Segala puji bagi Allah Yang telah menyatukan hati kaum terdahulu setelah perpecahan, mengumpulkan mereka dalam kebersamaan setelah sekian lama larut dalam perselisihan. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَكِنَّ اللّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Anfal: 63)
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas Nabi pembawa hidayah, yang dengannya Allah menyelamatkan umat ini dari lembah kehinaan; atas keluarga, sahabat beliau, dan siapa saja yang mengikuti mereka pada masa-masa selanjutnya.
Al-‘Allamah al-Wazir Abu Yahya bin ‘Ashim mengarang sebuah kitab yang dia beri judul: “Jannah al-Ridha fii al-Taslim li Maa Qaddarallahu wa Qadha.” Buku ini ditulis setelah melihat kondisi kaum Muslimin di negeri Andalus mulai bergolak dan persaudaraan antara mereka kian rapuh.
Di dalam kitabnya, dia berkata: “Siapa saja membaca sejarah yang tertulis dan kisah-kisah para raja yang diriwayatkan, dia akan tahu bahwa kaum Nasrani, yang mudah-mudahan Allah menghancurkan mereka, tidak pernah mampu membalas dendam terhadap kaum Muslimin. Tidak bisa mengangkat aib dari diri mereka, dan tidak pula mampu menghancurkan pemukiman, bahkan tak bisa menguasai satu pun dari negeri kaum Muslimin. Kecuali setelah mereka berhasil menanamkan bibit perpecahan dan usaha keras mereka dalam menyebarkan perselisihan, mel ancarkan berbagai macam makar dan tipu daya terhadap raja-raja kepulauan, serta menjerumuskan mereka ke dalam fitnah yang menenggelamkan. Dan bilamana kaum Muslimin bersatu, mereka mempunyai cita-cita yang sama, sedang para ulama bersatu hati mendekatkan diri kepada Allah, maka pada saat itu perang akan menjadi seru lagi menjanjikan. Orang-orang akan berlomba-lomba berperang di jalan Allah, dan terbuka lebarlah kesempatan untuk mempertahankan negeri dan kehormatan, dengan direncanakan sebelumnya ataupun tanpa terencana.”(1)
Sungguh ungkapan beliau sangat tepat. Telitilah sejarah, maka Saudara akan paham, dan peristiwa-peristiwa kontemporer telah menjadi saksi. Sedang firman Allah ‘Azza wa Jalla lebih benar adanya:
“Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfal: 46)
Kemenangan serta kekuasaan raja-raja Andalus dan ‘Udwah(2) atas kaum Nasrani sudah bukan rahasia lagi. Hingga kaum Muslimin menjadi lemah dan takut, maka keadaan pun berbalik. Yang sangat mengherankan adalah bahwa semua orang sadar akan dampak buruk dari perselisihan dan perpecahan. Tapi amat sedikit dari orang-orang mulia, sepanjang sejarah, yang dapat selamat darinya. Semua peristiwa ini mengajarkan kita agar selalu kembali kepada Allah, memohon kepada-Nya agar memberi petunjuk, dan menyelamatkan serta melindungi kita dari berbagai fitnah dan cobaan.
Jika saja orang-orang pilihan dari para pengikut pendahulu yang mulia saja terkena duka perpecahan, maka tentu duka tersebut lebih dalam jika perpecahan terjadi antara mereka dengan orang-orang biasa. Inilah titik kelemahan yang ditakutkan atas kaum Muslimin. Dan bagaimanapun, musuh-musuh mereka tidak akan mendapatkan senjata ampuh selainnya.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bahwasannya Rabb-ku berfirman: ‘Hai Muhammad, jika Aku telah menetapkan suatu perkara, maka ketetapan itu tak akan bisa berubah, dan sesungguhnya Aku telah memberikan kepadamu bagi umatmu untuk tidak dibinasakan dengan sebab paceklik yang berkepanjangan, dan tidak akan dikuasai oleh musuh selain dari kaum mereka sendiri, maka musuh itu tidak akan bisa merampas seluruh negeri mereka, meskipun manusia yang ada di jagat raya ini berkumpul menghadapi mereka, sampai umatmu itu sendiri sebagiannya menghancurkan sebagian yang lain, dan sebagian meraka menawan sebagian yang lain.”( 3)
Dan akibat pasti dari perpecahan adalah kegagalan dan perselisihan. Orang-orang berakal benar-benar sadar penuh akan keniscayaan ini. Oleh sebab itulah, Allah menghukumi orang-orang yang hatinya berselisih sebagai orang-orang yang tidak berakal. Allah berfirman:
“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.” (QS. al-Hasyr: 14)
Seluruh kaum Muslimin telah sepakat atas wajibnya menegakkan syariat Allah, begitu pula wajibnya persatuan dalam memegang teguh Kitabullah dan mengajak manusia kepadanya. Apalagi di saat terjadinya kekacauan dan fitnah yang menyerang segenap negeri kaum Muslimin. Dan tiada yang tahu apa yang terjadi akhirnya. Apapun itu, yang terpenting adalah menjaga persatuan Ahlus Sunnah, para pengikut Salaf umat ini.
Ada beberapa ketetapan syariat yang sangat penting demi mencapai tujuan mulia ini. Sebelumnya, Saudara, yang mudah-mudahan Allah menjagamu, harus pahami bahwa yang dimaksud dengan “jama’ah” adalah Ahlus Sunnah. Dan uraian ini ditujukan kepada mereka, para pengikut Salaf yang selalu berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah, yang memuliakan para ulama dari golongan mana saja mereka berasal. Saya menekankan perkara ini karena pembahasan tentang mereka yang menyelisihi Kitabullah dan selalu memperdebatkannya, dan bagaimana cara bergaul dengan mereka perlu penjelasan yang bukan di sini tempatnya.
Di antara ketetapan-ketetapan syariat yang dengan mengamalkannya dapat mempererat persatuan Ahlus Sunnah, adalah sebagai berikut:
1. Menyerahkan urusan orang awam dalam masalah khilafiyah kepada ulama-ulama yang dalam ilmunya, yang mana dengan taqlid kepada para ulama tersebut, terlepaslah tanggungan mereka.
Jangan menyibukkan orang awam dengan ulama yang kapasitas keilmuannya lebih rendah, atau membenturkan mereka dalam perbedaan fatwa-fatwa ulama yang sezaman. Karena perbedaan pendapat dalam masalah kontemporer adalah hal yang lumrah, disebabkan adanya perbedaan pemahaman, sudut pandang, kapasitas kemampuan identifikasi dan memahami suatu masalah, atau perbedaan tingkat penguasaan ilmu syariat dan dasar-dasar hukum. Semua perbedaan ini pada hakikatnya tidak akan sampai menyebabkan rapuhnya ukhuwah (persaudaraan) antara sesama Ahlus Sunnah, bila semuanya tunduk kepada perintah Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kaum Mukminin untuk mengembalikan penentuan hukum semua masalah yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Allah menjelaskan bahwa hukum dari sebagian peristiwa yang terjadi masih samar, kecuali bagi sebagian ulil amri (tokoh-tokoh pemimpin) dari para ulama tersebut. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. al-Nisa’: 83)
Allah mengkhususkan pengetahuan tersebut bagi ulil amri dari para ulama, dan mewajibkan kaum awam untuk mengembalikan keputusan suatu permasalahan kepada mereka. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Nahl: 43; dan al-Anbiya’: 7)
Bahkan Allah dari awal telah memerintahkan para ulama untuk menjelaskan kebenaran dan mengancam siapa saja yang menyembunyikannya. Firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Alkitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati (159). Kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya, dan Akulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. al-Baqarah: 159-160)
Allah Azza wa Jalla tidaklah memerintahkan para ulama menjelaskan kebenaran kecuali untuk diikuti, dan tidaklah mengancam mereka yang menyembunyikannya kecuali karena beratnya sanksi dari perbuatan tersebut. Orang yang beruntung adalah orang yang mengembalikan perkara-perkara penting kepada para ahlinya, dan orang yang mendapat taufik adalah yang bermusyawarah bersama mereka dan memperlihatkan hasil penelitiannya kepada mereka. Dalam pribahasa lama diungkapkan: “Fatwa seorang alim lebih utama daripada kesaksian seorang pemuda, barangsiapa mengandalkan pendapatnya sendiri maka ia akan jatuh dalam bahaya.”
Adapun pendapat sepihak tidaklah pantas bagi ulama, dan tidak dapat dimanfaatkan oleh orang awam, dan sombong atas ilmu yang dimiliki adalah kebiasaan orang-orang yang disesatkan Allah dengan ilmunya. Mereka mengira mereka menjadi manusia paling mulia dengan ilmu tersebut, dan bahwa tidak seorang pun yang diberikan seperti ilmu yang ada pada mereka, kemudian mereka terlampau bangga dengan ilmu yang walaupun bukan ilmu batil, tapi dia tidak akan dapat menyelamatkan mereka dari murka Allah:
“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-sasul (yang dulu diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” (QS. al-Mukmin: 83)
Maka sudah sepantasnya bagimu wahai saudaraku, untuk selalu mencintai para ulama, husnu zhan kepada mereka, dan selalulah kembalikan urusanmu kepada mereka, apalagi perkara-perkara yang rentan menyebabkan perpecahan.
Kapan saja kaum Muslimin mengabaikan perintah Allah untuk mengembalikan urusan agama kepada para ulama rasikhin (yang dalam ilmunya), maka persatuan mereka akan terpecah, perjuangan mereka sia-sia, dan harapan mereka pun sirna. Perpecahan adalah sebab utama melemahnya kekuatan ahlul haq, dan inilah sunnatullah terhadap makhluk-Nya.
Bila terjadi perbedaan persepsi setelah proses pengkajian dan penelitian, maka sudah sepatutnya kaum Muslimin menyerahkannya kepada ulama rasikhin untuk memberikan solusi terakhir. Kemudian menerima keputusan mereka dengan penuh ridha. Karena inilah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, dan jangan sekali-kali bergantung pada ulama yang tidak mumpuni.
Tidaklah cukup embel-embel ‘salafi’ sebagai penjamin seseorang termasuk dalam golongan thullabul ilmi (penuntut ilmu), atau masyaikh ( ulama senior), apalagi golongan ulama mujtahid yang memiliki kedudukan tinggi di tengah-tengah umat dan dengan taqlid kepada mereka tanggung jawab agama individu terlepas. Walaupun ia telah membaca buku yang banyak dan menghadiri berbagai majlis masyaikh. Bukankah dalam kata-kata mutiara disebutkan: “Yang merusak manusia adalah setangah ahli kalam, setengah faqih (ahli fikih), setengah ahli nahwu, dan setengah tabib. Yang pertama merusak agama, yang kedua merusak bangsa, yang ketiga merusak lisan (bahasa), dan yang terakhir merusak badan.”(4)
2. Menghindari perdebatan dan berbantah-bantahan yang dapat menimbulkan perpecahan dan perselisihan.
Dalam hal ini manusia terbagi kepada tiga golongan. Di antara mereka ada yang menganggap bahwa meninggalkan diskusi dan debat berarti meninggalkan penelitian syariat, debat ilmiah, dan bantahan-bantahan syar’iyah. Tentu persepsi ini salah kaprah. Sebab diskusi atau debat banyak diriwayatkan dari ulama Salaf dan tertuang dalam kitab-kitab mereka. Semua ini membuktikan bahwa berpaling dari diskusi atau debat ilmiah bukanlah manhaj ulama Salaf.
Al-mira’ (berbantahan) yang dilarang adalah: “Mencela pendapat orang lain demi membongkar kesalahannya, dan dia tidak punya tujuan lain selain merendahkan orang tersebut.”(5) Ini adalah defenisi dari penulis kitab al-Ta’rifat. Al-Munawi mendukung definisi ini, begitu pula sebagian besar ahli bahasa Arab.(6)
Adapun penulis kitab al-Furuq, ia menyampaikan: “Adapun perbedan antara al-mira’ (perbantahan) dan al-jadal (perdebatan), sebagian ulama menganggap keduanya sama. Tapi al-mira’ lebih tercela, karena intinya adalah berbantah-bantahan dalam kebenaran setelah hujjahnya jelas. Sedangkan al-jadal tidak demikian.”(7)
Jadi mira’ pada dasarnya adalah tercela, kecuali perbantahan dalam beberapa masalah, itupun dengan berbagai syarat. Sedangkan jadal ada yang terpuji dan ada pula yang tercela. Walaupun sering dilakukan dan menghabiskan banyak waktu, ia tetap tidak tercela selama pembicara bersikap adil, bertujuan meninggikan yang hak, membongkar syubhat, dan menyanggah kebatilan. Jadal menjadi tercela bila keluar dari rambu-rambu syariat dan sampai pada kondisi sombong atau merendahkan orang lain, atau membela kebatilan yang sudah jelas salah. Oleh sebab inilah Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka.” (QS. al-‘Ankabut: 46)
Allah juga menegaskan:
“Mereka berkata: ‘Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami.” (QS. Hud: 32)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS.al-Nahl: 125)
Juga firman Allah:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.” (QS. al-Mujadilah: 1)
Maksudnya adalah peringatan agar meninggalkan mira’, begitu juga jidal yang bertujuan menampilkan satu mazhab atau membela pendapat yang tidak ma’shum, bukan untuk mencapai kebenaran atau menjelaskannya.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membenci debat yang menyebabkan perselisihan dan perpecahan. Pada suatu hari, beliau melewati sekumpulan sahabat yang sedang berdebat tentang qadar(takdir). Wajah beliau seketika merah padam bak ditaburi biji delima seraya bersabda: ‘Apakah ini yang diperintahkan kepada kalian, atau inikah yang diserukan kepada kalian, membenturkan sebagian ayat dengan ayat lainnya? Seseungguhnya perbuatan seperti inilah yang telah menghancurkan Ahli Kitab sebelum kalian. Mereka membenturkan satu ayat Alkitab dengan ayat lainnya!”(8)
“Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Tiada kebahagiaan yang lebih besar bagiku,selain karena aku tidak termasuk orang yang berada di majlis itu.’(9)
“Adapun para ulama dari para sahabat, tabi’in, dan yang datang setelah mereka,” lanjut Ibnu Taimiyah lagi, “jika mereka berselisih dalam satu perkara, maka mereka segera mengamalkan perintah Allah dalam firman-Nya:
‘Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.’ (QS. al-Nisa’: 59)
“Dan perdebatan mereka dalam satu masalah adalah bentuk dari musyawarah dan saling menasehati. Tidak jarang mereka berbeda dalam satu masalah ilmiah atau amaliyah (yang berhubungan dengan amal), sedang mereka tetap bersaudara, bersatu, dan saling mencintai dalam agama.
“Adapun orang yang menyelisihi Al-Qur’an, Hadits shahih, atau Ijma’ para ulama, dengan pelanggaran yang tidak bisa ditolerir, maka ia harus disikapi sebagaimana menyikapi Ahlul Bid’ah. Pada hakikatnya, perbedaan pendapat dalam masalah hukum sungguh banyak. Maka jika saja dua orang Muslim berbeda pendapat kemudian saling meng-hajr (memutuskan hubungan), maka akan lenyaplah persaudaraan dan runtuhlah persatuan dari kaum muslimin.”(10)
3. Husnu zhan (berbaik sangka) kepada para ulama yang mulia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan); dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain, (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan); dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Hujurat: 11)
Perhatikanlah redaksi ayat ini. Setelah sebelumnya Allah menetapkan keimanan kedua belah pihak yang saling berperang, dalam firman-Nya: وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا ) Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang ), Allah kemudian memerintahkan untuk mendamaikan antara mereka: فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا (maka damaikanlah antara keduanya). Dan akhirnya Allah menetapkan satu kaidah penting dalam ayat selanjutnya:
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. al-Hujurat: 10)
Setelah pada ayat ini Allah memerintahkan kaum Mukminin untuk bertakwa, maka pada ayat selanjutnya (ayat ke-11) Allah Ta’ala melarang mereka dari mengolok-olokkan kaum yang lain, mencela, dan memanggil dengan gelar yang buruk. Sebab semua perbuatan ini akan menimbulkan kelaliman, jiwa yang panas membara selalu disebabkan terbakarnya bara amarah di hati, dan keburukan itu umumnya diakibatnya oleh kata-kata buruk.
Dan sesungguhnya api bisa menyala dengan dua potong kayu
Dan sebagian perang pecah hanya karena salah bicara.
Setelah Allah Ta’ala mencegah kita dari bahaya lisan yang dapat memicu tersebarnya kejahatan di tengah-tengah kaum Muslimin, dalam ayat selanjutnya Allah melarang kita memelihara benih pemicunya dalam hati. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.” (QS. al-Hujurat: 12)
Allah memerintahkan kita menumpas sumber kejahatan dari akarnya. Dalam Shahih Ibnu Hibban, tepatnya pada bab “Dzikru al-Zajr ‘an Suu’ al-Zhann bi Ahad min al-Muslimin” (Larangan prasangka buruk terhadap Muslim), disebutkan Hadits dari Abu Hurairah yang muttafaq ‘alaihi (disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim): “Jauhilah prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling dusta.”(11).
Sa’id bin al-Musayyib berkata: “Beberapa orang saudaraku dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepadaku: ‘posisikanlah urusan saudaramu pada tempat yang terbaik, kecuali perkara yang kau tidak sanggup menanggungnya. Dan janganlah berperasangka buruk terhadap satu pun dari ucapan saudaramu selama kau mampu mencari alasan yang logis untuknya.”(12)
Dan barangsiapa selalu husnu zhan terhadap saudaranya, ia takkan memaksakan diri menganggap buruk segala tindak-tanduknya. Jika kita membiasakan hal ini di antara kita, niscaya banyak dari keburukan dan kejahatan yang akan hilang dengan sendirinya.
4. Berusaha mengarahkan ucapan para ulama yang mulia kepada hal yang terbaik.
Seorang mulia yang terkenal dengan kebaikan kemudian ia terjatuh dalam satu kesalahan, maka kemungkinan memaafkannya lebih besar, karena banyak alasan yang harus diajukan untuk mentolerir kekhilafannya. Berbeda halnya dengan seorang yang miskin dari kebaikan, ia hanya terkenal dengan keburukannya.
Oleh sebab itulah para muhaqqiq dari kalangan ulama mentolerir beberapa ungkapan oknum tertentu yang bersifat general, dan jika dipahami begitu saja dapat mengandung makna tercela dalam persepsi syariat, dan berusaha mencarikan alasan yang dapat diterima untuk mentolerir ungkapan-ungkapan tersebut. Walaupun mereka terpaksa menyanggah ungkapan tersebut dengan tegas, tapi tetap memberikan peluang untuk memakluminya, dan mereka tidak melakukan hal ini bagi oknum lainnya.
Perhatikanlah dengan seksama sikap Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang membedakan antara ungkapan Ahlul Ilhad (kaum atheisme) para pengusung faham Wihdatul Wujud seperti Ibnu Arabi, Ibnu al-Faridh, dan Ibnu Sab’in, dengan ungkapan beberapa tokoh yang terkenal dengan pengagungan mereka terhadap syariat seperti Abu Isma’il al-Harawi, Abu Sa’id al-Kharraz, dll.
Sikap terpuji ini adalah bagian dari penguasaan Ibnu Taimiyah terhadap pribadi mereka masing-masing. Siapa yang memiliki kemuliaan maka ia lebih dimuliakan, ungkapannya yang bersifat general, diperjelas; dan yang mutlak, dirinci. Mengarahkan ucapan dan perbuatan seseorang sesuai dengan kondisinya lebih utama daripada memaksakan prasangka buruk terhadapnya dalam segala hal.
Al-Subki berkata: “Bila seseorang itu tsiqah (terpercaya) dan terkenal dengan iman dan istiqamah, maka tidak sepantasnya menyikapi ungkapan lisan maupun tulisannya kecuali sesuai dengan kebiasaannya dan orang-orang yang sama dengannya; tetapi haruslah diinterpretasikan kepada hal positif dan selalu husnu zhan terhadapnya dan orang-orang sepertinya.”(13) Walaupun interpretasi tersebut mengharuskan penafsiran yang bersifat general kepada hal yang lebih spesifik. Karena sesungguhnya para ulama sudah membahas perihal spesifikasi ungkapan seseorang dengan kebiasaan, adat, maupun syariat, dll(14) dalam pembahasan tentang sumpah, talak, dsb.
Begitu pula pertimbangan kondisi dan kebiasaan seseorang, cukup penting untuk dijadikan dasar untuk mengetahui maksud dari ungkapannya. Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ketahuilah bahwa orang yang tidak mempertimbangkan dalalah (petunjuk) sebuah kata, dan mengetahui bahwa makna sebuah kata dapat diketahui dari dasar bahasa, adat, dan syariat . . . atau dengan bukti-bukti tekstual yang mengiringi kata tersebut . . . dan terkadang dengan mengetahui kondisi pembicara, lawan bicaranya, serta materi pembicaraan, begitu pula konteks pembicaraan yang menentukan maksud pasti dari sebuah ungkapan . . . dan unsur lainnya yang dapat memperjelas makna sebuah kata; jika ia tidak mempertimbangkan unsur-unsur tersebut, maka ia akan bersikap serampangan dalam hal ini.”(15)
5. Mendahulukan sisi positif dari seorang alim yang tersalah atau khilaf.
Seorang alim bisa dimaafkan pada kondisi dimana orang lain tidak bisa dimaafkan. “Barangsiapa menjadikan kekeliruan tsiqat (ulama yang terpercaya) sebagai alat tajrih (kritikan negatif) dan penolakan, maka ia telah berbuat salah.”(16)
Syaikh Al-Islam juga telah menegaskan: “Siapa saja yang mengikuti hawa nafsu dan prasangkanya, kemudian memaki seorang alim karena kesalahan dalam ijtihad yang ia anggap benar, maka orang tersebut telah terjebak dalam bid’ah yang menyalahi Sunnah. Karena ia juga akan mendapat balasan serupa, atau lebih besar, atau mungkin lebih kecil dari orang-orang yang memuliakan sang alim tersebut. Dan sungguh sedikit ulama yang terlepas dari kesalahan dalam berijtihad, khususnya mereka yang datang kemudian. Hal ini disebabkan banyaknya syubhat dan kekacauan, jauhnya manusia dari cahaya kenabian dan sinar risalah yang dengannyalah kita memperoleh petunjuk serta kebenaran, dan dapat menghilangkan segala bimbang dan keraguan dari hati.”(17)
Telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Maafkanlah kekhilafan orang-orang shaleh.”(18). Sebagian ulama menilai shahih Hadits ini.(19)
Al-Thahawi berkata: “Mereka adalah orang-orang saleh, bukan yang lainnya. Dan kekhilafan mereka tidak mengeluarkan mereka dari kehormatan dan harga diri yang merupakan inti dari keshalehan mereka.”(20)
Ibnu Al-Qayyim berkata: “Saya mendengar Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Begitu pula Musa yang menampar mata Malaikat Maut sampai pecah dan Rabb-nya tidak menegurnya. Pada malam peristiwa Isra’, Musa menyinggung Rabb-nya di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengangkat tinggi suaranya, dan Allah Azza wa Jalla tidak menyalahkannya atas tindakan ini. Sebab Musa alaihis salam telah berhasil mengukir prestasi-prestasi besar yang membuat beliau agak manja. Beliaulah yang telah melawan Fir’aun, musuh terbesar bagi Allah di muka bumi. Beliau menghadapinya, begitu pula kaumnya. Beliau juga sudah berusaha keras membimbing Bani Isra’il, berjihad menghadapi musuh-musuh Allah dengan jihad yang besar, dan beliau sangat marah kepada mereka yang menentang Allah. Maka kekhilafan beliau dapat ditolerir dalam kondisi ini.
‘Adapun Dzun Nun (Nabi Yunus ‘alaihis salam) yang belum mencapai posisi ini, telah dipenjarakan di perut ikan hanya karena sebuah kemarahan, dan Allah telah menetapkan ketentuan bagi segala sesuatu.(21)
‘Walaupun demikian, Allah juga telah memuliakan Nabi Yunus ‘alaihis salam dan memperlakukannya dengan istimewa. Allah mengurungnya di perut ikan sebagai karamah baginya dan balasan kebaikannya. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah. Niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” ( QS. al-Shaffat: 143-144)
“Ibnu Taimiyah juga menulis: ‘Di antara kaidah syari’at yang utama adalah jika sesorang memiliki kebaikan yang banyak dan besar, dan ia memiliki peran penting dalam Islam, maka ia dapat ditolerir. Sedangkan orang lain tidak, kesalahannya dapat dimaafkan sedang yang lainnya tidak. Sesungguhnya maksiat adalah khabats (kotoran), dan air jika sampai dua qullah (tempayan besar) tidak akan terpengaruh dengan kotoran. Adapun air yang sedikit akan berubah walaupun dengan sedikit kotoran.
‘Senada dengan hal ini sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Umar radhiyallahu ‘anhu: ‘Wahai Umar, tahukah kamu, padahal Allah telah melihat amalan Ahli Badar dan berfirman: ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya kalian telah Aku ampuni.'(22) Inilah yang menghalangi Rasulullah dari membunuh orang yang telah memata-matai kaum Muslimin dan melakukan kesalahan besar. Beliau memberitahu bahwa orang tersebut adalah Ahli Badar. Jadi, sebenarnya ia berhak mendapat sanksi, tapi sanksi itu tidak dijatuhkan karena ia memiliki keutamaan besar. Maka kesalahan ini dimaafkan karena adanya prestasi besar yang ia miliki.
‘Ketika Rasulullah mendorong kaum Muslimin untuk bersedekah, maka Utsman bin Affan menyerahkan sedekah yang sangat banyak. Maka Rasulullah bersabda: ‘Tidak akan ada yang membahayakan Utsman setelah apa yang ia lakukan hari ini.’(23)
‘Pada Perang Uhud Rasulullah ingin menaiki sebongkah batu besar agar dapat melihat orang-orang kafir, namun beliau tidak sampai. Maka Thalhah duduk agar Rasulullah naik di pundaknya dan dapat mencapai batu tersebut, maka Rasulullah pun bersabda: ‘Thalhah pasti mendapatkan surga.’(24)
Dalam kesempatan lain, Musa kalimullah mencampakkan alwah (lembaran-lembaran Taurat) ke tanah sampai terpecah belah. Ia juga menjambak rambut saudaranya, Harun. Begitu pula pada malam peristiwa Isra’, ia berkata: ‘Seorang pemuda (Nabi Muhammad) datang setelahku dan umatnya lebih banyak yang masuk surga dari umatku.’ Dan beliau adalah seorang nabiullah, tapi semua ini tidak mengurangi kedudukannya di sisi Rabb-nya. Allah tetap memuliakan dan menyayanginya. Perjuangan Musa ‘alaihis salam, jihadnya melawan musuh, dan tingginya kesabaran beliau tidak ternodai dengan kekhilafan seperti di atas.
Mayoritas manusia menyadari hakikat ini dan fitrah mereka mendukungnya. Bahwa seseorang yang memiliki seribu kebaikan akan ditolerir jika jatuh dalam satu atau dua kekhilafan. Sehingga penyeru sanksi atas kesalahan beradu dengan penyeru syukur dan terima kasih atas kebaikannya. Maka penyeru terimakasih dapat mengalahkan penyeru sanksi.
Seorang penyair berkata:
Andai sang kekasih datang dengan satu kesalahan
Maka kebaikannya kan tiba dengan seribu pembela
Yang lainnya berkata:
Jika perbuatannya membawa satu kekecewaan
Maka perbuatannya yang membuat bahagia amatlah banyak kiranya
Dan pada hari kiamat, Allah Ta’ala akan menimbang amal baik dan amal buruk hamba. Mana yang lebih banyak, itulah penentu. Maka Allah akan menyelamatkan orang yang memiliki kebaikan lebih banyak, yang lebih mengutamakan cinta kepada Allah dan ridha-Nya, dan pembawaan jiwa mereka membuat mereka suka memaafkan; yang tidak dimiliki oleh orang lain.”(25)
6. Melatih diri sekuat mungkin untuk tetap inshaf (berlaku adil) terhadap mereka yang berbeda pendapat.
Banyak sekali dalil yang mewajibkan berlaku inshaf. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Maidah: 8)
Pada ayat sebelumnya, Allah berfirman:
“Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 2)
Juga firman Allah:
( وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُواْ )
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil.” (QS. al-An’am: 152)
Allah juga berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. al-Nahl: 90)
Lihatlah bagaimana Allah menyuruh berlaku adil, namun tidak cukup sampai di situ, Allah kemudian memerintahkan berbuat ihsan(kebajikan), dan tidak cukup dengan ihsan secara mutlak, Allah kemudian merincinya dengan menyuruh memberi kepada kaum kerabat, dan masih belum cukup hingga Allah menekankan agar kita meninggalkan perbuatan serta perkataan keji dan mungkar.
Sudah sepantasnyalah seorang salafi meniru manhaj Salafnya (pendahulunya) dalam hal ini. Generasi awal umat ini telah mengukirkan lembaran-lembaran sejarah yang cerah, walaupun terjadi beberapa fitnah di antara mereka.
Muhammad bin Sirin berkata: “Seorang pria berkata kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu: ‘Ceritakanlah kepadaku tentang Quraisy.’ Maka Ali menjawab: ‘Yang paling teguh cita-citanya di antara kami adalah saudara kami Bani Umayyah.”(26) Renungkanlah ungkapan ini dengan apa yang terjadi antara mereka.
Dari Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain dari ayahnya, ia berkata: “Disebutkan di majlis Ali tentang Perang Shiffin (atau Perang Jamal), maka kami menyebutkan ‘kekufuran’. Maka dia berkata: ‘Janganlah berkata seperti itu, sebab mereka kira kita zalim kepada mereka, dan kita kira merekalah yang zalim kepada kita. Karena itulah kita perangi mereka.”(27)
Begitupula sebaliknya. Ketika kabar wafatnya Ali sampai kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Alangkah banyaknya ilmu yang hilang dari umat, juga kebaikan, kemuliaan, dan fiqih.” Istrinya berkata: “Bukankah kemarin kau memeranginya dan sekarang kau beristirja’ (mengucapkan Inna lillahi . . . )?” Maka Mu’awiyah menjawab: “Celaka kamu, kamu tidak sadar berapa besarnya kita kehilangan ilmu, kemuliaan, dan keutamaannya.” (28) Dan tak jarang Mu’awiyah meminta fatwa dari Ali,sedang mereka berselisih.(29)
Dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, ia berkata: “Kami sampai ke majlis Ali radhiyallahu ‘anhu dan beliau berbicara tentang Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ia berkata: ‘Ia adalah kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Al-Dzahabi berkata: “Hadits ini hasan, Mush’ab adalah orang shaleh, tidak ada masalah dengannya. Inilah yang beliau ucapkan terhadap Ummul Mukminin, walaupun terjadi sesuatu antara mereka berdua.”(30)
Seorang lelaki berbicara jelek tentang Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu di hadapan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Maka Aisyah berkata: “Adapun Ammar, maka saya telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Tidaklah ia disuruh memilih antara dua perkara, kecuali ia memilih yang terbaik.”(31)
Maka hendaklah kita mencontoh keteladanan kaum Salaf dalam sikap inshaf mereka terhadap saudara yang berselisih dengannya, walaupun sampai pada taraf peperangan. Sikap ini kemudian mewariskan buah yang baik bagi generasi selanjutnya. Pengakuan sahabat akan kemulian sahabat lainnya, mewajibkan generasi Ahlus Sunnah selanjutnya untuk tidak terjerumus dalam perselisihan yang terjadi di antara para sahabat, dan harus tetap mengakui kemulian mereka.
Inshaf juga berarti berusaha mencarikan alasan agar kesalahan saudara kita dari Ahlus Sunnah dapat ditolerir. Pada taraf ini setan sangat berperan dalam mengaburkan kebenaran, sehingga seseorang menganggap bahwa perseteruannya dengan sahabatnya adalah bagian dari tuntunan syariat, dan bahwa ia melakukannya hanya karena Allah.
Adapun sahabatnya, dalam anggapannya, sangat jauh dari kebenaran dan sikapnya tidak memiliki peluang ta’wil yang diperbolehkan, oleh seorang alim pun; dan bahwa kebenaran yang ia yakini tidak samar kecuali bagi orang yang berwawasan sempit.
Kemudian setan mendorong seseorang agar dengan mudahnya memvonis saudaranya jatuh dalam dosa yang membatalkan keislaman, seperti menuduhnya sebagai kaki tangan orang kafir, khawarij, dan zalim. Akhirnya menyalalah api permusuhan dan bertambah besarlah perselisihan antara saudara seagama.
Bahkan tak sedikit dari mereka yang menipu dirinya, dan berharap bahwa ia bertindak benar-benar sesuai dengan syariat, dan terkadang niat orang yang lemah imannya dirasuki tujuan-tujuan sampingan lainnya.
Tidak jauh kemungkinan sebagian dari tokoh-tokoh mulia ikut terjerumus dalam penyimpangan ini, dan sejarah telah membuktikannya. Akhirnya tertumpahlah darah yang suci, hancurlah harta berharga, lemahlah negara, dan hampir saja kekuatan kaum Mulimin sirna. Dan fitnah ini jarang disadari oleh para ilmuan kecuali setelah terjadi, dan apa yang telah tertulis dalam takdir menjadi nyata, agar Allah melakukan urusan yang Dia tetapkan.
Penutup
Pembahasan ini cukup menarik, namun kesempatan terbatas. Saya telah membidik dakwah Salafiyah dengan panah harapan seraya menanti apa yang akan terjadi padanya, sejak masa generasi awal melewati generasi berikutnya, dan demikianlah seterusnya.
Tetapi para pengusung dakwah ini akan selalu konsisten, dan dakwah Salafiyah insya Allah akan tetap kokoh. Akan senantiasa ada sekelompok dari umat ini yang tegak di atas kebenaran, tidak dapat membahayakan mereka orang yang menghina, tidak pula yang menyelisihi mereka. Sekelompok orang tersebut di zaman ini telah terbagi-bagi dalam berbagai kelompok, jama’ah, dan yayasan. Lalu di antara mereka ada yang menganiaya dirinya sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Maka hendaklah para cendikiawan dan ulama dari mereka gigih berusaha menyatukan barisan, agar perjuangan kaum Salaf dapat menggapai cita-cita yang diidam-idamkan, dan umat ini bangkit dalam berbagai aspek kehidupan. Apalagi di zaman ini, umat sangat membutuhkan sumbangsih mereka semua.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. al-Rum: 31-32)
Barangsiapa mengagungkan sesesorang, siapa pun dia, kemudian mencintai dan membenci yang lain demi mengikutinya, dalam kata-kata dan perbuatan, maka ia termasuk dalam golongan “orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.”(32)
Wallahu a’lam.
_______________
(1) Lihat: Abu al-Abbas l-Maqarri l-Tilmasani, Azhar al-Riyadh fii Akhbar al-Qadhi Iyadh, Juz I, hal. 50-51.
(2) Sejajar dengan Andalus dari al-Maghrib (Maroko), mencakup berbagai negara, di antaranya Sabtah, Ashilah, Rashif, ‘Udwah, Lawatah, dll.
(3) Shahih Muslim, no. 2889.
(4) Al-Raddu ‘ala al-Bakri, Juz II, hal. 730.
(5) Al-Jurjani, al-Ta’rifat, hal. 266.
(6) Lihat : al-Tauqif ‘ala Muhimmat al-Ta’arif, hal. 647. Asal katanya dapat dilihat dalam: Taj al-‘Arus.
(7) Al-‘Askari, al-Furuq al-Lugawiyah, hal. 159.
(8) Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad, Juz II, hal. 178, no. 6668; Ibnu Majah dalam Sunan Abi Dawud, no. 85. Al-Albani menilainya shahih dalam Shahih Ibn Majah, no. 69. Dan pokok Hadits ada di Shahih Muslim, no. 2666.
(9) Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, Juz XXIV, hal. 171.
(10) Dari “Risalah Syaikh al-Islam Ila Ahl al-Bahrain” dalam Majmu’ Ibnu Qasim, Juz XXIV, hal. 170-174.
(11) Shahih al-Bukhari, no. 5719; dan Shahih Muslim, no. 2563.
(12) Ungkapan yang sama diriwayatkan juga dari Ibn Umar. Lihat: tafsir surat Al-Hujurat dalam Tafsir Ibn Katsir.
(13) Qa’idah fii al-Jarhi wa al-Ta’dil, hal. 93.
(14) Penjelasan kaidah-kaidah ini dapat dilihat di kitab-kitab ushul iqih, seperti al-Isnawi, al-Tamhid; begitu pula dalam kitab-kitab asybah, seperti Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir fii Syarh al-Asybah wa al-Nazha’ir, dan dalam kitan-kitab qawa’id fiqihiyah, seperti Qawa’id Ibn Rajab, dll.
(15) Al-Fatawa al-Kubra, Juz V, hal. 155.
(16) Lihat: Sub Bab Khata’ al-Tsiqat wa Kaunihi laa Yaslam minhu al-Basyar, dalam al-Adab al-Syar’iyah, Juz II, hal. 145.
(17) Dar’u al-Ta’arudh, Juz I, hal. 283.
(18) HR. Abu Dawud, no. 4375; al-Nasa’i, no. 7253, Ibn Hibban, no. 94, dll.
(19) Seperti Syaikh al-Albani, al-Arna’uth, dan yang lainnya.
(20) Bayan Musykil al-Atsar, Juz VI, hal 51.
(21) Madarij al-Salikin, Juz II, hal 456.
(22) Shahih al-Bukhari, no. 3007; dan Shahih Muslim, no. 2494.
(23) Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Dala’il al-Nubuwah, Juz V, hal. 215; juga al-Tirmidzi dengan lafaz sedikit berbeda, no. 3701. Syekh al-Albani menyatakan riwayat al-Tirmidzi hasan. Lihat: Misykat al-Mashabih, no. 6018.
(24) HR. al-Tirmidzi, no. 1692, Ibn Hibban, no. 6979, dan sebagian ulama menilainya shahih.
(25) Miftah Dar al-Sa’adah, Juz I, hal 176.
(26) Diriwayatkan oleh Ma’mar dalam al-Jami’, Juz XI, hal. 56; dan darinya oleh Abdul Razzaq, Juz V, hal. 451, dengan sanad shahih.
(27) Riwayat Ibn ‘Asakir, Juz I, hal. 343, dan selainnya dengan sanad shahih.
(28) Diriwayatkan oleh Ibn Abi al-Duniya, Bab Maqtal Ali, no. 106, dan dalam Hilm Mu’awiyah, no. 19; al-Saqthi, Fadha’il Mu’awiyah, no. 29; Ibn ‘Asakir, Juz 59, hal 142, dari Jarir bin Abdul Hamid, dari Mughirah bin Miqsam, dan sanadnya shahih. Dan ia meriwayatkan dari sekelompok tsiqat dari sahabat Mu’awiyah dan Ali radhiyallahu ‘anhuma.
(29) Imam al-Syafi’i, al-Umm, Juz VI, hal. 30 dan 137; Abdul Razzaq, Juz IX, hal. 433; Ibn Abi Syaibah, Juz IX, hal. 402, Sa’id bin Manshur, Juz I, hal. 40, al-Khaththabi, al-Gharib, Juz II, hal. 199, Hilm Mu’awiyah, no. 27; al-Kalabadzi, Bahr al-Fawa’id, Juz I, hal. 466 (disertasi doktor), Ibnu Asakir, Juz XLII, hal. 415.
(30) Siyar A’lam al-Nubala’, biodata Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, Juz II, hal 177.
(31) Ringkasan dari atsar. Lihat: al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah, Juz II, hal. 489, no. 835.
(32) Al-Fatawa, Juz XX, hal. 8.
semoga Allah mengembalikan kejayaan kaum muslimin dan menghancurkan musuh-musuh-Nya