Ayat Sifat Allah Tanpa Makna Dan Ulama Melarang Penafsirannya?
(Tanggapan Syubhat)
Bismillahirrahmanirrahim
Diantara keyakinan salah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Islam saat ini adalah keyakinan wajibnya mentafwidh ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan sifat Allah. Kelompok ini biasa disebut oleh para ulama sebagai kelompok mufawwidhah, yang pelakunya adalah orang-orang yang berfaham Asya’ary.
Keyakinan ini merupakan salah satu dari dua keyakinan kelompok Asy’ary tentang sifat Allah, yaitu Takwil dan Tafwidh.Tafwidh dalam pembahasan akidah ada dua jenis, yaitu tafwidh makna dan tafwidh ilmu atau kaifiyah.
Untuk jenis yang pertama, yaitu tafwidh makna, maksudnya adalah setiap hamba wajib menyerahkan makna kata dari ayat-ayat yang menunjukkan sifat Allah ta’ala kepada Allah Azza wajalla. Allah ketika menyebutkan ayat itu tanpa makna sehingga tidak boleh ditafsirkan. Dengan kata lain, makna sifat itu tidak ada yang mengetahuinya, karena Allah menyebutnya tanpa makna menurut mereka.
Untuk jenis ini, para ulama Ahlussunah tidak membenarkannya. Sebab tidak mungkin sifat Allah disebutkan tanpa makna. Karena maksud dari menyebutkan nama sifat itu adalah agar para hamba tidak bingung tentang sifat-sifat Tuhan yang disembah yaitu Allah Azza wajalla.
Untuk jenis yang kedua, yaitu tafwidh ilmu atau kaifiyah, maksudnya adalah setiap hamba harus mengembalikan kaifiyah (tata cara) dari sifat itu hanya kepada Allah. Manusia mengetahui maknanya secara zahir namun berbeda dari sisi kaifiyahnya atau bentuknya dengan makna yang dipahami oleh manusia, karena Allah berbeda dengan makhlukNya. Dengan kata lain, manusia paham makna sifat itu namun berbeda bentuk dari apa yang dipahami. Untuk jenis ini para ulama Ahlussunah menerima dan membenarkannya.
Tulisan ini akan membahas hujjah orang-orang yang memahami tafwidh dengan makna yang pertama, yaitu kelompok yang meyakini wajibnya melakukan tafwidh makna. Hujjah mereka atas keyakinan ini adalah perkataan dari imam Ahmad bin Hambal rahimahullah yang diriwayatkan oleh imam al-Khallal rahimahullah dari Hambal bin Ishak rahimahullah, yang berkata:
“سألت أبا عبدالله (أي: الإمام أحمد بن حنبل) عن الأحاديث التي تُروى: ((إن الله تبارك وتعالى ينزل كل ليلة إلى السماء الدنيا))، و((أن الله يُرى))، و((إن الله يضع قدمه))، وما أشبهه، فقال أبو عبدالله: نؤمن بها ونصدق بها، ولا كيف ولا معنى، ولا نردُّ شيئًا منها، ونعلم أن ما قاله الرسول صلى الله عليه وسلم حقٌّ إذا كانت بأسانيد صحاح”.
“Aku bertanya pada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal) tentang hadits-hadits yang diriwayatkan : “Sesungguhnya Allah Tabaraka Wata’ala turun ke langit dunia setiap malam” dan hadits “Bahwa Allah dapat dilihat” dan “Sesungguhnya Allah meletakkan kakiNya” dan hadits-hadits yang semisal itu”. Lalu beliau berkata “Kami beriman dengannya dan membenarkannya, tanpa bertanya bagaimana dan tanpa makna. Kami juga tidak menolak sesuatupun darinya dan mengetahui bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah kebenaran jika diriwayatkan dengan hadits yang sahih.”
Juga perkataan beliau:
نمرها كما جاءت
“Kita membiarkannya (memahaminya) sebagaimana ia datang”
Mereka juga berhujjah dengan perkataan imam Ubaid al-Qasim bin salam rahimahullah ketika ditanya tentang tafsir nash Sifat. Beliau berkata:
لا تفسر هذا ولا سمعنا أحدا يفسرها
“Jangan tafsirkan ini, dan kami juga belum pernah mendengar seorangpun menafsirkannya.”
Keyakinan mereka dibangun atas kesalahpahaman terhadap perkataan ulama, akhirnya melahirkan pemahaman-pemahaman yang sesat.
Untuk hujjah pertama yang mereka sebutkan dengan nukilan perkataan imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, maka perkataan beliau tersebut hakikatnya menjadi hujjah yang membatalkan keyakinan mereka, bukan hujjah yang menguatkan keyakinan mereka.
Sebab, lafaz kalimat “Tanpa makna” merupakan satu istilah yang digunakan oleh ulama saat itu agar orang-orang tidak mencari makna lain selain makna zahir yang terkandung dalam nash, yang bisa mengarah pada takwil yang rusak. Hal ini dapat kita buktikan dengan beberapa poin berikut:
1. Ulama Mazhab Hambali memahami Nash dari imam Ahmad itu untuk memahami nash secara zahir. Ketika mensyarah dua kalimat Imam Ahmad di atas, Imam Abu Ya’la bib al-Farra al-Hambali rahimahullah berkata:
فقد نص على الاخذ بظاهر ذلك لأنه ليس في حمله على ظاهره ما يحيل صفاته ولا يخرجها عما تستحقه
“Imam Ahmad menashkan (menyebutkan) untuk memahami hadits-hadits tersebut sesuai zahirnya. Karena membawanya pada zahir tidak mengacu pada sifat-sifatNya, tapi tidak juga menghilangkan apa yang menjadi hak untukNya.” (Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain Bin Al-Farra, Ibthaal at-Ta’wilaat, Tahqiq Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Mahmud, hal. 196, Daar al-Iqaf al-Hauliyah-Kuwait, pdf)
Bukan saja ulama Mazhab Hambali yang memahami perkataan imam Ahmad seperti itu, ulama yang berbeda Mazhab pun demikian. Qawaam as-Sunnah Imam Abu al-Qasim Ismail al-Ashbahani rahimahullah yang bermazhab Syafi’i ketika menukil riwayat dari Hambal bin Ishak rahimahullah tersebut, beliau berkata:
وقد نص احمد على القول بظاهر الاخبار من غير تشبيه ولا تاويل
“Imam Ahmad telah menetapkan keyakinan untuk memahami hadits berdasarkan zahirnya tanpa tasybih dan ta’thil. (Abu al-Qasim Ismail al-Ashbahani, Al-Hujjatu Fi Bayani al-Mahajjah, Tahqiq Abu Ishak as-Samnudi, Jilid 1, hal. 420, Daar Ibnu Abbas-Mesir, cet. 1, 1437 H)
2. Imam Ahmad rahimahullah memang memahami hadits berdasarkan makna zahirnya. Hal itu merupakan akidah beliau yang beliau sebutkan sendiri. Imam Abu al-Qasim Hibatullah al-Lalakai rahimahullah menukil Ushul Sunnah menurut Imam Ahmad melalui riwayat Abdus bin Malik al-Athar, beliau menyebutkan bahwa imam Ahmad berkata:
والحديث عندنا على ظاهره كما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم والكلام فيه يدعة ولكن نؤمن به كما جاء على ظاهره ولا نناظر فيه أحدا
“Dan hadits bagi kami dipahami secara zahirnya, sebagaimana ia datang dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam, membicarakannya adalah bid’ah. Kami beriman terhadapnya dan kami tidak berdebat dengan seorangpun tentangnya.” (Hibatullah al-Lalakai, Syarh ushul I’tiqad Ahlissunah Waljama’ah, Tahqiq Syaikh Dr. Imad Qadri, jilid 1, hal. 120, Daar al-Ghad al-Jadid, cet. 1,1438 H)
Pernyataan itu adalah setelah beliau menjelaskan tentang hadits-hadits sifat. Sehingga dipahami bahwa keyakinan beliau tentang sifat Allah adalah sifat itu memiliki makna yang wajib dipahami sesuai makna zahirnya dan tidak boleh dirubah maknanya sebagaimana yang terjadi pada beberapa kelompok yang menyimpang.
Demikian pula untuk hujjah mereka yang kedua, yaitu perkataan Ubaid al-Qasim bin Salam rahimahullah yang melarang tafsir sifat. Hal ini pula sama dengan hujjah yang pertama, yaitu disebutkan oleh ulama untuk melarang penafsiran lain selain makna zahirnya, agar manusia tidak jatuh pada penafsiran-penafsiran yang merubah makna.
Istilah “Tidak ditasfsirkan” tidak hanya disebutkan oleh para ulama rahimahumullah dalam hadits-hadits atau ayat-ayat sifat saja, tapi juga pada perkara lain.
Oleh kareanya, ketika imam Ahmad rahimahullah menyebut hadits “3 perkara yang jika terdapat pada diri seorang hamba maka dia adalah seorang munafik,” setelah itu beliau mengatakan:
نرويها كما جاءت ولا نفسرها
“Kami riwayatkan sebagaimana ia datang, dan kami tidak menafsirkannya.”
Kemudian beliau menyebut beberapa hadits lain, diantaranya, “Mencela muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran”, juga hadits, “Barangsiapa berkata kepada saudaranya ‘Wahai Kafir’ maka ia kembali pada salah satunya”. Lalu beliau berkata:
ونحو هذه الاحاديث مما ذكرناه ومما لم نذكره في هذه الاحاديث مما صح وحفظ فإنه يسلم له وان لم يعلم تفسيره فلا يتكلم فيه ولا يجادل فيه ولا يتكلم فيه ما لم يبلغ لنا منه ولا نفسر الأحاديث إلا ما جاء ولا نردها
“Dan hadits-hadits seperti ini yang telah kami sebutkan atau yang belum kami sebutkan, padanya yang sahih dan dijaga, maka ia diterima walaupun tidak diketahui tafsirnya. Tidak boleh berbicara tentangnya dan tidak boleh berdebat tentangnya. Tidak boleh juga berbicara tentangnya jika belum sampai kepada kita informasinya dari Nabi. Kita tidak menafsirkan hadits kecuali dengan apa yang telah datang dan kita tidak menolaknya.” (Hibatullah al-Lalakai, Syarh ushul I’tiqad Ahlussunah Waljama’ah, Tahqiq Syaikh Dr. Imad Qadri, jilid 1, hal. 120, Daar al-Ghad al-Jadid, cet. 1,1438 H)
Tentu hadits-hadits tersebut adalah hadits yang masyhur yang memiliki makna secara zahir yang diketahui manusia, bukan tanpa makna. Hanya saja, para ulama melarang mencari makna-makna lain atau tafsirannya yang bisa mengarahkan pada pemahaman yang salah. Sehingga para ulama memahaminya secara zahir dan menghindari tafsir salah yang mereka istilahkan dengan kalimat “tanpa makna” dan tanpa tafsir.
Imam Ibnu Baththah al-Abkari rahimahullah berkata:
ولا يعمل لها التفاسير إلا ما فسره رسول الله صلى الله عليه وسلم او رجل من علماء الامة ممن قولها شفاء وحجة مثل أحاديث الصفات والرؤية
“Dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ulama itu tidak ditafsirkan, kecuali yang ditafsirkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam atau seorang ulama umat ini yang perkataannya adalah penyembuh (dibangun atas ilmu) dan hujjah, seperti hadits-hadits sifat Allah dan rukyat.” (Ibnu Baththah al-Abkari, al-Ibanah ash-Shugra, Tahqiq Abu Abdillah Adil Ibnu Abdillah al-Hamdan, hal. 180-181, Daar al-Lu’luah-Beirut, cet. 5, 1442 H).
Jadi, perkataan-perkataan ulama yang dijadikan hujjah oleh kelompok Asy’ary tersebut hakikatnya hujjah yang membatalkan keyakinan mereka bahwa Allah berkalam tanpa makna yang dilarang menafsirkan sifatnya.
Imam Abu Ya’la bin al-Farra rahimahullah berkata:
واعلم أنه لا بجوز رد هذه الاخبار على ما ذهب إليه جماعة من المعتزلة ولا تشاغل بتأويلها على ما ذهب إليه الأشاعرة والواجب حمله على ظاهرها وانها صفة لله تعالى لا تشبه صفة الموصوفين من الخلق ولا نعتقد التشبيه فيها لكن ما روي عن شيخنا وامامنا أبي عبد الله احمد بن محمد بن حنبل وغيره من أئمة أصحاب الحديث أنهم قالوا في هذه الأخبار : أمروها كما جاءت فحملوها على ظاهرها في أنه صفات لله لا تشبه سائر صفاة الموصوفين
“Dan ketahuilah bahwasanya tidak boleh menolak hadits-hadits ini sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Muktazilah dan tidak boleh pula menyibukkan diri mencari takwilnya sebagaimana yang dilakukan kelompok Asy’ary. Yang wajib adalah memahaminya secara zahir, dan bahwasanya ia (sifat yang disebutkan dalam hadits) merupakan sifat untuk Allah Ta’ala yang tidak sama dengan sifat seluruh makhluk. Kita tidak meyakini adanya persamaan padanya. Akan tetapi, apa yang diriwayatkan oleh Syaikh dan imam kami Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dan selainnya dari para imam ahli hadits, maka mereka berkata pada hadits-hadits seperti ini, “Biarkanlah dia seperti dia datang”, sehingga mereka pahami sesuai makna zahirnya bahwa itu merupakan sifat Allah yang tidak sama dengan seluruh sifat makhlukNya.” (Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain Bin Al-Farra, Ibthaal at-Ta’wilaat, Tahqiq Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Mahmud, hal. 43-44, Daar al-Iqaf al-Hauliyah-Kuwait, pdf)
Oleh karena itu, kalimat-kalimat ulama tersebut tidak asing oleh ulama mazhab Hambali. Oleh karenanya, ketika mereka menukil perkataan imam Ahmad tersebut, mereka juga akan menolak takwil terhadap sifat Allah.
Misalnya, imam al-Muwaffaq Ibnu Quddamah rahimahullah, ketika beliau menukil perkataan imam Ahmad tersebut, beliau juga berkata:
فهذا وما أشبهه مما صح سنده وعدلت رواته نؤمن به ولا نرده ولا نجحده ولا نتأول بتاويل يخالف ظاهره ولا نشبهه بصفات المخلوقين
“Maka hadits-hadits ini dan yang semisalnya, yang telah sahih sanadnya dan para perawinya adil, maka kami beriman dengannya, tidak menolaknya dan tidak mengingkarinya, serta tidak menampilkannya dengan takwil yang menyelisihi zahirnya dan kami juga tidak menyamakannya dengan sifat makhluk.” (Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Ta’liq Mukhtashar ‘Ala Kitab Lum’ah al-I’tiqad, hal.27, Muassasah Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin-Qasim, cet 6, 1442 H)
Jadi, perkataan ulama “Tanpa makna” dan larangan menafsirkannya adalah istilah yang dipakai oleh para ulama untuk memahami nash secara zahir dan tidak membawa maknanya diluar makna zahir dan menafsirkannya yang bisa saja mengarahkan manusia pada tahrif yang dilakukan kelompok-kelompok sesat.
Wallahu a’lam.