Apakah Betul Imam Safarini Melabrak Ijmak Ulama Salaf?
Allah –Azza wajalla- berada di atas langit, demikianlah akidah Ahlussunnah waljama’ah. Tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka bahwa Allah -Azza wajalla- berada di atas langit-langit-Nya, di atas Arsy-Nya.
Tidak ada satupun dari kalangan salaf umat ini yang mengingkari bahwa Allah di atas Arsy-Nya. Yang mengingkarinya hanyalah kelompok Jahmiyah dan kelompok-kelompok ahli kalam yang mewarisi pemikiran kalam mereka.
Sebagaiamana dinukil oleh Imam al-Bukhari (w. 256 H.) –rahimahullah-, Hammad bin Zaid –rahimahullah- yang merupakan seorang tabi’ at-tabi’in, berkata:
مَا يُجَادِلُونَ إِلَّا أَنَّهُ لَيْسَ فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ
“Tidaklah mereka berdebat kecuali untuk menetapkan keyakinan bahwa di atas langit tidak ada Tuhan.” (Al-Bukhari, Khalqu Af’al al-Ibad, Tahqiq Fahd bin Sulaiman al-Fahid, hal. 540, Maktabah al-Malik Fahd Atsnaa an-Nasyr-Riyadh, cet.4, 1440 H)
Tapi, pemahaman yang benar ini, yaitu bahwa Allah berada di atas langit, di atas Arsy-Nya, ingin disesatkan oleh kelompok Jahmiyah dan yang mengikuti mereka. Mereka menganggap bahwa meyakini Allah –Azza wajalla- di atas langit, bersemayam di atas Arsy-Nya merupakan akidah tasybih mujassimah. Mereka menganggap bahwa hal itu bentuk menyerupakan Allah –Azza wajalla- dengan makhluk.
Salah satu hujjah yang mereka bawakan adalah perkataan Imam as-Safarini (w. 1188) –rahimahullah-, seorang tokoh dan ulama dalam mazhab Hanabilah, yang beliau sebutkan dalam kitab Lawami’ al-Anwar al-Bahiyahnya. Beliau berkata:
(وَمِنْهُمْ) مُشَبِّهَةُ الْكَرَّامِيَّةِ أَصْحَابُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدِ بْنِ كَرَّامٍ، قَالُوا: إِنَّ اللَّهَ عَلَى الْعَرْشِ مِنْ جِهَةِ الْعُلُوِّ، وَتَجُوزُ عَلَيْهِ الْحَرَكَةُ وَالنُّزُولُ
“Di antara mereka adalah kelompok Musyabbihah Karramiyah, pengikut Abu Abdillah Muhammad bin Karram. Mereka berkeyakinan bahwa sesungguhnya Allah di atas Arsy pada arah yang tinggi, ia bisa bergerak dan turun,” (Abu al-Aun as-Safarini, Lawami’ al-Anwar al-Bahiyah, Tahqiq Khalid bin Muhammad bin Zhahir al-Qahthani dan Ismail bin Ghishab al-Adawi, jilid 1, hal. 358, Daar at-Tauhid li an-Nasyr-Riyadh, Cet. 1, 1437 H)
Mereka ingin membenturkan perkataan Imam as-Safarini –rahimahullah- dengan ijma’ ulama salaf. Parahnya, sebenarnya perkataan beliau yang dinukil tersebut tidak dalam konteks sedang menyalahkan keyakinan orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah –Azza wajalla- dengan Dzat-Nya di atas arsy dan juga tidak menyalahkan keyakinan jihah uluw (arah atas) bagi Allah, sesuai dengan keagungan Allah.
Mengapa kita katakan demikian, karena yang menukil perkataan tersebut memotong perkataan Imam as-Safarini -rahimahullah, serta tidak sabar membaca kitab Lawami’ karangannya yang memang sangat tebal. Sekiranya ia mau bersabar membaca beberapa ratus halaman dari kitab tersebut, niscaya ia akan menemukan penjelasan Imam as-Safarini -rahimahullah tentang jihah (arah) bagi Allah –Azza wajalla-.
Dalam perkara yang beliau tanbih tentang jihah, untuk memperjelas keyakinan beliau, Imam as-Safarini -rahimahullah menukil perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-, yang termuat dalam kitab at-Tadmuriyah. Beliau berkata:
كمَا تَنَازَعَ النَّاسُ فِي الْجِهَةِ، فَلَفْظُ الْجِهَةِ قَدْ يُرَادُ بِهِ شَيْءٌ مَوْجُودٌ غَيْرُ اللَّهِ، فَيَكُونُ مَخْلُوقًا كَمَا إِذَا أُرِيدَ بِالْجِهَةِ نَفْسُ الْعَرْشِ، أَوْ نَفْسُ السَّمَاوَاتِ، وَقَدْ يُرَادُ بِهِ مَا لَيْسَ بِمَوْجُودٍ غَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى كَمَا إِذَا أُرِيدَ بِالْجِهَةِ مَا فَوْقَ الْعَالَمِ
“Sebagaimana manusia bereselisih tentang perkara jihah (arah), maka perlu diketahui bahwa lafaz jihah itu kadang dimaksudkan sebagai sesuatu yang ada selain Allah, ia adalah makhluk. Sebagaimana dimaksudkan bahwa jihah itu adalah arsy itu sendiri atau langit-langit itu sendiri. Kadang, lafaz jihah itu juga dimaksudkan sebagai sesuatu yang tidak ada selain Allah, sebagaimana jika dimaksudkan bahwa jihah itu adalah apa yang ada di atas alam.”
Kemudian Imam as-Safarini -rahimahullah berkata:
فَيُقَالُ لِمَنْ نَفَى أَتُرِيدُ بِالْجِهَةِ أَنَّهَا شَيْءٌ مَوْجُودٌ مَخْلُوقٌ فَاللَّهُ لَيْسَ دَاخِلًا فِي الْمَخْلُوقَاتِ، أَمْ تُرِيدُ بِالْجِهَةِ مَا وَرَاءَ الْعَالَمِ، فَلَا رَيْبَ أَنَّ اللَّهَ فَوْقَ الْعَالَمِ بَائِنٌ مِنَ الْمَخْلُوقَاتِ. وَكَذَلِكَ يُقَالُ لِمَنْ قَالَ اللَّهُ فِي جِهَةٍ أَتُرِيدُ بِذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ فَوْقَ الْعَالَمِ، أَوْ تُرِيدُ بِهِ أَنَّ اللَّهَ دَاخِلٌ فِي شَيْءٍ مِنَ الْمَخْلُوقَاتِ، فَإِنْ أَرَدْتَ الْأَوَّلَ فَهُوَ حَقٌّ، وَإِنْ أَرَدْتَ الثَّانِيَ فَهُوَ بَاطِلٌ
“Maka dikatakan kepada orang yang menafikan jihah (arah), apakah yang engkau maksudkan dengan jihah itu adalah sesuatu yang ada berupa makhluk? Maka kami katakan bahwa Allah –Azza wajalla- tidak berada dalam makhluk-makhluk-Nya. Ataukah engkau maksudkan dari kata jihah itu adalah apa yang ada di luar alam semesta? Tidak ada keraguan bahwa Allah berada di atas alam, terpisah dari makhluk-makhluk-Nya. Demikian pula dikatakan kepada orang yang mengatakan bahwa Allah berada pada arah, apakah yang engkau maksudkan bahwa Allah berada di atas alam atau engkau maksudkan bahwa Allah berada di dalam makhluk-Nya? Jika engkau mengatakan yang pertama (di atas alam) maka itu benar namun jika engkau maksudkan yang kedua (Allah berada dalam makhluk-Nya) maka itu adalah keyakinan yang salah (bathil).” ,” (Abu al-Aun as-Safarini, Lawami’ al-Anwar al-Bahiyah, Tahqiq Khalid bin Muhammad bin Zhahir al-Qahthani dan Ismail bin Ghishab al-Adawi, jilid 1, hal. 611-612, Daar at-Tauhid li an-Nasyr-Riyadh, Cet. 1, 1437 H)
Di halaman yang lain, imam as-Safarini –rahimahullah- berkata:
فَاعْلَمْ أَنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ يَظُنُّونَ أَنَّ الْقَائِلَ بِالْجِهَةِ أَوِ الِاسْتِوَاءِ هُوَ مِنَ الْمُجَسِّمَةِ، لِأَنَّهُمْ يَتَوَهَّمُونَ أَنَّ مَنْ لَازَمَ ذَلِكَ التَّجْسِيمَ، وَهَذَا وَهْمٌ فَاسِدٌ، وَظَنٌّ كَاذِبٌ، وَحَدْسٌ حَائِدٌ
“Ketahuilah, sesungguhnya banyak diantara manusia yang mengira bahwa orang yang berkata dengan jihah dan istiwa (bersemayam) merupakan seorang mujassim. Hal ini karena mereka membayangkan/mengkhayalkan bahwa hal itu berkonsekuensi pada tajsim. Ini adalah khayalan yang rusak, persangkaan yang dusta dan intuisi yang menyimpang.” (Abu al-Aun as-Safarini, Lawami’ al-Anwar al-Bahiyah, Tahqiq Khalid bin Muhammad bin Zhahir al-Qahthani dan Ismail bin Ghishab al-Adawi, jilid 1, hal. 593, Daar at-Tauhid li an-Nasyr-Riyadh, Cet. 1, 1437 H)
Jadi, nukilan seorang yang terpapar paham Jahmiyah tersebut, telah berdusta terhadap Imam as-Safarini –rahimahullah-. Orang tersebut memotong perkataan Imam as-Safarini –rahimahullah- yang menyebutkan kelompok Karramiyah itu menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Benar, karena beliau sedang menyebut kelompok ahli bid’ah yang ke enam dalam penggalan kalimat yang ia nukil itu, yaitu kelompok Musyabbihah, yang menyerupakan Allah dengan makhluk, namun mereka berbeda dalam cara menyerupakan Allah. Diantara yang beliau sebutkan, bahwa Abu Abdillah Muhammad bin Karram yang merupakan tokoh utama kelompok Karramiyah mengatakan bahwa Allah itu tinggal di atas Arsy dan Allah itu adalah Jauhar.
Intinya adalah pada kalimat Imam as-Safarini –rahimahullah- yang menyebut mereka telah menyamakan Allah dengan makhluk dan itu dihilangkan. Jika kalimat itu dihilangkan, maka seolah Imam Safarini –rahimahullah- memvonis semua orang yang meyakini Allah di atas Arsy dan bekata dengan lafaz jihah (arah) sebagai musyabbih, dan mujassim. Padahal tidak demikian, sebab beliau sangat merinci hal ini sebagaimana yang telah kami kemukakan di atas.
Tentang sifat Uluw Allah juga, Imam as-Safarini –rahimahullah- kembali menukil perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-:
أَمَّا عُلُوُّهُ تَعَالَى وَمُبَايَنَتُهُ لِلْمَخْلُوقَاتِ فَيَعْلَمُ بِالْعَقْلِ. وَأَمَّا الِاسْتِوَاءُ عَلَى الْعَرْشِ فَطَرِيقُ الْعِلْمِ بِهِ هُوَ السَّمْعُ، وَلَيْسَ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَصْفٌ لَهُ بِأَنَّهُ لَا دَاخِلَ الْعَالِمِ وَلَا خَارِجَهُ، وَلَا مُبَايِنُهُ وَلَا مُدَاخِلُهُ، فَيَظُنُّ الْمُتَوَهِّمُ أَنَّهُ إِذَا وُصِفَ بِالِاسْتِوَاءِ عَلَى الْعَرْشِ كَانَ اسْتِوَاؤُهُ كَاسْتِوَاءِ الْإِنْسَانِ عَلَى ظُهُورِ الْفُلْكِ وَالْأَنْعَامِ كَقَوْلِهِ: وَسَخَّرَ لَكُمْ مِنَ الْفُلْكِ وَالْأَنْعَامِ مَا تَرْكَبُونَ لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ فَيَتَخَيَّلُ أَنَّهُ إِذَا كَانَ مُسْتَوِيًا عَلَى الْعَرْشِ كَانَ مُحْتَاجًا إِلَيْهِ كَحَاجَةِ الْمُسْتَوِي عَلَى الْفُلْكِ وَالْأَنْعَامِ، فَتَعَالَى اللَّهُ وَتَقَدَّسَ، فَهَذَا خَطَأٌ فِي مَفْهُومِ اسْتِوَائِهِ تَعَالَى عَلَى الْعَرْشِ
“Adapun keuluwan (tinggi) Allah –Ta’ala- maka Allah terpisah dari makhluk-makhluk-Nya, hal itu diketahui dengan akal. Adapun istiwa (bersemayamnya) Allah di atas Arsy, cara mengetahuinya hanya berdasarkan wahyu. Tidak ada pada al-Qur’an ataupun sunah yang menyifatkan bahwa Allah tidak berada di dalam alam, tidak juga di luar alam, tidak terpisah dari makhluk-Nya dan tidak juga di dalamnya. Seorang yang mengkhayalkan istiwa (bersemayam) ini mengira bahwa jika Allah disifatkan dengan istiwa (bersemayam) di atas arsy seperti bersemayamnya manusia di atas kapal atau pundak hewan tunggangan. Seperti firman Allah –Ta’ala-:
….لِتَسْتَوُوا عَلَىٰ ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ
“Dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi, supaya kamu duduk di atas punggungnya” (QS. Az-Zukhruf: 13). Mereka berkhayal, jika Allah bersemayam di atas Arsy, berarti Allah butuh padanya sebagaiamana butuhnya seorang yang bersemayam di atas kapal dan hewan. Sungguh maha Tinggi Allah dan Maha suci dari hal itu. Cara ini adalah cara yang salah dalam memahami istiwa Allah di atas Arsy.” (Abu al-Aun as-Safarini, Lawami’ al-Anwar al-Bahiyah, Tahqiq Khalid bin Muhammad bin Zhahir al-Qahthani dan Ismail bin Ghishab al-Adawi, jilid 1, hal. 613, Daar at-Tauhid li an-Nasyr-Riyadh, Cet. 1, 1437 H)
Jadi, nukilan seorang seorang yang terjangkiti paham jahmiyah tersebut adalah kedustaan terhadap Imam as-Safarini -rahimahullah ta’ala- dan beliau tidak melabrak ijma’ salaf, justru kukuh sama dengan keyakinan ijma’ ulama salaf.
Wallahu A’lam.