Berdoa Kepada Rasulullah atau Orang Saleh yang Telah Meninggal Dunia: Bolehkah?
Doa merupakan ibadah yang agung, ia merupakan inti dari peribadatan. Di dalam al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terdapat banyak perintah untuk berdoa kepada Allah –Azza wajalla- saja dan larangan menyekutukannya dengan sesuatu apapun.
Diantaranya, firman Allah –Azza wajalla-:
وَلَا تَدۡعُ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَۖ فَإِن فَعَلۡتَ فَإِنَّكَ إِذٗا مِّنَ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim”. (QS. Yunus: 106)
Sebagaimana telah disebutkan bahwa ayat-ayat yang menjelaskan larangan berdoa kepada selain Allah –Azza wajalla– sangat banyak dalam al-Qur’an. Hanya saja, sengaja kami nukilkan satu ayat di atas karena memiliki kaitan langsung judul tulisan ini, yaitu bolehkah seseorang berdoa kepada Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- atau orang saleh yang telah meninggal dunia?
Pada ayat tersebut, Allah –Azza wajalla– melarang manusia berdoa pada makhluk karena semua makhluk tidak bisa mendatangkan mudharat dan tidak pula dapat mendatangkan manfaat. Hal ini, sebenarnya juga diakui oleh Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam– bahwa dirinya tidak dapat memberi manfaat maupun mudharat, kecuali sesuai apa yang Allah kehendaki untuknya. Bahkan Allah –Azza wajalla– memerintahkan kepadanya agar mernyampaikannya kepada manusia tentang itu. Tujuannya adalah agar manusia mengetahuinya sehingga tidak menjadikan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam– sebagai tandingan bagi Allah dalam masalah doa, tidak berdoa kepadanya melainkan hanya kepada Allah –Azza wajalla– saja. Allah –Azza wajalla- berfirman:
قُل لَّآ أَمۡلِكُ لِنَفۡسِي ضَرّٗا وَلَا نَفۡعًا إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُۗ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah.” (QS. Yunus: 49)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di –rahimahullah– berkata:
وهذا وصف لكل مخلوق، أنه لا ينفع ولا يضر، وإنما النافع الضار، هو الله تعالى. {فَإِنْ فَعَلْتَ} بأن (1) دعوت من دون الله، ما لا ينفعك ولا يضرك {فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ} أي: الضارين أنفسهم بإهلاكها، وهذا الظلم هو الشرك كما قال تعالى: {إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ} فإذا كان خير الخلق، لو دعا مع الله غيره، لكان من الظالمين المشركين فكيف بغيره؟!!
“Ini merupakan sifat semua makhluk, bahwasanya ia tidak dapat memberi manfaat ataupun mudharat. Yang dapat mendatangkan manfaat ataupun mudharat hanyalah Allah –Azza wajalla-. “Jika engkau melakukannya” maksudnya jika engkau berdoa pada selain Allah yang tidak mampu memberikan manfaat kepadamu ataupun mudharat “Maka engkau termasuk orang-orang yang zalim”, maskudnya, orang-orang yang rugi jiwanya dengan membinasakannya. Kata zalim yang disebutkan dalam ayat ini maksudnya adalah kesyirikan sebagaimana firman Allah (yang artinya): “Sesungguhnya kesyirikan merupakan kezaliman yang paling besar”. Olehnya, seorang makhluk terbaik (Rasulullah), jika ia berdoa kepada Allah dan pada selainNya bisa dimasukkan dalam kategori orang-orang zalim yang telah menyekutukan Allah –Azza wajalla-, maka bagaimana dengan selain dirinya? (Tafsir as-Sa’di: 431)
Sejarah telah membuktikan bahwa kesyirikan pertama pada umat manusia terjadi karena sikap berlebih-lebihan pada orang-orang saleh yang telah meninggal dunia. Awalnya mereka menjadikannya sebagai penyemangat ibadah dengan mengingatnya, hingga lama kelamaan mereka menjadikannya sebagai tuhan yang diibadahi.
Allah –Azza wajalla– berfirman:
وَقَالُواْ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّٗا وَلَا سُوَاعٗا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسۡرٗا
“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”.” (QS. Nuh: 23)
Muhammad bin Qais –rahimahullah- berkata:
كانوا قوما صالحين من بني آدم ، وكان لهم أتباع يقتدون بهم ، فلما ماتوا قال أصحابهم الذين كانوا يقتدون بهم : لو صورناهم كان أشوق لنا إلى العبادة إذا ذكرناهم ، فصوروهم ، فلما ماتوا ، وجاء آخرون دب إليهم إبليس ، فقال : إنما كانوا يعبدونهم ، وبهم يسقون المطر ، فعبدوهم
“Dahulunya mereka adalah orang-orang saleh dari anak cucu Adam yang memiliki pengikut. Ketika mereka meninggal dunia, orang-orang yang mengikuti mereka berkata, “Sekiranya kita membuat patung mereka niscaya akan membuat kita lebih rindu untuk beribadah saat kita mengingat mereka.” Lalu ketika orang-orang yang mengikuti orang-orang saleh itu juga meninggal dunia, datanglah generasi berikutnya yang telah ditunggangi Iblis. Ia berkata pada mereka, “Sesungguhnya yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kalian adalah beribadah pada patung-patung itu, dengan perantara patung orang-orang saleh itu mereka diberkati hujan, maka merekapun beribadah pada patung-patung itu.” (Tafsir ath-Thobari: 11/123)
Sebagian orang beranggapan bahwa berdoa pada Nabi atau orang-orang saleh yang telah meninggal dunia merupakan bentuk wasilah (tawassul) yang dapat menyampaikan doa mereka kepada Allah –Azza wajalla- atau memberi syafa’at kepada mereka nanti pada hari kiamat. Padahal ini merupakan jenis kesyirikan yang terjadi pada orang-orang terdahulu.
Syaikh asy-Syinqithi –rahimahullah– dalam tafsirnya berkata:
التَّحْقِيقُ فِي مَعْنَى الْوَسِيلَةِ هُوَ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ عَامَّةَ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَنَّهَا التَّقَرُّبُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى بِالْإِخْلَاصِ لَهُ فِي الْعِبَادَةِ، عَلَى وَفْقِ مَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ… وَبِهَذَا التَّحْقِيقِ تَعْلَمُ أَنَّ مَا يَزْعُمُهُ كَثِيرٌ مِنْ مَلَاحِدَةِ أَتْبَاعِ الْجُهَّالِ الْمُدَّعِينَ لِلتَّصَوُّفِ مِنْ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْوَسِيلَةِ فِي الْآيَةِ الشَّيْخُ الَّذِي يَكُونُ لَهُ وَاسِطَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، أَنَّهُ تَخَبُّطٌ فِي الْجَهْلِ وَالْعَمَى وَضَلَالٌ مُبِينٌ وَتَلَاعُبٌ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَاتِّخَاذُ الْوَسَائِطِ مَنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ أَصُولِ كُفْرِ الْكَفَّارِ، كَمَا صَرَّحَ بِهِ تَعَالَى فِي قَوْلِهِ عَنْهُمْ: مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Tahqiq pada makna wasilah yaitu pernyataan umumnya para ulama bahwa makna wasilah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas dalam beribadah sesuai ajaran Rasul –Shallallahu ‘alaihi wasallam… dengan tahqiq ini engkau mengetahui bahwa apa yang diklaim oleh kebanyakan orang sesat pengikut kebodohan yang mengklaim diri sebagai tasawwuf bahwa makna wasilah adalah seorang syaikh yang menjadi perantara antara dirinya dengan Tuhan merupakan satu bentuk kebodohan dan kesesatan yang nyata serta bermain-main terhadap kitab Allah –Ta’ala. Sebab, menjadikan perantara selain Allah merupakan asas kekufuran orang-orang kafir zaman dahulu. sebagaimana penegasan Allah –Azza wajalla- di dalam al-Qur’an tentang perkataan mereka, “Kami tidaklah beribadah pada mereka, melainkan untuk mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Adhwau al-Bayan Fi Iidhaahi al-Qur’an bi al-Qur’an: 1: 403)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
فبين سبحانه أن من اتخذ لملائكة والنبيين أربابا فهو كافر مع أن المشركين إنما كانوا يتخذونهم شفعاء ويتقربون بهم إلى الله زلفى فإذا كان هؤلاء الذين دعوا مخلوقا ليشفع لهم عند الله كما يشفع المخلوق عند المخلوق فيسأله ويرغب إليه بلا إذنه وقد جعلهم الله مشركين كفارا مأواهم جهنم فكيف بشرك هؤلاء الفلاسفة
“Allah –Azza wajalla- menjelaskan bahwa siapa yang menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai tuhan maka dia kafir. Padahal, kaum musyrikin saat itu hanya menjadikan mereka sebagai pemberi syafa’at dan mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan berdoa pada mereka. Jika mereka yang berdoa pada makhluk untuk memberi syafa’at kepada mereka suatu saat nanti di sisi Allah, sebagaimana makhluk memberi syafa’at di sisi makhluk lalu ia meminta padanya dan sangat berharap padanya tanpa izin Allah dikategorikan sebagai musyrik yang kafir, maka bagaimana dengan kesyirikan orang-orang filsafat?” (Ar-Rad ‘Ala al-Manthiqiyyin: 578)
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- juga berkata:
والله لم ينكر على المشركين طلب التقرب إلى الله تعالى وإنما أنكر عليهم أنهم اتخذوا أولياء من دونه يتقربون بعبادتهم إليه وهو تعالى لم يشرع ذلك ولم يأمر به بل إنما يُتَقَرَّبُ إليه بعبادته وحده لا شريك له
“Allah –Azza wajalla- tidak mengingkari orang-orang musyrik yang berupaya mendekatkan diri kepada Allah. Tapi, Allah mengingkari mereka karena mereka menjadikan wali selain diriNya, mereka mendekatkan diri dengan beribadah pada wali itu sementara Allah –Azza wajalla- tidak menyariatkan itu dan tidak pula memerintahkan mereka akan hal itu. Sesungguhnya mendekatkan diri kepadaNya hanya dengan beribadah kepada Allah saja dan tidak menyekutukannya.” (Bayan Talbis Jahmiyah: 3/275)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –rahimahullah– berkata:
فهم مقرون بأن الله هو المقصود ولكنهم يقصدون الملائكة وغيرهم ليقربهم إلى الله ومع ذلك لم يدخلهم في التوحيد
“Mereka hakikatnya meyakini bahwa Allah adalah maksud/tujuan ibadah, hanya saja (pada saat melakukan ibadah) mereka tujukan pada malaikat dan selainnya guna mendekatkan mereka kepada Allah (dengan sedekat-dekatnya), tapi dengan itu Allah –Azza wajalla- tidak mengategorikan mereka sebagai orang-orang yang bertauhid.” (Syarh Kasyf asy-Syubhaat: 26)
Tidak dipungkiri bahwa orang-orang terdahulu juga meyakini Allah –Azza wajalla- sebagai Rabb. Mereka meyakini bahwa Allahlah Sang Pencipta, yang memberi rezki, yang mematikan dan pemilik semua sifat-sifat rububiyah lainnya. Tapi, pada saat berdoa, mereka berdoa pada patung-patung yang mereka anggap perwakilan malaikat yang nantinya akan memberi mereka syafa’at kepada mereka. Hal ini dikategorikan sebagai perbuatan syirik oleh Allah –Azza wajalla-.
Imam al-Baghawi –rahimahullah- dalam tafsirnya ketika menjelaskan firman Allah –Azza wajalla- لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى menukil perkataan Qatadah –rahimahullah-:
وذلك إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ: مَنْ رَبُّكُمْ وَمَنْ خَلَقَكُمْ وَمَنْ خلق السموات وَالْأَرْضَ؟ قَالُوا: اللَّهُ، فَيُقَالُ لَهُمْ: فَمَا مَعْنَى عِبَادَتِكُمُ الْأَوْثَانَ؟ قَالُوا: لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى، أَيْ قُرْبَى، وَهُوَ اسْمٌ أُقِيمَ فِي مَقَامِ الْمَصْدَرِ، كَأَنَّهُ قَالَ: إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ تَقْرِيبًا وَيَشْفَعُوا لَنَا عِنْدَ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ، يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، مِنْ أَمْرِ الدِّينِ، إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كاذِبٌ كَفَّارٌ
“Hal itu karena jika dikatakan kepada mereka, “Siapakah Rab kalian dan siapa yang menciptakan langit dan bumi,” mereka akan berkata, “Allah”. Lalu jika dikatakan kepada mereka, “Apa makna ibadah kalian pada berhala-berhala ini?” mereka berkata, “Untuk mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Seolah ia berkata, “Tidaklah kami menyembahnya melainkan agar mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya dan memberi kami syafa’at untuk kami di sisi Allah.” Sesungguhya Allah memutuskan perkara diantara mereka pada hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan dari urusan agama ini. Sesungguhnnya Allah tidak memberi hidayah pada para pendusta lagi kafir.” (Tafsir al-Baghawi: 2/425)
Memang benar bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan orang-orang saleh bisa memberi syafa’at pada hari kiamat kelak. Hanya saja, meminta langsung kepada mereka dengan cara berdoa kepada mereka setelah mereka meninggal dunia, merupakan satu perkara yang tidak dibolehkan bahkan termasuk perkara syirik.
Dalam Ash-Sharim al-Munki yang merupakan bantahan terhadap imam as-Subki –rahimahullah-, Imam Muhammad bin Abdi al-Hadi –rahimahullah- berkata:
أما دعاؤه هو وطلب استغفاره وشفاعته بعد موته، فهذا لم ينقل عن أحد من أئمة المسلمين لا من الأئمة الأربعة ولا غيرهم، بل الأدعية التي ذكروها خالية من ذلك
“Adapun berdoa pada Nabi dan meminta ampunan kepadanya serta syafa’atnya setelah kematiannya, maka hal ini tidak ada nukilan dari para imam kaum muslimin, tidak dari imam 4 dan tidak pula dari selain mereka. Justru, doa-doa yang mereka sebutkan tidak memuat doa seperti itu.” (Ash-Shoarim al-Munki: 125)
Imam ath-Thobari –rahimahullah– ketika menafsirkan firman Allah –Azza wajalla–
مَن ذَا ٱلَّذِي يَشۡفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذۡنِهِۦ
“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah:255)
Ia berkata:
وإنما قال ذلك تعالى ذكره لأن المشركين قالوا: ما نعبد أوثاننا هذه إلا ليقربونا إلى الله زلفى! فقال الله تعالى ذكره لهم: لي ما في السموات وما في الأرض مع السموات والأرض ملكا، فلا ينبغي العبادة لغيري، فلا تعبدوا الأوثان التي تزعمون أنها تقربكم مني زلفى، فإنها لا تنفعكم عندي ولا تغني عنكم شيئا ولا يشفع عندي أحد لأحد إلا بتخليتي إياه والشفاعة لمن يشفع له، من رسلي وأوليائي وأهل طاعتي.
“Allah –Ta’ala– berkata seperti itu karena kaum musyrikin berkata, “Tidaklah kami beribadah (berdoa) pada berhala kami, melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Oleh karena itu, Allah befirman pada mereka, “Milikkulah semua apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, begitu pula dengan langit dan bumi itu. Oleh karenanya, tidak pantas bagi kalian beribadah pada selainKu, janganlah kalian menyembah berhala yang kalian klaim bisa mendekatkan diri kalian kepadaKu dengan sedekat-dekatnya. Karena hal itu tidak akan bermanfaat pada kalian di sisiku dan tidak akan menyelamatkan kalian sedikitpun. Dan syafa’at itu diberikan pada orang-orang yang dapat memberikan syafa’at mulai dari kalangan Rasul, wali-wali Allah dan orang-orang yang taat.” (Tafsir ath-Thobari: 2/773)
Imam Ibnu al-Jauzi –rahimahullah– berkata:
قوله تعالى: مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ، فيه رد على من قال: ما نعبُدُهم إلا لِيُقَرِّبونا إِلى الله زُلْف
“Firman Allah –Ta’ala- (yang artinya): “Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya,” merupakan bantahan kepada orang-orang yang berkata,”Tidaklah kami beribadah kepada mereka melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatNya.” (Zaad al-Maisir:1/162)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah– berkata:
وَالَّذِي فِي قُلُوبِ هَؤُلَاءِ الْمُشْرِكِينَ وَسَلَفِهِمْ أَنَّ آلِهَتَهُمْ تَشْفَعُ لَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ، وَهَذَا عَيْنُ الشِّرْكِ، وَقَدْ أَنْكَرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ذَلِكَ فِي كِتَابِهِ وَأَبْطَلَهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّ الشَّفَاعَةَ كُلَّهَا لَهُ، وَأَنَّهُ لَا يَشْفَعُ عِنْدَهُ أَحَدٌ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ يَشْفَعَ فِيهِ، وَرَضِيَ قَوْلَهُ وَعَمَلَهُ، وَهُمْ أَهْلُ التَّوْحِيدِ، الَّذِينَ لَمْ يَتَّخِذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ شُفَعَاءَ، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ يَأْذَنُ لِمَنْ شَاءَ فِي الشَّفَاعَةِ لَهُمْ، حَيْثُ لَمْ يَتَّخِذْهُمْ شُفَعَاءَ مِنْ دُونِهِ
“Dalam benak kaum musyrikin dan pendahulu mereka bahwa sembahan-sembahan mereka yang akan memberikan syafa’at di sisi Allah. Ini merupakan inti kesyirikan itu. Allah –Azza wajalla- mengingkari mereka dalam kitabNya dan menjelaskan kebatilannya serta mengabarkan bahwa syafa’at semunya hanyalah milik Allah. Tidak ada seorangpun yang akan memberikan syafa’at kecuali setelah mendapatkan izinNya dan ridha terhadap ucapan dan perbuatannya. Mereka adalah ahli tauhid yang tidak menjadikan selainnya sebagai pemberi syafa’at. Allah mengizinkan kepada siapa yang dikehendakiNya untuk memberi syafa’at dimana mereka tidak menjadikan selainnya sebagai pemberi syafa’at.” (Madaarij as-Salikin: 1/ 278)
Oleh karena itu, para ulama menukil ijma’ akan adanya larangan menjadikan perantara antara seorang hamba dengan Allah –Ta’ala-, dimana mereka bertawakkal dan berdoa pada perantara itu serta menghukuminya sebagai sesuatu yang dapat menjadikan murtad dan kafirnya seseorang.
Imam al-Bahuthi –rahimahullah– dalam Kasysyaf al-Qina’nya dan imam Ibnu Dhowayan –rahimahullah– dalam Manar as-Sabilnya, menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– akan ijma’ ini. Imam Ibnu Dhawayan –rahimahullah– dalam Bab Murtad menyebutkan, salah satu yang dapat menyebabkan seseorang kafir adalah perbutan syirik. Kemudian beliau menukil perkataan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah-:
وقال الشيخ تقي الدين: أو كان مبغضا لرسوله، أو ما جاء به اتفاقا، أوجعل بينه وبين الله وسائط يتوكل عليهم، ويدعوهم ويسألهم: كفر إجماعا.
“(Diantara perkara yang dapat menyebabkan kufur itu) membenci RasulNya, atau membenci apa yang datang dengannya. Ini merupakan kespakatan ulama. Atau, ia menjadikan adanya perantara (wasilah) antara Allah dengan dirinya, ia bertawakkal padanya serta berdoa dan meminta kepadanya. Hal ini merupakan perbuatan kufur berdasarkan ijma’ ulama.” (Manaar as-Sabil: 2/299)
Imam al-Bahuti –rahimahullah– menambahkan:
أَيْ كَفَرَ لِأَنَّ ذَلِكَ كَفِعْلِ عَابِدِي الْأَصْنَامِ قَائِلِينَ: {مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى}
“Dihukumi kafir karena hal itu seperti perbuatan para penyembah berhala yang berkata, “Tidaklah kami beribadah kepada mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami pada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Kasysyaf al-Qina’: 6/168/Maktabah Syamilah)
Berdoa merupakan satu ibadah yang hanya boleh ditujukan pada Allah, tidak pada selainNya. Hal itu sangat tegas Allah –Azza wajalla– sampaikan dalam al-Qur’an. Allah –Azza wajalla– berfirman:
وَأَنَّ ٱلۡمَسَٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدۡعُواْ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدٗا
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu beribadah pada seorangpun di dalamnya di samping (beribadah) pada Allah.” (QS. Al-Jin: 18)
Kata ibadah atau menyembah dalam ayat ini disebut dengan kata doa, فَلَا تَدۡعُواْ sebab doa merupakan inti dari ibadah. Pada ayat ini, Allah –Azza wajalla- melarang berdoa pada siapapun kecuali pada diriNya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah– ketika menjelaskan makna kata أحدا pada ayat tersebut, ia berkata:
وهذا يعم جميع المخلوقات من الأنبياء وغيرهم لأن (أحدا) نكرة في سياق النهي فتعم كل من سوى الله سبحانه
“Larangan ini bersifat umum pada semua makhluk, pada para nabi ataupun selain mereka. Sebab kata Ahadan (seorangpun) berbentuk nakirah dalam siyaq pelarangan sehingga pelarangannya mencakup semuanya kecuali hanya Allah –Subhanah- saja.” (al-Majmu’ al-Mufid al-Mumtaz Min Kutub al-Allamah Ibni Baz: 22)
Apa yang menjadi kekhususan bagi Allah –Azza wajalla– hanya boleh diberikan pada Allah dan tidak boleh diberikan pada yang lain sekalipun ia adalah makhluk yang mulia. Oleh karenanya, tidak boleh menjadikan Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam– sebagai seorang yang memiliki kekhususan sebagaimana kekhususan pada Allah, diantaranya adalah berdoa.
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam– bahkan pernah mengingkari seseorang yang memberikan keistimewaan yang sama pada dirinya sebagaimana keistimewaan pada Allah. Hal itu merupkan bentuk menandingkan Allah dengan dirinya. Suatu ketika ada yang berkata kepada beliau: “Maa syaa Allah wa Syi’ta” (atas kehendak Allah dan kehendakmu), seketika Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda:
جعَلْتَ للهِ نِدًّا؟! بل ما شاء اللهُ وَحْدَه
“Engkau menjadikan (aku) sebagai tandingan Allah? Katakanlah, hanya kehendak Allah saja.” (HR. Ahmad dan lainnya)
Allah –Azza wajalla- juga tegas melarang adanya penandingan untuk diriNya dalam semua jenis ibadah. Allah –Azza wajalla- berfirman:
فَلَا تَجۡعَلُواْ لِلَّهِ أَندَادٗا وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
“Janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 22)
Ringkasnya, berdoa merupakan ibadah yang hanya boleh dipersembahkan kepada Allah –Azza wajalla- saja. Dan, bahwa berdoa pada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- atau pada orang-orang saleh yang telah meninggal dunia dengan anggapan bahwa hal itu merupakan tawassul yang akan menyebabkan terkabulnya doa dan hajat atau permintaannya lainnya di sisi Allah, seperti syafa’at dan ampunan dariNya, merupakan sesuatu tidak pernah disyariatkan oleh Allah –Azza wajalla- dan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Hal itu merupakan perbuatan terlarang yang dapat menjadikan seseorang kafir.
Sebagian orang yang membolehkan hal ini berhujjah dengan perkataan imam An-Nawawi –rahimahullah- bahwa dalam kitab al-Adzkarnya. Beliau mengajarkan doa yang salah satunya adalah meminta syafa’at kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Beliau berkata:
ثم يرجعُ إلى موقفه الأوّل قُبالة وجهِ رسول الله صلى الله عليه وسلم فيتوسلُ به في حقّ نفسه، ويتشفعُ به إلى ربه سبحانه وتعالى
“Kemudian kembali pada tempatnya yang pertama menghadap wajah Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- kemudian bertawassul dengannya pada hak dirinya dan meminta syafa’at dengannya kepada Allah –Subhanah wata’ala-.” (al-Adzkar: 257)
Pernyataan imam Nawawi –rahimahullah- ini sama sekali tidak didukung oleh dalil dari al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam. Permintaan syafa’at yang disebutkan oleh imam Nawawi –rahimahullah- disini tidak meminta langsung keapda Nabi Muhammad-Shallallahu ‘alaihi wasallam-, melainkan meminta pada Allah dengan wasilah pada hak Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Makanya, beliau berkata:
ويتشفعُ به إلى ربه سبحانه وتعالى
“Dan meminta syafa’at dengan haknya kepada Allah –Subhanah wata’ala-.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa imam Nawawi –rahimahullah- menganjurkan seseorang berdoa kepada Allah dengan bertawassul pada hak atau kedudukan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, bukan berdoa atau meminta langsung kepada Nabi Muhammad –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, sehingga tidak masuk pada perkara syirik. Hanya saja, perbuatan seperti itu tidak memiliki landasan dalam syariat.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah– berkata:
وهناك نوع ثالث يسمى التوسل، وهو التوسل بجاهه ﷺ أو بحقه أو بذاته، مثل أن يقول الإنسان: أسألك يا الله بنبيك أو جاه نبيك أو حق نبيك أو جاه الأنبياء أو حق الأنبياء أو جاه الأولياء والصالحين وأمثال ذلك، فهذا بدعة ومن وسائل الشرك، ولا يجوز فعله معه ﷺ ولا مع غيره؛ لأن الله سبحانه وتعالى لم يشرع ذلك، والعبادات توقيفية لا يجوز منها إلا ما دل عليه الشرع المطهر.
“Ada jenis ketiga dari jenis tawassul yaitu tawassul dengan kedudukan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- atau dengan haknya dan dengan dzatnya. Misalnya, seseorang berkata ketika berdoa, “Yaa Allah, aku memohon kepadaMu dengan nabiMu, aau dengan kedudukan NabiMu, atau dengan hak NabiMu, atau dengan kedudukan para Nabi atau dengan hak para Nabi, atau kedudukan para wali dan orang-orang saleh” dan yang semisal dengan itu. Perbutan ini bid’ah yang bisa menjadi perantara pada perbuatan perkara syirik. Tidak boleh melakukan hal ini pada Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam– atau pada selainnya. Karena Allah –subhanahu wata’ala- tidak menyariatkan perbuatan seperti ini dan ibadah merupakan sesuatu yang bersifat tauqifiyah, tidak boleh seseorang melaksanakan ibadah kecuali berdasarkan apa yang ditunjukkaan oleh syariat yang suci.” (Ad-Durar al-Baaziyah Min Fatawa al-Baaziyah: 48)
Imam Nawawi –rahimahullah- berhujjah dengan kisah al-Utbiy yang berada dii kekuburan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam– dan melihat seorang Arab badui yang meminta ampunan serta syafa’at di kuburan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau berkata:
عن العتبي قال: ” كنتُ جالساً عند قبر النبيّ صلى الله عليه وسلم، فجاء أعرابيٌّ فقال: السلام عليك يا رسول الله، سمعتُ الله تعالى يقول: (وَلَوْ أنَّهُمْ ظَلَمُوا أنْفُسَهُمْ جَاؤُوكَ فاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ واسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّاباً رَحِيماً) [النساء: 64] وقد جئتُك مستغفراً من ذنبي، مستشفعاً بك إلى ربي، ثم أنشأ يقول: يا خيرَ مَنْ دُفنتْ بالقاع أعظُمُه * فطابَ من طيبهنَّ القاع والأكمُ نفسي الفداءُ لقبرٍ أنتَ ساكنُهُ * فيه العفافُ وفيه الجودُ والكرَمُ قال: ثم انصرفَ، فحملتني عيناي فرأيت النبيَّ صلى الله عليه وسلم في النوم فقال لي: يا عُتْبيّ، الحقِ الأعرابيَّ فبشِّره بأن الله تعالى قد غفر له
“Dari al-Utbiy, dia mengatakan, “Aku pernah duduk di kuburan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maka datanglah seorang arab badui lalu berkatam “Assalaamu ‘alaika Yaa Rasulallah. Aku mendengar bahwa Allah –Azza wajalla- berfirman (yang artinya): “Jika mereka menzalimi diri mereka lalu mereka datang kepadamu lalu memohon ampunan kepada Allah dan Rasul memohon ampunkan untuk mereka, niscaya mereka akan mendapati Allah yang penerima taubat lagi maha penyayang”. Aku telah datang kepadamu memohon ampunan atas dosa-dosaku denganmu kepada Tuhanku.” Kemudian orang itu melantunkan syairnya, “Wahai sebaik-baik manusia dan teragungnya yang dikebumikan di lembah ini, menjadi harumlah semua lembah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Jiwaku menjadi tebusan untuk kubur yang engkaulah penghuninya. Di dalamnya terdapat kehormatan, kedemawanan dan kemuliaan.” Kemudian orang Arab badui itu pergi, lalu akupun tertidur. Dalam tidurku aku bermimpi melihat Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam– dan berkata, “Wahai Utbiy, temuilah Arab badui itu dan sampaikan kabar gembira bahwa Allah –Azza wajalla- telah mengampuninya.” (al-Adzkar: 257-258)
Imam an-Nawawi –rahimahullah- menyebutkan kisah ini tanpa sanad. Demikian pula disebutkan oleh imam Ibnu Katsir dalam tasfirnya tanpa sanad dan tanpa komentar apapun terhadap kisahnya.
Al-Imam Muhammad ibnu Abdil Hadi –rahimahullah- berkata:
وهذه الحكاية التي ذكرها بعضهم يرويها عن العتبي، بلا إسناد، وبعضهم يرويها عن محمد بن حرب الهلالي، وبعضهم يرويها عن محمد بن حرب عن أبي الحسن الزعفراني، عن الأعرابي، وقد ذكرها البيهقي في كتاب شعب الإيمان بإسناد مظلم عن محمد بن روح بن يزيد بن البصري، حدثني أبو حرب الهلالي قال: حج أعرابي فلما جاء إلى باب مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم أناخ راحلته فعقلها، ثم دخل المسجد حتى أتى القبر، ثم ذكر نحو ما تقدم، وقد وضع لها بعض الكذابين إسناداً إلى علي بن أبي طالب رضي الله عنه كما سيأتي ذكره.
وفي الجملة: ليست هذه الحكاية المنكورة عن الأعرابي مما يقوم به حجة وإسنادها مظلم مختلف ولفظها مختلف أيضاً،ولو كانت ثابتة لم يكن فيها حجة على مطلوب المعترض، ولا يصلح الاحتجاج بمثل هذه الحكاية، ولا الاعتماد على مثلها عند أهل العلم وبالله التوفيق.
“Hikayat yang disebutkan oleh sebagian mereka ini diriwayatkan dari al-Utbiy. Sebagian mereka meriwayatkannya dari Muhammad bin Harb al-Hilali, sebagian mereka lagi meriwayatkannya dari Muhammad bin Harb az-Za’farani dari al-A’rabi. Disebutkan pula oleh Imam al-Baihaqi –rahimahullah- dalam kitab Syu’ab al-Iman dengan isnad muzhlim (sanad yang sangat lemah) dari Muhammad bin Ruh bin Yazid bin al-Bashri, Abu Harb al-Hilali menceritakan kepadaku, seorang Arab Badui berhaji. Ketika ia telah sampai pada pintu masjid Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam– ia memarkirkan untanya lalu mengikatnya. Kemudian ia masuk ke dalam masjid hingga datang pada kuburan Nabi –Shallallahu ‘alahi wasallam– kemudian disebutkan sebagaiamana kisah yang telah diceritakan sebelumnya. Sebagian pendusta telah membuatkan untuk kisah ini sanad yang palsu kepada Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu-. Ringkasnya, hikayat yang mungkar dari Arab Badui ini tidak bisa menjadi hujjah yang tegak, sanadnya muzhlim (sangat lemah) dan berbeda-beda, demikian pula lafaznya berbeda-beda. Sekiranyapun sahih, tidak ada padanya sesuatu yang bisa menjadi hujjah, sebab tidak boleh berhujjah dengan hikayat seperti ini dan bersandar padanya sebagaimana penuturan para ulama.” (ash-Sharim al-Munkiy: 246)
Hikayat ini jelas tidak bisa menjadi hujjah, sebab ia bukanlah sunnah Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, bukan pula perbuatan sahabat, tabi’in dan bukan pula tabi’ at-Tabiin. Hikayat ini hanyalah hikayat yang diriwayatkan dari seorang yang majhul dan menyelisihi sunnah Rasul. Sebab Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam– melarang untuk menjadikan kuburannya sebagai tempat berkumpul dan khusus melakukan doa di sisinya.
Imam Muhammad bin Abdil Hadi –rahimahullah– dalam ash-Sharim al-Munkinya menukil satu kisah A’li bin al-Husain Zainal Abidin, dimana ia melihat seseorang laki-laki yang masuk di kuburan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam– lewat satu celah lubang dan berdoa di dalamnya. Kemudian beliau datang serta melaranganya. Kemudian beliau berkata: “Maukah kusampaikan kepadamu satu hadits yang aku dengarkan dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam– ?, beliau bersabda: “Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ied dan janganlah kalian menjadikan rumah kalian seperti kuburan.” (Ash-Sharim al-Munki: 111)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah –rahimahullah– berkata: “Sebagian orang yang memiliki kemiripan dengan kelompok Nashrani dalam perbuatan syirik dan kemiripan dengan Yahudi dalam hal penyelewengan makna kalimat telah melakukan penyelewengan makna terhadap hadits-hadits ini (hadits larangan menjadikan kubran Nabi sebagai ied/tempat berkumpul). Kata mereka, hadits ini merupakan perintah untuk senantiasa menunggui dan melakukan I’tikaf di kuburannya, serta tidak menjadikannya seperti hari raya yang dilakukan setahun sekali atau dua kali. Seolah-olah mereka berkata bahwa Nabi bersabda, “Jangan kalian jadikan kuburanku seperti hari raya yang hanya dilakukan sekali setahun, tapi kunjungilah kuburanku setiap waktu dan setiap saat.”
Kalimat mereka ini adalah satu bentuk penentangan dan membatalkan maksud Rasulullah –Shallallahu ‘laihi wasallam– serta pemutarbalikan fakta… sekiranya Rasul memerintahkan sebagaimana apa yang mereka katakan itu, niscaya Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak akan melarang membagun masjid di atas kuburan dan tidak pula akan melaknat pelakunya. Maka bagaimana mungkin Rasulullah melarang melakukan itu dan melaknat pelakunya sedang beliau memerintahkan untuk selalu menunggui dan I’tikaf dikuburannya? Bagimana mungkin seorang wanita yang paling pandai dari makhluk Allah berkata, “Kalau bukan karena adanya laknat dari Nabi menjadikan kuburan sebagai masjid niscaya akan ditampakkan kuburan Nabi, hanya saja khawatir orang-orang menjadikannya sebagai masjid? Bagaimana mungkin para sahabat dan keluarga Nabi tidak memahami ucapan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam– seperti yang dipahami orang-orang yang sesat itu?” (Mawarid al-Aman al-Muntaqa Min Ighatsati al-Lahafan Fi Mashayid asy-Syaithan Li al-Imam Ibni Qayyim al-Jauziyah: hal.206-207)
Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam– diutus bukan untuk menghidupkan perbuatan buruk orang-orang terdahulu yang menjadi sarana kekufuran, seperti melakukan I’tikaf dikuburan orang-orang saleh. Beliau justru diutus untuk mengingkari hal-hal itu. Melakukan I’tikaf di kuburan orang saleh merupakan perbuatan orang-orang jahil zaman dahulu yang berujung pada penyembahan terhadap penghuni kuburan itu.
Imam al-Qurthubi –rahimahullah– tatkala menjelaskan tuhan orang-orang kafir yang bernama al-Lata yang disebutkan dalam al-Qur’an, beliau berkata:
وَقَالُوا: كَانَ رَجُلًا يَلُتُّ السَّوِيقَ لِلْحَاجِّ- ذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ- فَلَمَّا مَاتَ عَكَفُوا عَلَى قَبْرِهِ فَعَبَدُوهُ
“Orang-orang menyebutkan bahwa Lata adalah seorang laki-laki yang membuat roti sawiq untuk jama’ah haji. –Imam Bukhari menyebutkannya dari Abdullah bin Abbas-. Ketika Lata meninggal dunia, orang-orang melakukan i’itikaf (fokus ibadah) di kuburnya hingga menyembahnya.” (Tafsir al-Qurthbi: 9/ 17/82-83)
Ayat yang dibaca oleh seorang Arab Badui pada saat mendatangi kuburan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- juga merupakan ayat yang menjelaskan ketika Nabi masih hidup. Para sahabat bahkan biasa datang pada beliau untuk meminta doa dan dimohonkan ampun kepada Allah –Azza wajalla-. Hal itu merupakan sesuatu yang disepakati oleh seluruh ulama akan kebolehanya dan dilaksankaan oleh para sahabat. Tapi, setelah wafatnya Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam– para sahabat tidak lagi datang ke kuburan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam– untuk dimintakan ampunan pada Allah –Azza wajalla- atau agar Rasulullah –-Shallallahu ‘alaihi wasallam– berdoa kepada Allah guna menghilangkan kesulitan yang mereka hadapi. Tidak anak-anak beliau, tidak pula istri-istri beliau dan tidak pula para Khulafa ar-Rasyidin dan sahabat-sahabat lainnya. Hal ini karena Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam– telah meninggal dunia dan orang yang telah meninggal dunia tidak dapat lagi melakukan amalan.
Ketika masa paceklik di zaman Umar bin Khattab sebagai Khalifah, para sahabat justru datang kepada paman Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam– agar ia berdoa kepada Allah –Azza wajalla– agar segera menurunkan hujannya. Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu– berkata:
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Yaa Allah, sesungguhnya dahulu kami bertawassul kepadamu dengan Nabi kami hingga Engkau menurunkan untuk kami hujan, sekarang kami bertawassul kepadaMu dengan (memohon doa) pada paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan pada kami.” (diriwaytkan oleh imam al-Bukhari)
Disini menjadi pelajaran, bahwa para sahabat tidak mendatangi kuburan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam– untuk meminta doa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam– setelah kematiannya, apalagi sampai datang kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam– dan berdoa langusng kepadanya dengan prasangka bahwa hal itu merupakan tawasul!!!
Atau mungkinkah para sahabat yang mulia tidak mengetahui keutamaan itu lalu datang orang yang tidak jelas siapa dia, dengan sanad yang sangat lemah, dan lafaz yang berbeda-beda pula periwayatannya, yang lebih tahu tentang keutamaan berdoa dikuburan nabi lalu mengabarkan pada kita semua? Wallahi hadza syaiun ‘ajiib.
Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata, Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda:
لعن الله اليهود والنصارى؛ اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد)) . قالت: ولولا ذلك لأبرز قبره، ولكنه خشي – أو خشي – أن يتخذ مسجدا.
“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani, mereka menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid.”Aisyah berkata, “Sekiranya bukan karna itu, niscaya kuburan Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam sudah ditampakkan. Tapi dikhawatirkan orang-orang menjadikannya sebagai masjid.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani –rahimahullah– berkata: “(Perkataan Aisyah) sekiranya bukan karena hal itu niscaya kuburan Nabi akan ditampakkan. Maksudnya, akan diperlihatkan kuburan Nabi dan tidak dijadikan adanya penghalang padanya. Maksudnya, akan dikuburkan di luar rumah Nabi. Ini disampaikan oleh Aisyah sebelum perluasan masjid Nabawi. Setelah perluasan masjid Nabawi, maka kamar Aisyah dijadikan berbentuk segitiga yang berbatas agar orang tidak mencoba datang dan melaksanakan sholat di arah kubur Nabi dan menghadap kiblat,” (Fathu al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari:3/256)
Begitu pula dengan penjelasan hadis:
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Baca tambahan penjelasan: https://islamqa.info/ar/answers/149729/ حديث-اللهم-لا-تجعل-قبري-وثنا-يعبد
Kesimpulannya, apa yang disebutkan oleh imam Nawawi –rahimahullah– tidak dapat menjadi hujjah. Perkataan beliau tidak sampai pada perbuatan syirik, melainkan hanya satu pendapat yang tidak memiliki landasan syar’i. kita berdoa semoga Allah mengampuni beliau dan seluruh ulama kaum muslimin. Dan, berdoa pada Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam– dengan meminta kepadanya merupakan perbuatan terlarang karena menjadikannya sebagai niddan (tandingan) bagi Allah pada ibadah yang hanya khusus untuk Allah –Azza wajalla– saja.
Semoga Allah –Azza wajalla– senantiasa menuntun kita dan memberikan taufik-Nya agar kita senantiasa berada di atas hidayah-Nya. Amin.