Penulis (maksudnya ustadz yang menjelaskan tidak ada jihad untuk orang yang demo, dan selanjutnya kami sebut penulis dalam jawaban ini) mengatakan di awal tulisannya:
Demo = aksi damai = unjuk rasa
Meskipun pemerintah mengijinkan, tetap perkara ini diharamkan dalam syariat.
1. Persoalan demonstrasi (yang kami maksudkan dalam tulisan ini adalah demonstrasi damai atau aksi damai sebagai salah satu sarana yang diperbolehkan oleh pemerintah Indonesia dan kebanyakan negara dalam menyalurkan aspirasi rakyat), menurut penulis diharamkan dalam syariat Islam. Hal ini tentu saja berdasarkan fatwa-fatwa beberapa ulama yang mengharamkannya. Namun tentu saja disana ada pula ulama-ulama besar yang membolehkan demo damai, bahkan diantara mereka ada yang awalnya memfatwakan haramnya demo lalu merubah fatwanya dan membolehkannya dalam keadaan tertentu. Kebolehan aksi damai ini karena beberapa sebab:
1. Aksi damai adalah persoalan ijtihadiyyah yang mana keadaan sebuah negara dan persoalan yang muncul di tengah-tengah kaum muslimin berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga perbedaan fatwa sangat mungkin terjadi diantara ulama.
2. Merupakah sebuah kesalahan fatal manakala sebuah fatwa yang diterapkan pada sebuah negara tertentu dengan keadaan dan kondisi tertentu, lantas fatwa itu dijiplak 100% dan hendak diterapkan pada negara lainnya yang memiliki keadaan dan kondisi yang berbeda. Oleh karena fiqhul waaqi’ atau memahami keadaan dan kondisi masyarakat adalah salah satu unsur yang sangat berpengaruh dalam sebuah fatwa. Karenanya para masyaikh yang mengharamkan aksi demo atau demo damai sebagai salah satu wasilah untuk menyampaikan aspirasi rakyat sejatinya menyampaikan fatwa terhadap keadaan kaum muslimin yang ada di Arab Saudi, namun ketika diperhadapkan pada keadaan negara lainnya, maka fatwapun berubah. Sebagaimana terjadi pada syaikh Utsaimin rahimahullah yang mengharamkan aksi demo, lantas ditanyakan kepadanya tentang demo yang dilakukan oleh kaum muslimin di negeri kuffar maka beliau membolehkannya karena pemerintah negara itu sendiri membolehkan tindakan tersebut, apabila ada maslahat yang dapat tercapai melalui aksi damai atau ada kemungkaran yang ingin dihentikan melaluinya pula.
3. Aksi damai merupakan salah satu wasilah untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan, dan berdasarkan sebuah kaidah “wasilah-wasilah mendapatkan hukum maqasid (tujuan yang diinginkan)”, maka selama tujuan yang diinginkan adalah sesuatu yang masyru’ atau disyariatkan, maka wasilah apapun dibolehkan selama tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar dari maslahat yang dituju. Dan selama ia adalah wasilah, maka hukumnya tidak boleh dipisahkan atau berdiri sendiri dari tujuan atau maslahat yang diinginkan.
4. Meskipun aksi damai ini hanyalah sebuah wasilah, namun para salafus shalih kita telah melakukannya terlebih dahulu persis seperti apa yang kita saksikan hari ini. Seperti apa yang terjadi pada peristiwa Al Jamal tatkala Zubair bin ‘Awwam, Talhah dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum melakukan aksi damai dari kota Madinah menuju Iraq untuk mendesak pemerintahan yang dipimpin oleh ‘Ali bin Abi Talib radhiyallahu ‘anhu agar segera menyelesaikan persoalan terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Hal yang menarik dijadikan pelajaran adalah ‘Ali bin Abi Talib sebagai sang Khalifah saat itu tidak menganggap ribuan kaum muslimin yang datang ke Iraq sbg orang-orang yang harus diperangi atas tindakan mereka yang menunjukkan persetujuan beliau atas hal tersebut.
Apabila ada yang berhujjah bahwa setelah peristiwa Al Jamal ini, para ulama barulah berijma tentang pengharaman aksi damai, maka mari sedikit ke belakang tepatnya pada tahun 458 H di Kota Bagdad, terjadi hal serupa. Di mana pada hari kamis tanggal 14 Muharram, seluruh penduduk Kota Bagdad berkumpul dan melakukan parade akbar di jalan-jalan Kota Bagdad menuju istana Khalifah menuntut kaum Syiah yang saat itu terang-terangan melaknat para sahabat Nabi di perayaan Asyura. Hadir dalam parade akbar ini para Ulama dan Qurra Kota Bagdad sebagaimana dinukil Ibnul Jauzi rahimahullah dalam kitab Al Muntadzham 16/94. Dengan parade ini, Khalifah saat itu berhasil ditekan dan memaksa kaum Syiah agar menandatangani perjanjian hukuman berat bila mereka mengulangi aksi penistaan Islam di hari Asyura atau hari-hari lainnya.
5. Persoalan aksi damai murni adalah persoalan ijtihadiyyah dan furuiyyah, bukan termasuk dalam masalah aqidah dan manhaj salaf yang mana kita tidak diperbolehkan berbeda pendapat di dalamnya. Sehingga hal ini jangan dibawa-bawa kepada persoalan saya salafi karena tidak berdemo, dan anda bukan salafi karena melakukan demo. Karena aksi damai adalah persoalan maslahat dan mafsadat yang menjadi patokannya.
Berikut ini diantara Ulama besar yang membolehkan demo damai:
1. Syaikh Utsaimin (beliau memiliki 2 pendapat sebagaimana telah kami sebutkan pada poin yang kedua).
2. Syaikh Abdurrahman Nashir Al Barrak (beliau juga memiliki 2 pendapat seperti syaikh Utsaimin, ketika ditanyakan tentang demo di Bahrain maka beliau membolehkannya).
3. Syaikh Abdullah bin Jibrin.
4. Syaikh Luhaidan (beliau membolehkannya dalam beberapa keadaan).
5. Syaikh Muhammad Hasan Dudu (Salah seorang ulama dari Mauritania).
6. Syaikh Muhammad bin Sulaiman Al Asyqar (Salah seorang ulama Yordan).
7. Syaikh Aqil Al Maqtary (Salah seorang ulama dari Yaman).
8. Syaikh Abdul Aziz Fauzan (Salah seorang ulama dari Arab Saudi).
9. Syaikh Abdul Karim bin Yusuf Al Khidr (Salah seorang guru besar di Universitas Qasim, beliau memiliki sebuah buku yang membahas persoalan demonstrasi dan beliau menyebutkan sekitar 30 dalil yang menunjukan disyariatkannya persoalan aksi damai).
10. DR. Khalid bin Abdullah Asy Syamrani yang memiliki buku tentang menyuarakan aspirasi, syarat-syaratnya dan model-modelnya. Beliau menyinggung masalah aksi damai bahwa hal ini bergantung pada maslahat dan mudaratnya.
Dari sini, bisa kita pahami bahwa aksi damai adalah persoalan ijtihadiyyah yang para ulama dapat berbeda pendapat di dalamnya. Dan telah jelas bahwa para Ulama besar tatkala ditanyakan kepada mereka tentang persoalan-persoalan nawazil, maka mereka senantiasa mengembalikan persoalan tersebut kepada para ulama negara tersebut yang merasakan persoalan itu secara langsung. Dan Alhamdulillah Kita memiliki Majelis Ulama Indonesia sebagai pihak yang mengambil bagian tersebut.
Kemudian, untuk tulisan (Tak ada jihad untuk orang yang demo) penulis mengangkat sebuah hadis yang diriwayatkan dari Muadz bin Anas radiyallahu anhu (hadisnya lengkap dengan sanad dan matannya):
حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ ، حَدَّثَنَاإِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ ، عَنْ أَسِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْخَثْعَمِيِّ ، عَنْ فَرْوَةَ بْنِ مُجَاهِدٍ اللَّخْمِيِّ ، عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذٍ الْجُهَنِيِّ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : نَزَلْنَا عَلَى حِصْنِ سِنَانٍ بِأَرْضِ الرُّومِ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ، فَضَيَّقَ النَّاسُ الْمَنَازِلَ، وَقَطَعُوا الطَّرِيقَ، فَقَالَ مُعَاذٌ: أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا غَزَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزْوَةَ كَذَا وَكَذَا، فَضَيَّقَ النَّاسُ الطَّرِيقَ، فَبَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنَادِيًا فَنَادَى : ” مَنْ ضَيَّقَ مَنْزِلًا، أَوْ قَطَعَ طَرِيقًا، فَلَا جِهَادَ لَهُ “
Dari Al Hakam bin Nafi, dari Ismail bin Ayyasy, dari Usaid bin Abdirrahman Al Khats’amiy, dari Farwah bin Mujahid Al Lakhmiy, dari Sahl bin Muadz Al Juhaniy, dari Ayahnya Muadz bin Anas radiyallahu ‘anhu ia berkata:
“Kami pernah menaklukan benteng Sinan di negeri Romawi bersama Abdullah bin Abdul Malik, maka manusia ketika itu menyempitkan perumahan dan memutus jalan, maka Muadz berkata: Wahai manusia, sungguh kami pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam peperangan ini dan itu, lalu manusia menyempitkan jalan, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk menyerukan:
“Barangsiapa yang menyempitkan sebuah rumah atau memutus sebuah jalan, maka tidak ada jihad baginya.”
Setelah itu penulis menyebutkan riwayat hadis ini, kata beliau:
[HR. Ahmad dan Abu Daud, Shahih Abi Daud: 2364]
Beberapa koreksi:
Poin Pertama: Derajat hadis ini:
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2629), Said bin Mansur (no. 2468), Ahmad (no. 15648), Abu Ya’la (no. 1483), At Tabrany (no. 434), dan Al Baihaqy (no. 18458) dari jalur Ismail bin Ayyasy, dan Abu Dawud juga meriwayatkannya (no. 2630), dan At Tahawy (no. 44) dari jalur Al Auza’iy, keduanya (Ismail dan Al Auza’iy) meriwayatkan dari jalur Usaid bin Abdirrahman, dari Farwah bin Mujahid, dari Sahl bin Muadz, dari Muadz radiyallahu anhu.
Hadis ini dilemahkan karena beberapa sebab:
1. Imam Al Harits meriwayatkan hadis ini juga dalam kitab musnadnya (no. 630) dari Abu Ishaq Al Fazari, dari Al Auza’iy, dari Usaid bin Abdirrahman, dari rajul (seseorang) dari Juhainah, dari rajul (seseorang) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Menurut Imam Daraquthni bahwa sanad ini adalah sanad yang lemah karena terdapat 2 orang yang majhul (tak diketahui) (lihat Kitab ‘Ilal Daraquthni 6/91 no. 1002). Sehingga sanad yang betul adalah apa yang diriwayatkan oleh Ismail bin Ayyasy dan Al Auza’iy sebagaimana pada sanad yang pertama.
2. Hadis ini juga dilemahkan karena sanad yang pertama diriwayatkan dari jalur Ismail bin Ayyasy sedang dia adalah perawi yang lemah bila dia meriwayatkan dari perawi yang berasal dari Iraq dan dia kuat bila meriwayatkan dari ahli Syam. Namun kelemahan ini terbantah karena Ismail meriwayatkannya dari Usaid bin Abdirrahman yang berasal dari Palestina, Syam. Apalagi terdapat tambahan penguat untuk Ismail bin Ayyasy dari riwayat Al Auza’iy dari Usaid.
3. Hadis ini dilemahkan karena salah satu perawinya yang lemah yaitu Sahl bin Muadz. Dan seluruh jalur hadis ini kembali kepada beliau. Para Ulama Jarh Wat Ta’dil memang berselisih pendapat tentang keadaan Sahl bin Muadz, diantara mereka ada yang menguatkannya seperti Al ‘Ijliy dalam kitabnya Ats Tsiqaat (hal 209 no. 634) namun beliau termasuk Ulama yang mudah menguatkan para perawi, begitu pula Ibnu Hibban yang mudah menguatkan para perawi, beliau menyebutkan Sahl bin Muadz dalam kitab Tsiqaatnya (4/321 no. 3122). Meski demikian, ada khilaf dari pendapat Ibnu Hibban karena beliau juga telah menjarah Sahl dengan mengatakan “munkar hadits jiddan” karena perawi yang meriwayatkan dari Sahl adalah Zabban, sehingga beliau mengatakan “Saya tak tahu, kelemahan hadis Sahl apakah berasal dari Sahl atau dari Zabban, lihat kitab Al Majruhin (1/347 no. 447). Sedangkan menurut Ibnu Hajar maka Sahl bin Muadz hukumnya “laa ba’s bihi kecuali hadis yang diriwayatkan dari Zabban dari Sahl” atau derajat hadisnya hasan, Taqrib Tahdzib (no. 2667). Pendapat Ibnu Hajar ini seakan dibangun di atas pendapat Ibnu Hibban sebelumnya. Namun hadis ini datang dari riwayat Farwah bin Mujahid dan bukan Zabban.
Adapun Ulama lainnya, maka sebagian besar telah menjarah dan melemahkannya, seperti Yahya bin Ma’in sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Hatim dalam kitab Al Jarh Wat Ta’dil (4/203 no. 879), juga Imam Al Mundziri (lihat Aunul Ma’bud 5/98), Ibnu Syahin (Tarikh Asmaa Duafaa Wal Kadzabiin no. 222), Ibnu Abdil Bar (Al Istiaab 3/1402 no. 2415, menurut beliau Sahl adalah perawi yang lemah namun hadisnya dapat diterima atau hasan bila berkaitan tentang fadhail a’maal), dan Adz Dzahabi (Al Kasyif no. 2177).
Dari perbedaan ulama tentang keadaan Sahl bin Muadz, maka para Ulamapun berbeda pendapat tentang hukum hadis ini, Syaikh Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Sunan Abi Dawud (4/268 no. 2629) menghasankannya dan Syaikh Albani dalam Shahih dan Dhaif Sunan Abi Dawudnya (no. 2629) menghasankan hadis ini sedang dalam kitab lainnya beliau menshahihkannya. Sedangkan yang melemahkannya adalah Imam Ibnul Qattan dalam Bayan Al Wahm wal iham (5/749), Al Mundziri dalam Ta’liqnya kepada Sunan Abi Dawud sebagaimana dalam Kitab Aunul Ma’bud (5/98), dan Asy Syaukani dalam Nailul Authar (7/267).
Dari kedua pendapat Ulama ini, yang nampak lebih shahih adalah pendapat kedua yang melemahkan hadis ini, karena kelemahan yang ketiga yaitu keadaan Sahl bin Muadz yang telah didhaifkan oleh sebagian besar ulama Jarh Wat Ta’dil. Oleh karena apabila ada perawi yang diperselisihkan oleh para ulama, maka hendaknya kita melihat terhadap lafadz ta’dil dan jarah yang disebutkan oleb para ulama tersebut. Apabila ta’dil dan jarahnya dengan memakai lafadz yang umum, sebagaimana yang terjadi pada Sahl bin Muadz, maka hendaknya jarah tersebut lebih dikedepankan, karena para ulama yang melemahkan seorang perawi memiliki pengetahuan yang lebih tentang sang perawi dibandingkan mereka yang menguatkannya.
Apalagi hadis ini tidak memiliki jalur yang lainnya selain riwayat Sahl, namun terdapat satu buah syahid yang diriwayatkan dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang hukumnya sangat lemah sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Albani.
Syahid hadis Muadz ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq (62/44) dari jalur Nasr bin Muhammad Ath Thusy, dari Sulaiman bin Abi Salayah, dari Ridwan bin Mukhaymir, dari Dzun Nuun, dari Salim atau Salam bin Maymun Al Khawwash, dari Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Talib, dari Ayahnya, dari Kakeknya, dari Ali bin Abi Talib radhiyallahu ‘anhu beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan seseorang untuk berseru: “Barangsiapa yang mempersempit jalan maka tak ada jihad baginya”.
Di dalam silsilah sanad hadis ini terdapat seorang perawi yang sangat lemah, yaitu Salim atau Salam bin Maymun Al Khawwash. Dimana para Ulama Jarh Wat Ta’dil telah bersepakat untuk meninggalkan riwayatnya.
Berikut ini adalah perkataan para Ulama tentangnya:
1. Berkata Muhammad bin ‘Auf Al Himshiy “Dahulu Salam pernah mengubur kitab-kitabnya dan menyampaikan hadis dari hafalannya maka dia salah dalam periwayatannya”.
Dari kitab Al Jarh Wat Ta’dil (4/267 no. 1150).
2. Berkata Imam Abu Zur’ah Ar Razy rahimahullah “Aku mendapati masa beliau, namun Aku tak menulis hadis darinya, beliau meriwayatkan dari Abu Khalid Al Ahmar hadis yang mungkar menyerupai hadis palsu”. Dari kitab Al Jarh Wat Ta’dil (4/267 no. 1150).
3. Imam Ibnu Hibban rahimahullah telah menjarahnya dan tidak membolehkan untuk berhujjah dengan hadisnya apabila ia meriwayatkan hadis yang menyelisihi para ulama tsiqah, Al Majruhin (1/345 no. 442).
4. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Ad Dhuafaa wal Matrukiin (2/10 no. 1476) menukil dari Ibnu ‘Adiy rahimahullah bahwa beliau berkata “Salam meriwayatkan hadis dari para perawi yang tsiqah namun para ulama lainnya tidak menyetujui / menyelisihi riwayatnya”.
5. Imam Adz Dzahabi rahimahullah menukil dari Imam Malik bahwa Abu Hatim berkata “Salam bin Maimun tidak boleh ditulis hadisnya” Al Mughni fii Dhuafaa (no. 2526).
6. Imam Adz Dzahabi rahimahullah juga meriwayatkan dari Al ‘Uqaily bahwa Salam meriwayatkan hadis-hadis mungkar, yang tidak diikuti atau dikuatkan dari jalur lain. Mizan I’tidaal (2/187 no. 3381).
Dari sini maka dapat Kita pahami bahwa para Ulama telah meninggalkan hadis Salam bin Maimun ini, karena ia meriwayatkan hadis yang mungkar dan tidak dikuatkan oleh para perawi tsiqah lainnya. Sehingga hadis ‘Ali ini yang merupakan syahid hadis Mu’adz tidak dapat menguatkannya dan tidak pula dapat dikuatkan. Yang berarti hadis Mu’adz sebelumnya tetap berstatus sebagai hadis yang lemah. Sehingga pendapat ini pula yang dipegangi oleh Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi hafidzahullah dari Ulama hadis kontemporer saat ini.
Dengan demikian, hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah.
Poin kedua: Nukilan yang tidak sempurna dan jauh dari sisi ilmiah.
Penulis menukil 2 ucapan tentang makna وقطعوا الطريق. Yang pertama dari Imam Ali Al Qori, dan yang kedua dari Imam Al Adzim Al Abadi rahimahumallah.
Penulis berkata:
Al-‘Allamah Ali Al-Qori rahimahullah berkata,
(وَقَطَعُوا الطَّرِيقَ) : بِتَضْيِيقِهَا عَلَى الْمَارَّةِ
“Memutus jalan adalah dengan menyempitkannya sehingga menyulitkan pengguna jalan.” [Al-Mirqoh, 6/2522]
Demikian nukilan penulis dari kitab Mirqaat Al Mafaatih, beliau hanya menukil makna di atas dan tidak menukil ucapan Imam Ali Al Qari setelahnya tentang makna “tidak ada jihad”, dimana beliau menjelaskan maknanya bahwa pahala jihadnya tidak sempurna karena perbuatannya yang memberi mudharat kepada umat manusia. Ini juga yang dijelaskan oleh Imam At Thibi dalam Syarah Misykaat (8/2689). Entah karena alasan apa, namun penulis seakan sengaja tidak menukil penjelasan makna tersebut agar sesuai dengan judul tulisannya “tidak ada jihad bagi orang yang demo”, dan hal ini tentu saja jauh dari sisi ilmiah yang sepantasnya dimiliki oleh seorang penulis.
Kemudian nukilan kedua dari Imam Al Adzim Al Abadi, penulis menukil:
Al-‘Allamah Al-‘Azhim Al-Abadi rahimahullah berkata,
(وَقَطَعُوا الطَّرِيقَ) أَيْ بِتَضْيِيقِهَا عَلَى الْمَارَّةِ (فَلَا جِهَادَ لَهُ) فِيهِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ تَضْيِيقُ الطَّرِيقِ الَّتِي يَمُرُّ بِهَا النَّاسُ وَنَفَى جِهَادَ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَلَى طَرِيقِ الْمُبَالَغَةِ فِي الزَّجْرِ وَالتَّنْفِيرِ وَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ تَضْيِيقُ الْمَنَازِلِ الَّتِي يَنْزِلُ فِيهَا
“Memutus jalan artinya menyempitkannya sehingga menyulitkan pengguna jalan, maka tidak ada jihad bagi pelakunya. Dalam hadits ini terdapat pelajaran bahwa tidak boleh menyempitkan jalan yang dilalui manusia. Dan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam meniadakan jihadnya orang yang melakukan itu dengan bersungguh-sungguh dalam mengecam dan memperingatkan. Demikian pula tidak boleh menyempitkan rumah-rumah yang dilalui seorang mujahid.” [‘Aunul Ma’bud, 7/210]
Demikian pula kami dapatkan dalam kitab aslinya Aunul Ma’bud sebagaimana penulis nukilkan. Tapi sayang sekali, seakan ingin lari dari penjelasan ulama tentang hadis ini, penulis kembali tidak menukil apa yang tercantum pada kalimat setelahnya berupa ucapan Imam Al Mundziri yang melemahkan Sahl bin Muadz. Yang menunjukkan sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap amanah ilmiah kepada umat islam. Silahkan dicek kitab aunul ma’bud jilid 7/210, atau 5/98 cetakan Darul Hadis.
Memang ada pendapat ulama yang menerima hadis ini, sebagaimana telah Kami sebutkan sebelumnya, namun cukuplah ucapan yang tidak dinukil tersebut datang dari Ulama besar seperti Imam Al Mundziri, yang sepatutnya menjadi pertimbangan utama untuk kembali memurajaah hukum hadis ini yang ternyata lebih dekat kepada lemahnya hadis ini.
Wallohu a’lam.