Benarkah Rasulullah ﷺ Memerintahkan Kaum Muslimin Agar Selalu Mengunjungi Kuburnya?
Kesyirikan pertama kali terjadi di muka bumi disebabkan oleh sikap pengagungan manusia terhadap orang-orang saleh yang telah meninggal dunia serta kuburannya. Al-Qur’an menunjukkan kita pada jejak-jejak kesyirikan itu, dimana Allah Azza wajalla menyebutkan beberapa nama orang saleh di dalam Al-Qur’an, yang kemudian dijadikan sebagai sekutu bagi Allah Jallajalaaluhu oleh sebagian manusia.
Beberapa nama yang dipertuhankan manusia itu adalah Wad, Suwa’ Yaghuts, Ya’uq, Nasra, Lata dan Uzza. Mereka semua dahulunya adalah orang-orang saleh, namun akhirnya disembah karena pengangungan manusia terhadap orang saleh yang berlebihan, kuburan dan kebodohan mereka.
Allah Azza wajalla berfirman:
وَقَالُواْ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّٗا وَلَا سُوَاعٗا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسۡرٗا
“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.” (QS. Nuh: 23)
Imam ath-Thabari rahimahullah ketika menjelaskan ayat ini, beliau menukil perkataan Muhammad bin Qais rahimahullah yang berkata: “Mereka adalah orang-orang saleh dari anak cucu Adam. Mereka memiliki pengikut yang senantiasa mengikuti mereka. ketika mereka meninggal dunia, maka para pengikutnya berkata, “Sekiranya kita menggambar wajah-wajah mereka, niscaya akan membuat kita semakin semangat beribadah jika mengingat wajah-wajah mereka.” Merekapun akhirnya melukis wajah mereka. Ketika generasi pengikut mereka juga meninggal dunia, maka generasi berikutnya dari keturuan mereka didatangi oleh Iblis dan membisikkan kepada mereka, “Sesungguhnya orang tua kalian menyembah mereka, dan dengan perantara mereka itulah hujan diturunkan.” Akhirnya, merekapun juga menyembahnya.” (Ibnu Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid dkk, Jilid 11, hal. 123, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet.,1431 H.)
Demikian yang terjadi pada Lata, seorang yang dikenal saleh di Jazirah Arab. Setiap kali musim haji, ia membuat roti sawiq dan membagi-bagikannya pada jama’ah haji. Allah Azza wajalla berfirman tentangnya:
أَفَرَءَيۡتُمُ ٱللَّٰتَ وَٱلۡعُزَّىٰ
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza.” (QS. An-Najm: 19)
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata:
وَقَالُوا: كَانَ رَجُلًا يَلُتُّ السَّوِيقَ لِلْحَاجِّ- ذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ- فَلَمَّا مَاتَ عَكَفُوا عَلَى قَبْرِهِ فَعَبَدُوهُ
“Orang-orang menyebutkan bahwa Lata adalah seorang laki-laki yang membuat roti sawiq untuk jama’ah haji. –Imam Bukhari menyebutkannya dari Abdullah bin Abbas-. Ketika Lata meninggal dunia, orang-orang melakukan i’itikaf (fokus ibadah) di kuburnya hingga menyembahnya.” (al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Tahqiq Dr. Hamid Ahmad ath-Thahir, jilid 9, juz 17, hal. 82-83, Daar al-Ghad al-Jadid-Kairo, cet. 1, 1431 H.)
Pengagungan terhadap orang-orang saleh secara berlebihan dan melakukan ibadah di kuburan mereka, merupakan sarana yang dapat menjerumuskan manusia dalam kesyirikan. Telah banyak korban tipu daya setan yang membuat manusia terjatuh dalam buruknya kesyirikan. Oleh karena bahayanya hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berusaha sekuat mungkin menutup celah agar orang-orang tidak jatuh dalam kesalahan orang-orang terdahulu, yaitu menyekutukan Allah akibat kejahilan dan pengagungan terhadap kuburan orang-orang saleh zaman dahulu.
Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan sakit, beberapa istri beliau bercerita tentang gereja yang mereka lihat di negri Habasyah. Gereja itu bernama gereja Mariah. Dahulu, Ummu Salamah dan Ummu Habibah radhiyallahu ‘anhuma pernah datang di Negeri tersebut. Mereka berdua menceritakan keindahan dan gambar-gambar yang terdapat dalam gereja itu. (Mendengar cerita tersebut, beliau yang sedang dalam keadaan sakit) tiba-tiba mengangkat kepalanya dan bersabda, “Mereka itu adalah satu kaum yang apabila ada orang saleh meninggal dunia diantara mereka, niscaya mereka akan buatkan masjid di atas kuburannya dan menggambar lukisan-lukisan itu. Mereka ada sejelek-jelek makhluk di sisi Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pengkultusan terhadap orang-orang saleh memang menjadi sanjata pamungkas setan untuk menjerumuskan manusia dalam bid’ah yang bisa saja menjerumuskan manusia pada kesyirikan hingga kesyrikan itu sendiri. Makanya, orang-orang yang memiliki rasa ghirah terhadap tauhid, berusaha sekuat mungkin menutup celah terjadinya hal-hal tersebut, utamanya dalam masalah pengagungan manusia terhadap makhluk.
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata:
فروي عن المعرور بن سويد، قال: خرجنا مع عمر في حجة حجها، فلما انصرف رأى الناس مسجدا فبادروه، فقال: ما هذا؟ قالوا: مسجد صلى فيه النبي- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. فقال: هكذا هلك أهل الكتاب قبلكم، اتخذوا آثار أنبيائهم بيعا من عرضت له منكم فيه الصلاة فليصل، ومن لم تعرض له الصلاة فليمض
“Driwayatkan dari al-Ma’rur bin Suwaid dia berkata, kami pernah keluar bersama Umar pada satu ibadah haji yang ia lakukan. Ketika ia pergi, ia melihat orang-orang yang bergegas ke satu masjid, lalu Umar berkata, “Ada apa ini?” Mereka berkata, “Ini adalah masjid yang dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melaksanakan sholat di dalamnya.” Maka Umar berkata, “Seperti perbuatan kalian inilah orang-orang ahli kitab sebelum kalian binasa. Mereka menjadikan atsar-atsar Nabi-Nabi mereka sebagai tempat ibadah. Siapa diantara kalian yang mendapatkan waktu sholat disana maka sholatlah. Namun, jika tidak, maka hendaklah ia berlalu.” (Ibnu Rajab al-Hambali, Fathu al-Bari Fi Syarhi Sahih al-Bukhari, Tahqiq Abu Mu’adz Thariq bin Audhullah Muhammad, Jilid 2, hal. 300, Daar Ibni al-Jauzi-Damam, cet 1, 1440 H.)
Apa yang dilakukan oleh Umar bin Khtattab radhiyallahu ‘anhu adalah upaya beliau untuk menjaga manusia dari segala jalan yang bisa saja menjerumuskan manusia pada kesyirikan, yaitu mengkultuskan sesuatu yang tidak perlu dikultuskan. Olehnya, sebagaimana diriwaytkan oleh Nafi’ rahimahullah, ketika Umar radhiyallahu ‘anhu mendengar adanya orang-orang yang datang ke satu pohon tempat pelaksanaan baiat dan melaksanakan sholat di bawah pohon itu, maka Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk menebang pohon tersebut. (Ibnu Rajab al-Hambali, Fathu al-Bari Fi Syarhi Sahih al-Bukhari, Tahqiq Abu Mu’adz Thariq bin Audhullah Muhammad, Jilid 2, hal. 300, Daar Ibni al-Jauzi-Damam, cet 1, 1440 H.)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لعن الله اليهود والنصارى؛ اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد)) . قالت: ولولا ذلك لأبرز قبره، ولكنه خشي – أو خشي – أن يتخذ مسجدا.
“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani, mereka menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid.”Aisyah berkata, “Sekiranya bukan karena itu, niscaya kuburan Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam sudah ditampakkan. Tapi dikhawatirkan orang-orang menjadikannya sebagai masjid.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata: “(Perkataan Aisyah) sekiranya bukan karena hal itu niscaya kuburan Nabi akan ditampakkan. Maksudnya, akan diperlihatkan kuburan Nabi dan tidak dijadikan adanya penghalang padanya. Maksudnya, akan dikuburkan di luar rumah Nabi. Ini disampaikan oleh Aisyah sebelum perluasan masjid Nabawi. Setelah perluasan masjid Nabawi, maka kamar Aisyah dijadikan berbentuk segitiga yang berbatas agar orang tidak mencoba datang dan melaksanakan sholat di arah kubur Nabi dan menghadap kiblat,” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, Jilid 3, hal. 256, Daar as-Salam, Riyadh, cet. 1, 1421 H.)
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
إِنَّمَا نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اتِّخَاذِ قَبْرِهِ وَقَبْرِ غَيْرِهِ مَسْجِدًا خَوْفًا مِنَ الْمُبَالَغَةِ فِي تَعْظِيمِهِ وَالِافْتِتَانِ بِهِ فَرُبَّمَا أَدَّى ذَلِكَ إِلَى الْكُفْرِ كَمَا جَرَى لِكَثِيرٍ مِنَ الْأُمَمِ الْخَالِيَةِ ولما احتاجت الصَّحَابَةُ رِضْوانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ وَالتَّابِعُونَ إِلَى الزِّيَادَةِ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ كَثُرَ الْمُسْلِمُونَ وَامْتَدَّتِ الزِّيَادَةُ إِلَى أَنْ دَخَلَتْ بُيُوتُ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ فِيهِ وَمِنْهَا حُجْرَةُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا مَدْفِنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبَيْهِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا بَنَوْا عَلَى الْقَبْرِ حِيطَانًا مُرْتَفِعَةً مُسْتَدِيرَةً حَوْلَهُ لِئَلَّا يَظْهَرَ فِي الْمَسْجِدِ فَيُصَلِّيَ إِلَيْهِ الْعَوَامُّ وَيُؤَدِّي الْمَحْذُورَ ثُمَّ بَنَوْا جِدَارَيْنِ مِنْ رُكْنَيِ الْقَبْرِ الشَّمَالِيَّيْنِ وَحَرَّفُوهُمَا حَتَّى الْتَقَيَا حَتَّى لَا يَتَمَكَّنَ أَحَدٌ مِنِ اسْتِقْبَالِ الْقَبْرِ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjadikan kuburannya dan kuburan selainnya sebagai masjid karena khawatir orang-orang akan berlebihan dalam mengagungkan dirinya, juga karena khawatir orang-orang akan terfitnah hingga terjatuh dalam kekufuran sebagaimana yang terjadi pada kebanyakan umat-umat sebelumnya. Ketika para sahabat –semoga Allah meridhai mereka- dan para tabi’in telah butuh perluasan masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika jumlah kaum muslimin yang semakin banyak, maka dipandang penambahan dengan memasukkan rumah-rumah ummahaat al-mukminin di dalamnya, dan diantaranya adalah kamar Aisyah tempat penguburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan dua sahabatnya yaitu Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Olehnya, mereka membangun satu dinding yang sangat tinggi yang membelakangi sekelilingnya agar kuburan itu tidak nampak dalam masjid hingga orang-orang awam melaksanakan sholat menghadapnya dan melaksanakan hal-hal yang dilarang. Kemudian dibuat lagi dua dinding pada dua sudut kubur lalu dimiringkan hingga kedua dinding itu saling bertemu, agar orang-orang tidak mampu menghadap ke arah kuburan” (An-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Tahqiq Hani al-Hajj dan Imad Zaki al-Barudi, Jilid 2, juz 5, hal.12, Daar at-Taufiqiyyah Li at-Turts-Kairo, t.cet, t.th.)
Ini merupakan diantara upaya sahabat Nabi radhilallahu ‘anhum dalam menjaga akidah kaum muslimin, agar tidak terjatuh pada perbuatan bid’ah yang bisa saja menjerumuskan manusia pada kesyirikan yaitu menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tandingan dalam permohonan hajat mereka serta penyembahan kepadanya.
Perlu diketahui bahwa perkara yang dimaksud dalam pelarangan membangun masjid di atas kuburan adalah pembangunan masjid pada kuburan yang telah mendahuluinya. Jika kuburan lebih dahulu dibuat kemudian masjid di buat di atasnya, maka hal itu yang dilarang. Adapun jika masjid yang lebih dahulu dibuat tanpa ada niat membangunnya sebagai kuburan nantinya, dan jika suatu saat ada kuburan yang di tempatkan di hadapan masjid itu dengan diberi pembatas tembok yang tinggi, maka hal ini tidak mengapa sebagaimana kuburan Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam, Abu Bakar dan Umar yang berada di sekitaran masjid Nabawi.
Apa yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan menjaga agar orang-orang tidak datang kepadanya, merupakan pengamalan perintah Nabi:
لا تجعلوا قبري عيدا وصلوا علي فإن صلاتكم تبلغني حيث كنتم
“Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ied (tempat berkumpul), dan silahkanlah kalian bershalawatlah kepadaku. Karena shalawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun kalian berada.” (HR. Abu Dawud dan di sahihkan oleh an-Nawawi dalam Riyadh ash-Shalihin.)
Hadits ini bukanlah larangan menziarahi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab dibolehkan menziarahi kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam jika hanya sekedar lewat lalu memberikan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun menjadikannya sebagai tempat berkumpul untuk berdoa maka inilah yang dihindari oleh para sahabat Nabi ridhwanullahi ‘alaihim. Oleh karena kekhawatiran akan hal inilah mereka membuat dinding yang tinggi dan menjadikannya berbentuk segitiga saat perluasan masjid Nabawi, yaitu agar orang-orang tidak bisa datang ketempat itu, sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Ibnu Hajar dan Imam an-Nawawi rahimahumallah.
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Jika seseorang mendatangi masjid Nabawi, disyariatkan baginya untuk melaksanakan shalat di Raudhah dua raka’at, kemudian memberi ucapan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan dua sahabatnya, yaitu Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Hal ini sebagaimana disyariatkan menziarahi kuburan Baqi’ dan kuburan para syuhada, lalu memberikan doa keselamatan dan rahmat untuk orang-orang yang berada dalam kubur di sana, baik itu para sahabat atau selain mereka.” (Abdul Aziz Bin Baz, ad-Durar ats-Tsariyah Min al-Fatawa al-Baaziyah, hal.63, Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyh Atsna an-Nasyr-Riydh, t.cet, 1432 H.)
Dari sini dapat dipahami bahwa larangan berkumpul dan berdoa divkuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah upaya untuk menjaga agar orang-orang awam yang tidak memiliki ilmu melakukan hal-hal yang berlebihan sehingga bisa saja mereka menjadikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tandingan bagi Allah dengan cara berdoa dan meminta hajat mereka kepadanya dikuburannya, sementara beliau telah meninggal dunia dan tidak bisa memenuhi permintaan mereka, sebagaimana yang diisyaratkan oleh imam an-Nawawi rahimahullah dalam penjelasannya di atas.
Sebab, para sahabat dahulu ketika masuk ke masjid Nabawi atau menziarahi rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk menerima hadits Nabi, mereka tidak melakukan hal-hal yang aneh dan berlebihan di kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
فَفِي حَيَاةِ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – كَانَ النَّاسُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهَا لِسَمَاعِ الْحَدِيثِ ولاستفتائها وَزِيَارَتِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ إذَا دَخَلَ أَحَدٌ يَذْهَبُ إلَى الْقَبْرِ الْمُكَرَّمِ لَا لِصَلَاةِ وَلَا لِدُعَاءِ وَلَا غَيْرِ ذَلِكَ – بَلْ رُبَّمَا طَلَبَ بَعْضُ النَّاسِ مِنْهَا أَنْ تُرِيَهُ الْقُبُورَ فَتُرِيَهُ إيَّاهُنَّ
“Ketika Aisyah radhiyallahu ‘anha masih hidup, orang-orang datang masuk ke rumahnya menemuinya untuk mendengarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta fatwa kepadanya. Ketika masuk ke rumah Aisyah mereka tidak mengkhususkan pergi ke kuburan Nabi yang mulia untuk melaksanakan sholat, tidak pula untuk berdoa. Bahkan mungkin saja ada sebagian orang yang meminta untuk diperlihatkan kuburan Nabi sehingga diperlihatkan kuburan itu padanya.” (Ibnu Taimiyah, al-Jawab al-Bahir Fi Zuwwaar al-Maqaabir, Tahqiq al-Hafizh Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi, hal.15, Maktabah Imam az-Zuhri-al-Jazair, cet. 1,1438 H.)
Disini kita pahami bahwa para sahabat Nabi dan para tabi’in tidak memahami dan tidak pula mengetahui adanya perintah Nabi untuk sengaja memperbanyak mendatangi kuburan beliau, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang jahil. Sebab, jika perintah itu ada, niscaya Aisyah radhiyallahu ‘anha pasti akan memberitahukan mereka. Bagaimana tidak, sedangkan Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia di pangkuannya, di dalam kamarnya. Dan, wasiat-wasiat yang beliau sampaikan sebelum meninggal dunia diketahui oleh Aisyah lalu meriwayatkannya tanpa ada yang disembunyikan sedikitpun.
Entah darimana muncul keyakinan sebagian manusia bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan manusia untuk selalu datang ke kuburannya. Sedangkan para ulama menganggap perbuatan menyengaja melakukan safar untuk ibadah kekuburan dan mencari berkahnya sebagai perbuatan bid’ah.
Imam Ibnu Baththah al-Ukbari rahimahullah berkata:
ومن البدع البناء على القبور وتجصيصها وشد الرحال إلى زيارتها
“Diantara bentuk perbuatan bid’ah adalah membangun bangunan di atas kuburan dan mengapurinya serta semngaja mengukuhkan perjalanan (dengan diniat ibadah dan mencari berkah) ke kuburan.” (Ibnu Bathhah al-Ukbari, al-Ibanah as-Sughra, Tahqiq Adil bin Abdillah Ali Hamdan, hal. 333, Daar al-Lu’lu’-Beirut, cet. 5, 1442 H.)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Sebagian orang yang memiliki kemiripan dengan kelompok Nashrani dalam perbuatan syirik dan kemiripan dengan Yahudi dalam hal penyelewengan makna kalimat telah melakukan penyelewengan makna terhadap hadits-hadits ini (hadits larangan menjadikan kubran Nabi sebagai ied/tempat berkumpul). Kata mereka, hadits ini merupakan perintah untuk senantiasa menunggui dan melakukan I’tikaf di kuburannya, serta tidak menjadikannya seperti hari raya yang dilakukan setahun sekali atau dua kali. Seolah-olah mereka berkata bahwa Nabi bersabda, “Jangan kalian jadikan kuburanku seperti hari raya yang hanya dilakukan sekali setahun, tapi kunjungilah kuburanku setiap waktu dan setiap saat.”
Kalimat mereka ini adalah satu bentuk penentangan dan membatalkan maksud Rasulullah Shallallahu ‘laihi wasallam serta pemutarbalikan fakta… sekiranya Rasul memerintahkan sebagaimana apa yang mereka katakan itu, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan melarang membagun masjid di atas kuburan dan tidak pula akan melaknat pelakunya. Maka bagaimana mungkin Rasulullah melarang melakukan itu dan melaknat pelakunya sedang beliau memerintahkan untuk selalu menunggui dan I’tikaf dikuburannya? Bagimana mungkin seorang wanita yang paling pandai dari makhluk Allah berkata, “Kalau bukan karena adanya laknat dari Nabi menjadikan kuburan sebagai masjid niscaya akan ditampakkan kuburan Nabi, hanya saja khawatir orang-orang menjadikannya sebagai masjid? Bagaimana mungkin para sahabat dan keluarga Nabi tidak memahami ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti yang dipahami orang-orang yang sesat itu?” (Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid, Mawarid al-Aman al-Muntaqa Min Ighatsati al-Lahafan Fi Mashayid asy-Syaithan Li al-Imam Ibni Qayyim al-Jauziyah, hal.206-207, Daar Ibni al-Jauzi-Damam, cet. 1, 1429 H.)
Kita berlindung kepada Allah dari makar-makar setan dan upaya penyesatannya. Aamin.
Wallahu A’lam.