Apakah Allah Azza Wajalla Duduk di Atas Kursi-Nya?
Ahlussunnah Waljama’ah bersepakat bahwa cara yang selamat dalam menyifati Allah –Azza wajalla- adalah dengan cara menyifati-Nya sesuai dengan apa yang Allah –Azza wajlla- sifatkan untuk diri-Nya sendiri atau sesuai dengan yang disifatkan oleh Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Semua yang datang dari keduanya tentang sifat Allah –Azza wajalla- wajib diterima dan diimani tanpa pengingkaran sedikitpun dan tidak menyamakannya dengan sifat makhluk.
Ahlussunnah Waljama’ah juga tidak menafikan sifat Allah –Azza wajalla- yang disebukan dalam Al-Qur’an maupun hadis yang sahih, serta tidak mengubah makna sifat dari makna yang semestinya. Dengan kata lain, Ahlussunnah Waljama’ah tidak melakukan ta’thil dan tidak pula melakukan tahrif dengan cara takwil.
Terjadi perdebatan diantara kaum muslimin tentang sifat duduk bagi Allah –Azza wajalla-. Apakah Allah –Azza wajalla- duduk di atas Arsy?
Untuk menjawab ini, sebenarnya cukup dengan cara mengembalikannya pada kesepakatan Ahlussunnah waljama’ah, yaitu bahwa cara yang selamat dalam menyifati Allah –Azza wajalla- adalah dengan cara menyifati-Nya sesuai dengan apa yang Allah –Azza wajlla- sifatkan untuk diri-Nya sendiri atau sesuai dengan yang disifatkan oleh Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Semua yang datang dari keduanya tentang sifat Allah –Azza wajalla- wajib diterima dan diimani tanpa pengingkaran sedikitpun dan tidak menyamakannya dengan sifat makhluk.
Jika kita sudah mengetahui hal itu, lalu apakah ada ayat ataupun hadis yang menjelaskannya?
Jawabannya, tidak ada satupun ayat yang menjelaskan hal itu, tapi ada hadis-hadis yang menjelaskannya menurut ulama yang meyakininya.
Imam Abu Abdirrahman Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal (w. 290 H.) –rahimahullah- menyebutkan bahwa ayahnya mensahihkan hadis-hadis tersebut. Dalam kitab as-Sunnah beliau berkata:
سُئِلَ عَمَّا رُوِيَ فِي الْكُرْسِيِّ وَجُلُوسِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ رَأَيْتُ أَبِيَ رَحِمَهُ اللَّهُ يُصَحِّحُ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ أَحَادِيثَ الرُّؤْيَةِ وَيَذْهَبُ إِلَيْهَا وَجَمَعَهَا فِي كِتَابٍ وَحَدَّثَنَا بِهَا
Artinya:
“Ditanyakan tentang riwayat mengenai kursi dan duduknya Allah –Azza wajalla- di atasnya, aku melihat ayahku mensahihkan hadis-hadis ini, hadis-hadis tentang melihat Allah –Azza wajala- dan beliau berpendapat demikian serta mengumpulnya dalam kitab dan kami pun menyebutkannya.” (Abdullah bin Ahmad, as-Sunnah, Tahqiq Abu Abdillah Adil bin Abdillah Ali Hamdan, hal. 291, Daar al-Lu’lua-Beirut, cet. 5, 1444 H.)
Beliau berkata:
حَدَّثَنِي أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَلِيفَةَ، عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «إِذَا جَلَسَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْكُرْسِيِّ سُمِعَ لَهُ أَطِيطٌ كَأَطِيطِ الرَّحْلِ الْجَدِيدِ
Artinya:
“Ayahku –rahimahullah- menceritakan kepadaku, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman, dari Sufyan dari Ishak dari Abdullah bin Khalifah dari Umar –radhiyallahu ‘anhu- ia berkata: “Jika Allah –Tabaraka Wata’ala- telah duduk di atas kursi maka terdengar suara seperti suara gesekan pelana kuda yang masih baru.” (Abdullah bin Ahmad, as-Sunnah, Tahqiq Abu Abdillah Adil bin Abdillah Ali Hamdan, hal. 292, Daar al-Lu’lua-Beirut, cet. 5, 1444 H.)
Sebagaimana penuturan putra imam Ahmad -rahimahumalah- bahwa ayahnya (imam Ahmad bin Hambal) mensahihkan hadis-hadis yang berkaitan tentang hal ini. Imam adz-Dzahabi (w. 748 H.) juga telah mengabarkan bahwa para ulama ahli hadis mensahihkan hadis ini.
Dalam kitab al-Arsy beliau berkata:
ورواه أيضا عن أبيه، حدثنا وكيع بحديث إسرائيل، عن أبي إسحاق، عن عبد الله بن خليفة، عن عمر “إذا جلس الرب على الكرسي” فاقشعر رجل سماه أبي عند وكيع، فغضب وكيع، وقال: أدركنا الأعمش وسفيان يحدثون [بهذه الأحاديث] ولا ينكرونها.
قلت: وهذا الحديث صحيح عند جماعة من المحدثين، أخرجه الحافظ ضياء الدين المقدسي في صحيحه، وهو من شرط ابن حبان5 فلا أدري أخرجه أم لا؟، فإن عنده أن العدل الحافظ إذا حدث عن رجل لم يعرف بجرح، فإن ذلك إسناد صحيح.
Artinya:
“Dia juga meriwayatkannya dari ayahnya, telah menceritakan pada kami Waki’ dengan hadis yang disebutkan oleh Israil, dari Abu Ishak dari Abdullah bin Khalifah dari Umar: “Jika Rab –Tabaraka Wata’ala- duduk di atas Kursi.” Seseorang merinding mendengarkannya, ayahku menyebut namanya ketika bersama Waki’. Waki’ kemudian marah dan berkata: “Kami pernah bertemu dengan al-A’masy dan Sufyan –rahimahumallah-, mereka menyebutkan hadis-hadis ini dan tidak mengingkarinya.”
Aku (adz-Dzahabi) berkata: “Hadis ini sahih menurut sekelompok ulama ahli hadis. Imam al-Hafizh Dhiya ad-Din al-Maqdisi –rahimahullah- menyebutkannya dalam kitab Sahihnya, dan ini sesuai syarat imam Ibnu Hibban –rahimahullah-, tapi aku tidak tahu apakah beliau menyebutkannya juga dalam Sahihnya atau tidak. Sebab, menurut beliau, jika seorang yang adil dan baik hafalannya telah menceritakan hadis dari seseorang yang tidak diketahui bahwa ia pernah mendapatkan jarh, maka sanadnya dihukumi sahih.” (Adz-Dzahabi, al-Arsy, Tahqiq Prof. dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi, jilid 2, hal. 121, Adwa as-Salaf-Riyadh, cet. 1, 1420 H.)
Tidak dipungkiri bahwa hadis-hadis seputar hal ini dikritisi oleh para ulama dan dihukumi lemah oleh mereka karena sanadnya mudhtarib berdasarkan penelitian mereka. Hal ini menjadi sebab mereka tidak menerima keyakinan Allah –Azza wajalla- duduk di atas kursi. Namun, jumlah mereka lebih sedikit dari yang menerimanya.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H.) –rahimahullah- berkata:
وَطَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ تَرُدُّهُ لِاضْطِرَابِهِ كَمَا فَعَلَ ذَلِكَ أَبُو بَكْرٍ الْإِسْمَاعِيلِيُّ وَابْنُ الْجَوْزِيِّ وَغَيْرُهُمْ. لَكِنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ السُّنَّةِ قَبِلُوهُ.
Artinya:
“Sekelompok ulama hadis menolak hadis-hadis ini karena perihal idhtirabnya, seperti yang dilakukan oleh imam Abu Bakar al-Isma’ili –rahimahullah-, imam Ibnu al-Jauzi –rahimahullah- dan selain mereka. Akan tetapi kebanyakan Ahlissunnah menerima hadis ini.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abdul Aziz al-Jundi dan Asyraf Jalaluddin asy-Syarqawi, Jilid 8, hal. 482, Daar al-Hadis-Kairo, t.cet, 1435 H.)
Ringkasnya, bahwa para ulama yang meyakini Allah –Azza wajalla- duduk karena menganggap hadisnya sahih. Di antara ulama yang menukil hadis-hadis seputar duduknya Allah –Azza wajalla- di atas Kursi dan membenarkannya adalah Abdullah bin Ahmad –rahimahullah- dalam Kitab as-Sunnah, imam Ahmad –rahimahullah- sebagaimana penuturan Abdullah dalam Kitab as-Sunnah, Imam ad-Daruquthni –rahimahullah- dalam as-Sifat, Imam Ibnu Bathtah al-Ukburi –rahimahullah- dalam Kitab al-Ibanah al-Kubra, Imam Abu Ya’la –rahimahullah – dalam Kitab Ibthal at-Ta’wilat, Imam adz-Dzahabi –rahimahullah- dalam Kitab al-Uluw, dan ulama-ulama ahlussunnah lainnya.
Sayangnya, kelompok Asya’irah menuduh bahwa keyakinan Allah –Azza wajalla- duduk di atas kursi semata-mata hanya merupakan akidah Wahhabi. Kenyatannya, keyakinan ini merupakan akidah para salaf yang tidak diingkari, sebagaimana nukilan Imam adz-Dzahabi –rahimahullah- di atas. Akan tetapi, meyakini duduknya Allah di atas kursi tidak dengan menyamakannya duduknya makhluk. Hal itu sesuai dengan keagungan Allah –Azza wajalla-.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
وَإِذَا كَانَ قُعُودُ الْمَيِّتِ فِي قَبْرِهِ لَيْسَ هُوَ مِثْلَ قُعُودِ الْبَدَنِ فَمَا جَاءَتْ بِهِ الْآثَارُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ لَفْظِ ” الْقُعُودِ وَالْجُلُوسِ ” فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى كَحَدِيثِ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَحَدِيثِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَغَيْرِهِمَا أَوْلَى أَنْ لَا يُمَاثِلَ صِفَاتِ أَجْسَامِ الْعِبَادِ
Artinya:
Apabila duduknya mayit di kuburnya tidak seperti duduknya badan, maka yang terdapat dalam atsar-atsar, dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang lafaz Qu’ud (duduk) dan Juluus (duduk) dari hak Allah, seperti hadis dari Ja’far bin Abi Thalib -radhiyallahu ‘anhu-, hadis dari Umar bin al-Khattab -radhiyallahu ‘anhu- dan hadis lainnya selain dari mereka berdua, lebih layak untuk tidak dipahami pada sifat jismnya hamba.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ah al-Fatawa, Jilid 3, hal 318, tahqiq Farid Abdul Aziz al-Jundi dan Asyraf Jalal asy-Syarqawi, Penerbit Daar al-Hadis-Kairo, t. Cet, thn 1435 H).
Hal yang sangat keji juga dilakukan sebagian oknum pengikut Asya’irah. Dia menyerang Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah- dengan sya’ir Imam ad-Daruquthni yang dinukil oleh beliau. Syair itu berbunyi:
ولا تنكروا أنه قاعده ولا تنكروا أنه يقعده
Artinya:
“Janganlah kalian ingkari bahwa Allah duduk di atas Arsy, janganlah kalian ingkari bahwa Allah nanti akan mendudukkannya bersama-Nya.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Bada’i al-Fawaid, tahqiq Sayyid Imran dan Amir Shalah, jilid 2, hal. 814, Daar al-Hadis-Kairo, t. cet. 1427 H.)
Dia mengatakan bahwa sya’ir ini merupakan perkataan Imam Ibnu Qayyim –rahimahullah- dan menyembunyikan kenyataan sebenarnya bahwa sya’ir tersebut merupakan sya’ir Imam ad-Daruquthni –rahimahullah-. Hal itu dia lakukan untuk membuat kesan pada orang-orang yang ia bohongi bahwa Imam Ibnu Qayyim menyelisihi ulama dan hanya Imam Ibnu Qayyim –rahimahullah- serta gurunya yaitu Imam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- yang menjadi panutan kelompok Wahhabi, yang meyakini Allah –Azza wajalla- duduk. Padahal, kenyataannya tidak demikian.
Jika ditanyakan, apakah kami meyakini bahwa Allah –Azza wajalla- duduk? Jawabannya, jika hadisnya sahih, maka tidak ada alasan bagi kami untuk menolaknya. Namun, jika hadisnya tidak sahih, maka tidak ada hajat untuk mempertahankannya.
Pada intinya, para ulama yang meyakini Allah –Azza wajalla- duduk karena menganggap hadis-hadis seputar hal itu sahih berdasarkan hasil penelitian mereka dan para ulama tidak mengingkari hal itu. Semoga Allah –Azza wajalla- menunjukkan kita semua jalan yang benar. Aamin.
Wallahu A’lam.