Sebagian masyarakat muslim telah sadar bahwa hadits atau sunnah Rasul merupakan salah satu di antara dua sumber pengambilan aqidah dalam Islam.
Hanya saja, perlu dimaklumi bahwa tidak semua hadits atau sunnah yang dinisbatkan kepada Nabi dapat dijadikan sebagai referensi pengambilan aqidah atau ajaran agama secara umum. Sunnah yang dapat dijadikan sebagai sumber pengambilan aqidah hanya sunnah yang telah dipastikan datang dari Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasalam oleh para ahli hadits, yaitu sunnah yang sahih. Jika sunnah telah dipandang sahih oleh para ahli hadits maka ia dapat dijadikan sebagai sumber aqidah, meskipun hanya berstatus ahad alias tidak mutawatir. Ukuran kesahihan sunnah Rasul kembali kepada perawi dan matan suatu hadits. Karenanya para ahli hadits mendefinisikan hadits shahih sebagai hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang bersambung oleh perawi yang sempurna dhabathnya pada setiap tingkatannya, mulai dari awal sanad hingga akhir, tanpa ada syaz dan illat di dalamnya.
Sunnah shahih yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menetapkan perkara-perkara aqidah tidak harus berderajat mutawatir. Hadits shahih yang ahad pun dapat dijadikan sebagai referensi aqidah. Dalam kitab-kitab musthalah, hadits-hadits Nabi diklasifikasi menjadi beberapa bagian berdasarkan tinjauan yang berbeda-beda. Salah satu tinjauan yang lazim ditemukan adalah tinjauan hadits dari segi kwantitas perawinya. Dalam tinjauan ini, hadits dibagi menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad. Lalu hadits ahad dibagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu: hadits masyhur, hadits aziz dan hadits gharib. Dalam tinjauan ini, sorotan fokus tertuju pada jumlah perawi pada setiap tingkatan, sedang kwalitas perawi tidak menjadi sorotan.
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada setiap tingkatan sanadnya, yang secara logika mereka mustahil sepakat berdusta atas nama Nabi, dan cara menerima dan meriwayatkannya menggunakan indra mereka.
Sedang hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi standar mutawatir. Karena jumlah perawinya pada setiap atau sebagian tingkatannya tidak sampai jumlah perawi hadits matawatir.
Dari segi keabsahannya, hadits mutawatir berbeda dengan hadits ahad, karena semua hadits mutawatir berstatus shahih, sedang hadits ahad tidak semuanya berstatus shahih. Hal ini tergantung pada kwalitas perawinya. Akan tetapi apabila hadits ahad tersebut telah dipastikan keshahihannya oleh para ahlinya maka statusnya sebagai sumber pengambilan hukum dalam perkara aqidah dan perkara agama lainnya telah sama dengan hadits mutawatir. Keduanya merupakan sumber pengambilan aqidah di samping sebagai sumber hukum ibadah. Dengan demikian, fungsi hadits ahad dalam persoalan aqidah tidak berbeda dengan fungsinya dalam persoalan hukum-hukum ibadah. Ia berfungsi sebagai sumber pengambilan aqidah sebagaimana juga berfungsi sebagai sumber pengambilan hukum ibadah dan muamalat.
Menerima hadits ahad sebagai sumber hukum dalam persoalan amalan ibadah dan mualamat saja, dan menolak dijadikan sebagai sumber pengambilan aqidah bukan metode yang digunakan oleh salafus shaleh. Salafus shaleh seluruhnya menjadikan hadits ahad yang shahih sebagai sumber dan dasar pengambilan aqidah di samping amalan ibadah dan muamalat. Hadits ahad yang shahih dalam metodologi salaf tidak dikotomikan dari hadits mutawatir. Sebagaimana hadits mutawatir yang dipakai dalam menetapkan persoalan aqidah dan hukum-hukum ibadah, hadits ahad juga digunakan untuk menetapkan persoalan aqidah dan ibadah. Dalam pandangan salafus shaleh, bahkan jumhur ulama dari kalangan ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh, termasuk kebanyakan ahli kalam, hadits ahad itu bermuatan ilmu yang pasti dan mutlak benar jika disertai dengan indikator yang telah ditetapkan oleh para ahli hadits.[1] Karenanya, mereka memfungsikannya seperti hadits mutawatir sebagai sumber hukum ibadah dan aqidah.
Dalil Menjadikan Hadits Ahad sebagai Sumber Aqidah:
Dalam pandangan Ahlus Sunnah Waljama’ah, terdapat banyak dalil yang menguatkan bahwa hadits ahad merupakan salah satu sumber di antara dua sumber pengambilan aqidah. Dalam kitab ar-Risalah, Imam Syafi’i telah menyebutkan sejumlah dalil yang menguatkan bahwa bahwa hadits ahad merupakan hujjah dan sumber pengambilan hukum dan aqidah dalam agama. Di antaranya sebagai berikut:
1. Firman Allah: {وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ} [التوبة: 122] “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa tidak pergi tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah mereka kembali kepadanya…”. (QS At-Taubah: 122).
Ayat ini memerintahkan umat untuk belajar agama, termasuk di dalamnya persoalan aqidah. Sedang kata thaifah atau golongan yang disebutkan pada ayat tersebut dapat digunakan untuk satu orang atau ahad. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (Al Hujurat: 9), karena perang antara dau person beriman telah masuk kategori dua thaifah atau golongan.
2. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al-Hujurat: 6). Ayat ini hanya menyerukan untuk teliti dalam menerima berita orang yang fasik, sedang berita yang disampaikan oleh orang yang tsiqah atau terpercaya tidak masuk dalam seruan tersebut. Ini menunjukkan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang terpercaya dapat diterima meski hanya sendirian yang meriyawatkannya. Dan itu tidak membutuhkan kehati-hatian karena dia tidak terlibat kefasikan-kefasikan meskipun yang diceritakan itu tidak memberikan pengetahuan yang perlu untuk diteliti sehingga mencapai derajat ilmu.
3. Beberapa praktek Rasulullah: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah mengutus delegasi dengan hanya satu orang utusan kepada para raja dan penguasa di zamannya satu persatu. Rasulullah pernah mengutus Abu Ubaidah Amir bin Jarrah ke negara Najran, Muadz bin Jabbal ke Yaman, Dihyah Al-Kalbi dengan membawa surat kepada pembesar Bashrah dan lain-lain. Utusan-utusan tersebut membawa misi dakwah dan mengajarkan aqidah kepada masyarakat yang dituju atau penguasa di negeri tersebut.
4. Beberapa praktek sahabat di zaman Nabi:
a. Ketika jama’ah mesjid Quba di Medinah sedang menjalankan shalat shubuh datanglah seseorang kepada mereka dan menyampaikan bahwa sesungguhnya telah diturunkan kepada Rasulullah Al-Qur’an pada waktu malam, dan beliau diperintah untuk mengahadap ka’bah, maka mereka menghadap ka’bah dan wajah mereka sebelumnya menghadap baitul maqdis, kemudian beralih ke ka’bah. Mereka langsung mengubah kiblat dalam kondisi masih shalat hanya dengan riwayat ahad. Dan tidak dikatakan bahwa ini hukum amali karena perbuatan hukum ini berdasarkan atas keyakinan bahwa qiblat telah berubah atas dasar hadits yang disampaikan kepada mereka
b. Kesepakatan dan praktek Umar bin Khattab dan tetangganya dari kalangan Anshar yang saling bergantian menyampaikan hadits dan pelajaran dari Nabi jika salah seorang di antara mereka berdua berhalangan hadir pada majelis Rasulullah.
Riwayat yang disampaikan tidak hanya terbatas perkara hukum ibadah tetapi juga persoalan aqidah. Dalil-dalil ini dan dalil lainnya telah dijelaskan oleh Imam Syafi’i dalam kitab Ar-Risalah secara detail.
(Tim Kajian Ilmiyah Al-Inshof)
[1]. Lihat: Raf’ul Malam ‘an al-Aimmat al-A’lam, karya Ibn Taimiyah, hal. 54-55.