Kapan Satu Amalan Disebut Sebagai Bid’ah
Kapan satu amalan disebut sebagai amalan bid’ah? Pertanyaan ini mungkin pernah mengusik pikiran kita. Apakah setiap amalan/perbuatan yang baru dalam agama ini disebut sebagai bid’ah atau apakah ia memiliki aturan sehingga tidak serta merta dihukumi bid’ah?
Ini penting untuk kita cermati bersama, agar kita tidak latah dan isti’jal memvonis perbuatan baru yang kita lihat sebagai bid’ah. Banyak orang seperti itu karena sikap ghirah yang tinggi pada dirinya terhadap agama, yang sebenarnya kita syukuri. Hanya saja, sikap isti’jal dan angkuh kadang menguasai diri mereka hingga menjadikannya terlalu mudah memvonis sesuatu menjadi bid’ah walau hakikatnya dia bukan bid’ah. Dari hal itu, polemikpun terjadi, ribut dan lain sebagainya.
Kita juga perlu belajar untuk memiliki hati yang lapang sesama kita. Agar, jika ada yang memvonis bid’ah terhadap perbuatan kita, maka kita bisa memahami kalau itu adalah hak dia. Kita cukup membela diri dengan menjelaskan dengan dalil-dalil syar’i dan kaidah-kaidah serta perkataan-perkataan ulama. Agar yang terjadi adalah pembelajaran dengan cara tukar pikiran secara ilmiah, bukan malah saling vonis sesat dan ahli bid’ah hanya karena perbedaan pandang itu. Ini yang perlu kita mulai dari sekarang.
Terlebih jika baru sampai pada tahap pembelajar, bukan orang-orang yang memahami ilmu-ilmu alat dalam syariat untuk pengambilan hukum. Jika kita tidak tahu akan hal itu, maka diam adalah sesuatu yang lebih baik. Tidak malah menjadi pion-pion peretak silaturahmi dan ukhuwah Islamiyyah atas nama manhaj, yang sebenarnya kita juga masih jauh dari memahaminya.
Terkait kapan amalan disebut sebagai bid’ah, para ulama sebenarnya sudah menjelaskan hal itu dalam daras-daras mereka, yang kemudian tercatat dalam kitab-kitab. Diantaranya adalah perkataan seorang imam besar yang mulia, al-Hafizh Abu al-Faraj Zainuddin Abdurrahman Bin Syihabuddin Ahmad al-Baghdadi rahimahullah yang dikenal dengan Ibnu Rajab al-Hambali. Beliau berkata:
والمراد بالبدعة ما أحدث مما لا أصل له في الشريعة يدل عليه ، وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا وإن كان بدعة لغة
“Yang dimaksud dengan bid’ah adalah perkara yang dibuat baru namun tidak memiliki asal dalam syariat yang bisa menunjukkan kebolehannya. Adapun perkara yang memiliki asal dalam syariat yang bisa menunjukkan kebolehannya maka bukan perkara bid’ah, walaupun itu bid’ah dari sisi bahasa.” (Ibnu Rajab al-Hambali, Jami’ul ‘ulum Wal Hikam, Tahqiq Muhammad Abdullah as-Sayyid Ahmad, hal 299, Daar Kutub al-Ilmiyah-Beirut, Cet 2, 1428 H).
Defenisi ini mencakup standar hukum pada sesuatu yang bisa dikatakan bid’ah atau tidak. Standar yang dimaksud adalah perkara itu memiliki asal atau tidak dalam syariat yang bisa menunjukkan boleh atau tidaknya.
Sehingga dari pengertian ini, kaidah-kaidah fiqh bisa masuk padanya untuk menunjukkan hukum pada perkara baru itu, seperti al-Umuru bi maqashidiha (Suatu perkara dihukumi berdasar pada niatnya), al-‘Adatu Muhakkamah (Adat yang menjadi dasar penetapan hukum), dan lainnya.
Sebagai contoh amalan baru yang dikembalikan pada niatnya atau keterkaitan dengan maslahatnya adalah penetapan satu waktu tertentu dalam sepekan untuk menyampaikan muhadharah atau halakah ilmu. Tentu hal ini tidak pernah terjadi di zaman Nabi Shallalllahu’alaihi wasallam. Namun, apakah hal ini serta merta dikatakan bid’ah?
Perkara ini pernah ditanyakan kepada Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah, kemudian beliau menjawab:
إن تحديد يوم معين منتظم لإلقاء محاضرة، أو حلقة علم ليس ببدعة منهي عنها، بل هو مباح، كما يقرر يوم معين في المدارس والمعاهد لحصة الفقه، أو التفسير أو نحو ذلك.
ولا شك أن طلب العلم الشرعي من العبادات لكن توقيته بيوم معين تابع لما تقتضيه المصلحة، ومن المصلحة أن يعين يوم لذلك حتى لا يضطرب الناس. وطلب العلم ليس عبادة مؤقتة بل هو بحسب ما تقتضيه المصلحة والفراغ. لكن لو خص يوماً معيناً لطلب العلم باعتبار أنه مخصوص لطلب العلم وحده فهذا هو البدعة
“Sesungguhnya pembatasan satu hari tertentu yang teratur untuk menyampaikan muhadharah atau halakah ilmu bukanlah bid’ah yang terlarang. Justru ia adalah perkara mubah, sebagaimana ditetapkannya satu hari tertentu pada sekolah-sekolah atau Ma’had untuk satu mata pelajaran fiqh, atau tafsir atau yang lainnya.
Tidak diragukan bahwa menuntut ilmu syar’i itu merupakan ibadah, tapi penetapan harinya dengan waktu tertentu mengikut pada maslahat. Diantara maslahat itu adalah menetapkan waktu agar tidak mengganggu waktu orang lain. Menuntut ilmu bukanlah ibadah yang muaqqat (dibatasi waktunya), namun dia disesuaikan dengan maslahat dan waktu kosong.
Namun, jika seseorang mengkhususkan satu waktu (dengan niat padanya ada kemuliaan atau keutamaan tertentu sebagai Sunnah ibadah-pent) untuk menuntut ilmu, ditinjau darinya sesuatu yang khusus untuk menuntut ilmu, maka ini adalah bid’ah.” (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Kitab al-Ilm, hal 163, ad-Daar al-‘Aalamiyah-Kairo, cet 1, 1437 H).
Perincian yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah ini sangat berkaitan erat dengan apa yang disebutkan oleh imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah di atas, yaitu bahwa amalan itu memiliki asal yang menunjukkan kebolehannya.
Tidak semua amalan yang baru dalam pandangan kita, merupakan amalan baru dalam syariat yang dihukumi bid’ah. Kadang ia adalah pengaturan atau penamaan belaka yang tidak diniatkan padanya ibadah khusus dan hanya disesuaikan dengan maslahatnya.
Sebagaimana kaidah “Laa musyaahah fi al-Ishtilah” (Tidak ada permasalahan pada satu istilah). Kadang amalan yang baru itu hanyalah satu nama atau istilah yang berbeda namun memiliki esensi yang sama dan tidak berkonsekuensi pada perubahan hukum. Seperti ceramah tarwih, buka puasa berjama’ah, menuntut ilmu pekanan dengan nama tarbiyah, liqa, halakah, majelis taklim, daurah, Tabligh Akbar atau apapun namanya. Semua itu tidak ada di zaman Nabi Shallalllahu ‘alaihi wasallam, namun kita biasa melakukannya dengan alasan yang kita permaklumkan. Maka begitu juga penerapannya pada perkara-perkara yang lain.
Dan akhirnya, marilah kita berupaya untuk bersikap dewasa dalam perbedaan pendapat. Ghirah untuk memurnikan agama jangan menjadi alat untuk memecah belah persatuan. Kita boleh saja berbeda tapi tidak boleh bercerai berai. Karena bercerai itu menyakitkan.
Wallahu a’lam bishshowab.