(Bagian 1)
“Apakah Imam Abul-Hasan al-Asy’ariy telah rujuk ke mazhab Ahli Sunnah dan akidah salaf yang hak?” Pertanyaan ini muncul bukan hanya dalam ranah sejarah teologi internal umat Islam, melainkan juga menjadi sebuah titik tengkar dalam polemik teologis yang melibatkan tiga kubu aliran teologi dalam persoalan sifat-sifat Allah ta’ala, yaitu (1) Ahli Itsbat –salafiyah– yang menetapkan sifat Allah ta’ala beserta maknanya dan menyerahkan kaifiatnya kepada Allah, (2) Ahli Tafwidh –sebagian Asy’ariyah– yang menetapkan sifat Allah dan menyerahkan makna dan kaifiatnya kepada Allah, dan (3) Ahli Takwil –mayoritas Asy’ariyah mutakhirin– yang menakwilkan sifat-sifat Allah ta’ala.
Untuk menyingkap tabir polemik ini secara detail dan seobjektif mungkin, kita perlu memaparkan fase-fase perpindahan Sang Imam dari satu aliran teologi tertentu ke aliran teologi yang lain.
Titik Sepakat dalam Fase Teologis al-Asy’ariy
Dalam fase kehidupan Imam al-Asy’ariy ini, para ulama bersepakat, setidaknya dalam dua hal krusial, yaitu:
- mereka bersepakat bahwa dalam pandangan teologisnya, beliau melewati beberapa fase, atau kata kasarnya, beliau pernah berpindah dari satu sekte ke sekte lainnya;
- mereka bersepakat bahwa di awal mula fase kehidupannya, beliau menganut paham Muktazilah, karena mengikuti pandangan teologis ulama populer Muktazilah di eranya, Abu Ali al-Jubbaiy. Beliau menganut paham ini selama 40 tahun, lalu menyatakan diri berlepas diri dari Muktazilah.
Hal ini dinukil oleh Imam al-Dzahabiy rahimahullah (w.748 H),
وبلغنا أن أبا الحسن تاب وصعد منبر البصرة، وقال: إني كنت أقول: بخلق القرآن، وأن الله لا يرى بالأبصار، وأن الشر فعلي ليس بقدر، وإني تائب معتقد الرد على المعتزلةز
“Telah sampai kepada kami, bahwa Abul-Hasan telah bertobat (dari Muktazilah), lalu menaiki mimbar Masjid Kota Basrah, seraya berseru, ‘Dahulu, aku berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bahwa Allah tidak akan dilihat dengan mata telanjang, dan bahwa keburukan itu adalah perbuatanku (bukan makhluk Allah), dan bukan pula takdir (dari Allah). Sungguh aku telah bertobat (dari keyakinan Muktazilah ini), dan berazam membantah Muktazilah’.”[1]
Pernyataan al-Dzahabiy juga sebelumnya diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir (w. 571 H) dari Ibnu ‘Azrah rahimahumallah, bahwa Al-Asy’ariy adalah guru dan imam mereka, dan beliaulah tempat rujukan mereka. Beliau mengadopsi mazhab Muktazilah selama 40 tahun, dan menjadi imam bagi mereka. Setelah itu, beliau mengasingkan diri dalam rumahnya selama 15 hari, lalu keluar ke Masjid Jami’, menaiki mimbar dan mengumumkan bahwa dirinya telah berlepas diri dari paham Muktazilah sembari melepaskan dan melempar pakaian atasan yang dipakainya.[2]
Titik Tengkar dalam Fase Teologis al-Asy’ariy
Pusat polemik yang melibatkan dua atau tiga kubu di atas adalah: apakah fase teologis Abul-Hasan hanya terdiri dari dua fase (dari Muktazilah ke Asy’ariyah yang beliau asaskan), ataukah tiga fase (dari Muktazilah ke Asy’ariyah, selanjutnya ke Salafiyah)?
Para sejarawan dan pakar teologi berbeda dalam dua pandangan ini, dan masing-masing menyertakan berbagai dalil dan argumentasi demi mendukung pandangan tersebut.
Pendapat pertama, kelompok Asy’ariyah –terkhusus kalangan mutakhirin dan kontemporer mereka– memandang bahwa beliau hanya melewati dua fase teologis dalam kehidupannya. Ia awalnya menganut paham Muktazilah, lalu keluar darinya dan menginisiasi mazhab teologi baru, yaitu Asy’ariyah (yang diklaim sebagai representasi Mazhab Ahli Sunnah Wal Jama’ah), yang serupa dengan mazhab Abdullah bin Sa’id bin Kullab (Mazhab Kullabiyah) yang mengingkari sifat-sifat Allah yang berupa perbuatan.
Pandangan ini berasaskan pada beberapa ucapan para ulama, seperti nukilan Ibnu Asakir di atas, juga nukilan Abu Bakr bin Furak rahimahullah (w. 406 H),
انْتقل الشَّيْخ أَبُو الْحَسَنِ عَليّ بن اسمعيل الْأَشْعَرِيّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ من مَذَاهِب الْمُعْتَزلَة إِلَى نصْرَة مَذَاهِب أهل السّنة وَالْجَمَاعَة بالحجج الْعَقْلِيَّة وصنف فِي ذَلِك الْكتب
“Syekh Abul-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu berpindah dari paham-paham Muktazilah, dan berganti membela Mazhab Ahli Sunnah Wal Jama’ah dengan hujah-hujah logika, dan beliau menyusun banyak buku untuk itu.”[3]
Pendapat kedua, sekelompok sejarawan dan ulama Islam memaparkan bahwa beliau melewati tiga fase teologis, yaitu fase Muktazilah, fase Asy’ariyah (yang semanhaj dengan Kullabiyah), dan fase Salafiyah, dan ini adalah pernyataan beliau yang terakhir. Berikut ucapan para ulama sejarawan tersebut:
- Imam al-Dzahabiy berkata, “Dahulu, beliau seorang Muktazilah lalu bertobat darinya dengan menganut paham yang sebagiannya sesuai dengan paham Ahli Hadis (Salafiyah) dalam persoalan yang diselisihi oleh Muktazilah. Setelah itu, beliau menganut paham yang mayoritasnya sesuai dengan paham Ahli Hadis, yaitu pada pemahaman yang telah kami sebutkan bahwa beliau telah menukil berbagai ijmak Ahli Hadis dalam persoalan akidah dan beliau menyepakati mereka dalam semua persoalan yang dinukilnya tersebut. Jadi, beliau memiliki tiga fase: fase saat berpaham Muktazilah, fase saat berpaham sebagiannya sesuai Sunni, dan fase saat mayoritas ushul akidahnya sesuai Mazhab Sunni, dan inilah fase (terakhir) yang kami sampaikan. Semoga Allah merahmati dan mengampuninya, serta seluruh kaum muslimin.”[4]
- Nukilan Ibnu Katsir rahimahullah (w. 774 H) dari banyak ulama. Beliau berkata, “Mereka (yakni para ulama) menyebutkan tiga fase dalam kehidupan Syekh Abul-Hasan Al-Asy’ariy:
- Fase Muktazilah, yang kemudian beliau meninggalkannya;
- Fase paham menetapkan tujuh sifat Allah yang ditetapkan logika (shifah ‘aqliyah) yaitu hidup, ilmu, kudrat, iradah, pendengaran, penglihatan, dan kalam, serta menakwilkan sifat Allah yang disebutkan wahyu (shifah khabariyah), semisal wajah, dua tangan, betis, dan semisalnya;
- Fase paham menetapkan seluruh sifat-sifat tersebut (tanpa menakwilkannya), tanpa ada takyif (menentukan kaifiatnya) dan tasybih (menyerupakannya dengan sifat makhluk); seperti pemahaman salaf. Dan inilah pemahaman beliau yang ada dalam al-Ibanah yang beliau tulis di akhir hidupnya, dan disyarah oleh al-Qadhi al-Baqillaniy, serta dinukilkan oleh Abul-Qasim Ibnu ‘Asakir. Pandangan inilah yang dicenderungi oleh al-Baqillaniy, Imam al-Haramain (al-Juwainiy), dan selain mereka dari imam-imam ulama Asy’ariyah mutaqaddimin di akhir-akhir pandangan mereka (di akhir kehidupan mereka).”[5]
Tarjih dan Pendapat Terkuat
Bila kita mendalami sejarah dan buku-buku Abul-Hasan Al-Asy’ariy secara objektif, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa fase terakhir beliau adalah menganut Mazhab Ahli Hadis (Salafiyah) dalam mayoritas akidahnya tentang sifat-sifat Allah, terutama Mazhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Tentunya hal ini dikuatkan dengan beberapa dalil:
- Bukti otentik keberadaan buku-buku Imam Al-Asy’ariy yang banyak menyepakati mazhab salaf di fase terakhirnya. Siapa saja yang menelaah buku-buku beliau tersebut, di antaranya al-Ibanah, Risalah ila Ahli al-Tsagr, dan Maqalat al-Islamiyyin, ia pasti meyakini pendapat rujuknya beliau ke mazhab Salaf;
- Penjelasan gamblang para ulama yang menyatakan rujuknya Al-Asy’ariy ke mazhab salaf. Adapun yang menyatakan bahwa Al-Asy’ariy hanya melewati dua fase tanpa rujuk ke mazhab salaf; maka pernyataan mereka hanya terbatas pada tobatnya beliau dari mazhab Muktazilah dan nukilan bantahan-bantahan beliau terhadap mereka, tidak lebih dari itu, dan itu pun tak secara gamblang membatasi dua fase saja. Selain itu, Ibnu Furak dan sebagian pengikutnya yang hanya menyebutkan dua fase tersebut, belum membaca kitab al-Ibanah dan kitab-kitab Al-Asy’ariy lainnya yang di dalamnya beliau secara tegas mengikuti paham mazhab Salaf Ahli Hadis; karena buku al-Ibanah dan sejenisnya, beliau tulis di akhir usianya. Adapun Ibnu Furaq, hanya menyebutkan kitab-kitab beliau sebelum al-Ibanah;[6]
- Pandangan tiga fase ini sesuai dengan kaidah-kaidah tarjih yang dipaparkan oleh para ulama, yaitu:
- Kaidah “al-mutsbit muqaddam ‘ala an-nafyi” (orang yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menafikan). Alasannya, karena penetapan mengandung tambahan ilmu dan pengetahuan dibanding dengan penafian. Sehingga penetapan tiga fase ini merupakan tambahan ilmu yang tidak diketahui oleh orang-orang yang menetapkan dua fase saja. Sebab itu, penetapan tiga fase ini lebih dikuatkan karena mengandung maklumat yang lebih;
- Kaidah “man ‘alima hujjatun ‘ala man la ya’lam” (orang yang tahu memiliki hujah atas orang yang tidak tahu). Alasannya, orang yang menetapkan adanya tiga fase tersebut, lebih paham dan tahu dibandingan dengan orang yang menetapkan adanya dua fase dalam pemahaman teologi Abul-Hasan.
Kesimpulan
Rujuknya Imam Abul-Hasan al-Asy’ariy ke pemahaman Salaf –Ahli Hadis– adalah benar dan sesuai realitas, dan buku-buku yang beliau tulis di akhir hidupnya (al-Ibanah, Risalah ila Ahli al-Tsagr, al-Mujiz, dan Maqalat al-Islamiyyin) membuktikan rujuknya beliau tersebut. Hal ini juga ditegaskan oleh beberapa ulama, di antaranya:
- Ibnu ‘Asakir rahimahullah, ulama yang paling kukuh membela Abul-Hasan Al-Asy’ariy. Beliau berkata,
لِتَعْلَمُوا أَنَّهُمَا كانَا فِي الِاعْتِقَاد متفقين وَفِي أصُول الدّين وَمذهب السّنة غير مفترقين
“Ketahuilah, bahwa mereka berdua (yakni Imam Ahmad dan al-Asy’ariy) memiliki kesamaan dalam persoalan akidah, usul agama dan mazhab Sunnah, dan tidak berbeda.”[7]
- Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728 H), ia berkata,
وَلَمَّا رَجَعَ الْأَشْعَرِيُّ عَنْ مَذْهَبِ الْمُعْتَزِلَةِ سَلَكَ طَرِيقَ ابْنِ كِلَابٍ وَمَالَ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْحَدِيثِ وَانْتَسَبَ إِلَى الْإِمَامِ أَحْمَدَ كَمَا قَدْ ذَكَرَ ذَلِكَ فِي كُتُبِهِ كُلِّهَا كَالْإِبَانَةِ وَالْمُوجَزِ وَالْمَقَالَاتِ وَغَيْرِهَا وَكَانَ الْقُدَمَاءُ مِنْ أَصْحَابِ أَحْمَدَ كَأَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَأَبِي الْحُسَيْنِ التَّمِيمِيِّ وَأَمْثَالِهِمَا يَذْكُرُونَهُ فِي كُتُبِهِمْ عَلَى طَرِيقِ الْمُوَافِقِ لِلسُّنَّةِ فِي الْجُمْلَةِ وَيَذْكُرُونَ رَدَّهُ عَلَى الْمُعْتَزِلَةِ
“Ketika al-Asy’ariy meninggalkan paham Muktazilah, beliau kemudian bermanhaj dengan mazhab Ibnu Kullab, dan cenderung ke mazhab Ahli Sunnah dan Hadis, lalu menisbahkan dirinya ke mazhab Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dia sendiri yang sebutkan dalam seluruh bukunya, seperti al-Ibanah, al-Mujiz, al-Maqalat, dan lainnya. Sehingga dahulu, para pendahulu dari imam-imam Mazhab Ahmad seperti Abu Bakr bin Abdul Aziz, Abul-Husain al-Tamimiy, serta semisal mereka menyebutkan nama beliau (Al-Asy’ariy) dalam buku-buku mereka sebagai ulama yang mengikuti sunnah secara umum, serta menukilkan bantahan-bantahannya terhadap Muktazilah…”[8]
- Al-Dzahabiy rahimahullah, ia berkata,
رأيت لأبي الحسن أربعة تواليف في الأصول يذكر فيها قواعد مذهب السلف في الصفات، وقال فيها: تمر كما جاءت. ثم قال: وبذلك أقول، وبه أدين، ولا تؤول.
“Saya melihat ada 4 buku terkait usul agama karya Abul-Hasan, di dalamnya beliau menyebutkan kaidah-kaidah Mazhab Salaf dalam sifat-sifat Allah, dia menyatakan, ‘Ayat-ayat sifat itu diyakini sebagaimana ia datang’, lalu menyatakan, ‘Dengan inilah aku berpendapat, dan berkeyakinan, dan tidak boleh ditakwilkan’.”[9]
(Bersambung)
[1] . As-Siyar (15/89)
[2] . Lihat: At-Tabyin (39)
[3] . Lihat: At-Tabyin (127)
[4] . Al-‘Arsy (2/302-303).
[5] . Thabaqat Asy-Syafi’iyin (210)
[6] . Lihat: Bayan Talbis al-Jahmiyah (1/134)
[7] . At-Tabyin (163)
[8] . Lihat: Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah (2/284-285)
[9] . As-Siyar (15/86). Makalah ini diringkas dari makalah berbahasa Arab (Naqdh al-Imam Abil-Hasan al-Asy’ariy li Mu’taqad al-Asy’ariyah fi Ash-Shifat karya ‘Ala Ibrahim)