قال بخلقه واعتقده فهو كافر عندهم، والقرآن -الذي هو كلام الله ووحيه- هو الذي نزل به جبريل على الرسول صلى الله عليه وسلم قرآنا عربياً …. وهو الذي تحفظه الصدور، وتتلوه الألسنة، ويكتب في المصاحف، كيفما تصرف بقراءة قارئ ولفظ لافظ وحفظ حافظ، وحيث تلي، وفي أي موضع قرئ و كتب في مصاحف أهل الإسلام وألواح صبيانهم وغيرها كله كلام الله جل جلاله غير مخلوق؛ فمن زعم أنه مخلوق فهو كافر بالله العظيم

Artinya:

“Para ahli hadis bersaksi dan berkeyakinan bahwa al-Qur’an merupakan kalam Allah, khitob-Nya, wahyu-Nya dan tanzil-Nya. Ia bukanlah makhluk. Barangsiapa mengatakannya sebagai makhluk dan berkeyakinan seperti itu, maka ia telah kafir menurut para ahli hadis. Al-Qur’an yang merupakan kalam dan wahyu-Nya adalah apa yang dengannya malaikat Jibril –Alaihissalam– turun kepada Rasul –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Ia merupakan al-Qur’an yang berbahasa Arab…. Inilah al-Qur’an yang  dihafalkan dalam dada, ditilawahkan oleh lisan dan di tulis di dalam mushaf. Bagaimanapun al-Qur’an itu, dibacakah oleh qari, dilafazkan oleh seorang yang melafazkannya, dihafalkan oleh seorang hafizh, dimanapun dibaca, dibagian manapun dibaca dan dituliskan di dalam mushaf-mushaf kaum muslimin serta papan-papan anak-anak mereka atau selainnya, semuanya itu merupakan kalam Allah –Jalla jalaluhu– bukanlah makhluk. Siapa yang mengatakannya sebagi makhluk, maka ia telah kafir terhadap Allah yang Maha Agung.” (Ash-Shabuni, Aqidatu as-Salaf Wa Ashabil Hadis, Tahqiq Dr. Nashir bin Abdirrahman al-Jadi’, hal. 165-166, Daar al’Ashimah-Riyadh. Cet. 2, 1419 H.)

Para ulama telah menjelaskan bahwa siapa saja yang mengatakan al-Qur’an yang tertulis di dalam mushaf atau yang dilafazkan oleh lisan sebagai makhluk, maka ia telah mengatakann al-Qur’an merupakan makhluk. Dan, itu merupakan satu bentuk kekafiran. Imam al-Hafizh Abu Bakar Ahmad bin Ibrahim al-Isma’ili asy-Syafi’i (W. 371 H.) –Rahimahullah– berkata:

ويقولون: القرآن كلام الله غير مخلوق وإنه كيفما تصرف بقراءة القارئ له وبلفظه ومحفوظا في الصدور ومتلوا بالألسن مكتوبا في المصاحف  غير مخلوق. ومن قال بخلق اللفظ بالقراءة يريد به القرآن فقد قال بخلق القرآن

Artinya:

“Dan Ahli hadis Ahlussunnah walajama’ah berkata, “al-Qur’an merupakan kalam Allah –Azza wajalla– bukanlah makhluk. Bagaimanapun al-Qur’an itu, ia dibaca oleh qari atau dilafazkan olehnya, dihafalkan di dalam dada, ditilawahkan oleh lisan dan tertulis di dalam mushaf, maka ia tetap bukan makhluk. Barangsiapa berkata lafaz membaca al-Qur’an merupakan makhluk dan yang ia maksudkan adalah al-Qur’an itu, maka ia telah mengatakan al-Qur’an adalah makhluk.” (Abu Bakar Ahmad bin Ibrahim al-Ismaili, I’tiqad Ahlissunnah, Tahqiq Dr. Jamal Azzun, hal. 40, Maktabah Daar al-Minhaj-Riyadh. Cet 2, 1431 H.)

Para ulama sangat tegas mengingkari orang-orang yang tidak meyakini al-Qur’an yang tertulis dalam mushaf sebagai kalam Allah –Azza wajalla-. Siapa yang mengatakan apa yang tertulis di dalam mushaf itu sebagai makhluk, maka ia telah kafir. Abdullah bin Mubarak (W. 181 H.) –Rahimahullah– berkata:

من قال لا إله إلا هو (سورة البقرة: 255) مخلوق فهو كافر

Artinya:

“Siapa yang mengatakan “Laa Ilaha Illa Huwa” (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia) [QS. Al-Baqarah: 255] merupakan makhluk, maka ia telah kafir.” (Al-Bukhari, Khalqu Af’al al-Ibad, Tahqiq Fahd bin Sulaiman al-Fahid, hal. 517, Maktabah al-Malik Fahd Atsnaa an-Nasyr-Riyadh. Cet.4, 1440 H.)

Imam Abu al-Qasim al-Asbahani asy-Syafi’i (W.  535 H.) berkata:

قالَ أَصْحَاب الحَدِيث وَأهل السّنة: إِن الْقُرْآن الْمَكْتُوب الْمَوْجُود فِي الْمَصَاحِف، وَالْمَحْفُوظ الْمَوْجُود فِي الْقُلُوب، وَهُوَ حَقِيقَة كَلَام اللَّه عَزَّ وَجَلَّ بِخِلَاف مَا زعم قوم أَنه عبارَة عَن حَقِيقَة الْكَلَام الْقَائِم بِذَات اللَّه عَزَّ وَجَلَّ وَدلَالَة عَلَيْهِ، وَالَّذِي هُوَ فِي الْمَصَاحِف مُحدث وحروف مخلوقة.

Artinya:

“Ahli hadis dan Ahlussunnah berkeyakinan bahwa sesungguhnya al-Qur’an yang tertulis dan ada di dalam mushaf serta yang dihafalkan di dalam dada merupakan hakikat kalam Allah –Azza wajalla-. Hal ini berbeda dengan keyakinan satu kaum (maksudnya Asya’irah -pent) yang meyakini bahwa hal itu hanyalah ibarat dari hakikat kalam Allah yang tegak pada dzat Allah –Azza wajalla- dan hanya sebagai petunjuk terhadap hakikat kalam itu. Menurut mereka, yang ada di dalam mushaf itu adalah sesuatu yang baru dan huruf-hurufnya adalah makhluk.” (Abu al-Qasim al-Ashbahani, al-Hujjatu Fi Bayani al-Mahajjah, Tahqiq Abu Ishak as-Samanudi, Jilid 1, hal 345, Daar Ibni Abbas-al-Manshurah/Mesir. Cet. 1, 1437 H)

Terkait keyakinan kelompok Asya’irah bahwa kalam bisa tidak berhuruf, maka keyakinan ini menyelishi ijmak seluruh umat manusia lintas agama, hingga munculnya para ahli kalam. Imam al-Hafizh Abu Nashr Ubaidillah As-Sijzi (W. 444 H.) –Rahimahullah– berkata:

اعلموا أرشدنا الله وإياكم أنه لم يكن خلاف بين الخلق على اختلاف نحلهم من أول الزمان إلى الوقت الذي ظهر فيه ابن كلاب، والقلانسي، والصالحي، والأشعري واقرانهم الذين يتظاهرون. بالرد على المعتزلة وهم معهم بل أخس حالا منهم في الباطن  في أن الكلام لا يكون إلا حرفاً وصوتاً ذا تأليف واتساق وإن اختلفت اللغات

Artinya:

“Ketahuilah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kami dan kalian, bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan diantara umat manusia lintas agama, sejak awal zaman hingga waktu munculnya Ibnu Kullab, al-Qalanisi, ash-Shalihi, al-Asy’ari dan yang sejalan dengan mereka, tatkala mengahadapi dan membantah kelompok Muktazilah, walau kenyataanya mereka justru sejalan dengan pemikiran Muktazilah, bahkan lebih jorok secara batinnya, yaitu bahwa kalam tidak disebut sebagai kalam kecuali ia tersusun dari huruf, suara dan memiliki kesatuan yang terkumpul dan teratur, walau berbeda bahasa.” (Al-Haifizh Ubaidillah As-Sijzi, Ar-Raddu ‘Ala Man Ankara al-Harfi wa ash-Shauth, Tahqiq Muhammad Muhibbuddin Abu Zaid, hal. 48, Darul Dakhair-Mesir. Cet. 1, 1444 H.-2023 M.)

Ringkasnya, al-Qur’an yang dibaca di mushaf itulah kalam Allah bukan makhluk. Siapa yang mengatakannya sebagai makhluk maka ia telah menyelisihi keyakinan Ahlussunnah, bahkan divonis sebagai orang yang telah kafir, sebagaimana yang telah kami uraikan di atas.

Wallahu A’lam Bishshowab.

Tinggalkan Komentar

By admin