Apakah Melihat Allah dengan Menghadap Pada-Nya Akidah Ahli Bid’ah atau Akidah Salaf?
Kaum muslimin akan melihat Allah -Azza wajalla- dengan mata kepala mereka di surga. Setiap muslim akan melihatnya dengan menghadap kepada-Nya, sedang Allah -Azza wajalla- berada di atas mereka.
Keyakinan ini kemudian disalahkan oleh para ahli kalam. Mereka menganggap bahwa melihat Allah –Azza wajalla- dengan menghadap kepada-Nya melazimkan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Alhasil, mereka menggelari orang-orang yang berkeyakinan seperti itu dengan gelar Musyabbihah Mujassimah.
Keyakinan para ahli kalam tersebut diperkuat oleh pernyataan Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani –rahimahullah- dalam Fath al-Barinya pada Bab ‘Izzhah al-Imam an-Naas Fi Itmam ash-Sholah’ saat menjelaskan perkataan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- “Sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku.”. Beliau berkata:
ثُمَّ ذَلِكَ الْإِدْرَاكُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بِرُؤْيَةِ عَيْنِهِ انْخَرَقَتْ لَهُ الْعَادَةُ فِيهِ أَيْضًا فَكَانَ يَرَى بِهَا مِنْ غَيْرِ مُقَابَلَةٍ لِأَنَّ الْحَقَّ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ أَنَّ الرُّؤْيَةَ لَا يُشْتَرَطُ لَهَا عَقْلًا عُضْوٌ مَخْصُوصٌ وَلَا مُقَابَلَةٌ وَلَا قُرْبٌ وَإِنَّمَا تِلْكَ أُمُورٌ عَادِيَّةٌ يَجُوزُ حُصُولُ الْإِدْرَاكِ مَعَ عَدَمِهَا عَقْلًا وَلِذَلِكَ حَكَمُوا بِجَوَازِ رُؤْيَةِ اللَّهِ تَعَالَى فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ خِلَافًا لِأَهْلِ الْبِدَعِ لِوُقُوفِهِمْ مَعَ الْعَادَةِ
“Kemudian, pengetahuan bisa terjadi dengan melihatnya melalui peristiwa yang terjadi di luar kebiasaan manusia, sehingga ia bisa melihat tidak dengan cara saling berhadapan. Sebab, yang benar menurut Ahlussunnah, sesungguhnya melihat sesuatu tidak dipersyratkan secara akal mesti adanya anggota badan tertentu, berhadapan dan berdekatan. Sesungguhnya perkara itu merupakan hal-hal yang biasa. Bisa saja pengetahuan terjadi tanpa wujud hal-hal tersebut. Olehnya, mereka berkeyakinan bolehnya terjadi proses melihat Allah –Azza wajalla- pada hari kiamat. Keyakinan mereka menyelisihi para Ahli bid’ah yang meyakini melihat Allah seperti keadaan biasa saja (yaitu bukan dengan cara yang luar biasa diluar kebiasaan manusia-pent).” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarh Sahih Bukhari, jilid 1, hal. 666, Daar as—Salam-Riyadh, cet. 1, 1421 H.)
Pernyataan beliau dalam hal ini sesuai dengan pendapat kelompok Asy’ary dan tidak sesuai dengan keyakinan para salaf. Kelompok Asy’ary menolak cara melihat Allah –Azza wajalla- terjadi dengan menghadap dan mengarah pada-Nya, sebagaimana biasanya kita melihat. Karena hal itu dalam keyakinan mereka akan melazimkan sifat Uluwwudzat dan Fauqiyyah yang mereka tolak, serta melihatNya melalui arah. Bagi mereka, semua itu mustahil pada Allah –Azza wajalla- dan tidak boleh disifati seperti itu. Menyifati Allah –Azza wajalla- seperti itu berarti menyamakan Allah –Azza wajalla- dengan makhluk.
Kenyataannya, tidak seperti yang mereka klaim. Sebab, keyakinan para salaf, Allah –Azza wajalla- dapat dilihat dengan cara seperti itu, yaitu dilihat dengan mengarah kepadaNya, di atas mereka. Dalil-dalil yang menjelaskan Uluwullah dan Fauqiyyah, yaitu bahwa Allah -Azza wajalla- berada di atas langit, sangat banyak, baik dalam al-Qur’an ataupun hadits-hadits Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Para ulama pun telah bersepakat akan hal itu.
Imam Ibnu Baththah al-Ukburi –rahimahullah- berkata:
وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ، وَجَمِيعِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ، فَوْقَ سَمَاوَاتِهِ بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ، وَعِلْمُهُ مُحِيطٌ بِجَمِيعِ خَلْقِهِ، لَا يَأْبَى ذَلِكَ وَلَا يُنْكِرْهُ إِلَّا مَنِ انْتَحَلَ مَذَاهِبَ الْحُلُولِيَّةِ
“Kaum muslimin telah bersepakat mulai dari kalangan sahabat, tabi’in dan seluruh ahli ilmu bahwa Allah –Azza wajalla- berada di atas arsy-Nya, di atas langit-langitNya, terpisah dari makhlukNya, sedang ilmuNya meliputi seluruh makhlukNya. Tidak ada yang mengingkari hal ini kecuali orang-orang yang bermazhab Hululiyyah (Allah menyatu dengan makhlukNya).” (Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra, tahqiq Abu Abdillah Adil bin Abdillah Ali Hamdan, jilid 2, hal. 415, Daar al-Luluah-Libanon, cet. 2, 1439 H).
Imam adz-Dzahabi –rahimahullah- dalam al-Arsy dan al-Uluwnya menukil perkataan Imam Abu Nashr Ubaidillah as-Sijzi –rahimahullah- yang berkata:
وأئمتنا الثوري، ومالك، وابن عيينة، وحماد بن سلمة، وحماد بن زيد، وابن المبارك، وفضيل بن عياض، وأحمد، وإسحاق، متفقون على أن الله فوق عرشه بذاته، وأن علمه بكل مكان
“Para imam kami seperti at-Tsauri, Malikm Ibnu Uyainah, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Ibnu al-Mubarak, Fudhail bin Iyadh, Ahamd bin Hambal dan Ishak bin Rahuyah semuanya sepakat bahwa Allah –Azza wajalla- berada di atas Arsy-Nya dengan Dzat-Nya sedangkan ilmu-Nya di seluruh tempat.” (Adz-Dzahabi, al-Arsy, tahqiq Muhammad bin Khalifah at-Tamimi, jilid 2, hal. 353, Adhwa as-Salaf-Riyadh, cet.1, 1420 H.)
Berdasarkan kesepakatan ini, maka melihat Allah –Azza wajalla- di depan mata pada arah atas bukanlah akidah bid’ah sebagaimana klaim kelompoik Asya’irah. Yang menyelisihi akidah ini justru telah berbuat bid’ah, karena para salaf tidak memahami kata ‘iyanan (melihat dengan mata) kecuali dengan berhadapan. Sesuatu yang terlihat itu wujudnya ada di depan mata.
Imam al-Azhari -rahimahullah- ketika menjelaskan makna ‘iyanan berkata:
وَرَأَيْت فلَانا عِيَاناً أَي مُوَاجهَة
“Aku melihat seseorang dengan mataku, maksudnya berhadapan.” (Abu Manshur al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, jilid 3, hal. 131, Maktabah Syamilah)
Diantara dalil bahwa manusia akan melihat Allah dengan matanya, dengan menghadap pada-Nya adalah firman Allah –Azza wajalla-:
فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Kata liqa dalam bahasa Arab bermakna bertemu atau berhadapan. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –rahimahullah- berkata:
وفي هذه الآية دليل على ملاقاة الله تعالى، وقد استدل بها بعض أهل العلم على ثبوت رؤية الله; لأن الملاقاة معناها المواجهة
“Pada ayat ini merupakan dalil bahwa kaum muslimin akan berjumpa dengan Allah. Sebagian ulama juga menjadikannya sebagai dalil akan pastinya manusia melihat Allah. Sebab makna liqa adalah berhadapan.” (al-Utsaimin, al-Qaul al-Mufid, hal. 452, Daar Ibni al-Jauzi- Damam, cet.8, 1438 H.)
Kata liqa juga apabila disandingkan dengan penghormatan, maka ia bermakna melihat dengan mata. Allah -Azza wajalla- berfirman:
تَحِيَّتُهُمۡ يَوۡمَ يَلۡقَوۡنَهُۥ سَلَٰمٞۚ وَأَعَدَّ لَهُمۡ أَجۡرٗا كَرِيمٗا
“Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: Salam.” (QS. Al-Ahzab: 44)
Imam Ibnu Baththah –rahimahullah- berkata:
أَجْمَعَ أَهْلُ اللُّغَةِ أَنَّ اللِّقَاءَ هَاهُنَا لَا يَكُونُ إِلَّا مُعَايَنَةً وَنَظَرًا بِالْأَبْصَارِ
“Para ulama ahli bahasa bersepakat bahwa kata liqa (perjumpaan) pada ayat ini adalah perjumpaan yang tidaklah terjadi kecuali dengan melihat secara ‘iyanan dan melihat menggunakan mata.” (Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra, tahqiq Abu Abdillah Adil bin Abdillah Ali Hamdan, jilid 2, hal. 384, Daar al-Luluah-Libanon, cet. 2, 1439 H).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
أن تفسير اللقاء بأنه رؤية ليس فيها مواجهة ولا مقاربة تفسير للفظ ما لا يعرف في شيء من لغات العرب أصلاً
“Sesungguhnya penafsiran kata liqa bermakna melihat tanpa adanya perjumpaan dan pendekatan merupakan tafsir terhadap lafaz yang tidak dipahami dalam berbagai bahasa Arab sedikitpun.” (Ibnu Taimiyah, Bayan Talbis al-Jahmiyah, jilid 8, hal. 54, Maktabah Syamilah)
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa suatu saat nanti kaum muslimin akan melihat Allah –Azza Wajalla- laksana melihat rembulan, itu terjadi dengan menghadap dengan wajah mengarah padanya. Oleh karena itu, manusia juga akan melihat Allah –Azza wajalla- dengan menghadap pada-Nya. Sebab Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menyerupakan cara melihat rembulan dengan cara melihat Allah -Azza wajalla-.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata:
وَمَعْلُومٌ أَنَّا نَرَى الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ عِيَانًا مُوَاجَهَةً فَيَجِبُ أَنْ نَرَاهُ كَذَلِكَ. وَأَمَّا رُؤْيَةُ مَا لَا نُعَايِنُ وَلَا نُوَاجِهُهُ فَهَذِهِ غَيْرُ مُتَصَوَّرَةٍ فِي الْعَقْلِ فَضْلًا عَنْ أَنْ تَكُونَ كَرُؤْيَةِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ
“Dan merupakan sesuatu yang telah dipahami bahwa kita melihat matahari dan bulan dengan menggunakan mata dalam keadaan menghadap pada matahari dan bulan itu, maka berarti kita juga melihat Allah –Azza wajalla- seperti itu. Adapun melihat dengan tanpa menghadap padanya maka cara ini tidak dipahami oleh akal, apalagi sebagaimana (penyerupaan yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) kita melihat matahari dan rembulan.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abdul Aziz al-Jundi dan Asyraf Jalaluddin asy-Syarqawi, Jilid 8, hal. 296, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet, 1435 H.)
Seperti inilah akidah para salaf, pemahaman mereka tidak terkotori oleh noda-noda ilmu kalam. Olehnya, mereka memahaminya sesuai bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Pemahaman ini kemudian diwariskan kepada para ahli hadits, ahlussunnah waljama’ah.
Imam ash-Shabuni -raihimahullah- berkata:
ويشهد أهل السنة أن المؤمنين يرون ربهم تبارك وتعالى بأبصارهم، وينظرون إليه على ما ورد به الخبر الصحيح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في قوله: (إنكم ترون ربكم كما ترون القمر ليلة البدر)، والتشبيه وقع للرؤية بالرؤية، لا للمرئي بالمرئي
“Ahlussunnah bersaksi bahwa kaum mukminin akan melihat Rabb mereka dengan mata mereka. Mereka akan melihat padaNya sesuai yang disebutkan dalam hadits yang sahih bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian seperti melihat bulan pada malam purnama”. Pada hadits ini penyerupaan terjadi pada cara melihat dengan cara melihat bukan penyerupaan sesutu yang dilihat dengan sesutu yang dilihat.” (Ash-Shabuni, Aqidah as-Salaf Wa Ashabul Hadits, tahqiq Dr. Nashir bin Abd. Rahman bin Muhammad al-Jadi’, hal. 263-264, Daar al-Ashimah-Riyadh, cet. 2, 1419 H.)
Jadi, melihat Allah dengan menghadap kepada-Nya adalah akidah salaf, akidah ahlissunnah dan bukanlah akidah ahli bid’ah. Keyakinan ini tidak bisa dikatakan sebagai akidah musyabbihah mujassimah. Imam as-Safarini –rahimahullah- berkata:
فَاعْلَمْ أَنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ يَظُنُّونَ أَنَّ الْقَائِلَ بِالْجِهَةِ أَوِ الِاسْتِوَاءِ هُوَ مِنَ الْمُجَسِّمَةِ، لِأَنَّهُمْ يَتَوَهَّمُونَ أَنَّ مَنْ لَازَمَ ذَلِكَ التَّجْسِيمَ، وَهَذَا وَهْمٌ فَاسِدٌ، وَظَنٌّ كَاذِبٌ
“Ketahuilah, bahwa banyak orang mengira terhadap orang yang mengatakan tentang arah atau bersemayam merupakan seorang Mujassimah. Hal ini karena mereka salah memahami dan mengira konsekuensi dari hal ini adalah tajsim. Ini adalah prasangka yang salah dan dusta.” (Abu al-Aun as-Safarini, Lawami’ al-Anwar al-Bahiyah, Tahqiq Khalid bin Muhammad bin Zhahir al-Qahthani dan Ismail bin Ghishab al-Adawi, jilid 1, hal. 593, Daar at-Tauhid li an-Nasyr-Riyadh, Cet. 1, 1437 H.)
Adapun perkataan imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani –rahimahullah- yang kami nukilkan di awal artikel ini, maka sebagaimana kami sebutkan di awal, hal itu bertentangan dengan akidah salaf. Hal ini dapat ditunjukkan dari beberapa sisi:
Pertama, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menyamakan cara melihat matahari dan bulan dengan cara melihat Allah –Azza wajalla-. Cara melihat seperti ini sangat maklum bagi manusia, mereka sangat mengetahuinya, tidak ada yang jahil akannya. Oleh karenanya, perkataan beliau justru menyelisihi apa yang disebutkan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Kedua, mengatakan bahwa cara melihat Allah -Azza wajalla- terjadi diluar kebiasaan manusia membutuhkan dalil yang baru, yaitu dalil bahwa manusia melihat Allah tidak seperti melihat rembulan. Sebab, tidak dipahami dari kalimat “Seperti melihat rembulan” kecuali dengan mengarah kepadanya. Dan, tidak ada satupun dalil akan hal ini. Penggunaan huruf Jar إلى setelah kata kerja نظر Nazhar mengisyaratkan arah.
Ketiga, Jika kita berdalilkan dengan hadits yang disebutkan oleh imam al-Hafizh –rahimahullah-, justru hadits tersebut menyebutkan arah, yaitu arah belakang. Hadits tersebut yaitu:
هَلْ تَرَوْنَ قِبْلَتِي هَا هُنَا، فَوَاللَّهِ مَا يَخْفَى عَلَيَّ خُشُوعُكُمْ وَلاَ رُكُوعُكُمْ، إِنِّي لَأَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
“Apakah kalian memperhatikan bahwa arah kiblatku di sini? Demi Allah, sesungguhnya tidak akan tersembunyi dariku khusyu’ dan sujud kalian. Sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari belakang punggungku.” (HR. Bukhari)
Pada hadits ini, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tetap saja menyebutkan arah. Olehnya, menggunakan hadits ini sebagai dalil bahwa orang-orang akan melihat tanpa arah adalah sesuatu yang tidak tepat.
Keempat, melihat sesuatu yang tidak berwujud di depan mata adalah melihat ketiadaan, atau dengan kata lain tidak melihat sesuatu apapun. Seseorang tidak disebut melihat sesuatu kecuali sesuatu itu nampak di hadapan matanya. Makanya, cara ini sangat tidak dipahami oleh akal manusia dan tidak diperkenalkan oleh Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Karena yang dilakukan oleh Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah mempermisalkan cara melihat Allah seperti cara melihat rembulan, memiliki objek yang dapat dilihat. Tujuannya agar bisa dipahami.
Wallahu a’lam bishshowab.