Menjadi tokoh besar bukan hal mudah. Terlebih jika ketokohan tersebut dalam berbagai disiplin ilmu. Bak sebuah pohon, makin tinggi makin kencang pula badai menerpanya. Demikianlah yang dialami oleh seorang tokoh besar yang bernama Ibnu Taimiyah (w.728 H) rahimahullah. Padahal ketokohannya dalam berbagai disiplin ilmu diakui oleh kawan maupun lawan.  

Hal ini sebagaimana pengakuan Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (w. 852 H): “Dia dipuji, begitu pula keilmuan, agama, serta kezuhudannya oleh seluruh kelompok yang ada di zamannya. Bahkan oleh kelompok yang berseberangan dengannya dalam hal aqidah”.[1]

Di antara ulama yang memberi pujian begitu banyak kepadanya adalah murid beliau sendiri, Al-Hafizh Adz-Dzahabi (w.748 H) rahimahullah. Dalam suatu kesempatan ia berkata: “Beliau (Ibnu Taimiyah) adalah ayat dalam kecerdasan dan nalar yang cepat, panutan dalam memahami  Al-qur’an dan As-Sunnah, persoalan khilafiyah, serta lautan dalam penukilan. Tidak ada duanya di zamannya dalam hal ilmu, kezuhudan, keberanian, kedermawanan,  amar ma’ruf nahi mungkar, dan banyaknya karya yang dihasilkan”.[2]

Abu Al-Baqa’ As-Subki (w.777 H) rahimahullah berkata : “Demi Allah wahai fulan, tidaklah yang membenci Ibnu Taimiyah kecuali orang jahil atau pengikut hawa nafsu. Orang yang jahil tidak mengetahui apa yang dia katakan, sedangkan pengikut hawa nafsu dipalingkan oleh hawa nafsunya dari kebenaran setelah dia mengetahuinya”.[3]

Termasuk Imam Taqiyuddin As-Subki (w.756 H) rahimahullah yang terkenal sebagai ‘rival’ Ibnu Taimiyah. Dengan inshof (objektif) beliau melontarkan untaian pujian kepada Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau berkata tentang Ibnu Taimiyah dalam surat balasannya kepada Imam Adz-Dzahabi rahimahullah: “Adapun pekataan Tuan tentang Asy-Syaikh (yakni Ibnu Taimiyah), maka hamba meyakini besarnya kedudukan beliau, luas dan dalamnya lautan ilmu yang dimiliki dalam bidang agama dan akal, sangat genius, memiliki kemampuan ijtihad yang tinggi, serta prestasi beliau dalam segala perkara tersebut yg tidak bisa digambarkan”. 

Lebih lanjut beliau mengatakan terkait dengan manhaj Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Titian dia di atas jalan para salaf. Dia telah mengambil bagian yang begitu banyak darinya. Seorang yang menakjubkan di zaman ini, bahkan (menakjubkan) dari beberapa zaman”.[4]

Termasuk yang mengakui kedalaman ilmu beliau adalah Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah. Beliau bahkan menggelari Ibnu Taimiyah sebagai “Al-Allamah” atau Ulama besar dan Saifun Sharim ala al-Mubtadi’in atau Pedang Terhunus bagi Ahli Bid’ah.[5]

Masih banyak lagi pujian ulama-ulama besar lainnya terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang bertebaran dalam karya-karya mereka.

Akan tetapi, kedalaman ilmu, ketokohan dan pujian ulama terhadapnya tidaklah menjadikan beliau sosok yang luput dari cemoohan, caci maki, fitnah murahan, serta tuduhan dusta yang keji. Hingga sampai pada taraf tuduhan munafik, zindik, dan pengkafiran terhadapnya. Sampai-sampai AL-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah turun tangan  melakukan pembelaan terhadap Ibnu Taimiyah atas tuduhan kafir terhadapnya. Ibnu Hajar berkata: “Tidaklah mengkafirkan Ibnu Taimiyah melainkan satu dari dua golongan. Orang yang memang kafir asli, atau orang yang tidak mengenal beliau”.[6]

Ketahuilah, sematan dan stigma negatif seperti itu kepada para pembawa panji kebenaran sebenarnya bukan barang baru. Sebelumnya, ia dialami juga oleh manusia paling baik di mika bumi, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau pernah dicap sebagai tukang sihir,  tukang tenung,  pendusta,  penyihir dan berbagai stigma-stigma buruk lainnya. Untuk tujuan menjauhkan manusia dari seruan kebenaran yang beliau emban.

Nah, Ibnu Taimiyah termasuk salah satu di antaranya. Kesalahan dalam memahami ibarat-ibarat yang beliau goreskan dalam karya-karyanya demi membela kemurnian akidah menjadikan sebagian kalangan terjatuh dalam kezaliman terhadapnya. Ini yang tidak disengaja. Yang disengaja pun sangat banyak. Utamanya oleh mereka yang datang belakangan. Distorsi dan pemenggalan ucapan-ucapan beliau untuk tujuan menjatuhkan harga diri dan kehormatannya banyak sekali ditemukan. Dan ini yang sangat disayangkan.

Termasuk dalam hal ini, menjadikan beliau satu-satunya sasaran tembakan bagi celaan dan fitnah tersebut. Padahal, sebelum beliau bejibun ulama yang mengatakan seperti apa yang beliau ungkapan. Bahkan ulama-ulama dari kalangan yang sengaja menyerang Ibnu Taimiyah pun banyak yang berpendapat seperti pendapat beliau. Jadi, unik memang persoalan yang dialami oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini!

Tuduhan yang Menyasar Ibnu Taimiyah

Di antara tuduhan dusta yang santer dilontarkan kepada Ibnu Taimiyah rahimahullah yang acapkali menjadi dasar untuk menolak seluruh pemikiran beliau, tuduhan bahwa dia seorang Mujassim (pengusung ideologi yang meyakini Allah bertubuh) atau Musyabbih (pengusung ideologi yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Uniknya, tuduhan ini tidak hanya beredar di kalangan penuntut ilmu pemula, bahkan menyasar para penuntut ilmu senior yang sudah menyandang gelar alim ulama. 

Salah satunya, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (w.973 H) yang dikenal sebagai salah seorang ulama besar Madzhab Syafi’i di abad ke-9. Sangat disayangkan beliau rahimahullah menuduh Ibnu Taimiyah menetapkan Jism (tubuh) kepada Allah Ta’ala, dan bahwasanya beliaulah pencetus Tajsim (ideologi yang meyakini Allah bertubuh). Tidak tanggung-tanggung, Al-Haitsami mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah rahimahullah pengikut hawa nafsu dan syetan yang datang dengan sejelek-jelek keburukan.[7]

Sebelum beliau (Ibnu Hajar), tuduhan serupa juga telah dilontarkan seorang ulama besar Ahli Fiqih Madzhab Syafi’i, penulis Kitab Kifayatul Akhyar, yakni Imam Taqiyuddin Al-Hishni (w. 829 H) rahimahullah, bahwa Ibnu Taimiyah seorang Mujassim.[8]  Di Dalam Kitab Daf’u Syubah man Syabbaha watamarrad halaman 258 beliau mengklaim Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala Istiwa (bersemayam) di atas Arsy-Nya seperti istiwa-nya saya ini”, berdasarkan kabar dari Abu Al-Hasan Ad-Dimasyqi dari ayahnya.

Sebagian mereka juga menuduh, Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam menyerupakan Allah dengan makhluk mengeluarkan perkataan: “Sesungguhnya Allah turun (dari langit) sebagaimana turunnya saya ini”, sambil beliau turun satu tangga dari Mimbar. Kisah ini bersumber dari riwayat perjalanan Ibnu Battutah (w. 779 H) ketika singgah di Damaskus dan (katanya) menghadiri kajian Ibnu Taimiyah di Masjid Jami Damaskus.[9] Masih banyak lagi tuduhan-tuduhan lain terhadap beliau, dalam tulisan singkat ini tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

Untuk mengetahui validitas tuduhan dan klaim di atas maka cara pertama tentunya seperti kata pepatah Arab :

وعند جهينة الخبر اليقين 

“Dan disisi Juhainah kabar yang akurat”

Kita harus  merujuk langsung kepada kitab-kitab yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah khususnya dalam permasalahan ini (pembahasan nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala).

Berikut beberapa keterangan ilmiyah yang membuktikan bahwa tuduhan Tajsim yang disematkan kepada beliau adalah tuduhan yang sangat jauh dari kebenaran.

Pertama: Pujian para ulama terhadap Ibnu Taimiyah rahimahullah dan persaksian mereka akan keluasan ilmu. Begitu pula sikap wara’ (kehati-hatian) dan lurusnya agama beliau sebagaimana yang kami sebutkan di atas, mementahkan seluruh tuduhan-tuduhan keji terhadapnya.

Kedua : Manhaj beliau dalam pemasalahan ini adalah sebagaimana manhaj Imam Ahmad (w. 241 H) rahimahullah dan para sahabatnya. Yaitu, tidak memutlakkan lafadz Jism (tubuh) baik itu dalam bentuk penetapan ataupun penafian. Beliau menganggap keduanya merupakan perkara bid’ah yang tercela dalam agama. Sebab, tidak satupun atsar (riwayat) yang menyebutkan kata Jism bagi Allah baik dari Al-Qur’an, dari As Sunnah maupun perkataan Sahabat, Tabiin atau Imam-imam Ahlus Sunnah.[10] Dan bahwasanya Allah memiliki sifat-sifat kemuliaan dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Dialah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka Sifat-sifat-Nya tidak menyerupai sifat-sifat makhluk dengan menetapkan apa yang Dia tetapkan untuk diri-Nya dari Sifat-sifat(Nya).[11]

Secara eksplisit, beliau menyebutkan manhaj beliau dalam hal ini: “Prinsip yang wajib atas kaum muslimin, bahwa apa yang telah tsabit (tetap) dari Rasulullah wajib diimani. Olehnya, wajib membenarkan kabarnya dan mengikuti perintahnya. Dan apa yang tidak tsabit dari Rasulullah, tidak boleh menetapkan hukum di dalamnya baik penetapan ataupun penafian hingga diketahui keinginan sang pembicara dan diketahui kebenaran penafian atau penetapannya”.[12]

Dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa disebutkan, ketika dikatakan kepada beliau: “Kalau begitu bisa dikatakan: Dia adalah Tubuh tidak seperti tubuh-tubuh lain? beliau secara tegas menjawab: Saya dan dan para hadirin yang mulia mengatakan: Hanyalah dikatakan sesungguhnya Allah disifatkan sebagaimana Dia menyifatkan diri-Nya dan sebagaimana Rasulullah menyifatkan-Nya. Tidak ada dalam Al-qur’an maupun dalam As Sunnah yang menetapkan bahwa Allah adalah Tubuh sampai anda harus bertanya dengan pertanyaan ini.”[13]

Ketiga: Pengingkaran dan pengkafiran beliau terhadap kelompok Mujassimah

Beliau berkata: “Di antara orang-orang yang ekstrim kelompok Mujassimah dari kalangan Yahudi ada yang menyebutkan bahwa Allah menangisi angin topan hingga matanya berubah, warna lalu Dia dijenguk oleh malaikat… dan bahwasanya Dia menyesal hingga menggigit jari-Nya dan meneteskan darah”. Ibnu Taimiyah mengomentari: Ini adalah kekafiran yang nyata”.[14]

Beliau menyatakan, asal mula Tajsim berasal dari kelompok Syiah seperti Hisyam bin Al-Hakam (w.190 H) dan Hisyam Al-Jawaliqi.[15]

Dari sini, nampak kebatilan klaim bahwa Ibnu Taimiyah rahimahullah adalah Mujassim dan bahwa beliau adalah pencetus sifat Tubuh bagi Allah Ta’ala.

Keempat: Bahwa Jism merupakan kata yang umum, di mana para pakar bahasa dan ahli kalam berbeda pendapat terkait definisinya. Jika ditelisik lebih jauh, kata tersebut dan perselisihan di dalamnya tidaklah muncul kecuali setelah meninggalnya generasi terbaik umat ini.[16] Olehnya beliau berkata: “Adapun lafadz-lafadz yang umum, maka penetapan dan penafiyan di dalamnya tanpa adanya klarifikasi (makna yang diinginkan) akan menjerumuskan ke dalam kejahilan dan kesesatan, serta fitnah dan kekacauan”.[17]

Mengenai riwayat dari Ibnu Battutah rahimahullah, maka hal tersebut telah disanggah oleh para ulama dengan sanggahan sebagai berikut:

1). Bahwasanya Ibnu Battutah rahimahullah tidak pernah mendengar (langsung) Ibnu Taimiyah, dan belum pernah bertemu dengan beliau. Kedatangan beliau di Damaskus pada hari Kamis tanggal 19 Ramadhan tahun 716 H, bersamaan dengan waktu-waktu Ibnu Taimiyah di dalam penjara Benteng Damaskus, yakni pada awal-awal bulan Sya’ban pada tahun yang sama. Beliau menetap di dalam penjara sampai beliau meninggal dunia pada malam senin tanggal 20 Dzulqa’dah tahun 728 H. Maka bagaimana mungkin Ibnu Battutah bisa bertemu dengan Ibnu Taimiyah?!

2). Kitab Rihlah Ibnu Battutah dipenuhi riwayat-riwayat dan cerita-cerita aneh yang tidak jelas kebenarannya. Misalnya, pada jilid I halaman 54 beliau mengatakan: “Di tengah-tengah Masjid Al-Umawi di Damaskus terdapat Makam Nabi Zakariya Alaihis Salam. Sementara yang dikenal, makam tersebut adalah Makam Nabi Yahya Alaihis Salam. Cerita lainnya, beliau berkata: “Saya membaca keutamaan Damaskus dari Sufyan Ats-Tsauri bahwa sholat di Masjid Damaskus pahalanya senilai 30.000 kali sholat!?” Tentu kita semua mengetahui, perkataan tersebut tidak boleh diucapkan melalui pendapat semata. Apalagi disandarkan kepada Imam Besar sekaliber Sufyan Ats-Tsauri”.[18]

Ketiga: Manhaj Ibnu Taimiyah dalam berinteraksi dengan hadits-hadits An-Nuzul (turunnya Allah)  sama dengan manhaj beliau ketika berinteraksi dengan hadits-hadits sifat yang lainnya. Yakni menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah tanpa takyif (bagaimana caranya) dan tasybih (penyerupaan dengan makhluk).[19]

Inilah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau berkata: “Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Mandah dari Harb, ia berkata: “Dan inilah mazhab Imam-Imam, para Ahli Hadits dan Atsar, dan Ahlus Sunnah yang terkenal. Dia adalah madzhab Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawai, Al Humaidi dan selainnya. Pernyataan mereka, bahwa Allah turun setiap malam ke langit dunia sebagaimana yang Dia kehendaki dan seperti yang Dia kehendaki.”[20]

Hal ini juga selaras dengan apa yang ditaqrir oleh Imam At-Tirmidzi (w.279 H) rahimahullah bahwa penetapan Hadits An-Nuzul tanpa kaif (berkata bagaimana) adalah manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dan bahwasanya kelompok Jahmiyahlah yang mengingkari hadits-hadits tersebut dan semisalnya.[21]

Namun jika manhaj seperti ini (menetapkan sifat yg ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya) diklaim sebagai manhaj tajsim dan tasybih, maka jawabannya sebagaimana kata Ishaq bin Rahawai rahimahullah: “Hanyalah dikatakan tasybih kalau dikatakan: Tangan seperti  tangan atau pendengaran seperti pendengaran, jika dikatakan pendengaran seperti pendengaran atau sama dengan pendengaran inilah yang disebut tasybih. Adapun jika dikatakan sebagaimana Allah Ta’ala  berkata: Yadun (Tangan), Sam’un (Pendengaran), dan Basharun (Penglihatan), dan tidak berkata bagaimana dan tidak juga berkata seperti pendengaran atau sama dengan pendengaran, maka hal tersebut bukanlah tasybih. Dan ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala dalam Kitab-Nya: Tidak ada yg serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat”.[22]

Sebagai penutup Imam Ibnu Al-Mubarak rahimahullah berkata:

من قال لك يا مشبه فاعلم أنه جهمي

“Barang siapa yang berkata kepadamu, “Wahai Musyabbih maka ketauhilah bahwa dia Adalah Jahmi (pengikut kelompok Jahmiyah yang sesat)”.[23]

wallahu a’lam (Tim Kajian Ilmiah Alinshof)

Referensi :

[1] Taqridzh Ibni Hajar Alarraddil Wafir, hal.16, cet.Maktabatu Ibni Taimiyah,  Kuwait

[2] Al Uqud durriyah, hal.22, cet. Al Faruq Al Haditsah, Kairo

[3] Ar Raddul Wafir, hal.99, cet.Al Maktabul Islami, Beirut

[4] Ar Raddul Wafir, hal.100, cet. Al Maktabul Islami, Beirut

[5](lihat Fathul Bari, vol.6, hal.289, cet. Al Maktabah As Salafiyah, Taqridzh Ibni Hajar Alarraddil Wafir, Hal.17, cet. Maktabatu Ibni Taimiyah,  Kuwait

[6] Taqridzh Ibni Hajar Alarraddil Wafir, hal.16, cet.Maktabatu Ibni Taimiyah,  Kuwait

[7] lihat Al Jauhar al Munaddhzom, hal.29, cet.Daru Jawami’ Al Kalim,  Kairo

[8] lihat Daf’u Syubah man Syabbaha watamarrad, Hal.252, cet. Darurrazi, ‘Amman

[9] lihat Rihlatu Ibni Battutah,vol.1,hal.111-112, cet. Daru Ihyail ‘Ulum,  Beirut

[10] Minhajussunnah Annabawiyah, vol.2, hal 225

[11] Al Jawabusshohih, vol.4,hal.432, cet. Darul ‘Ashimah, Riyadh

[12] Al Jawabusshohih, vol.2, hal.216-217, cet. Darul ‘Ashimah,  Riyadh, Syarh Haditsinnuzul, hal.258, cet. Darul ‘Ashimah, Riyadh

[13] Majmu’ Fatawa, vol.3,hal.168, cet. Mujamma’ul Malik Fahd, Madinah

[14] Al Jawabusshohih, vol.4, hal.456, cet. Darul ‘Ashimah, Riyadh

[15] Al Jawabusshohih, vol.2,hal.217, cet. Darul ‘Ashimah,  Riyadh

[16] Al Jawabusshohih, vol.4, hal.432, cet. Darul ‘Ashimah, Riyadh

[17] Minhajussunnah An Nabawiyyah, vol.2, hal.217

[18] Hayatu Syekhil Islam Ibni Taimiyah, Hal.46-47, cet.Al Maktab Al Islami,  Beirut

[19] (Syarh Haditsinnuzul, hal.147, cet. Darul ‘Ashimah, Riyadh

[20] Majmu’  Fatawa,  vol.5, hal.393, cet. Mujamma’ul Malik Fahd, Madinah

[21] Sunan Attirmidzi, vol.2, hal.202, Kitabuzzakah, cet. Darurrisalah Al ‘Alamiyah, Beirut

[22] Sunan Attirmidzi, vol.3, hal.42, Kitabuzzakah

[23] Majmu’ Fatawa, vol, 5, hal. 393, cet. Mujammaul Malik Fahd, Madinah

Tinggalkan Komentar

By admin