Membuat pembagian dalam satu cabang ilmu merupakan perkara lumrah dalam tradisi ilmiah para ulama. Tujuannya adalah menyederhanakan pemahaman terhadap ilmu tersebut, yang selanjutnya akan memudahkan aplikasi dan pengamalannya. Sebagai contoh, pembagian hukum taklifi menjadi lima, yakni wajib, mustahab, mubah, makruh, dan haram. Masih banyak contoh lain, termasuk di antaranya pembagian Tauhid menjadi dua jenis, atau menjadi tiga, atau bahkan ada yang membaginya menjadi empat.
Pembagian seperti ini bukannya tanpa pijakan hujjah. Para ulama berhasil merumuskan hal-hal tersebut berdasarkan penelusuran dalil-dalil Alqur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jadi, yang menjadi permasalahan sebenarnya bukan pada pembagian ilmu tersebut. Akan tetapi, apakah landasan pembagian ilmu itu kuat dan bisa dipertanggung jawabkan atau tidak. dan jika kita amati isi Alqur’an Hadits Nabi, kita dapati bahwa maksud dari setiap bagian Tauhid itu merupakan sesuatu yang telah dikabarkan dan diperintahkan.
Nah, di antara kekeliruan sebagian orang, adanya anggapan bahwa pembagian tauhid merupakan sesuatu yang baru ada di abad ke 8 Hijriah. Katanya, penggagas pembagian ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Tentu saja anggapan ini keliru. Sebab jauh sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, banyak ulama telah menyebutkan pembagian ini, baik sifatnya langsung maupun tidak.
Sebelum kami sebutkan beberapa perkataan ulama sebelum Ibnu Taimiyah terkait pembagian tauhid ini, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu makna dari setiap bagian Tauhid tersebut. Kami ambil contoh pembagian tauhid oleh kebanyakan ulama, yakni Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma was Shifat.
Pertama: Tauhid Rububiyah. Maksudnya adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam perbuatan-Nya, seperti Menciptakan, Mengatur, Memelihara alam semesta ini dan selainnya. Allah Ta’ala berfirman:
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah Rabbul ‘ālamīn yang maha mulia” [QS. Al-A’raf: 54]
Kedua: Tauhid Uluhiyah atau Tauhid ‘Ibadah. Maksudnya, mengesakan Allah Ta’ala dalam perbuatan hamba. Yakni, dalam ibadah kepada-Nya. Bahwa ibadah itu tidak boleh diberikan kecuali hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ
”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak (diibadahi) dan sesungguhnya yang mereka seru selain Allah adalah bathil”
[QS. Luqman: 30]
Ketiga: Tauhid Asmā was Shifāt. Maksudnya, mengesakan Allah dalam nama dan sifat-Nya, tanpa ta’thil (menolak dan mengingkari makna), tanpa tahrif (mengubah makna), tamtsil (menyerupakan), dan tanpa takyif (mempersoalkan kaifiyahnya). Tauhid ini mencakup 2 hal pokok, yaitu menetapkan dan menafikan. Menetapkan bagi Allah nama dan sifat yang mulia sesuai dengan apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya atau apa yang ditetapkan oleh Rasulullah-Nya, serta menafikan kesamaan dengan makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. [QS. Asy-Syuura: 11]
Setelah memahami makna dari setiap pembagian tauhid ini, maka muslim yang paling awam pun jika ditanya tentang ketiga bagian itu, apakah benar atau tidak? Dipastikan mereka akan mengatakan benar. Sebab Allah harus diesakan dalam ketiga hal tersebut. Makanya, sangat aneh jika ada yang menolaknya dengan dalih ia buatan Ibnu Taimiyah di abad ke 8 Hijriah.
Berikut kami kutipkan pernyataan para ulama sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terkait pembagian Tauhid tersebut:
1). Al-Imam Abu Hanifah rahimahullaāhu ta’ala (w. 150 H) berkata :
والله يدعى من أعلى لا من أسفل، لأن الأسفل ليس من وصف الربوبية و الألوهية في شيئ
“Allah Ta’ala diseru sedang Dia berada di atas, bukan di bawah. Karena posisi bawah bukanlah bagian dari sifat rububiyah dan uluhiyyah sedikit pun.” (Al-Fiqh Al-Absath, hal. 51).
Perkataan beliau, “Allah Ta’ala diseru sedang Dia berada di atas, bukan di bawah” terdapat penetapan sifat al-‘uluw bagi Allah, dan ia masuk dalam kategori Tauhid Asmā was Shifat. Setelah itu, beliau tegas menyebutkan tentang Rububiyyah dan Uluhiyyah Allah Ta’ala.
2). Imam Abu ‘Abdillah ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Baththah Al-‘Ukbari, lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Baththah rahimahullah (w. 387 H) berkata :
وَذَلِكَ أَنَّ أَصْلَ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ الَّذِي يَجِبُ عَلَى الْخَلْقِ اعْتِقَادُهُ فِي إِثْبَاتِ الْإِيمَانِ بِهِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَعْتَقِدَ الْعَبْدُ ربآنِيَّتَهُ لِيَكُونَ بِذَلِكَ مُبَايِنًا لِمَذْهَبِ أَهْلِ التَّعْطِيلِ الَّذِينَ لَا يُثْبِتُونَ صَانِعًا.
الثَّانِي: أَنْ يَعْتَقِدَ وَحْدَانِيَّتَهُ، لِيَكُونَ مُبَايِنًا بِذَلِكَ مَذَاهِبَ أَهْلِ الشِّرْكِ الَّذِينَ أَقَرُّوا بِالصَّانِعِ وَأَشْرَكُوا مَعَهُ فِي الْعِبَادَةِ غَيْرَهُ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَعْتَقِدَهُ مَوْصُوفًا بِالصِّفَاتِ الَّتِي لَا يَجُوزُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَوْصُوفًا بِهَا مِنَ الْعِلْمِ وَالْقُدْرَةِ وَالْحِكْمَةِ وَسَائِرِ مَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ…
“Yang demikian, karena pokok iman kepada Allah yang wajib diyakini oleh seorang hamba dalam menetapkan keimanan kepada-Nya ada tiga macam:
Pertama:Meyakini rububiyahAllah. Dengan keyakinan itu dia terbedakan dengan ahlu ta’thil (yaitu, orang-orang atheis) yang tidak menetapkan adanya Sang Pencipta.
Kedua: Meyakini keesaan Allah. Dengan keyakinan itu dia terbedakan dengan keyakinan orang-orang musyrik yang meyakini adanya pencipta (yaitu Allah), namun menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam beribadah.
Ketiga: Meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang harus dimiliki oleh-Nya. Seperti, sifat al-‘ilmu, al-qudrah, al-hikmah, dan semua sifat-sifat yang Allah sebutkan sebagai sifat-Nya dalam kitab-Nya …”.(Al-Ibaanah Al-Kubraa, 6: 149).
Perkataan Ibnu Baththah ini jelas menunjukkan pembagian tauhid menjadi tiga. Pertama beliau sebutkan tauhid Rububiyah, kemudian tauhid ibadah (tauhid al-uluhiyyah), dan terahir beliau sebutkan tentang tauhid asmā’ was shifāt.
Kemudian Ibnu Baththah rahimahullahu berkata :
وَلِأَنَّا نَجِدُ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ خَاطَبَ عِبَادَهُ بِدُعَائِهِمْ إِلَى اعْتِقَادِ كُلِّ وَاحِدَةٍ فِي هَذِهِ الثَّلَاثِ وَالْإِيمَانِ بِهَا
“Karena sesungguhnya kami mendapati bahwa Allah Ta’ala berbicara kepada hamba-hambaNya dengan menyeru mereka untuk meyakini setiap dari tiga jenis tauhid ini serta beriman kepadanya”. (Al-Ibaanah Al-Kubraa, 6: 149)
Kalimat menunjukkan bahwa pembagian tauhid menjadi tiga yang beliau sebutkan itu bersumber atau disimpulkan dari Al-Qur’an.
3). Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah (w. 321 H) juga telah mengisyaratkan pembagian tauhid ini dalam muqaddimah kitab beliau Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah:
نَقُولُ فِي تَوْحِيدِ اللَّهِ مُعْتَقِدِينَ بِتَوْفِيقِ اللَّهِ إن الله واحد لا شريك له ؛ ولا شي مثله ؛ ولا شيء يعجزه ؛ ولا إله غيره
“Kami berkata terkait tauhid kepada Allah, meyakini dengan taufik dari-Nya, bahwasanya Allah itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada satu pun yang serupa dengan-Nya. Tidak ada satu pun yang dapat mengalahkan-Nya. Dan tidak ada sesembahan (yang haq) selain Dia”.
Perkataan beliau, “Bahwasanya Allah itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya” ini mencakup ketiga Tauhid sekaligus.
Perkataan beliau, “Tidak ada satu pun yang serupa dengan-Nya”, ini adalah tentang tauhid Asma’ was Shifat.
Perkataan beliau, “Tidak ada satu pun yang dapat mengalahkan-Nya”, ini adalah tentang Tauhid Rububiyah.
Perkataan beliau, “Tidak ada sesembahan (yang haq) selain diri-Nya”, ini adalah tentang Tauhid Uluhiyyah.
Bahkan beliau sebutkan, aqidah yang diyakini oleh dirinya dan tuliskan dalam kitabnya ini adalah aqidah yang bersumber dari para ulama terdahulu. Beliau katakan :
هذا ذكر بيان عقيدة أهل السنة والجماعة على مذهب فقهاء الملة أبي حنيفة النعمان بن ثابت الكوفي وأبي يوسف يعقوب بن إبراهيم الأنصاري وأبي عبد الله محمد بن الحسن الشيباني رضوان الله عليهم أجمعين وما يَعْتَقِدُونَ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ وَيَدِينُونَ بِهِ رَبَّ العالمين
“Ini adalah penjelasan ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, di atas madzhab para Fuqaha, yaitu Abu Hanifah Nu’man bin Tsaabit Al-Kuufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, semoga Allah meridhai mereka semuanya, dan prinsip-prinsip agama yang mereka yakini, yang dengan itu mereka beragama (beribadah) kepada Allah.“
4). Imam Ibnu Hibban Al-Busti rahimahullah (w. 354 H) juga mengisyaratkan tiga macam tauhid ini dalam muqaddimah kitab beliau, Raudhatul ‘Uqalaa’:
الحمد لله المتفرد بوحدانية الألوهية المتعزز بعظمة الربوبية القائم على نفوس العالم بآجالها والعالم بتقلبها وأحوالها المان عليهم بتواتر آلائه المتفضل عليهم بسوابغ نعمائه الذي أنشأ الخلق حين أراد بلا معين ولا مشير وخلق البشر كما أراد بلا شبيه ولا نظير فمضت فيهم بقدرته مشيئته ونفذت فيهم بعزته إرادته
“Segala puji bagi Allah Ta’ala; Yang Esa dalam uluhiyyah; Yang Perkasa dengan keagungan rububiyah, yang menetapkan batas waktu bagi alam semesta, yang mengetahui berbagai perubahan dan kondisinya, yang mengaruniakan mereka dengan anugerah-Nya yang terus-menerus, yang memberi keutamaan kepada mereka dengan berbagai nikmat-Nya, Dzat yang menciptakan makhluk ketika Dia berkehendak tanpa satu pun penolong dan pembantu, yang menciptakan manusia sesuai dengan yang dikehendaki tanpa ada sekutu dan tandingan, seluruh kehendak-Nya berlaku pada mereka dengan kekuasaan-Nya dan seluruh keinginan-Nya terlaksana pada diri mereka dengan kemuliaan-Nya”. (Raudhatul ‘Uqalaa’ wa Nuzhatul Fudhalaa’ :1: 14)
5). Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusi rahimahullah (w. 520 H) berkata dalam muqaddimah kitab beliau, Siraajul Muluuk:
وأشهد له بالربوبية والوحدانية. وبما شهد به لنفسه من الأسماء الحسنى. والصفات العلى. والنعت الأوفى. ألا له الخلق والأمر. تبارك الله رب العالمين
“Aku bersaksi kepada Allah Ta’ala dalam Rububiyah dan keesaan (dalam Uluhiyyah). Dan aku bersaksi dengan yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya sendiri berupa nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang tinggi dan mulia. Milik Allah penciptaan dan pengaturan. Maha Suci Allah, Rabb semesta Alam.” (Siraajul Muluuk, 1: 3).
Masih banyak lagi perkataan para ulama yang hidup jauh sebelum syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beberapa yang kami sebutkan di atas, InsyaAllah sudah cukup untuk meyakinkan kita bahwa pembagian tauhid bukan sesuatu yang tercela di kalangan para ulama. Bahkan ia merupakan hasil pengamatan mereka dari apa yang Allah sebutkan dalam Alqur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Wallahu A’lam.