Apakah Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari Seorang Asy’ary?

Kelompok Asya’irah mengklaim bahwa Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari atau yang lebih dikenal dengan nama imam ath-Thabari (w. 310 H.) –rahimahullah- merupakan seorang ulama yang berfaham Asya’irah. Alasan mereka, karena –menurut mereka- imam ath-Thabari –rahimahullah- melakukan penakwailan sesuai yang mereka yakini di dalam al-Qur’an. Seperti pada firman Allah –Azza wajalla-:

وَلِتُصۡنَعَ عَلَىٰ عَيۡنِيٓ

“Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS. Thaha: 39)

Ditakwilkan dengan pengawasan, rasa cinta dan keinginan Allah. (Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid, jilid 7, hal. 855, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)

Demikian pula pada firman Allah –Azza wajalla-:

ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ

“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit.” (QS. Fushilat: 11)

Ditakwil dengan makna ketinggian kerajaan dan kekuasaan, bukan ketinggian perpindahan dan lenyap/hilang.” (Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan. Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid, jilid 1, hal. 312, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)

Lalu, apakah hal ini menunjukkan keasy’ariyahan beliau?

Jawabannya, sama sekali tidak. Sebab, sangat berbeda keyakinan takwil yang diamalkan oleh imam ath-Thabari –rahimahullah- dalam tafsirnya dengan takwil para Asya’irah.

Takwil dalam pemahaman Asya’irah adalah memalingkan makna satu kata dari makna aslinya, karena adanya indikasi akan hal itu. Penulis kitab Ahlussunnah al-Asya’irah, dalam mendefenisikan takwil secara istilah, berkata:

وهو شرعا: صرف اللفظ عن الظاهر بقرينة تقتضي بذلك

“Takwil secara istilah yaitu memalingkan lafaz dari zahirnya karena adanya indikasi akan hal itu.” (Hamad Ahmad as-Sinan dan Fauzi Muhammad al-Anjari, Ahlussunnah al-Asya’irah Syahadatu ‘Ulama al-Ummah wa Adillatuhhum, hal. 105, Daar al-Fath, cet. 1,1442 H.)

Mereka menolak makna zahir dari kata tersebut. Sehingga, dengannya menolak sifat-sifat dzatiyah bagi Allah –Azza wajalla- seperti mata, kaki, tangan dan lainnya karena mengiaskannya dengan manusia. Kata mereka, ini sama dengan makhluk, sehingga wajib untuk dipalingkan maknanya.

Imam as-Safarini (w.1188 H.) –rahimahullah- ketika menjelaskan keyakinan Asya’irah, berkata:

وَأَمَّا الْأَشْعَرِيَّةُ فَنَفَوْا صِفَةَ الْعَيْنِ، وَأَثْبَتُوا صِفَةَ الْبَصَرِ

“Adapun Asya’irah, mereka menafikan sifat mata bagi Allah dan hanya menetapkan sifat melihat.” (Abu al-Aun as-Safarini, Lawami’ al-Anwar al-Bahiyah, Tahqiq Khalid bin Muhammad bin Zhahir al-Qahthani dan Ismail bin Ghishab al-Adawi, jilid 1, hal. 677, Daar at-Tauhid li an-Nasyr-Riyadh, Cet. 1, 1437 H.)

Mereka hanya menerima lafaznya saja, adapun maknanya tidak. Mereka meyakiniya dengan salah satu dari dua cara, yaitu takwil atau tafwidh makna. Ditakwil yaitu dipalingkan makna semestinya (makna zahir) pada makna yang lain. Adapun tafwidh makna, yaitu diserahkan maknanya kepada Allah –Azza wajalla- dan tidak ada manusia yang mengetahuinya.

Takwil seperti keyakinan Asya’irah yang memalingkan makna zahir pada makna yang lain ditolak oleh imam ath-Thabari –rahimahullah-. Dalam at-Tabshirnya, beliau berkata:

فإن قال لنا منهم قائلٌ: فما أنت قائلٌ في معنى ذلك؟
قيل له: معنى ذلك ما دل عليه ظاهر الخبر، وليس عندنا للخبر إلا التسليم والإيمان به

“Jika diantara mereka bertanya kepada kami, apa keyakinanmu terhadap makna itu?”, maka katakan padanya, maknanya adalah sesuai zahir dari atsar itu dan tidak ada kewajiban kita dari atsar itu selian merima dan beriman padanya.” (lihat: Ath-Thabari, at-Tabshir fi Ma’alim ad-Din, Tahqiq Ali bin Abdil Aziz Ali Syibl, hal. 161, Daar al-Ashimah-Riyadh, cet. 1,1440 H.)

Penolakan beliau dapat kita lihat ketika mengingkari sebagaian ahli bahasa negri bashrah yang menakwil firman Allah tangan kanan Allah menjadi kekuasaan pada firman Allah –Azza wajalla-:

وَٱلۡأَرۡضُ جَمِيعٗا قَبۡضَتُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَٱلسَّمَٰوَٰتُ مَطۡوِيَّٰتُۢ بِيَمِينِهِۦۚ

“Bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.”

Beliau kemudian berkata:

وقال بعض أهل العربية من أهل البصرة (وَالأرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ) يقول في قدرته نحو قوله: (وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ) أي وما كانت لكم عليه قدرة وليس الملك لليمين دون سائر الجسد، قال: وقوله (قَبْضَتُهُ) نحو قولك للرجل: هذا في يدك وفي قبضتك. والأخبار التي ذكرناها عن رسول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم وعن أصحابه وغيرهم، تشهد على بطول هذا القول.

“Sebagian ahli bahasa Arab negri Bashrah mengatakan tentang makna firman Allah –Azza wajala- (yang artinya) “Bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kananNya” maksudnya adalah Qudrah/kekuasaanNya, sesuai firman Allah –Azza wajalla- وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ (dan pada hamba sahayamu) maksudnya pada orang-orang yang engkau memiliki kekuasaan padanya, sedangkan hamba sahaya itu bukanlah seluruh anggota tubuh. Sedangkan firman Allah قبضته (dalam genggamannya) seperti seseorang berkata pada orang lain “Ia berada pada tanganmu dan pada genggamanmu”. Namun, riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan dari Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya serta selain mereka, menunjukkan kebatilan perkataan mereka.” (Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid, jilid 9, hal. 710, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)

Terkait keyakinan tafwidh makna sendiri, ada dosa besar dibaliknya. Pertama, jika mereka mengklaim bahwa semua sifat Allah maknanya hanya Allah –Azza wajalla- yang mengetahuinya, maka mereka telah mengklaim bahwa Rasulullah -Shalallahu ‘alaihi wasallam- menyebutkan makna sifat-sifat Allah –Azza wajalla-, sedangkan beliau sendiri tidak mengetahui maknanya. Demikian pula malaikat Jibril, sementara beliaulah yang pertama kali mengucapkan ayat itu.

Ini kontradiksi dengan keyakinan mereka sendiri, yaitu keyakinan Kalam Nafsi. Bahwa Kalam Allah tidak berhuruf dan tidak bersuara. Oleh karenanya, firman-firman Allah –Azza wajalla- yang kita baca di mushaf itu hanyalah hasil pemahaman Rasulullah -Shalallahu ‘alaihi wasallam- atau hasil pemahaman Malaikat Jibril terhadap Kalam Nafsi itu.

Kedua, jika mereka mengklaim bahwa Rasulullah -Shalallahu ‘alaihi wasallam mengetahui maknanya, sedang umatnya tidak mengetahuinya dan Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak menyampaikannya pada umatnya, maka ini adalah seburuk-buruk perkataan ahli bid’ah. Mereka menuduh Rasulullah -Shalallahu ‘alaihi wasallam- menyembunyikan ilmu yang telah Allah turunkan dan jelaskan yang seharusnya disampaikan pada umat.

Padahal, Allah -Azza wajalla- berifirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (QS. Al-Baqarah: 159)

Dengan ini, mereka secara tidak sadar mengategorikan Rasulullah -Shalallahu ‘alaihi wasallam- sebagai seorang yang terlaknat karena menyembunyikan risalah Allah –Azza wajalla- yang seharusnya disampaikan kepada umat. Sungguh keji, lalu mereka katakan bahwa keyakinan mereka adalah akidah salaf Ahlisunnah wal Jama’ah. Demi Allah, ini adalah kedustaan yang nyata! Dan, Imam Ibnu Jarir ath-Thabari –rahimahullah- tidak berkeyakinan seperti itu.

Asya’irah menolak melakukan itsbat, yaitu menetapakan sifat Allah –Azza wajalla- sesuai zahir maknanya namun mengembalikan kaifiyatnya (bagaimananya sifat itu) hanya kepada Allah –Azza wajalla- saja. Bagi mereka, melakukan itsbat itu berarti melazimkan seseorang menajsimkan Allah.

Penulis kitab Ahlussunnah al-Asya’irah saat menjelaskan batilnya istbat menurut mereka, berkata:

ولا يقال نحملها على الظاهر ونفوض العلم بالكيفية إلى الله تعالى لأن هذا القول تناقض صريح أوقعت فيه الغفلة إذ ليس من ظاهر ولا حقيقة هنا إلا الجسم

“Dan tidak boleh dikatakan “Kami memahaminya sesuai zahirnya namun mengembalikan kaifiyatnya pada Allah –Azza wajalla-, sebab ini merupakan sesuatu yang jelas-jelas kontradiksi. Karena tidak dipahami dari makna zahir dan hakikat kecuali ia merupakan jism.” (Hamad Ahmad as-Sinan dan Fauzi Muhammad al-Anjari, Ahlussunnah al-Asya’irah Syahadatu ‘Ulama al-Ummah wa Adillatuhhum, hal. 106, Daar al-Fath, cet. 1,1442 H.)

Keyakinan ini sangat bertentangan dengan keyakinan Imam ath-Thabari –rahimahullah-. Beliau justru menerapkan itsbat dan meyakininya dalam tafsirnya terhadap sifat-sifat Allah –Azza wajalla-. Imam adz-Dzahabi (w. 848) –rahimahullah- berkata:

تفسير ابن جرير مشحون بأقوال السلف على الإثبات

“Tafsir Ibnu Jarir –rahimahullah- dipenuhi oleh perkataan-perkataan ulama salaf dengan metode itsbat.” (Adz-Dzahabi, al-Uluw Li al-Ali al-Azhim, tahqiq Prof. Dr. Abdullah bin Shalih al-Barrak, jilid 2, hal. 1054, Daar al-Akidah-Riyadh, cet. 1, 1440 H.)

Sungguh benar apa yang dikatakan oleh imam adz-Dzahabi –rahimahullah-. Kitab tafsir Imam Ibnu Jarir –rahimahullah- memang menerapkan metode itsbat terhadap sifat-sifat Allah –Azza wajalla-, tidak sebagaimana keyakinan Asya’irah yang melakukan takwil dan tafwidh makna.

Takwil dalam tafsir imam Ibnu Jarir –rahimahullah- merupakan tafsir dengan menetapkan makna zahirnya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Itu sangat jauh berbeda dengan keyakinan Asya’irah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Ketika menjelaskan istbat yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam sifat ghadab (marah/murka) bagi Allah –Azza wajalla-, imam Ibnu Jarir ath-Thabari –rahimahullah- berkata:

وقال بعضهم: الغضب منه معنى مفهوم، كالذي يعرف من معاني الغضب، غير أنه -وإن كان كذلك من جهة الإثبات – فمخالف معناه منه معنى ما يكون من غضب الآدميين الذين يزعجهم ويحركهم ويشق عليهم ويؤذيهم. لأن الله جل ثناؤه لا تحل ذاته الآفات، ولكنه له صفة، كما العلم له صفة، والقدرة له صفة، على ما يعقل من جهة الإثبات

“Sebagian mereka berkata bahwa ghadhab (marah/murka) merupakan makna yang dipahami, sebagaimana dipahami dari makna ghadhab. Hanya saja, walau dipahami dengan mengitsbatkannya, tetap saja makna/kaifiyatnya berbeda dengan ghadab yang terjadi pada manusia, yang menggagu dan memberatkan mereka. Karena dzat Allah tidak boleh disifati dengan sifat cacat. Akan tetapi, Allah memiliki sifat sebagaimana Allah memiliki sifat ilmu dan qudrah yang dipahami dengan metode itsbat.” (Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid, jilid 1, hal. 161, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)

Dari perkataan beliau ini, dipahami bahwa pemahaman imam Ibnu Jarir ath-Thabari –rahimahullah- tentang makna itsbat sama dengan apa yang dipahami oleh kelompok Asya’irah yang telah kami jelaskan sebelumnya. Hanya sja, kelompok Asya’irah menolak dan mengingkarinya, sedangkan imam ath-Thabari –rahimahullah- mengamalkannya.

Makanya, dalam kitab at-Tabshir Fi Ma’alim ad-Din, imam ath-Thabari –rahimahullah- berkata:

الصواب من هذا القول عندنا، أن نثبت حقائقها على ما نعرف من جهة الإثبات ونفي التشبيه، كما نفى ذلك عن نفسه -جل ثناؤه- فقال: {ليس كمثله شيء وهو السميع البصير} .

“Perkataan yang benar menurut kami adalah menetapkan hakikatnya sesuai apa yang diketahui dengan mengitsbatnya dan menafikan adanya tasybih (penyerupaan dengan Allah). Sebagaimana Allah –Azza wajalla- menafikan adanya tasybih pada diriNya. Allah –Azza wajalla- berfirman (yang artinya), “Dia tidak serupa dengan sesuatu apapun, dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat”. (Ath-Thabari, at-Tabshir fi Ma’alim ad-Din, Tahqiq Ali bin Abdil Aziz Ali Syibl, hal. 154, Daar al-Ashimah-Riyadh, cet. 1,1440 H.)

Olehnya, imam ath-Thabari –rahimahullah- mengitsbat seluruh sifat-sifat Allah –Azza wajalla-, seperti dua tangan, tangan kanan, wajah, kaki tertawa, turun ke langit dunia tiap malam, mata dan memiliki jari-jemari bagi Allah –Azza wajalla-, yang semua itu ditolak dan diingkari oleh kelompok Asya’irah. (Lihat, ath-Thabari, at-Tabshir fi Ma’alim ad-Din, Tahqiq Ali bin Abdil Aziz Ali Syibl, hal. 147-152, Daar al-Ashimah-Riyadh, cet. 1,1440 H.)

Dalam beberapa tafsir ayat sifat yang dinukil oleh orang-orang Asya’irah terhadap perkataan imam ath-Thabari yang menyangka beliau melakukan takwil karena memalingkan makna dari makna zahir, menunjukkan mereka tidak paham makna zahir yang dipermasalahkan selama ini. Mengitsbat sifat Allah lalu menafsirkan kata atau kalimat berdasarkan konteks ayat bukanlah memaligkan makna zahir. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah ketika menjelaskan perkataan Ibnu Abbas –radhhiyallahu ‘anhu- pada firman Allah –Azza wajalla-:

يَومَ يُكشَفُ عَن سَاق

“Pada hari betis disingkapkan.” (QS. Al-Qalam: 42)Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- berkata bahwa makna ayat ini adalah asy-Syiddah yaitu hari yang sulit. Imam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- kemudian berkata:

وَلَا ريب أَن ظَاهر الْقُرْآن لا يدل على أَن هَذِه من الصِّفَات، فَإِنَّهُ قَالَ {يَوْم يكْشف عَن سَاق} نكرَة فِي الْإِثْبَات لم يضفها إِلَى الله وَلم يقل عَن سَاقه فَمَعَ عدم التَّعْرِيف بِالْإِضَافَة لَا يظْهر أَنه من الصِّفَات إِلَّا بِدَلِيل آخر وَمثل هَذَا لَيْسَ بِتَأْوِيل إِنَّمَا التَّأْوِيل صرف الْآيَة عَن مدلولها ومفهومها وَمَعْنَاهَا الْمَعْرُوف وَلَكِن كثيرا من هَؤُلَاءِ يجْعَلُونَ اللَّفْظ على مَا لَيْسَ مدلولا لَهُ ثمَّ يُرِيدُونَ صرفه عَنهُ ويجعلون هَذَا تَأْوِيلا وَهَذَا خطأ

“Tidak diragukan lagi bahwa zahir dari ayat al-Qur’an ini tidak menunjukkan sifat sebagai maksudnya. Sebab Allah -Azza wajalla- berfirman “Pada hari betis disingkapkan” berbentuk nakirah dalam menetapkannya dan tidak menyandarkannya pada Allah –Azza wajalla- dan Allah juga tidak menyebutkan sebagai betisNya. Sehingga karena tidak adanya pengidhafahan yang bisa menjelsakannya, maka tidak tampak pada ayat itu sebagai penjelasan sifat, kecuali ditunjukkan oleh dalil yang lain. Dan yang seperti ini bukanlah takwil. Sebab yang dimaksud dengan takwil adalah memalingkan makna ayat dari apa yang dipahami dan ditunjukkan olehnya.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abdul Aziz al-Jundi dan Asyraf Jalaluddin asy-Syarqawi, Jilid 3, hal. 586, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet, 1435 H.)

Apa yang dilakukan oleh imam ath-Thabari –rahimahullah- dan ulama salaf lainnya yang dinukil oleh beliau dalam tafsirnya juga seperti itu, yaitu mengitsbat sifat Allah dan menjelaskan makna kalimat sesuai konteks kalimat. Maka beliau tidak menafikan sifat wajah, tangan, mata, kaki, tinggi di atas makhluk-Nya dan semua sifat dzat yang ditolak oleh kelompok Asya’irah.

Jadi, para Asya’irah telah melakukan kedustaan terhadap imam Ath-Thabari –rahimahullah-, dengan menukil namanya dan dianggap berkeyakinan sebagaimana yang mereka yakini, padahal beliau tidak seperti yang mereka dakwakan. Seharunsya mereka takut terhadap laknat yang telah diucapkan oleh imam ath-Thabari –rahimahullah- terhadap orang-orang yang mengutip namanya pada satu keyakinan sementara beliau tidak berkeyakinan seperti itu. Beliau berkata:

فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ مَنْ بَعُدَ مِنَّا فَنَأَى، أَوْ قَرُبَ فَدَنَا، أَنَّ الَّذِي نَدِينُ اللَّهَ بِهِ فِي الْأَشْيَاءِ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا مَا بَيَّنَّاهُ لَكُمْ عَلَى وَصْفِنَا، فَمَنْ رَوَى عَنَّا خِلَافَ ذَلِكَ أَوْ أَضَافَ إِلَيْنَا سِوَاهُ أَوْ نَحَلَنَا فِي ذَلِكَ قَوْلًا غَيْرَهُ، فَهُوَ كَاذِبٌ مُفْتَرٍ، مُتَخَرِّصٌ مُعْتَدٍ، يَبُوءُ بِسَخَطِ اللَّهِ، وَعَلَيْهِ غَضَبُ اللَّهِ وَلَعْنَتُهُ فِي الدَّارَيْنِ

“Hendaklah seorang yang hadir diantara kalian wahai manusia, orang-orang yang jauh dari kita, atau dekat dari kita, menyampaikan bahwa keyakinian agama kami kepada Allah adalah hal-hal yang telah kami sebutkan dan jelaskan kepada kalian. Maka, barangsiapa yang meriwayatkan dari kami atau menyandarkannya pada kami, atau menisbatkan pada kami perkataan yang berbeda dari apa yang telah kami sebutkan, maka dia adalah seorang pendusta yang membuat-buat kebohongan, dan melanggar. Ia berhak mendapat kemurkaan Allah dan kemarahannya, serta mendapatkan laknat di dunia dan akhirat.” (Ath-Thabari, Sharih sunnah, tahqiq Mahmud bin Husain Ali Audh, 109, Tabshir-Mesir, cet. 2, 1441 H.)

Kemudian, dari sisi keyakinan terhadap iman, imam ath-Thabari –rahimahullah- meyakini bahwa keimanan tidak cukup hanya dengan ucapan lisan saja tapi harus dengan amalannya. Maksudnya, amalan masuk dalam kategori iman dan bukanlah sesuatu yang terpisah darinya.
Beliau berkata:

غير أن المعنى الذي يستحق به اسم مؤمنٌ بالإطلاق، هو الجامع لمعاني الإيمان، وذلك أداء جميع فرائض الله -تعالى ذكره- من معرفةٍ وإقرارٍ وعملٍ.

“Hanya saja, makna iman yang pantas degannya nama mukmin secara mutlak adalah yang mencakup seluruh makna iman, yaitu melaksanakan seluruh kewajiban dari Allah –Ta’ala- berupa ma’rifah (keyakinan hati), iqrar (pentepan dengan lisan), dan amalan.” (Ath-Thabari, at-Tabshir fi Ma’alim ad-Din, Tahqiq Ali bin Abdil Aziz Ali Syibl, hal. 208, Daar al-Ashimah-Riyadh, cet. 1,1440 H.)

Beliau juga berkata:

وفي هذه الآية دلالةٌ واضحة على بُطول ما زَعَمتْه الجهميةُ: من أنّ الإيمان هو التصديق بالقول، دون سائر المعاني غيره

“Pada ayat ini menjadi dalil yang sangat jelas akan batilnya apa yang diklaim oleh kelompok Jahmiyah bahwa iman itu cukup dengan pembenaran menggunakan perkataan saja, tanpa selurh makna-makna iman lainnya.” (Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid, jilid 1, hal. 212, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)

Ini berbeda dengan keyakinan Asya’irah yang mengatakan bahwa iman itu cukup dengan pembenaran saja. Imam Asy-Syahrastani (w. 548 H.) –rahimahullah- menukilkan perkataan Abu al-Hasan al-Asy’ari –rahimahullah- tentang iman. beliau berkata:

قال: الإيمان هو التصديق بالجنان. وأما القول باللسان والعمل بالأركان ففروعه

“Abu al-Hasan al-Asy’ary (w. 324 H.) –rahimahullah- berkata: Iman adalah pembenaran dengan hati. Adapun perkataan dengan lisan dan beramal dengan anggota badan merupakan cabang-cabangnya.” (Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, tahqiq Kisra Shalih al-Ali, hal. 119, Muassasah Risalah Nasyirun-Damaskus, cet. 1, 1440 H.)

Terhadap hadits Ahad, imam Ath-Thabari –rahimahullah- menerima, membenarkan dan mengamalkannya, selama haditsnya sahih. Beliau berkata:

وإن كان الخبر الوارد خبراً لا يقطع مجيئه العذر، ولا يزيل الشك غير أن ناقله من أهل الصدق والعدالة، وجب على سامعه تصديقه في خبره في الشهادة عليه بأن ما أخبره به كما أخبره، كقولنا في أخبار الآحاد العدول

“Jika satu riwayat telah warid namun kewaridannya tidak memastikan udzur dan tidak juga menghilangkan keraguan, hanya saja para periwayatnya adalah orang-orang yang jujur dan memiliki ‘adalah, maka wajib bagi yang mendengarkan riwayat tersebut membenarkannya dan bersaksi atasnya bahwa apa yang ia kabarkan memang sebagaimana yang telah dikabarkannya. Hal ini sebagaimana perkataan kami dalam masalah hadits-hadits ahad.” (Ath-Thabari, at-Tabshir fi Ma’alim ad-Din, Tahqiq Ali bin Abdil Aziz Ali Syibl, hal. 154, Daar al-Ashimah-Riyadh, cet. 1,1440 H.)

Makanya, beliau berhujjah dengan hadits-hadits Ahad dalam mengitsbat sifat-sifat dzat Allah –Azza wajalla- seperti, sesungguhnya Allah tidak buta sebelah mataNya, Allah meletakkan kakinya di dalam neraka. (lihat: Ath-Thabari, at-Tabshir fi Ma’alim ad-Din, Tahqiq Ali bin Abdil Aziz Ali Syibl, hal. 147-163-, Daar al-Ashimah-Riyadh, cet. 1,1440 H.)

Hal ini berbeda dengan keyakinan Asya’irah yang tidak membenarkan hadits Ahad dalam masalah akidah dan dalam hal mengenal Allah. Imam ar-Razi al-Asy’ary berkata:

أما التمسك بخبر الواحد في معرفة الله فغير جائز

“Adapun berpegang pada hadits Ahad dalam mengenal Allah, maka hal itu tidak dibolehkan.” (ar-Razi, Asas at-Taqdis, tahqiq Anas Muhammad Adnan asy-Syarfawi dan Ahmad Muhammad Kahirul Khathib, hal. 212, Daar Nur Shabah-Damaskus, cet. 1, 2011 M.)

Dalam masalah keberadaan Allah –Azza wajalla- di atas langit, Imam ath-Thabari –rahimahullah- mengimani bahwa Allah -Azza wajalla- berada di atas Arsy. Dalam al-Uluw, imam adz-Dzahabi -rahimahullah- menukil satu perkataan imam Ibnu Jarir ath-Thabari –rahimahullah- yang berkata:

لَيْسَ فِي فرق الإِسْلامِ مَنْ يُنْكِرُ هَذَا لَا مَنْ يُقِرُّ أَنَّ اللَّهَ فَوْقَ الْعَرْش وَلَا من يُنكره من الْجَهْمِية وَغَيرهم

“Tidak ada satupun kelompok dalam agama islam yang mengingkari hal ini, tidak terhadap orang yang meyakini Allah berada di atas langit dan tidak ada yang mengingkarinya melainkan dari kalangan Jahmiyah dan selain mereka.” (Adz-Dzahabi, al-Uluw Li al-Ali al-Azhim, tahqiq Prof. Dr. Abdullah bin Shalih al-Barrak, jilid 2, hal. 1054, Daar al-Akidah-Riyadh, cet. 1, 1440 H.)

Asya’irah menolak meyakini Allah –Azza wajalla- berada di atas langit. Bagi mereka, Allah –Azza wajalla- tidak berada di dalam alam dan tidak juga berada di luar alam, tidak berada di atas Arsy tidak juga berada di bawahnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh ulama Asya’irah zaman ini yang bernama Syaikh Said Faudah dalam bukunya yang berjudul “Husnu al-Muhajajah Fii Bayaani Anna Allah Laa Daakhila al-Alam Walaa Kharijahu” (argumen yang baik dalam menjelaskan bahwa Allah tidak berada di dalam alam dan juga tidak berada di atasnya).

Dalam masalah kalam, imam ath-Thabari –rahimahullah- menyifati Allah berkalam secara hakikat, bukan kalam selain diriNya lalu disifati sebagai kalamNya. Maksudnya, Allah –Azza wajalla- tidak menciptakan sesuatu untuk untuk berkalam lalu makhluk yang berkalam itu disifati sebagai kalamNya. Alasan beliau, karena jika seperti itu, maka setiap sifat makhluk boleh dikatakan sebagai sifat Allah –Azza wajalla-. selain itu, jika Allah –Azza wajalla- disifatkan demikian, maka ini menunjukkan sifat lemah karena tidak bisa berkalam melainkan menciptanya pada makhlukNya.

Imam ath-Thabari –rahimahullah- berkata:

كذلك من زعم أن فعله محدثٌ، وأنه غير مخلوقٍ، فمثله لاشك أنه أولى باسم الكفر من الزاعم أنه لم يزل عالماً لا علم له؛ إذ كان قائل ذلك أوجب أن يكون في سلطان الله ما لا يقدر عليه ولا يريده، وأن يكون مريداً أمراً فيكون غيره، ولا يكون الذي يريده. ذلك لا شك صفة العجزة، لا صفة أهل القدرة.

“Demikian pula kepada siapa saja yang menyangka bahwa perbuatan Allah merupakan sesuatu yang muhdats, dan ia merupakan makhluk, maka orang-orang seperti ini lebih utama divonis kafir daripada orang yang mengaatakan bahwa Allah senantiasa sebagai Rabb Yang Maha Mengetahui tapi Dia tidak memiliki ilmu. Sebab, orang yang berkata seperti itu mewajibkan pada kekuasaan Allah ada sesuatu yag Allah tidak mampu terhadapNya dan tidak inginkan, dan ketika Dia menginginkan suatu perintah maka selain diriNya yang melakukannya, bukan Allah yang menginginkannya. Ini jelas merupakan sifat lemah, bukan sifat Tuhan yang memiliki kekuasaan.” (Ath-Thabari, at-Tabshir fi Ma’alim ad-Din, Tahqiq Ali bin Abdil Aziz Ali Syibl, hal. 165, Daar al-Ashimah-Riyadh, cet. 1,1440 H.)

(Tanbih: Kata “ghair” tidak diterjemah karena tidak bersesuian dengan kalimat sebelum dan setelahnya. Sebab, kata muhdats maknanya adalah makhluk. Dan, pada tempat yang lain beliau menolak perbuatan Allah diciptakan pada selainnya lalu disifati sebagai sifat Allah, misalnya berkalam. Beliau berkata:

وإذ كان ذلك كذلك صح أنه غير جائزٍ أن يكون صفةً لمخلوق والموصوف بها الخالق؛ لأنه لو جاز أن يكون صفةً لمخلوقٍ والموصوف بها الخالق، جاز أن يكون كل صفةٍ لمخلوقٍ فالموصوف بها الخالق، فيكون إذ كان المخلوق موصوفاً بالألوان والطعوم والأراييح والشم والحركة والسكون أن يكون الموصوف بالألوان وسائر الصفات التي ذكرنا الخالق دون المخلوق، في اجتماع جميع الموحدين من أهل القبلة وغيرهم على فساد هذا القول ما يوضح فساد القول بأن يكون الكلام الذي هو موصوفٌ به رب العزة كلاماً لغيره

“Jika hal itu demikian, maka benarlah bahwa tidak boleh suatu sifat pada makhluk namun yang disifati adalah Allah. Sebab, jika boleh suatu sifat pada makhluk lalu disebut sebagai sifat Tuhan, maka boleh seluruh sifat yang ada pada makhluk disifati sebagai sifat Tuhan. Sehngga, jika jika makhluk memiliki warna, rasa, aroma, gerak dan diam, maka jadilah yang disifati dengan sifat warna tadi dan semua sifat itu merupakan sifat Tuhan bukan sifat makhluk. Perkataan seperti ini diyakini sebagai keyakinan yang salah oleh seluruh orang yang menauhidkan Allah dan seluruh kaum muslimin, yaitu ketika menjadikan sifat kalam disifatkan pada Tuhan yang Maha mulia ternyata yang berkalam adalah selainnya (makhlukNya).” (Ath-Thabari, at-Tabshir fi Ma’alim ad-Din, Tahqiq Ali bin Abdil Aziz Ali Syibl, hal. 221, Daar al-Ashimah-Riyadh, cet. 1,1440 H.)

Paragraf ini menguatkan indikasi bahwa terjadi kesalahan penulisan, sehingga kata “ghair” yang ada dalam kalimat tersebut adalah kalimat tambahan yang semestinya beliau tidak masukkan. Karena penjelasan pada paragraf ini sama dengan kalimat setelah kata “ghair” tersebut. Walahu a’lam).

Oleh karena itu, beliau mengingkari orang-orang yang mengatakan bahwa bacaan terhadap kalam Allah menjadi makhluk saat dibaca oleh seorang qari, atau ditulis dalam mushaf atau dihafalkan di dalam dada. Tidak boleh sesuatu yang qadim menjadi muhdats.

Beliau berkata:

فلا شك أن من يزعم أن كلام الله يتحول بتلاوته إذا تلاه، وبحفظه إذا حفظه، أو بكتابه إذ كتبه محدثاً مخلوقاً؛ فبالله -تعالى ذكره- كافرٌ

“Tidak diragukan bahwa siapa yang mengatakan kalam Allah berubah jika dibaca, dihafalkan atau ditulis menjadi sesuatu yang muhdats dan makhluk, demi Allah –Ta’ala- dia merupakan seorang yang kafir.” (Ath-Thabari, at-Tabshir fi Ma’alim ad-Din, Tahqiq Ali bin Abdil Aziz Ali Syibl, hal. 166, Daar al-Ashimah-Riyadh, cet. 1,1440 H.)

Imam ath-Thabari –rahimahullah- meyakini bahwa al-Qur’an sejak diturunkan memang sudah berbahasa Arab. Dengan kata lain, Allah –Azza wajalla- berkalam dengan bahasa Arab. Bukan merupakan kalam yang tidak berhuruf tegak pada diri Allah –Azza wajalla- lalu saat turun ke dunia malaikat Jibril atau Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- merubahnya ke dalam bahasa Arab.

Imam ath-Thabari –rahimahullah- berkata:

أن كلّ رسول لله جل ثناؤه أرسله إلى قوم، فإنما أرسله بلسان من أرسله إليه، وكلّ كتاب أنزله على نبي، ورسالة أرسلها إلى أمة، فإنما أنزله بلسان من أنزله أو أرسله إليه. فاتضح بما قلنا ووصفنا، أن كتاب الله الذي أنزله إلى نبينا محمد صلى الله عليه وسلم، بلسان محمد صلى الله عليه وسلم. وإذْ كان لسان محمد صلى الله عليه وسلم عربيًّا، فبيِّنٌ أن القرآن عربيٌّ. وبذلك أيضًا نطق محكم تنزيل ربنا

“Setiap Rasul yang Allah –Azza wajalla- utus pada satu kaum, maka Allah mengutusnya dengan menggunakan bahasa kaum itu. Demikian setiap kitab yang Allah –Azza wajalla- turunkan kepada Nabi atau risalah yang Allah utus pada satu umat, maka Allah menurunkannya dengan bahasa orang yang diutus kepadanya. Sehingga jelas apa yang kami katakan dan yang kami sifatkan, bahwa kitab Allah yang Allah turunkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan menggunakan bahasa Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Sehingga, jika bahasa Nabi Muhammad –Shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah bahasa Arab, maka jelas al-Qur’an juga berbhasa Arab. Dengan bahasa itulah kitab Tuhan kita berbicara.” (Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid, jilid 1, hal. 59, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)

Olehnya, tidak ada al-Qur’an yang lain yang dipahami oleh imam ath-Thabari –rahimahullah- sebagai kalam Allah yang bukan makhluk selain al-Qur’an berbahasa Arab yang kita baca saat ini. Beliau berkata:

فَمَنْ قَالَ غَيْرَ ذَلِكَ أَوِ ادَّعَى أَنَّ قُرْآنًا فِي الْأَرْضِ أَوْ فِي السَّمَاءِ سِوَى الْقُرْآنِ الَّذِي نَتْلُوهُ بِأَلْسِنَتِنَا وَنَكْتُبُهُ فِي مَصَاحِفِنَا، أَوِ اعْتَقَدَ غَيْرَ ذَلِكَ بِقَلْبِهِ، أَوْ أَضْمَرَهُ فِي نَفْسِهِ، أَوْ قَالَهُ بِلِسَانِهِ دَائِنًا بِهِ، فَهُوَ بِاللَّهِ كَافِرٌ، حَلَالُ الدَّمِ

“Maka barangsiapa yang mengatakan selain itu atau mendakwa bahwa ada al-Qur’an di bumi atau di langit selain al-Qur’an yang kita baca dengan lisan kita, atau yang kita tulis dalam mushaf kita atau berkeyakinan selain itu di dalam hatinya, atau ia sembunyikan dalam jiwanya atau ia katakan dengan lisannya dengan meyakini itu, maka demi Allah, ia adalah seorang yang kafir, halal darahnya ditumpahkan.” (Ath-Thabari, Sharih sunnah, tahqiq Mahmud bin Husain Ali Audh, 81, Tabshir-Mesir, cet. 2, 1441 H.)

Keyakinan beliau terhadap al-Qur’an jelas sangat berbeda dengan keyakinan kelompok Asya’irah. menurut Asya’irah, al-Qur’an yang berbahasa Arab yang tertulis di mushaf adalah makhluk. Ia merupakan hasil terjemahan dari Malaikat Jibril atau Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dari kalam nafsi yang tidak berhuruf. Mereka meyakini bahwa al-Qur’an ada dua, yaitu al-Qur’an yang tegak pada diri Allah yang tidak berhuruf dan al-Qur’an yang merupakan kalam lafzhi yang berhuruf yang merupakan makhluk.

Keyakinan mereka dari zaman dahulu hingga sekarang seperti ini, dan sudah terjadi debat antara mereka dengan ulama ahli sunnah terkait keyakinan ini. Diantaranya adalah imam al-Muwaffaq Ibnu Quddamah (W. 620 H.) –rahimahullah- penulis kitab al-Mughni yang menjadi buku terbaik dalam membahas fiqh imam Ahmad –rahimahullah-. Hasil perdebatan antara dirinya dengan Asya’irah beliau tuliskan dalam buku yang berjudul Hikyat “Munazharah Fi al-Qur’an” (cerita perdebatan terkaiat al-Qur’an). Dalam buku tersebut, beliau berkata:

وَعِنْدهم أَن هَذِه السُّور والآيات لَيست بقرآن وَإِنَّمَا هِيَ عبارَة عَنهُ وحكاية وانها مخلوقة وَأَن الْقُرْآن معنى فِي نفس الْبَارِي وَهُوَ شَيْء وَاحِد لَا يتَجَزَّأ وَلَا يَتَبَعَّض وَلَا يَتَعَدَّد وَلَا هُوَ شَيْء ينزل وَلَا يُتْلَى وَلَا يسمع وَلَا يكْتب وَأَنه لَيْسَ فِي الْمَصَاحِف إِلَّا الْوَرق والمداد وَاخْتلفُوا فِي هَذِه السُّور الَّتِي هِيَ الْقُرْآن فَزعم بَعضهم انها عبارَة جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلَام هُوَ الَّذِي ألفها بإلهام الله تَعَالَى لَهُ ذَلِك وَزعم آخَرُونَ مِنْهُم أَن الله تَعَالَى خلقهَا فِي اللَّوْح الْمَحْفُوظ فَأَخذهَا جِبْرِيل مِنْهُ

“Menurut mereka surat-surat dan ayat-ayat ini bukanlah al-Qur’an. Ia hanyalah pengibaratan atau hikayat terhadap al-Qur’an yang merupakan makhluk. Adapun al-Qur’an adalah makna yang ada dalam diri Allah, sesuatu yang tidak memiliki bagian, tidak memiliki jumlah, tidak diturunkan, tidak dibaca, tidak didengar dan tidak ditulis dalam mushaf. Yang ada dalam mushaf menurut mereka hanyalah kertas dan tinta. Mereka juga berbeda pendapat mengenai surat-surat dan ayat-ayat yang sebenarnya itulah al-Qur’an. Sebagian mereka mengatakan itu adalah ucapan Jibril yang ia buat berdasarkan ilham dari Allah –Ta’ala-, sedangkan sebagian yang lain menganggap bahwa Allah –Ta’ala- menciptakannya di lauh al-Mahfuzh lalu Malaikat Jibril mengambilnya darinya.” (Ibnu Quddamah, Hikayat al-Munazharah Fi al-Qur’an, tahqiq Abdullah bin Yusuf al-Judai’, hal. 17-18, Maktabah Rusyd-Riyadh, cet. 2, 1418 H.)

Apa yang disebutkan oleh Imam Ibnu Quddamah –rahimahullah- ini sesuai dengan pengakuan imam Syahrastani al-Asy’ary –rahimahullah-, yang berkata:

قالت الأشعرية:…فليس الكلام بين أظهرنا كلام الله وما كان كلاما لله فليس بين أظهرنا ولا كان دليلا ومعجزة ولا قرأناه ولا سمعناه بل الذي نقرأه مثل ذلك أو حكاية عن ذلك

“Asya’irah berkata… bahwa kalam yang ada di hadapan kita saat ini bukanlah kalam Allah. Kalam Allah tidak pernah di hadapan kita, tidak menjadi petunjuk dan mukjizat, kita tidak membacanya dan tidak mendengarnya. Justru yang kita baca adalah permisalannya atau hikayat tentangnya.” (Asy-Syahrastani, Nihayat al-Aqdam, tahqiq al-Farjiyum, hal. 299-300, Maktabah Tsaqafah ad-Diniyah-Mesir, cet.1, 1430 H.)

Jadi, keyakinan-keyakinan salah yang diingkari oleh imam ath-Thabari –rahimahullah- berupa penciptaan kalam pada selain diriNya, lalu kalam selain diriNya yang berupa makhluk disifatkan sebagai kalam Allah, merupakan pengingkaran beliau terhadap keyakinan kelompok Asya’irah. Lucunya, mereka tanpa malu memasukkan nama beliau sebagai orang yang berkeyakinan sama dengan mereka. Allahul musta’an.

Dalam masalah nuzul (turun) ke langit dunia dan ja-a (datang), imam ath-Thabari –rahimahullah- mengitsbatnya degan memahaminya sesuai zahirnya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa beliau mennggunakan metode itsbat dalam seluruh nama dan sifat-sifat Allah –Azza wajalla- dan mengingkari orang-orang yang menakwilnya pada makna yang lain, bahwa yang datang dan yang turun adalah perintahnya. Beliau berkata:

فإن قال لنا منهم قائلٌ: فما أنت قائلٌ في معنى ذلك؟
قيل له: معنى ذلك ما دل عليه ظاهر الخبر، وليس عندنا للخبر إلا التسليم والإيمان به، فنقول: يجيء ربنا -جل جلاله- يوم القيامة والملك صفاً صفاً، ويهبط إلى السماء الدنيا وينزل إليها في كل ليلةٍ، ولا نقول: معنى ذلك ينزل أمره

“Jika diantara mereka bertanya kepada kami, apa keyakinanmu terhadap makna itu?”, maka katakan padanya, maknanya adalah sesuai zahir dari atsar itu dan tidak ada kewajiban kita dari atsar itu selian menerima dan beriman padanya. Oleh karena itu, kami katakan, yang datang adalah Tuhan kita –Jalla jalaluhu- pada hari kiamat sedang para malaikat bershaf-shaf. Dan, yang turun ke langit dunia setiap malam adalah Allah dan kita tidak mengatakan bahwa yang turun adalah perintahNya.” (lihat: Ath-Thabari, at-Tabshir fi Ma’alim ad-Din, Tahqiq Ali bin Abdil Aziz Ali Syibl, hal. 161, Daar al-Ashimah-Riyadh, cet. 1,1440 H.)

Hal ini berbeda dengan keyakinan para Asya’irah yang secara jelas menakwilkan kata nuzul dengan turunnya perintahNya, bukan turunnya Allah –Azza wajalla-.

Ini hanya sebagian dari sekian banyak perbedaan antara keyakinan imam Ibnu Jarir ath-Thabari –rahimahullah- dengan keyakinan Asya’irah. siapa yang ingin membaca lebih banyak maka silahkan ia merujuk pada kitab-kitab beliau dan membandingkan perkataannya dengan perkataan ulama Asya’irah.

Adapun dalih mereka bahwa salah satu bukti keasyariahan beliau adalah terjadinya perseteruan antara dirinya dengan kelompok Hambali, maka ini sangat dipaksakan. Sebab beliau memuliakan imam Ahmad –rahimahullah- dan para pengikutnya, dan dalam masalah lafaz terhadap al-Qur’an, beliau tegas mengatakan bahwa keyakinannya sama dengan keyakinan imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah-. beliau berkata:

وَأَمَّا الْقَوْلُ فِي أَلْفَاظِ الْعِبَادِ بِالْقُرْآنِ، فَلَا أَثَرَ فِيهِ نَعْلَمُهُ عَنْ صَحَابِيٍّ مَضَى، وَلَا تَابِعِيٍّ قَضَى، إِلَّا عَمَّنْ فِي قَوْلِهِ الْغَنَاءُ وَالشِّفَاءُ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَرِضْوَانُهُ، وَفِي اتِّبَاعِهِ الرُّشْدُ وَالْهُدَى، وَمَنْ يَقُومُ قَوْلُهُ لَدَيْنَا مَقَامَ قَوْلِ الْأَئِمَّةِ الْأُولَى: أَبِي عَبْدِ اللَّهِ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

“Adapun terkait masalah lafaz hamba terhadap al-Qur’an, maka tidak ada atsar yang kami ketahui dari sahabat dan tabi’in kecuali dari seorang yang perkataannya adalah kecukupan dan penyembuh, semoga Allah merahmatinya dan meridhainya serta seluruh pengikut-pengikutnya yang mendapat petunjuk serta dari orang yang kedudukannya setara dengan perkataan para imam dalam pandangan kami, dia adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal semoga Allah meridhainnya.” (Ath-Thabari, Sharih sunnah, tahqiq Mahmud bin Husain Ali Audh, 103, Tabshir-Mesir, cet. 2, 1441 H.)

Yang berseteru dengan beliau hanyalah orang-orang awam dari kalangan hanabilah, bukan ulamanya. Bahkan, yang terjadi pada mereka adalah karena taqlid pada seorang ulama yang tidak bermazhab hanabilah, melainkan pada seorang ulama yang bermazhab zhahiriyah yang bernama Abu Bakar Muhammad bin Dawud azh-Zhahiri –rahimahullah-.

Menjelaskan kisah perseteruan tersebut, imam Ibnu Katsir (w. 774 H.) –rahimahullah- berkata:

وَدُفِنَ فِي دَارِهِ لِأَنَّ بَعْضَ عوام الحنابلة ورعاعهم منعوا دفنه نهاراً ونسبوه إلى الرفض، ومن الجلهة من رماه بلالحاد، وحاشاه من ذلك كله. بل كان أحد أئمة الإسلام علماً وعملاً بِكِتَابِ اللَّهِ وسنَّة رَسُولِهِ، وَإِنَّمَا تَقَلَّدُوا ذَلِكَ عن أبي بكر محمد بن داود الفقيه الظاهري، حيث كان يتكلم فيه ويرميه بالعظائم وبالرفض.

“Beliau dikuburkan di dalam rumahnya, karena sebagian orang awam dari kalangan Hanabilah menghalangi penguburannya, sebab mereka menuduhnya sebagai seorang syiah Rafidhah. Diantara orang jahil menuduhnya sebagai seorang yang sesat. Sungguh beliau sangat jauh dari semua tuduhan tersebut. Justru, beliau adalah salah seorang imam islam, seorang ulama yang beramal sesuai al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya. Orang-orang awam itu sebenarnya taklid pada seorang ulama yang bernama Abu Bakar Muhammad bin Dawud –rahimahullah-, seorang ahli fiqh yang bermazhab zahiriah. Ia menuduhnya dengan berbagai tuduhan besar dan menuduhnya sebagai seorang syiah Rafidhah.” (Ibnu Katsir, al-Bidayah Wa an-Nihayah, tahqiq Muhammad Samih Umar, Jilid 6, juz 11, hal. 194, Ibda’ Li al-I’lam Wa an-Nasyr-Kairo, cet. 20, 1442 H.)

Jadi, menjadikan kisah perseteruannya dengan hanabilah dan menghubungkannya dalam perbedaan akidah adalah kedustaan. Sebab, beliau sama sekali tidak berbeda akidah dengan mereka. Perseteruan itu terjadi pada orang awam yang terpengaruh perkataan seorang ulama bermazhab Zhahiriyah yang menuduhnya sebagai soerang Syiah. Wallahu a’lam.

Semoga Allah menjauhkan kita semua dari sikap khianat ilmiah dalam mengutip perkataan-perkataan ulama dan menjauhkan kita semua dari segala bentuk kesesatan. Aamin.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Tinggalkan Komentar

By admin