Apakah Khurafat Lokasi Tuhan?

Ahlussunnah waljama’ah meyakini bahwa Allah -Azza wajalla- berada di atas langit. Keberadaan-Nya di atas langit bukanlah sesuatu yang bersifat khayalan atau sekedar majaz, tapi hal itu merupakan suatu hakikat yang nyata. Dzat Allah -Azza wajalla- yang Maha Agung berada di atas Arsy, di atas langit-langit-Nya. Ini merupakan ijmak para salaf.

Imam Abu Ibrahim al-Muzani (w. 264 H.) yang merupakan murid Imam Syafi’i –rahimahumallah- berkata:

عال على عرشه في مجده بذاته وهو دان بعلمه من خلقه

Artinya:

“Allah –Azza wajalla– Maha Tinggi di atas Arsy-Nya bersama keagungan-Nya dengan Dzat-Nya dan Dia dekat dari hamba-Nya dengan Ilmu-Nya.” (Muhammad bin Umar Salim Bazmul, Idhah Syarh as-Sunnah Li al-Muzani, hal.  29, Daar al-Miirats an-Nabawi-Jeddah, t.cet. 1439 H.)

Imam Abu Umar ath-Thalamanki (w. 429 H.) –rahimahullah- berkata:

أجمع الْمُسلمُونَ من أهل السّنة على أَن معنى قَوْله {وَهُوَ مَعكُمْ أَيْن مَا كُنْتُم} وَنَحْو ذَلِك من الْقُرْآن أَنه علمه وَأَن الله تَعَالَى فَوق السَّمَوَات بِذَاتِهِ مستو على عَرْشه كَيفَ شَاءَ

Artinya:

“Seluruh kaum muslimin dari kalangan Ahlussunnah telah bersepakat, bahwa makna firman Allah –Azza wajalla-: “Dia bersama kalian dimanapun kalian berada”, dan ayat-ayat yang semisalnya di dalam Al-Qur’an maksudnya adalah Ilmu Allah. Adapun Allah –Ta’ala- berada di atas langit-langit-Nya dengan Dzat-Nya, bersemayam di atas Arsy-Nya sesuai kehendak-Nya.” (Adz-Dzahabi, al-Uluw Li al-Ali al-Azhim, Tahqiq Prof. Dr. Abdullah bin Shalih al-Barrak, jilid 2, hal. 1154, Daar al-Akidah-Riyadh, cet. 1, 1440 H.)

Akidah ini merupakan aqidah para Nabi yang bersumber dari wahyu Allah –Ta’ala-, yang kemudian mereka ajarkan dan dakwahkan pada umatnya. Salah satu bukti akan hal itu adalah kisah yang Allah –Azza wajalla- sebutkan di dalam Al-Qur’an, yaitu kisah Fir’aun yang memerintahkan Haman untuk membuat bangunan yang tinggi, agar bisa melihat Tuhannya Nabi Musa –Alaihissalam-. Sebab, ia menganggap Musa telah berdusta atas perkataannya. Allah -Azza wajalla- berfirman:

وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ يَٰهَٰمَٰنُ ٱبۡنِ لِي صَرۡحٗا لَّعَلِّيٓ أَبۡلُغُ ٱلۡأَسۡبَٰبَ أَسۡبَٰبَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ فَأَطَّلِعَ إِلَىٰٓ إِلَٰهِ مُوسَىٰ وَإِنِّي لَأَظُنُّهُۥ كَٰذِبٗاۚ

Terjemahnya:

 “Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhannya Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”. (Q.S. Ghafir: 36-37)

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H) –rahimahullah berkata:

يقول: وإني لأظنّ موسى كاذبا فيما يقول ويدّعي من أن له في السماء ربا أرسله إلينا

Artinya:

“Fir’aun berkata: “Sesungguhnya aku menganggap Musa telah berdusta atas apa yang ia katakan, bahwa ia memiliki Tuhan di atas langit yang mengutusnya kepada kita.” (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid dkk, Jilid 9, hal. 754, Daar al-Hadis-Kairo, t. cet, 1431 H)

Imam Abu al-Hasan al-Asy’ary (w. 324 H.) –rahimahullah- (setelah taubatnya dari akidah Kullabiyahnya), menjelaskan ayat tersebut dalam Kitab Ibanah karyanya, berkata:

فكذب موسى عليه السلام في قوله إن الله فوق السماوات

Artinya:

“Fir’aun mendustakan Nabi Musa -‘Alaihissalaam- atas perkataannya bahwa sesungguhnya Allah berada di atas langit-langitNya.” (Abu al-Hasan al-Asy’ary, al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah, tahqiq Prof. Dr. Muhammad bin Abdul ‘Alim ad-Dasuqi, hal. 108, Zahran Li an-Nasyr-Kairo, cet. 1, 1442 H.)

Ahlussunnah membangun akidahnya dalam masalah nama dan sifat Allah –Ta’ala- hanya mencukupkan pada apa yang disebutkan oleh Allah –Azza wajalla- dan Rasul-Nya –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Sebab hal ini adalah hal yang ghaib, seseorang tidak diperkenankan mendahului apa yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan dan tetapkan.

Oleh karena itu, hal-hal yang berkenaan dengan keberadaan Allah –Ta’ala-, Ahlussunnah hanya mencukupkan pada Al-Qur’an dan hadis saja, tidak mencoba menerka-nerka menggunakan akal. Ayat-ayat yang menyebutkan keberadaaan Allah –Ta’ala- cukup banyak, dan semua hanya berhenti pada penjelasan bahwa Allah di atas langit atau di atas Arsy-Nya. Demikian pula hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam- akan hal itu. Salah satunya adalah Hadis Jariyah, ketika Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepadanya. Dimana Allah? Ia berkata bahwa Allah di atas langit. Nabi kemudian menegaskan keimanannya dan membebaskannya dari perbudakan.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa pertanyaan dengan menggunakan kata “Dimana”, merupakan pertanyaan yang mempertanyakan keberadaan atau tempat. Maka Ahlussunnah hanya menjawab sebatas penjelasan Allah –Azza wajalla- dan penjelasan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- saja.

Inilah keyakinan dan akidah Ahlussunnah waljama’ah dari dulu hingga hari ini, yaitu bahwa Allah –Azza wajalla- dengan Dzat-Nya yang Maha Suci berada di atas langit, tidak ada yang mengingkari hal itu kecuali kelompok Jahmiyah dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan ahli kalam.

Sebagaiamana dinukil oleh imam al-Bukhari (w. 256 H.) –rahimahullah-, Hammad bin Zaid –rahimahullah– yang berkata:

مَا يُجَادِلُونَ إِلَّا أَنَّهُ لَيْسَ فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ

Artinya:

“Tidaklah mereka berdebat kecuali untuk menetapkan keyakinan bahwa di atas langit tidak ada Tuhan.” (al-Bukhari, Khalqu Af’al al-Ibad, Tahqiq Fahd bin Sulaiman al-Fahid, hal. 540, Maktabah al-Malik Fahd Atsnaa an-Nasyr-Riyadh, cet.4, 1440 H.)

Dinukil pula oleh Abdullah putra Imam Ahmad bin Hambal (w. 290 H.) –rahimahumallah- bahwa Abbad bin al-Awwam berkata:

كَلَّمْتُ بِشْرَ الْمَرِيسِيَّ وَأَصْحَابَ بِشْرٍ فَرَأَيْتُ آخِرَ كَلَامِهِمْ يَنْتَهِي أَنْ يَقُولُوا لَيْسَ فِي السَّمَاءِ شَيْءٌ

Artinya:

“Aku memperhatikan Kalimat Bisyr al-Marisi dan sahabat-sahabatnya, bahwa akhir dari perkataan mereka adalah mengatakan di atas langit tidak ada sesautu apapun.” (Abdullah bin Ahmad, as-Sunnah, Tahqiq Abu Abdillah Adil bin Abdillah Ali Hamdan, hal. 51, Daar al-Lu’lua-Beirut, cet. 5, 1444 H.)

Sebagian ulama ketika menyebutkan keberadaan Allah -Azza wajalla- di atas langit, menggunakan istilah “Saakinu al-Sama” (Penghuni Langit). Misalnya ketika Imam Abu al-Hasan al-Asy’ary (w. 324 H.) –rahimahullah- berhujjah bahwa Allah –Azza wajalla– di atas langit, beliau berkata:

ومن دعاء أهل الإسلام جميعا إذا هم رغبوا إلى الله تعالى في الأمر النازل بهم يقولون جميعا: يا ساكن السماء

 Artinya:

 “Diantara doa seluruh orang Islam, jika mereka ingin Allah mengabulkan permohonan mereka atas masalah yang mereka hadapi, seluruh mereka berkata: “Wahai Sang Penghuni langit.” (Abu al-Hasan al-Asy’ary, al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah, Tahqiq Prof. Dr. Muhammad bin Abdul ‘Alim ad-Dasuqi, hal. 111, Zahran Li an-Nasyr-Kairo, cet. 1, 1442 H.)

Perkataan imam Abu al-Hasan al-Asy’ari –rahimahullah– ini dinukil pula oleh Imam Adz-Dzahabi (w. 748 H.) –rahimahullah– dalam Kitab al-Uluw tanpa komentar apapun, bahkan beliau menjadikan sebagai hujjahnya bahwa Allah di atas langit. Beliau berkata:

قَالَ الْحَافِظ أَبُو الْعَبَّاس أَحْمد بن ثَابت الطرقي قَرَأت كتاب أبي الْحسن الْأَشْعَرِيّ الموسوم ب الْإِبَانَة أَدِلَّة على إِثْبَات الاسْتوَاء قَالَ فِي جملَة ذَلِك وَمن دُعَاء أهل الْإِسْلَام إِذا هم رَغِبُوا إِلَى الله يَقُولُونَ يَا سَاكن الْعَرْش

Artinya:

“Al-Hafizh Abu al-Abbas Ahmad bin Tsabit ath-Tharqi –rahimahullah- berkata: “Aku telah membaca kitab milik Abu al-Hasan al-Asy’ary –rahimahullah- yang berjudul “al-Ibanah”, dalil-dalil akan tsabitnya istiwa, diantaranya, ia berkata: “Diantara doa orang-orang islam, jika mereka ingin Allah mengabulkan permohonan mereka atas apa yang mereka hadapi, mereka berkata, “Wahai penghuni al-Arsy.” (Adz-Dzahabi, al-Uluw Li al-Ali al-Azhim, Tahqiq Prof. Dr. Abdullah bin Shalih al-Barrak, jilid 2, hal. 1092-1093, Daar al-Akidah-Riyadh, cet. 1, 1440 H.)

Tidak adanya komentar Imam adz-Dzahabi –rahimahullah– terhadap perkataan ini menujukkan bahwa Imam Adz-Dzahabi –rahimahullah– memandang benar maknanya. Sebab, Manhaj Imam adz-Dzahabi –rahimahullah– dalam penulisan kitab al-Uluw, menukil perkataan ulama dengan mengomentarinya, menjelaskan kesalahannya jika salah dan membenarkannya jika benar. Di antara bukti lainnya yaitu beliau juga menyebutkan kisah Nabi Dawud –‘alaihissalam– yang berdoa dengan menggunakan kalimat Yaa Sakina al-Sama (Wahai Penghuni Langit) sebagai dalil beliau bahwa Allah di atas langit dan menyebutkan bahwa sanadnya shalih. Beliau berkata:

كَانَ دَاوُد عَلَيْهِ السَّلَام يُطِيل الصَّلَاة ثمَّ يرْكَع ثمَّ يرفع رَأسه إِلَى السَّمَاء ثمَّ يَقُول إِلَيْك رفعت رَأْسِي يَا عَامر السَّمَاء نظر العبيد إِلَى أَرْبَابهَا يَا سَاكن السَّمَاء – إِسْنَاده صَالح

Artinya:

“Dawud -‘Alaihissalaam– pernah melaksanakan shalat cukup panjang, lalu ruku, kemudian ia mengangkat kepalanya ke atas langit lalu berkata: “Kepada-Mu kuangkatkan kepalaku wahai penguasa langit. Seorang hamba melihat pada patung-patungnya wahai yang menempati langit.” Adz-Dzahabi berkata: “Sanadnya shalih” .” (Adz-Dzahabi, al-Uluw Li al-Ali al-Azhim, Tahqiq Prof. Dr. Abdullah bin Shalih al-Barrak, jilid 1, hal. 486, Daar al-Akidah-Riyadh, cet. 1, 1440 H.)

Hanya saja, penggunaan kalimat ini tidak dipahami oleh mereka bahwa Allah diliputi oleh langit atau Allah berada dalam dzat makhluk-Nya, sebab hal itu tidak pernah diucapkan oleh satupun dari kalangan salaf.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– berkata:

لَيسَ معنى ذَلِكَ أنّ الله فِي جوف السّمَاء، وأنّ السَّمَاوَات تحصره وتحويه، فإن هَذَا لَم يقله أحد من السّلف الأمة وأئمتها بل هم متفقون عَلَى أنّ الله فَوقَ سماواته، عَلَى عرشه، بائن من خلقه لَيسَ فِي مخلوقاته شيء من ذاته، وَلاَ فِي ذاته شيء من مخلوقاته.

Artinya:

“Menyebut Allah berada di langit bukan berarti maksudnya adalah Allah berada dalam ruang langit, membatasi dan meliputinya. Sebab, tidak ada satupun salaf dan para Imam yang mengatakan seperti itu. Justru, mereka bersepakat bahwa Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, tidak ada pada makhluk-Nya sedikitpun dari Dzat Allah dan tidak pula pada Dzat Allah sedikitpun dari makhluk-Nya.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abdul Aziz al-Jundi dan Asyraf Jalaluddin asy-Syarqawi, Jilid 3, hal. 157, Daar al-Hadis-Kairo, t.cet, 1435 H.)

Perlu kami pertegas, bahwa penyebutan kata “lokasi/tempat” bagi Allah dalam artikel ini hanya dalam makna bahwa Allah berada di atas Arsy-Nya dengan Dzat-Nya, untuk menunjukkan sifat Uluw pada Allah. Bukan tempat dalam makna makhluk, sehingga Allah butuh padanya, Tidak!. Sebab, kata tempat juga tidak disebut dalam al-Qur’an ataupun hadis. Oleh karenanya, kami menyebutnya hanya untuk mempermudah pemahaman bahwa Allah benar-benar berada di atas langit dengan keagungan Dzat-Nya, menunjukkan sifat Uluw dan Fauqiyah.

Dipahami oleh para ulama bahwa keberadaan Allah –Azza wajalla– di atas Arsy, melazimkan adanya jarak antara makhluk dengan Allah. Ada yang dekat dan ada yang jauh. Sehingga, semakin tinggi posisi makhluk maka akan semakin dekat jaraknya dengan Dzat Allah.

Imam Abu Sa’id Utsman bin Sa’id ad-Darimi (w. 280 H.) –rahimahullah– berkata:

مَنْ آمَنَ بِأَنَّ اللَّهَ فَوْقَ عَرْشِهِ فَوْقَ سَمَوَاتِهِ عَلِمَ يَقِينًا أَنَّ رَأْسَ الْجَبَلِ أَقْرَبُ إِلَى اللَّهِ مِنْ أَسْفَلِهِ، وَأَنَّ السَّمَاءَ السَّابِعَةَ أَقْرَبُ إِلَى عَرْشِ اللَّهِ تَعَالَى مِنَ السَّادِسَةِ، وَالسَّادِسَةَ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنَ الْخَامِسَةِ، ثُمَّ كَذَلِكَ إِلَى الْأَرْضِ. كَذَلِكَ رَوَى إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ5، عَنِ ابْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ قَالَ: “رَأْسُ الْمَنَارَةِ أَقْرَبُ إِلَى اللَّهِ مِنْ أَسْفَلِهِ وَصَدَقَ ابْنُ الْمُبَارَكِ؛ لِأَنَّ كُلَّ مَا كَانَ إِلَى السَّمَاءِ أَقْرَبُ كَانَ إِلَى اللَّهِ أَقْرَبَ

Artinya:

“Barangsiapa beriman bahwa Allah di atas Arsy-Nya dan Arsy-Nya berada di atas langit-langit-Nya, akan mengetahui dengan yakin bahwa puncak gunung lebih dekat pada Allah daripada dasar gunung. Demikian pula langit ke tujuh lebih dekat pada Arsy Allah –Ta’ala– daripada langit ke enam, langit keenam lebih dekat padanya daripada langit kelima, kemudian begitu juga dengan bumi. Ishak bin Ibrahim al-Hanzhali telah meriwayatkan dari Abdullah bin al-Mubarak –rahimahullah– bahwa Ia berkata, “Puncak menara lebih dekat pada Allah daripada dasarnya.” Abdullah bin Mubarak telah berkata benar. Sebab, apapun yang samakin dekat dengan langit maka ia akan semakin dekat pada (Dzat) Allah.” (Abu Sa’id Utsamn Ad-Darimi, Naqdhu al-Imam Abu Sa’id Utsman Bin Sa’id Ala al-Marisi, Tahqiq Abu Ashim asy-Syaami al-Atsari, hal. 193, al-Maktabah al-Islamiyah-Kairo, cet. 3,1442 H)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah (w.  728 H.) –rahimahullah– berkata:

أهل السنة والجماعة يثبتون أن الله على العرش، وأن حملة العرش أقرب إليه ممن دونهم، وأن ملائكة السماء العليا أقرب إلى الله من ملائكة السماء الثانية، وأن النبي صلى الله عليه وسلم لما عرج به إلى السماء صار يزداد قربًا إلى ربه بعروجه وصعوده

Artinya:

“Ahlussunnah waljama’ah menetapkan bahwa Allah di atas Arsy dan bahwa Malaikat yang memikul Arsy lebih dekat pada Allah dari selain mereka. Demikian pula malaikat langit yang paling tinggi lebih dekat pada Allah daripada malaikat langit kedua. Ketika Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam–  di-mi’raj-kan ke atas langit, posisi beliau lebih dekat pada Allah dengan mi’raj-nya itu.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abdul Aziz al-Jundi dan Asyraf Jalaluddin asy-Syarqawi, Jilid 3, hal. 356, Daar al-Hadis-Kairo, t.cet, 1435 H.)

Hal ini ditunjukkan al-Qur’an maupun Sunah. Misalnya firman Allah –Azza wajalla-:

تَعۡرُجُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ إِلَيۡهِ فِي يَوۡمٖ كَانَ مِقۡدَارُهُۥ خَمۡسِينَ أَلۡفَ سَنَةٖ 

Terjemahnya:

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (Q.S. Al-Ma’arij: 4)

Menukil dari kitab al-Arsy karya Ibnu Abi Syaibah (w. 297 H.) –rahimahullah-, imam Ibnu Katsir (w.774 H.) –rahimahullah– berkata:

أَنَّ الْمُرَادَ بِذَلِكَ مَسَافَةُ مَا بَيْنَ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ إِلَى أَسْفَلِ السَّافِلِينَ، وَهُوَ قَرَارُ الْأَرْضِ السَّابِعَةِ، وَذَلِكَ مَسِيرَةُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، هَذَا ارْتِفَاعُ الْعَرْشِ عَنِ الْمَرْكَزِ الَّذِي فِي وَسَطِ الْأَرْضِ السَّابِعَةِ. وَذَلِكَ اتِّسَاعُ الْعَرْشِ مِنْ قُطْرٍ إِلَى قُطْرٍ مَسِيرَةُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، وَأَنَّهُ مِنْ يَاقُوتَةٍ حَمْرَاءَ، كَمَا ذَكَرَهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي كِتَابِ صِفَةِ الْعَرْشِ

Artinya:

“Makna yang dimaksud adalah jarak antara Arsy yang agung  sampai dasar bumi yang paling bawah, yaitu dasar bumi lapis ketujuh. Jarak ini membutuhkan perjalanan waktu lima puluh ribu tahun (hitungan dunia). Ini menunjukkan ketinggian Arsy (jika diukur) dari titik sumbu yang berada di bagian tengah lapis ketujuh bumi. Demikian pula luasnya Arsy dari satu sisi ke sisi lainnya sama dengan perjalanan lima puluh ribu tahun. Arsy itu dari Yaqut merah, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah –rahimahullah– dalam kitab al-Arsy.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid 4, hal. 361, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, Cet 3, 1433 H)

Ini merupakan pendapat para salaf sebagaimana yang dikemukakan oleh imam Ibnu Katsir –rahimahullah– ketika menafsirkan surah Ghafir ayat 17. Beliau berkata:

يَقُولُ تَعَالَى [مُخْبِرًا] عَنْ عَظَمَتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ، وَارْتِفَاعِ عَرْشِهِ الْعَظِيمِ الْعَالِي عَلَى جَمِيعِ مَخْلُوقَاتِهِ كَالسَّقْفِ لَهَا، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {مِنَ اللَّهِ ذِي الْمَعَارِجِ تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ [فَاصْبِرْ] } [الْمَعَارِجِ:3، 4] ، وَسَيَأْتِي بَيَانُ أَنَّ هَذِهِ مَسَافَةُ مَا بَيْنَ الْعَرْشِ إِلَى الْأَرْضِ السَّابِعَةِ، فِي قَوْلِ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ، وَهُوَ الْأَرْجَحُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Artinya:

“Allah –Ta’ala– mengabarkan tentang keagugan-Nya dan ketinggian Arsy-Nya yang agung dari seluruh makhluk-Nya, bagaikan atap untuk semua makhluk. Sebagaimana firman Allah –Azza wajalla– (yang terjemahnya) “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” (Q.S. Al-Ma’arij: 4). Akan di kami jelaskan nanti bahwa ayat ini menjelaskan jarak antara arsy sampai bumi yang ketujuh berdasarkan perkataan segolongan salaf dan ulama belakangan (kontemporer). Dan ini adalah pendapat yang paling kuat insya Allah.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid 4, hal. 64, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, Cet 3, 1433 H)

Ayat lain yang menunjukkan kelaziman jarak antara Allah dengan makhluk-Nya adalah firman Allah –Azza wajalla-:

وَنَٰدَيۡنَٰهُ مِن جَانِبِ ٱلطُّورِ ٱلۡأَيۡمَنِ وَقَرَّبۡنَٰهُ نَجِيّٗا 

Terjemahnya:

“Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami).” (Q.S. Maryam: 52)

Sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– berkata:

أدني حتى سمع صريف القلم

Artinya:

“Musa didekatkan hingga ia mendengarkan suara pena.” (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid dkk, Jilid 7, hal. 766, Daar al-Hadis-Kairo, t. cet, 1431 H)

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka jika ada yang mengatakan “lokasi” atau “tempat” Allah di atas langit, bersemayam di atas Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, dan tidak membutuhkan makhluk-Nya maka hal itu sudah benar dan bukanlah sesuatu yang khurafat. Justru, yang mengingkari Allah berada di atas langit, di atas Arsy-Nya adalah pandangan kelompok Jahmiyah, sebagaimana telah dijelaskan.

Adapun hujjah yang biasa mereka sebutkan, berupa hadis:

كان الله ولا شيء معه وهو الآن على ما عليه كان

Artinya:

“Allah ada dan tidak ada yang bersama-Nya, dan Dia sekarang sebagaimana Dia ada.”

Ini merupakan hadis palsu. Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) –rahimahullah– sebagaimana ia berhujjah dengan perkataan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– berkata:

تنبيه: وقع في بعض الكتب في هذا الحديث (( كان الله ولا شيء معه وهو الآن على ما عليه كان)) وهي زيادة ليست في شيء من كتب الحديث نبه على ذلك العلامة تقي الدين ابن تيمية

Artinya:

“Perhatian!: terdapat dalam beberapa kitab terkait lafaz hadis ini: “Allah ada dan tidak ada yang bersama-Nya, dan Dia sekarang sebagaimana Dia ada”, ini merupakan tambahan yang tidak ada asalnya sedikitpun dalam kitab-kitab hadis. Hal ini telah ditanbih oleh Taqiyuddin al-allamah Ibnu Taimiah –rahimahullah-.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarh Sahih Bukhari, jilid 6, hal. 347, Daar as—Salam-Riyadh, cet. 1, 1421 H.)

Wallahu A’lam Bishshawab.

Tinggalkan Komentar

By admin