Apakah Imam Bukhari dan Imam Thabari Menakwil Sifat Allah Swt Seperti Asya’irah?

Salah satu tuduhan yang dilemparkan kepada Imam al-Bukhari –rahimahullah- dan imam Thabari –rahimahullah-adalah keduanya melakukan takwil pada ayat-ayat sifat Allah –Azza wajalla-, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Asya’irah. Keduanya dianggap melakukan takwil sebagaimana yang mereka lakukan karena didapati dalam kitab mereka berdua adanya indikasi takwil terhadap sifat-sifat Allah –Ta’ala-, yang oleh kelompok Asya’rah dianggap sebagai takwil sesuai yang mereka pahami.

Melihat kedudukan dua orang imam ini, wajar jika mereka diklaim  sebagai bagian dari kelompok mereka. Imam al-Bukhari –rahimahullah- sebagai imamnya para ahli hadits dan imam ath-Thabari sebagai imamnya para ahli tafsir. Jika dua nama ini masuk dalam kelompok mereka, maka mereka merasa telah berjalan di atas jalan yang benar.

Kata mereka, bukti takwil yang imam al-Bukhari –rahimahullah- lakukan sebagaimana yang dilakukan kelompok Asya’irah adalah pada Kitab Tafsir dalam Shahih Bukharinya, letaknya pada tafsir surah al-Qashash, saat beliau menafsirkan firman Allah –Azza wajalla-:

كُلُّ شَيۡءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجۡهَهُۥۚ

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali WajahNya.” (QS. Al-Qashash: 88)

Lalu imam al-Bukhari –rahimahullah- berkata:

إلا ملكه ويقال إلا ما أريد به وجه الله

“Maksudnya adalah kecuali kerajaanNya (yang tidak akan binasa) atau kecuali apa yang diinginkan dengannya wajah Allah.” (Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid 6, hal. 112, Maktabah Syamilah).

Kata mereka, ini adalah dalil yang begitu terang benderang bahwa imam al-Bukhari –rahimahullah- melakukan takwil dan tidak dipahami sebagaimana kelompok Wahhabi memahaminya.

Kemudian, kata mereka,  bukti takwil imam ath-Thabari –rahimahullah- jauh lebih banyak lagi. Sangat banyak dalam tafsirnya yang menakwilkan sifat-sifat Allah –Azza wajala-, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Asya’irah. Misalnya, pada firman Allah –Azza wajalla-:

يَوۡمَ يُكۡشَفُ عَن سَاقٖ وَيُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ فَلَا يَسۡتَطِيعُونَ 

“Pada hari betis disingkapkan.” (QS. Al-Qalam: 42)

Imam ath-Thabari –rahimahullah- kemudian berkata:

قال جماعة من الصحابة والتابعين من أهل التأويل: يبدو عن أمر شديد

“Sekelompok sahabat, tabi’in dan ahli tafsir mengatakan bahwa maksudnya adalah nampak perkara yang sulit.” (Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid, jilid 11, hal. 48, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)

Juga pada firman Allah –Azza wajalla-:

وَقَالَتِ ٱلۡيَهُودُ يَدُ ٱللَّهِ مَغۡلُولَةٌۚ

“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu.” (QS. Al-Maidah: 64)

Imam ath-Thabari –rahiamhullah-, berkata:

يعني بذلك: أنهم قالوا: إن الله يبخل علينا

“Yang dimaksud dari ayat itu adalah mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Allah itu bakhil terhadap kita.” (Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid, jilid 4, hal. 607, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)

Juga pada firman Allah –Azza wajalla-:

فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ

“Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 115)

Imam ath-Thobari –rahimahullah- berkata:

قال: هي القبلة، ثم نسختها القبلة إلى المسجد الحرام.

“Maknanya adalah kiblat, kemudian kiblat dinasakh menjadi ke arah Masjid al-Haram.” (Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid, jilid 1, hal. 731, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)

Kata mereka, semua ini adalah bukti takwil yang dilakukan oleh imam ath-Thabari –rahimahullah- sebagaimana yang dilakukan oleh para Asya’irah,

Tapi, benarkah apa yang telah dilakukan oleh imam al-Bukhari –rahimahullah- dan imam ath-Thabari –rahimahullah- menunjukkan bahwa mereka melakukan takwil sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Asya’irah? Jawabannya, tidak sama sekali. Kenyataannya berbanding terbalik dengan apa yang mereka sangkakan. Mereka berdua adalah imam Ahlissunnah yang melakukan itsbat sifat Allah –Azza wajalla- dan tidak mentahrif (merubah makna) sifat Allah sebagaimana yang mereka klaim.

Kenapa bisa? Karena yang mereka lakukan pada nukilan di atas adalah menafsirkan ayat, menjelaskan “dilalah ayat” (maksud yang ditunjukan oleh ayat) bukan “dilalah shifat” (makna yang ditunjukkan oleh sifat).

Imam al-Bukhari –rahimahullah- adalah seorang yang menentang takwil ala Asya’irah –rahimahullah-.

Dalam kitab Raf’u al-Yadain yang beliau tulis, beliau berkata:

فليحذر امرء أن يتأول أو يتقول على رسول الله صلى الله عليه وسلم ما لم يقل

“Hendaklah seseorang merasa takut melakukan takwil atau mengada-adakan perkataan atas Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-  sedang beliau tidak mengatakan hal itu.” (al-Bukhari, Raf’u al-Yadain Fi ash-Sholah, Hal. 95, Daar Ibnu Hazm-Beirut, cet. 1, 1416 H.)

Apa yang beliau nyatakan pada surah al-Qashash itu merupakan tafsir dari ayat “كل شيء هالك إلا وجهه” yang menurut imam al-Bukhari –rahimahullah- teks kalimat pada ayat itu menunjukkan bahwa yang tidak hancur adalah mulkNya (kerajanNya) sehingga beliau tafsirkan degan kerajaan atau  dengan makna yang lain, yaitu sesuatu yang dengannya mengharapkan wajah Allah.

Pada penafsiran tersebut imam al-Bukhari –rahimahullah- tidak menghilangkan kata wajah Allah –Azza wajalla-. makanya setelah kalimat illa mulkahu (kecuali kerajanNya) beliau lanjutkan dengan kalimat أو إلا ما أريد به وجه الله .  Ini menunjukkan bahwa beliau mengitsbat sifat wajah pada Allah –Azza wajalla- dan tidak menafikan adanya wajah bagi Allah. Adapun tafsir kalimat atau ayat secara utuh,  bisa bermakna kerajaan Allah yang tidak akan hancur atau apa yang diingkan dengannya wajah Allah.

Masalahnya, orang-orang Asya’irah tidak jujur ketika menukil perkataan imam al-Bukhari –rahimahullah- tersebut. Ketika berbicara degan orang-orang yang minim literatur,  mereka sering kali berhenti hanya pada kata illa mulkahu (kecuali pada kerajaanNya). Padahal, ada kelanjutan dari kata itu yaitu أو إلا ما أريد به وجه الله  yang bermakna kecuali yang dengannya mengharap wajah Allah.

Jadi, yang dikira sebagai takwil sifat Allah –Azza wajalla- oleh kelompok Asya’irah pada imam al-Bukhari –rahimahullah- bukanlah takwil yang mereka pahami, melainkan tafsir pada kalimat/ayat. Tafsir yang belliau lakukan pada susunan dari kata-kata/kalimat.

Yang beliau tafsirkan adalah ayat:

كل شئ هالك إلا وجهه

Bukan hanya pada kata

وجهه

Beliau ingin menjelaskan makna kalimat yang biasa digunakan oleh orang Arab pada kalimat itu. Makanya, dalam kitab Tauhid pada kitab Sahih Bukharinya, imam al-Bukhari –rahimahullah- membuat judul “Bab Qaulillahi -Azza Wajalla- kullu Syaiin Halikun Illa Wajhah” tanpa melakukan penafsiran sebagaimana pada kitab Tafsir. Yang beliau lakukan adalah menyebutkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan adanya wajah Allah –Azza wajalla- dan merupakan sifat dzat bagi Allah –Azza wajalla-. Apa yang beliau lakukan adalah untuk menetapkan adanya wajah Allah –Azza wajalla- secara hakikat dan bukanlah majaz.

Hal itu dipahami oleh para ulama, sebagaimana perkataan Imam Ibnu Baththal –rahimahullah- yang dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani –rahimahullah- dalam Fathul Barinya, beliau berkata:

قَالَ بن بَطَّالٍ فِي هَذِهِ الْآيَةِ وَالْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ لِلَّهِ وَجْهًا وَهُوَ مِنْ صِفَةِ ذَاتِهِ وَلَيْسَ بِجَارِحَةٍ وَلَا كَالْوُجُوهِ الَّتِي نُشَاهِدُهَا مِنَ الْمَخْلُوقِينَ

“Ibnu Baththal –rahimahullah- berkata, “Ayat dan hadits ini menunjukkan bahwa Allah –Azza wajalla- memiliki wajah yang merupakan bagian dari DzatNya, tapi bukan jarihah (anggota tubuh seperti manusia)  dan juga tidak seperti wajah-wajah yang kita saksikan dari makhluk-makhluk yang ada.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarh Sahih Bukhari, jilid 13, hal. 475, Daar as—Salam-Riyadh, cet. 1, 1421 H.)

Bab-bab yang disusun oleh imam Bukhari –rahimahullah- sebenarnya menjelaskan  pengitsbatan beliau pada sifat-sifat Allah –Azza wajalla- yang ditolak oleh kelompok Jahmiyah yang kemudian diadopsi pemikirannya oleh kelompok Asya’irah, serta orang-orang yang mewarisi ilmu kalam mereka. Imam adz-Dzahabi –rahimahullah- berkata:

وَبَوَّبَ على أكثر ما ينكر الجهمية وتناوله، من العلو، والكلام، واليدين، والعين، ونحو ذلك محتجاً بآيات الصفات وأحاديثها، فمن تبويبه: باب قوله {إِلَيْهِ يَصْعَدُ اَلكَلِمُ اَلطَّيِّب}. وباب قوله {لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ}.وباب قوله{وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي}. وباب كلام الرب مع الأنبياء وغيرهم. ونحو ذلك مما إذا تدبره اللبيب، علم بتبويبه رحمه الله وذكره لمثل تلك [الآيات] والأحاديث أن الجهمية تنكر ذلك وتحرفه

“Imam al-Bukhari –rahimahullah- telah membuat bab-bab mengenai sifat Allah –Azza wajalla- yang banyak diingkari oleh kaum Jahmiyah, berupa sifat uluw, kalam, memiliki dua tangan, memiliki mata dan selainnya, dengan berhujjah menggunakan ayat-ayat dan hadits-hadits sifat. Diantara bab yang beliau buat adalah bab Firman Allah “Ilaihi Yash’adu al-Kalimu ath-Thayyib” (Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik), juga bab firman Allah “Lima Khalaqtuka biyadayya” (Sebagaimana Aku menciptakanmu dengan dua Tanganku), juga bab firman Allah “Walitushna’a ‘alaa ‘aini” (dan supaya kamu diasuh di bawah mata-Ku), juga bab “Kalam ar-Rab Ma’a al-Anbiya wa Ghairihim” (Kalam Rab kepada para Nabi dan selain mereka) dan bab-bab seperti itu jika ditadabburi oleh seorang yang pandai maka ia akan mengetahui maksud dari pembuatan bab-bab dengan menyebut ayat-ayat dan hadits-hadits itu, yaitu untuk menjelaskan bahwa Jahmiyah telah mengingkari dan menyelewengkan maknanya.” (Adz-Dzahabi, al-Arsy, tahqiq Muhammad bin Khalifah at-Tamimi, jilid 2, hal. 257-258, Adhwa as-Salaf-Riyadh, cet.1, 1420 H.)

Benar apa yang diucapkan oleh imam adz-Dzahabi –rahimahullah-. Penyusunan bab yang dilakukan oleh imam al-Bukhari –rahimahullah- dan hadits atau ayat yang dinukilanya pada bab tersebut banyak yang berkaitan dengan sikap penolakannya terhadap kelompok Jahmiyah dan orang-orang yang mengikuti mereka seperti Asya’irah, yang merubah makna-makna sifat-sifat Allah dan mengingkari adanya sifat tersebut. 

Ketika mereka mengingkari adanya dua tangan Allah –Azza wajalla-, imam al-Bukhari –rahimahullah- membuat bab firman Allah “Lima Khalaqtuka biyadayya” (Sebagaimana Aku menciptakanmu dengan dua Tanganku).  Ketika mereka mengingkari Allah –Azza wajalla- berada di atas langit dengan DzatNya, maka beliau membuat bab firman Allah “Ta’ruju al-Malaikatu Ilaihi” (Malaikat naik menghadap kepadaNya) imam al-Bukhari –rahimahullah- mengatakan, maksudnya naik menghadap kepada Allah –Azza wajalla-. Ketika mereka mengingkari Allah –Azza wajalla- memiliki betis, beliau membuat bab “Yauma Yuksyafu ‘An Saaq” (Hari ketika betis disingkapkan), kemudian beliau menyebutkan hadits “Yaksyifu Rabbuna ‘an Saaqihi” (Tuhan kita menyingkap betisNya).

Dr. Sa’id bin Mushlih al-Utaibi –hafizhahullah- berkata:

والإمام البخاري رحمه الله يوافق الطائفة الثانية التي تري أن الآية من آيات الصفات فإنه عقد بابا في كتاب التفسير قال فيه : باب يوم يكشف عن ساق  وأخرج فيه حديث أبي سعيد مما يدل على أنه يرى أن الحديث الذي فيه إثبات الصفة  هو تفسير للأية وعليه فالآية دليل على إثبات الصفة

“Imam al-Bukhari –rahimahullah- sesuai dengan pemahaman kelompok kedua yang menganggap ayat tersebut merupakan bagian dari ayat-ayat sifat Allah. Oleh karenanya, beliau membuat bab dalam tafsirnya yang berjudul “Bab Yauma Yuksyafu ‘An Saaq” (Hari ketika betis disingkapkan), lalu menyebutkan satu hadits yang berasal dari imam Abu Sa’id, yang menunjukkan bahwa pada hadits itu mengitsbat sifat. Oleh karena itu, ayat itu menunjukkan adanya pengitsbatan sifat (betis) pada Allah –Azza wajalla-. (Dr. Sa’id bin Mushlih al-Utaibi, Aqidah Imam al-Bukhari,  hal. 185, Daar al-Muhaddits-Riyadh, cet. 1, 1441 H.)

Demikian pada sifat-sifat Allah –Azza wajalla- lainnya, seperti mata, wajah, tangan dan uluw dzat ketinggian Allah dengan DzatNya). Imam al-Bukhari –rahimahullah- membuat bab untuk mengitsbatnya, sementara Asya’irah mengingkarinya.

Hal yang sama dilakukan oleh Imam ath-Thabari –rahimahullah-. Beliau menjelaskan makna yang terkandung dalam satu kalimat, bukan menafikan sifat Allah –Azza wajalla-. Hal ini dilakukan karena semenjak tersebarnya islam, banyak orang yang butuh penjelasan maksud dari satu kalimat yang biasa digunakan oleh orang-orang Arab. Namun, pada sifat dzat Allah imam ath-Thabari –rahimahullah- tidak mengingkarinya.

Berbeda dengan orang-orang Asya’irah yang mengingkari adanya sifat dzat Allah –Azza wajalla- itu karena anggapan penyerupaan Allah terhadap makhluk. Misalnya, pada firman Allah –Azza wajalla- yang dinukil oleh orang-orang Asya’irah tentang anggapan mereka bahwa imam Thabari –rahimahullah- menakwilkan tangan sebagai “pemberian”, pada firman Allah –Azza wajalla-:

وَقَالَتِ ٱلۡيَهُودُ يَدُ ٱللَّهِ مَغۡلُولَةٌۚ

“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu.” (QS. Al-Maidah: 64)

Kata mereka, ini seperti yang mereka lakukan. Kenyataannya tidak sama. Sebab imam ath-Thobari –rahimahullah- meyakini adanya tangan Allah –Azza wajalla- sebagai sifat Allah –Azza wajalla-, sedangkan kelompok Asy’ari mengingkarinya. Mereka menganggap bahwa jika menetapkan sifat tangan pada Allah –Azza wajalla- berarti meyakini Allah berjism dan itu penyerupaan terhadap makhluk. Sehingga, bagi mereka yad (tangan) itu di takwil dengan nikmat, kemampuan atau pemberian tanpa menetapkan adanya tangan bagi Allah –Ta’ala-.

Hal ini diingkari oleh Imam ath-Thabari –rahimahullah-. pada saaat menjelaskan firman Allah –Azza wajalla-:

بَلۡ يَدَاهُ مَبۡسُوطَتَانِ

“Tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka”. (QS. Al-Maidah: 54)

Beliau menyebutkan perkataan ulama yang meyakini bahwa tangan disitu merupakan sifat Allah –Azza wajalla-, hanya saja ia berbeda dari sifat makhlukNya, tidak seperti anggota tubuh manusia. Beliau berkata:

وقال آخرون منهم: بل”يد الله” صفة من صفاته، هي يد، غير أنها ليست بجارحة كجوارح بني آدم

“Sebagian orang berkata,  justru tangan Allah merupakan sifat dari sifat-sifatNya. Ia benar-benar tangan. Hanya saja, tangan Allah tidak seperti anggota tubuh manusia.” (Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan. Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid, jilid 4, hal. 508, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)

Kemudian beliau berkata:

قالوا: ففي قول الله تعالى:”بل يداه مبسوطتان”، مع إعلامه عبادَه أن نعمه لا تحصى، مع ما وصفنا من أنه غير معقول في كلام العرب أن اثنين يؤدّيان عن الجميع= ما ينبئ عن خطأ قول من قال: معنى”اليد”، في هذا الموضع، النعمة= وصحةِ قول من قال: إن”يد الله”، هي له صفة. قالوا: وبذلك تظاهرت الأخبار عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، وقال به العلماء وأهل التأويل.

“Mereka berkata, pada firman Allah (yang artinya) “Justru kedua tangannya terrbuka” sementara Allah telah mengabarkan bahwa nikmat yang Dia berikan pada hambaNya tidak terhitung jumlahnya, dan tidak diketahui dari bahasa Arab bahwa lafaz ganda bermakna jamak, memberikan informasi kesalahan orang-orang yang mengatakan tangan Allah sebagai nikmat pada ayat ini, serta menunjukkan kebenaran orang-orang yang mengatakan sesungguhya tangan Allah merupakan sifat bagiNya.” Hal itu karena riwayat akan hal itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat banyak, dan begitulah para ulama dan ahli takwil (tafsir) menyatakannya.” (Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan, tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid, jilid 4, hal. 509, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)

Dengan dalih telah banyaknya riwayat mengenai tangan Allah –Azza wajalla-, beliau juga mengingkari penduduk bashrah yang menakwilkan tangan kanan  Allah sebagai kekuasaan. Beliau berkata:

وقال بعض أهل العربية من أهل البصرة (وَالأرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ) يقول في قدرته نحو قوله: (وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ) أي وما كانت لكم عليه قدرة وليس الملك لليمين دون سائر الجسد، قال: وقوله (قَبْضَتُهُ) نحو قولك للرجل: هذا في يدك وفي قبضتك. والأخبار التي ذكرناها عن رسول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم وعن أصحابه وغيرهم، تشهد على بطول هذا القول.

“Sebagian ahli bahasa Arab negri Bashrah mengatakan tentang makna firman Allah –Azza wajala- (yang artinya) “Bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” maksudnya adalah Qudrah/kekuasaanNya, sesuai firman Allah –Azza wajalla- وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ  (dan pada hamba sahayamu) maksudnya pada orang-orang yang engkau memiliki kekuasaan padanya, sedangkan hamba sahaya itu bukanlah seluruh anggota tubuh. Sedangkan firman Allah قبضته (dalam genggamannya) seperti seseorang berkata pada orang lain “Ia berada pada tanganmu dan pada genggamanmu”. Namun, riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan dari Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya serta selain mereka, menunjukkan kebatilan perkataan mereka.” (Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid, jilid 9, hal. 710, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)

Demikian pada wajah Allah, Imam Ath-Thobari –rahimahullah- meyakini Allah memiliki wajah. Pada saat menafsirkan firman Allah –Azza wajalla-:

وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ 

“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahman: 27)

Beliau mengatakan:

ويبقى وجه ربك يا محمد ذو الجلال والإكرام; وذو الجلال والإكرام من نعت الوجه فلذلك رفع ذو

“Yang kekal hanyalah wajah Tuhanmu (maksudnya Allah), dan dzu al-Jalali wal ikram (yang memiliki ketinggian dan kemuliaan)  merupakan sifat wajah. Oleh karena itu disebut “dzu” disebut dalam bentuk marfu’.” (Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid, jilid 10, hal. 557, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)

Pendalilan beliau sama dengan yang dilakukan oleh imam Ibnu Khuzaimah –rahimahullah- pada saat mengitsbat sifat wajah pada Allah. Beliau berkata:

فأثبت الله لنفسه وجها وصفه بالجلال والإكرام وحكم لوجهه بالبقاء

“Allah –Ta’ala- mengitsbat wajah pada diriNya dan menyifatinya dengan al-Jalal wa al-Ikram, lalu menyebtkan wajhaNya yang akan senantiasa kekal.” (Ibnu Khuzaimah, Kitab Tauhid, tahqiq Dr. Abd. Aziz bin Ibrahim asy-Syahwan, jilid 1, hal. 25, Maktabah ar-Rusyd-Riyadh, cet. 9, 1437 H.)

Secara tegas imam ath-Thobari –rahimahullah- mengatakan bahwa Allah –Azza wajalla- memiliki wajah dalam kitab at-Tabshirnya. Beliau berkata:

وأن له وجها لقوله كل شئ هالك إلا وجهه

“Dan, bahwasanya Allah –Ta’ala- memiliki wajah, berdasarkan firmanNya “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya.” (Ath-Thabari, at-Tabshir fi Ma’alim ad-Din, Tahqiq Ali bin Abdil Aziz Ali Syibl, hal. 148, Daar al-Ashimah-Riyadh, cet. 1,1440 H.)

Kemudian terkait firman Allah –Azza wajalla-:

يَوۡمَ يُكۡشَفُ عَن سَاقٖ وَيُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ فَلَا يَسۡتَطِيعُونَ 

“Pada hari betis disingkapkan.” (QS. Al-Qalam: 42)

Terjadi perbedaan pendapat pendapat diantara salaf mengenai makna ayat ini. Hal ini karena kata saaq (betis) tidak disandarkan pada Allah –Azza wajalla-. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

أَنَّ جَمِيعَ مَا فِي الْقُرْآنِ مِنْ آيَاتِ الصِّفَات فَلَيْسَ عَنْ الصَّحَابَةِ اخْتِلَافٌ فِي تَأْوِيلِهَا. وَقَدْ طَالَعْت التَّفَاسِيرَ الْمَنْقُولَةَ عَنْ الصَّحَابَةِ وَمَا رَوَوْهُ مِنْ الْحَدِيثِ وَوَقَفْت مِنْ ذَلِكَ عَلَى مَا شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ الْكُتُبِ الْكِبَارِ وَالصِّغَارِ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ تَفْسِيرٍ فَلَمْ أَجِدْ – إلَى سَاعَتِي هَذِهِ – عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهُ تَأَوَّلَ شَيْئًا مِنْ آيَاتِ الصِّفَاتِ أَوْ أَحَادِيثِ الصِّفَاتِ بِخِلَافِ مُقْتَضَاهَا الْمَفْهُومِ الْمَعْرُوفِ؛ بَلْ عَنْهُمْ مِنْ تَقْرِيرِ ذَلِكَ وَتَثْبِيتِهِ وَبَيَانِ أَنَّ ذَلِكَ مِنْ صِفَاتِ اللَّهِ مَا يُخَالِفُ كَلَامَ الْمُتَأَوِّلِينَ مَا لَا يُحْصِيهِ إلَّا اللَّهُ. وَكَذَلِكَ فِيمَا يَذْكُرُونَهُ آثِرِينَ وَذَاكِرِينَ عَنْهُمْ شَيْئًا كَثِيرًا. وَتَمَامُ هَذَا أَنِّي لَمْ أَجِدْهُمْ تَنَازَعُوا إلَّا فِي مِثْلِ قَوْله تَعَالَى {يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ} فَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَطَائِفَة أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الشِّدَّةُ أَنَّ اللَّهَ يَكْشِفُ عَنْ الشِّدَّةِ فِي الْآخِرَةِ وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَطَائِفَةٍ أَنَّهُمْ عَدُّوهَا فِي الصِّفَات

“Bahwasanya, semua ayat-ayat sifat yang ada di dalam al-Qur’an, tidak ada perbedaan pendapat dari kalangan sahabat tentang takwilnya. Saya telah melakukan telaah pada kitab-kitab tafsir yang dinukil dari para sahabat dan apa yang mereka riwayatkan dari hadits, saya telah membaca lebih dari 100 kitab tafsir, mulai dari kitab-kitab yang kecil hingga yang besar. Semenjak saya melakukan telaah itu hingga detik ini, saya belum pernah menemukan sahabat Nabi yang melakukan takwil berbeda dengan apa yang dipahami dari tayat-ayat dan hadits sifat. Justru yang mereka lakukan adalah menetapkan dan mengitsbatnya serta menjelaskan bahwa hal itu merupakan sifat Allah –Azza wajalla-. ini berbeda dengan sikap para ahli takwil, dimana perbedaan perkataan mereka tidak bisa dihitung jumlah melainkan hanya Allah yang mampu.

Intinya, saya belum mendapati salah seorang dari sahabat yang berselisih dalam masalah ayat sifat kecuali pada firman Allah –Azza wajalla- yang artinya, “Hari ketika betis disingkapkan.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- dan sekelompok sahabat bahwa yang dimaksud dari ayat itu adalah kesulitan, bahwasanya Allah menyingkap kesulitan pada hari akhirat. Sedangkan Abu Sa’id –radhiyallahu ‘anhu- dan sekelompok sahabat yang lain menganggapnya sebagai bagian dari ayat sifat.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abdul Aziz al-Jundi dan Asyraf Jalaluddin asy-Syarqawi, Jilid 3, hal. 586, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet, 1435 H.)

Oleh karena itu, terjadi perbedaan pendapat diantara ulama mengenai ayat itu hingga kini. Imam al-Bukhari -rahimahullah- mengikut pendapat Abu Sa’id –radhiyallahu ‘anhu- dan sahabat lainnya. Adapun imam Ibnu Jarir ath-Thabari –rahimahullah- menguatkan pendapat Ibnu Abbas –radhillahu ‘anhu-”. Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Syakhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-.

Sikap Imam Ibnu Jarir –rahimahullah- tidak sedang menakwil ayat sifat. Sebab berdasarkan pengakuan beliau sendiri, beliau mengitsbat seluruh ayat sifat. Beliau berkata:

((إنه)) معناه الإثبات على ما يعقل من معنى الإثبات لا على النفي، وكذلك سائر الأسماء والمعاني التي ذكرنا.

“Innahu” maknanya adalah pengitsbatan terhadap sesuatu yang diketahui maknanya bukan menafikan. Demikian pada seluruh nama-nama dan sifat serta makna-makna yang telah kami sebutkan.” (Ath-Thabari, at-Tabshir fi Ma’alim ad-Din, Tahqiq Ali bin Abdil Aziz Ali Syibl, hal. 155, Daar al-Ashimah-Riyadh, cet. 1,1440 H.)

Wallahu Ta’ala A’lam.

Tinggalkan Komentar

By admin