Salah satu kekeliruan yang dilakukan sebagian orang untuk mendukung pemikirannya dalam mentakwil sifat-sifat Allah adalah menukil perkataan sebagian Ulama Sunnah yang dzahirnya nampak menta’wil sifat Allah ‘azza wa jalla, namun pada hakikatnya tidak demikian.

Di antaranya, perkataan yang dinisbatkan kepada Imam Ahlus Sunnah, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Mereka membawakan riwayat yang terdapat di dalamnya “ta’wil” Imam Ahmad seputar Datangnya Allah. Berikut kami sebutkan riwayatnya:

Imam Ibnu Katsir  rahimahullah mengatakan :

وكلامه في نفي التَّشبيه وتَرْك الخوضِ في الكلام والتّمسّك بما ورد في الكتاب والسنَّة عن النَّبي صلى الله عليه وسلَّم وعن أصحاب

روى البيهقي عن الحاكم عن أبي عمرو ابن السمّاك عن حنبل أنَّ أحمد بن حنبل تأوّلَ قوله تعالى :

”وَجَاءَ رَبّكَ”  أنَّه جاء ثوابه ، ثمَّ قال البيهقي : وهذا إسناد لا غبار عليه.

“Ucapan beliau (Imam Ahmad) tersebut adalah tentang menafikan tasybih dan menjauhi pembahasan mendalam (tentang ayat mutasyabihat), serta berpegang teguh terhadap Alqur’an serta Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para Sahabatnya.

Al-Baihaqi meriwayatkan dari Al-Hakim dari Abu Amr Ibnu As-Sammak dari Hanbal bahwasanya Imam Ahmad bin Hanbal Menta’wil Firman Allah Ta’ala: “Dan Telah Datang Rabb-mu”, dengan artian “Telah Datang Pahala Rabb-mu.” Kemudian Al-Baihaqi mengatakan: Sanad ini tidak ada debu sama sekali (jelas datang dari Imam Ahmad Bin Hanbal)”. [Al-Bidayah Wa An-Nihayah : Juz 10, Halaman 354]

Seperti inilah contoh riwayat yang mereka nukilkan guna membangun opini bahwa Imam Ahmad juga menta’wil sifat Allah. Pertanyaannya, apakah riwayat ini benar ? Apakah Imam Ahmad menta’wil sifat Allah? Berikut uraiannya:

1). Jika ingin mengetahui Manhaj Imam Ahmad rahimahullah terkait sifat Allah ta’alasecara umum, kita perlu melihat perkataan dan pendapat beliau yang lain. Sudah masyhur sikap dalam menyikapi ayat-ayat sifat adalah memperlakukannya sebagaimana dzahirnya, tanpa melakukan ta’wil. Sangat banyak perkataan beliau berkenaan hal ini. Kami akan sebutkan beberapa contoh untuk membuktikan bahwa Manhajnya Imam Ahmad bukan menta’wil, di antaranya :

وَأَخْبَرَنِي أَبُو صَالِحٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ عِيسَى بْنِ الْوَلِيدِ ، قَالَ: ثنا أَبُو عَلِيٍّ حَنْبَلُ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: قُلْتُ لأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ” يَنْزِلُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا؟ قَالَ: نَعَمْ، قُلْتُ: نُزُولُهُ بِعِلْمِهِ أَمْ بِمَاذَا ؟ قَالَ: فَقَالَ لِي: اسْكُتْ عَنْ هَذَا، وَغَضِبَ غَضَبًا شَدِيدًا، وَقَالَ: مَا لَكَ وَلِهَذَا؟ أَمْضِ الْحَدِيثَ كَمَا رُوِيَ بِلا كَيْفٍ 

“Telah menceritakan kepadaku Abul-Hasan ‘Ali bin ‘Isa bin Al-Walid, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ali Hanbal bin Ishaq, ia berkata: Aku bertanya kepada Abu Abdillah: “Allah ta’ala turun ke langit dunia?”. Beliau menjawab: “Benar”. Aku berkata: “Turun-Nya itu dengan ilmu-Nya atau dengan apa?”. Ia berkata kepadaku: “Diamlah engkau dari hal ini”. Beliau sangat marah (akibat pertanyaanku), seraya berkata: “Apa urusanmu tentang hal itu? Tetapkanlah hadits itu sebagaimana diriwayatkan tanpa menanyakan bagaimana”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah. Juga Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 777 dan Abu Ya’laa dalam Ibthaalut-Ta’wiilaat 2/260 no. 260].

Jelas di sini bagaimana Manhaj Imam Ahmad. Beliau menetapkan sifat Allah seperti apa yang bersumber dari-Nya atau dari Nabi-Nya tanpa menta’wil maknanya. Bahkan beliau marah ketika mendapatkan hadits tersebut di atas ditakwil di hadapannya.

Contoh lain :

حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ الْعَزِيزِ، ثنا الصَّيْدَلانِيُّ، ثنا الْمَرُّوذِيُّ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَحَادِيثِ الصِّفَاتِ، قَالَ ” نُمِرُّهَا كَمَا جَاءَتْ “

“Telah menceritakan kepadaku Abu Bakr bin ‘Abdil-‘Aziz: Telah menceritakan kepada kami Ash-Shaidalaaniy: Telah menceritakan kepada kami Al-Marruudziy, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah tentang hadits-hadits sifat ?”. Beliau menjawab : “Kami memperlakukannya sebagaimana datangnya”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah; sanadnya Shahih].

Maknanya, mengimaninya sebagaimana dzahir yang ada dalam riwayat tanpa menta’wilkan dan tanpa menanyakan bagaimana (takyiif). Ini adalah madzhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah secara umum, masyhur dan mutawatir dari beliau.

Contoh lain, tentang sifat Kalaam :

ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبِي عَنْ قَوْمٍ يَقُولُونَ: لَمَّا كَلَّمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مُوسَى لَمْ يَتَكَلَّمْ بِصَوْتٍ، قَالَ أَبِي: تَكَلَّمَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِصَوْتٍ وَتَعَالَى بِصَوْتٍ، وَهَذِهِ أَحَادِيثُ نَرْوِيهَا كَمَا جَاءَتْ.

“Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad, ia berkata: Aku bertanya kepada ayahku tentang satu kaum yang berkata: ‘Ketika Allah ta’ala berbicara kepada Musa, Dia tidak berbicara dengan suara. Ayahku berkata: “Allah tabaaraka wa ta’ala berbicara dengan suara. Maha Tinggi Allah dengan suara. Hadits-hadits ini kami riwayatkan sebagaimana datangnya (tanpa ta’wil)”. [Diriwayatkan oleh An-Najjaad dalam Ar-Radd ‘alaa Man Yaquulu Annal-Qur’aan Makhluuq no. 3; Shahih].

Sekali lagi, perhatikanlah ucapan beliau “hadits-hadits ini kami riwayatkan sebagaimana datangnya ( tanpa ta’wil ).”

Contoh lain, tentang sifat Kaki misalnya,

وَحَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَلْمَانَ، قَالَ: وَقَالَ الْمَرُّوذِيُّ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ: يَضَعُ قَدَمَهُ؟ فَقَالَ: نُمِرُّهَا كَمَا جَاءَتْ

            “Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Salmaan, ia berkata: Telah berkata Al-Marruudziy: Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah: “Allah meletakkan kaki-Nya?”. Beliau menjawab: “Kami memperlakukannya sebagaimana datangnya (tanpa ta’wil)”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah].

Riwayat-riwayat semisal ini sangat banyak, semuanya menunjukkan akan Madzhab Imam Ahmad yang sebenarnya dalam perkara keimanan beliau terhadap sifat-sifat Allah Ta’ala.

Maka itu, jika ada riwayat yang disebutkan bertentangan dengan riwayat-riwayat yang Shahih ini, bisa dipastikan bahwa riwayat yang bertentangan tersebut adalah riwayat syaadzah karena bertentangan dengan banyak riwayat yang lebih Shahih dari Imam Ahmad rahimahullah.

Nah, adapun riwayat yang disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah  di atas, jawabannya adalah:

Riwayat ta’wil itu adalah riwayat yang dibawakan oleh Hanbal bin Ishaaq rahimahullah yang ia ber-tafarrud (bersendirian) din dalamnya. Riwayatnya menyelisihi riwayat-riwayat yang masyhur dari Imam Ahmad yang menafikan ta’wil. Hanbal bin Ishaaq, meskipun ia seorang yang tsiqah, namun beliau banyak meriwayatkan riwayat-riwayat ghariib dari Imam Ahmad.

Al-Hafizh Adz-Dzahabiy berkata: “Beliau (Hanbal) mempunyai riwayat Masail yang banyak dari Ahmad, yang ia bertafarrud lagi ghariib”. [Lihat: Adz-Dzahabi, As-Siyar, 3/52].

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menukil adanya perselisihan pendapat dalam menyikapi tafarrud Hanbal bin Ishaaq (saat membahas permasalahan pakaian dalam shalat):

وهذه رواية مشكلة جدا، ولم يروها عن أحمد غير حنبل ، وهو ثقة إلا أنه يهم أحيانا ، وقد اختلف متقدمو الأصحاب فيما تفرد به حنبل عن أحمد : هل تثبت به رواية أم لا

“Riwayat ini sangat musykil (bermasalah). Tidak ada yang meriwayatkan dari Ahmad selain Hanbal. Beliau seorang yang tsiqah. Hanya saja ia kadang mengalami wahm. Para ulama madzhab Hanaabilah terdahulu berbeda pendapat tentang riwayat yang Hanbal bertafarrud (bersendirian) dari Ahmad: Apakah riwayat tersebut kuat ataukah tidak”. [Ibnu Rajab, Fathul-Baariy, 3/267].

Abu Ya’laa rahimahullah berkata :

وقد قال أحمد في رواية حنبل في قوله ( وجاء ربك ) قال : قدرته ” ، قال أبو إسحاق بن شاقلا : هذا غلط من حنبل لا شك فيه ، وأراد أبو إسحاق بذلك أن مذهبه حمل الآية على ظاهرها في مجيء الذات ، هذا ظاهر كلامه ، والله أعلم

“Ahmad telah berkata dalam riwayat Hanbal tentang firman-Nya: “Dan telah datang tuhan-Mu”, (QS. Al-Fajr : 22), yaitu ia menafsirkan dengan berkata: “Kekuasaan-Nya”. Abu Ishaaq bin Syaaqilaa berkata: ”Tidak diragukan, ini adalah kekeliruan dari Hanbal. Dan yang dimaksudkan oleh Abu Ishaaq dengan hal itu bahwa madzhab Imam Ahmad adalah membawa ayat-ayat (sifat) sesuai dengan dzahirnya dalam sifat Majii’ Adz-Dzaat. Ini adalah dzahir perkataannya. Wallaahu a’lam“. [Ibthaalut-Ta’wiilaat, 1/132].

وقد قَالَ أَحْمَد فِي رواية أَبِي طالب: (هَلْ يَنْظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلائِكَةُ) (وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا) فمن قَالَ أن الله لا يرى فقد كفر، وظاهر هَذَا أن أَحْمَد أثبت مجيء ذاته، لأنه احتج بذلك عَلَى جواز رؤيته، وإنما يحتج بذلك عَلَى جواز رؤيته إذا كان الإتيان والمجيء مضافا إلى الذات.

Telah berkata Ahmad dalam riwayat Abu Thaalib tentang firman-Nya ta’ala“Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan”. (QS. Al-Baqarah : 210). “Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris”. (QS. Al-Fajr); beliau berkata: “Barangsiapa yang mengatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat (kelak di hari kiamat), sungguh ia telah kafir”. Yang nampak dari perkataan ini, Imam Ahmad menetapkan sifat majii’ (kedatangan) bagi Dzat-Nya, karena ia menetapkan dengan hal itu untuk membolehkan adanya ru’yah-Nya. Dan ia hanya berhujjah dengan hal itu untuk membolehkan ru’yah-Nya (melihat Allah kelak di akhirat) apabila sifat ityaan dan majii’ disandarkan pada Dzat-Nya”!.

Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وقال قوم غلط حنبل في نقل هذه الرواية

“Dan sekelompok ulama berkata: Hanbal telah keliru dalam menukil riwayat ini”. [Al-Istiqaamah, 1/75].

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah juga berkata :

وخرجوا عن أحمد من رواية حنبل عنه في قوله تعالى : { وجاء ربك } أن المراد : وجاء أمر ربك . وقال ابن حامد : رأيت بعض أصحابنا حكى عن أبي عبد الله الإتيان ، أنه قال : تأتي قدرته ، قال : وهذا على حدَّ التوهم من قائله ، وخطأ في إضافته إليه

“Mereka mengeluarkan riwayat dari Ahmad, yang berasal dari periwayatan Hanbal (bin Ishaaq) tentang firman-Nya ta’ala: “Dan telah datang tuhan-Mu”. (QS. Al-Fajr : 22), bahwasannya yang dimaksud adalah: “Dan telah datang ketetapan dari Rabbmu”. Telah berkata Ibnu Haamid: “Aku melihat sebagian sahabat kami (yaitu ulama Hanabilah) menghikayatkan dari Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang sifat al-ityaan (kedatangan), ia berkata: “datang kekuasaan-Nya”. Ibnu Haamid berkata: “Ini adalah wahm dari orang yang mengatakannya (yaitu perawinya) dan kekeliruan dalam penyandaran terhadap Ahmad bin Hanbal”. [Ibnu Rajab, Fathul-Baariy, 9/279].

Kesimpulannya, dengan bukti adanya ta’arudh dan pengingkaran sebagian ulama muhaqqiqiin terhadap riwayat ghariib Hanbal di atas, maka bukan tidak mungkin Hanbal telah keliru dalam membawakan riwayat tersebut, sehingga riwayat ini Munkar. Jadi jelas, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah tidak menta’wil sifat Allah Ta’ala. Wallahu A’lam.

(Tim Kajian Ilmiah Alinshof)

Tinggalkan Komentar

By admin