Apakah Ikut Serta Memilih dalam Pemilu di Negeri Demokrasi adalah Kesesatan, Kesyirikan, dan Kekafiran?

Sebagian orang mengklaim dan berkata bahwa ikut memilih presiden dalam satu negeri dengan sistem demokrasi sama dengan melakukan perbuatan sesat bahkan kesyirikan dan kekafiran. Hal itu karena negara dengan sistem demokrasi menjadikan hukum buatan manusia sebagai perundang-undangannya, sedangkan berhukum dengan undang-undang buatan manusia adalah bentuk kesyrikan dan kekafiran.

Mereka juga berkata bahwa orang yang menjadi penguasa nantinyalah yang akan membuat hukum perundang-undangan, sementara yang berhak membuat hukum perundang-undangan itu hanyalah Allah –Azza wajalla-. Oleh karena itu, menurut mereka orang yang menjadi pemimpin telah melakukan kesyirikan karena melakukan perbuatan yang seharusnya hanya menjadi hak bagi Allah –Azza wajalla- dan tidak untuk selain-Nya.

Sebagian mereka tidak mau mengkafirkan pemimpin yang dalam suatu negeri dengan sistem demokrasi yang berlaku di dalamnya, selama ia mengaku muslim, yaitu dengan memberikannya udzur bil jahl tanpa batas pada penguasa. Ini dilakukan oleh orang-orang yang mewarisi paham murjiah. Tapi, walau demikian, mereka tetap menjadikan ikut pemilu sebagai satu standar kesesatan. Sehingga, jika ada diantara manusia atau kelompok yang melakukannya maka akan divonis sebagai seorang yang sesat atau kelompok sesat karena membolehkan pemilu. Hanya saja, vonis mereka itu tumpul pada penguasa namun begitu keras terhadap rakyat dan kaum muslimin.

Yang menjadi pertanyaan, benarkah pernyataan bahwa ikut memilih presiden dalam satu negara demokrasi sama dengan melakukan kesyirikan?

Untuk menjawabnya perlu perincian. Kita tidak bisa memberikan jawaban yang sama pada setiap keadaan yang berbeda. Sebab perbedaan keadaan menjadikan adanya perbedaan hukum.

Sebelumnya, yang perlu diketahui bahwa terjadi beberapa penafsiran tentang makna demokrasi. Perbedaan penafsiran makna itu dan paham manusia tentangnya juga akan menyebabkan perbedaan hukum terhadap orang-orang yang melakukannya. Ada yang memahami demokrasi sebagai kebebasan berpendapat, ada yang memahaminya sebagai kekuasaan suatu negara berada di tangan rakyat, dan beberapa penafsiran lainnya.

Jika kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi memiliki dua makna. Pertama, dia adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakilnya; pemerintahan rakyat. Kedua, Demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi seluruh warga negara. (Sumber: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/demokrasi)

Dari dua makna demokrasi tersebut dapat dipahami bahwa sistem ini bukan merupakan sistem Islam, walau tujuan daripadanya adalah keadilan bagi seluruh rakyat. Hal ini karena sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakilnya tidak dikenal dalam Islam. Apalagi, wakil dari rakyat itu yang nantinya akan turut membuat perundang-undangan. Jika wakilnya adalah orang-orang yang benci Islam maka aturan, hukum dan undang-undang yang dibuat akan berisi aturan yang memusuhi syariat Islam. Namun, jika yang menjadi wakil rakyat adalah orang-orang Islam yang saleh, maka undang-undang yang dibuat bisa menguatkan kaum muslimin dalam mengamalkan syariat dan ibadahnya.

Ringkasnya, sistem ini menjadikan kesepakatan para wakil rakyat sebagai aturan tertinggi dan tidak peduli dengan boleh atau tidaknya atauran itu dalam Islam. Sebab, memang sistem ini tidak menjadikan Islam dengan rujukan al-Qur’an dan sunah sebagai perundang-undangannya. Dalam Islam, hal ini merupakan bentuk kekufuran.

Namun, apakah jika seorang muslim menjadi wakil rakyat dalam sistem ini atau keikutsertaan kaum muslimin memilih wakil mereka atau memilih pemimpin mereka sama saja telah melakukan kesyirikan?

Jawabannya, jika seseorang ingin menjadi penguasa dalam sistem demokrasi ini atau keikutsertaan kaum muslimin dalam memilih pemimpin dan wakil mereka dengan tujuan menciptakan keadilan pada rakyat atau memperkecil ruang bagi kemugkaran dan memberi ruang yang lebih besar untuk aturan peribadatan kaum muslimin serta syariat Islam, maka hal itu dibolehkan dan sama sekali tidak dianggap telah melakukan kesyirikan atau perbuatan sesat.

Syekh Muhammad Bin Sholih al-Utsaimin –rahimahullah- ketika ditanyakan kepada beliau mengenai perkataan Nabi Yusuf –‘alaihissalaam- yang berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”, beliau kemudian menjawab:

إن يوسف عليه الصلاة والسلام رأى أن المال ضائع وأنه يفرط فيه ويلعب فيه فأراد أن ينقذ البلاد من هذا التلاعب ومثل هذا يكون الغرض منه إزالة سوء التدبير وسوء العمل ويكون هذا لا بأس به فمثلا إذا رأينا أميرا في ناحية لكنه قد أضاع الإمرة وأفسد الخلق فللصالح لهذا الأمر إذا لم يجد أحدا غيره أن يطلب من ولي الأمر أن يوليه على هذه الناحية فيقول له ولني هذه البلدة لأجل دفع الشر الذي فيها ويكون هذا لا بأس به

“Sesungguhnya Yusuf –‘alaihissalaam- melihat bahwa harta di negri itu terbuang sia-sia dan dipermainkan (oleh penguasanya-pent), maka beliau hendak menolong negara tersebut dari permainan terhadap harta tersebut. Yang seperti ini, tujuan dari meminta jabatan adalah menghilangkan buruknya pengaturan buruknya perbuatan. Olehnya, perbuatannya tidak mengapa dengan meminta jabatan itu (dibolehkan). Sebagai contoh, kita melihat ada seorang pemimpin akan tetapi ia menyia-nyiakan amanah kepemimpinannya dan melakukan kerusakan terhadap makhluk, maka hendaklah orang saleh jika tidak mendapati orang lain yang meminta jabatan kepada ulil amri, dari sisi ini ia (boleh) berkata, “Amanahkanlah kepadaku negara ini” untuk mencegah keburkan di dalamnya. Seseorang yang meminta jabatan dengan niat seperti ini tidaklah mengapa.” (Muhammad Bin Shalih al-Utsaimin, Syarh Riyadh ash-Shalihin, Jilid 2, hal. 416, Daar Ibni al-Jauzi-Kairo, cet. 1, 1427 H.)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

فَلَمَّا سَأَلَ الْوِلَايَةَ لِلْمَصْلَحَةِ الدِّينِيَّةِ لَمْ يَكُنْ هَذَا مُنَاقِضًا لِلتَّوَكُّلِ وَلَا هُوَ مِنْ سُؤَالِ الْإِمَارَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ

“Ketika Yusuf meminta kekuasaan untuk masalah agama, hal itu tidak membatalkan sifat tawakkal dan juga tidak termasuk dalam bentuk meminta kekuasaan yang terlarang.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abdul Aziz al-Jundi dan Asyraf Jalal asy-Syarqawi, Jilid 8, hal. 63, Dar al-Hadits- Kairo, t.cet., 1435 H.)

Apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf –‘alaiaihissalam- adalah meminta jabatan dalam satu kerajaan yang memiliki sistem tidak islami, dengan sistem perundang-undangan yang kufur, yaitu undang-undang selain hukum Allah. Tapi, niatnya adalah menghilangkan kemungkaran dan memberikan maslahat bagi rakyat. Para ulama berhujjah dengan kisah nabi Yusuf ini akan kebolehannya, bahkan menghukumi hal itu sebagai suatu kewajiban.

Imam al-Qurthubi –rahimahullah- berkata:

أن يوسف عليه السلام إنما طلب الولاية لأنه علم أنه لا أحد يقوم مقامه في العدل والإصلاح وتوصيل الفقراء إلى حقوقهم فرأى أن ذلك فرض متعين عليه فإنه لم يكن هناك غيره، وهكذا الحكم اليوم، لو علم إنسان من نفسه أنه يقوم بالحق في القضاء أو الحسبة ولم يكن هناك من يصلح ولا يقوم مقامه لتعين ذلك عليه، ووجب أن يتولاها ويسأل ذلك، ويخبر بصفاته التي يستحقها به من العلم والكفاية وغير ذلك، كما قال يوسف عليه السلام

“Sesungguhnya Yusuf -‘alaihissalam- meminta kekuasaan karena ia mengetahui bahwa tidak ada orang yang mampu berbuat adil, melakukan kebaikan dan menyampaikan hak-hak orang fakir kepada mereka selain dirinya. Karena itu, ia memandang telah wajib ain bagi dirinya untuk meminta hal itu, karena tidak ada orang selainnya. Maka seperti itu juga hukum pada hari ini. Jika seorang manusia mengetahui bahwa dirinya mampu berbuat kebaikan pada perkara al-Qadha atau hisbah, sementara tidak ada yang memperbaiki atau melakukan hal itu selainnya, maka hukumnya menjadi wajib ain atasnya. Wajib baginya untuk mengambil jabatan itu dan memintanya, menyebutkan sifat-sifatnya yang menunjukkan kepantasannya untuk menduduki jabatan itu, berupa ilmu, kemampuan dan selainnya, sebagaimana perkataan Nabi Yusuf ‘alaihis salam.” (Al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkm al-Qur’an, Tahqiq Dr. Hamid Ahmad ath-Thahir, Jilid 9, hal. 156, Daar al-Ghad al-Jadid-Kairo, cet. 1, 1431 H.)

Syekh Muhammad bin Abdil Aziz ath-Tharifi –hafizahullah- berkata:

وقد أخذ بعض العلماء جواز تولي المسلم الولاية تحت حكم كافر لإقامة العدل ودفع الظلم…. وقد تولى بعض الأئمة كصلاح الدين الأيوبي الوزارة في الدولة العبيدية وتولى جماعة القضاء فحكموا بالعدل في زمن الدولة البويهية والعبيدية ولم يحكم الأئمة بكفرهم لمجرد كونهم تحت ولاية مشركة

“Sebagian ulama berpendapat bolehnya seorang muslim memimpin suatu wilayah yang kafir untuk menegakkan keadilan dan melawan kezaliman… Beberapa ulama seperti Shalahuddin al-Ayyubi –rahimahullah- pernah menjadi menteri di pada Daulah al-Ubaidiyah dan sekelompok ulama menjabat sebagai hakim sehingga memutuskan secara adil di zaman Daulah al-Buwaihiyah dan al-Ubaidiyah, tidak ada satupun ulama yang memvonis kafir pada mereka hanya karena menjabat dalam kekuasaan musyrik.” (Ath-Tharifi, at-Tafsir wa al-Bayan Li Ahkam al-Qur’an, jilid 3, hal. 1640, Maktabah Daar al-Minhaj-Riyadh, cet. 2, 1439 H.)

Di negeri ini, untuk menjabat atau menjadi seorang penguasa, perwakilan rakyat maupun pemimpin harus melalui kegiatan yang disebut pemilu. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum mengikuti pemilu dengan tujuan menjadikan seorang yang mampu berbuat adil dan melawan kezaliman hukumnya adalah wajib.

Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –rahimahullah- berkata:

أنا أرى أن الانتخابات واجبة ، يجب أن نعين من نرى أن فيه خيراً ، لأنه إذا تقاعس أهل الخير ، مَنْ يحل محلهم ؟ سيحل محلهم أهل الشر ، أو الناس السلبيون الذين ما عندهم خير ولا شر ، أتباع كل ناعق ، فلابد أن نختار من نراه صالحاً .

“Aku berpendapat bahwa hukum mengikuti pemilu adalah wajib. Wajib bagi kita untuk menentukan pilihan siapa yang kita lihat padanya kebaikan. Sebab, jika orang-orang yang baik kalah, maka siapa yang akan menggantikan posisi mereka? Yang akan menggantikan mereka adalah orang-orang buruk atau orang-orang pasif yang tidak punya kebaikan dan keburukan, pengikut orang-orang yang bersuara. Maka kita harus memilih siapa yang kita lihat sebagai orang shalih”. (Liqa Bab Maftuh: 211 atau silahkan kunjungi website resmi beliau: https://binothaimeen.net/content/6100)

Beda halnya dengan orang-orang yang berkeyakinan bahwa sistem demokrasi lebih baik daripada sistem Islam, maka hukum berkeyakinan dengannya dan mengikuti segala kegiatan yang berkaitan dengannya berdasar pada keyakinan itu maka hukumnya kufur.

Oleh karena itu, menjadikan kategori ikut serta dalam pemilu sebagai satu standar kesesatan seseorang atau suatu organisasi Islam, sementara tujuan yang mereka lakukan akan hal itu adalah untuk melahirkan pemimpin yang mampu menegakkan keadilan dan melawan kezaliman, adalah bentuk kebodohan dan kesesatan yang nyata.

Wallahu A’lam Bishshawab.

Tinggalkan Komentar

By admin