Seringkali para penganut Asya’irah mengklaim bahwa merekalah satu-satunya mazhab akidah yang mereprentasikan pemahaman akidah para salaf rahimahumullah, termasuk Imam Asy-Syafi’iy. Namun, dalam realitas juga seringkali kita mendapati banyak para imam peletak dasar (munazhir) mazhab Asya’irah secara sengaja menyelisihi para salaf, bahkan sebagian mereka dengan terang-terangan mencela para salaf dan menjuluki mereka dengan julukan-julukan buruk.
Salah satu persoalan tersebut adalah persoalan definisi iman. Para salaf secara ijmak menyatakan bahwa iman adalah berupa ucapan dan perbuatan; ucapan hati dan lisan, serta amalan hati dan anggota tubuh. Sebagian lagi mengungkapkannya dengan; niat (pembenaran hati), ucapan (pengakuan lisan), dan amalan anggota tubuh. Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah menyatakan,
وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر
“Merupakan suatu consensus (ijmak) di kalangan para sahabat, tabiin, dan generasi setelah mereka yang kami dapatkan kehidupan mereka ialah bahwa iman itu berupa ucapan, amalan (anggota tubuh), dan niat (amalan hati). Salah satu dari ketiganya tidak cukup kecuali semuanya terpenuhi semuanya.”[1]
Imam Asy-Syafi’iy juga menyatakan,
الإيمان قول وعمل، ويزيد وينقص.
“Iman adalah ucapan dan amalan, bisa bertambah dan berkurang.”[2]
Beliau juga berkata,
إن الله، جل ذكره، فرض الإيمان على جوارح بني آدم، فقسمه فيها، وفرقه عليها، فليس من جوارحه جارحة إلا وقد وكلت من الإيمان بغير ما وكلت به أختها، بفرض من الله تعالى: فمنها: «قلبه» الذي يعقل به، ويفقه، ويفهم، وهو أمير بدنه الذي لا ترد الجوارح، ولا تصدر إلا عن رأيه وأمره. ومنها: «عيناه» اللتان ينظر بهما، و«أذناه» اللتان يسمع بهما… و«لسانه» الذي ينطق به…
“Sesungguhnya Allah –Jalla Dzikruhu- mewajibkan keimanan pada seluruh anggota tubuh anak Adam. Dia membagi-bagikan keimanan itu padanya, sehingga tak ada satu anggota tubuh pun kecuali ia diberi tanggungan keimanan yang berbeda dengan anggota tubuh yang lain, tentunya dengan kewajiban dari Allah. Di antara contohnya: hati yang dengannya seseorang bisa mengetahui, dan memahami, serta merupakan raja bagi tubuhnya yang mana anggota tubuh tidak akan bertindak dan bergerak kecuali dengan persetujuan dan perintahnya. Di antaranya juga adalah kedua mata yang dengannya seseorang memandang, juga kedua telinga yang dengannya seseorang bisa mendengar… serta lisannya yang dengannya ia berbicara… “[3]
Pernyataan Imam Asy-Syafi’iy ini sangat jelas, yaitu bahwa iman adalah berupa amalan yang harus dilakukan oleh seluruh anggota tubuh, yaitu hati, lisan, mata, telinga, tangan, kaki, dan sebagainya. Pernyataan ini tidak menyelisihi pernyataan beliau yang sebelumnya, karena anggota tubuh yang beliau sebutkan ini secara umum masuk dalam tiga poin utama yaitu hati, lisan (ucapan), dan anggota tubuh yang lahir. Hal ini pula yang menjadi ijmak para salaf, bahwa keimanan harus terdiri dari tiga perkara ini, tanpa salah satunya keimanan tak bermanfaat.
Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyatakan:
أجمع أهل الفقه والحديث على أن الإيمان قول وعمل ولا عمل إلا بنية والإيمان عندهم يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية والطاعات كلها عندهم إيمان
“Para ahli fikih dan hadis (kalangan salaf) berijmak bahwa iman berupa ucapan (hati dan lisan) dan amalan; bahwa tidak ada amalan tanpa niat; bahwa iman bagi mereka bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan; dan bahwa seluruh jenis ketaatan bagi mereka adalah iman.”[4]
Ibnu Abi Hatim rahimahullah juga menukil ijmak,
سألت أبي وأبا زرعة عن مذاهب أهل السنة في أصول الدين , وما أدركا عليه العلماء في جميع الأمصار , وما يعتقدان من ذلك , فقالا: “أدركنا العلماء في جميع الأمصار حجازا وعراقا وشاما ويمنا فكان من مذهبهم: الإيمان قول وعمل , يزيد وينقص…”
“Saya bertanya kepada ayahku (Abu Hatim) dan Abu Zur’ah tentang mazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah dalam persoalan Ushuluddin, dan akidah yang mereka berdua dapatkan dari kalangan ulama dari seluruh negeri (islam). Mereka berdua menjawab: Kami mendapati para ulama di seluruh negeri; Hijaz, Irak, Syam, dan Yaman, seluruh mereka bermazhab bahwa iman adalah ucapan (hati dan lisan), dan amalan (hati dan anggota tubuh), ia bisa bertambah dan berkurang….”[5]
Ijmak para salaf tentang definisi iman ini sangatlah populer dan dinukil oleh banyak ulama dalam berbagai kitab akidah klasik, sehingga apa yang disebutkan di atas sangatlah cukup sebagai dalil bahwa mereka mendefinisikan demikian.
Meskipun dengan kejelasan yang sangat terang benderang ini, sebagian figur besar (munazhir) Asya’irah tak mengakui definisi para salaf tersebut, bahkan mencela dan menyesatkan para salaf termasuk Imam Asy-Syafi’iy lantaran definisi tersebut.
Namun, salah satu imam Asya’irah, Saifuddin Al-Amidiy, menganggap definisi iman versi ijmak para salaf ini adalah sebuah kesesatan. Al-Amidiy ini adalah salah satu ulama Asya’irah paling cerdas, dan munazhir (peletak fondasi) kaidah-kaidah mazhab Asya’irah. At-Taj As-Subkiy menyatakan tentang dirinya, “Seorang pakar usul, dan imam ahli kalam, serta salah seorang manusia tercerdas.”[6] Sibt Al-Jauziy juga berkata, “Di eranya tidak ada yang menandinginya dalam dua ilmu usul (Usuluddin -terkhusus Asy’ariyah- dan Usul Fikih), dan ilmu kalam.”[7]
Syekh Abdurrahman Al-Mahmud menyebutkan bahwa para imam Asya’irah yang paling populer setelah era Ar-Raziy adalah Abul-Hasan Saifuddin Al-Amidiy ini, dan juga Syekh Al-‘Izz bin Abdussalam.[8]
Dalam paparannya, setelah menuangkan pandangan dan dalil dirinya terkait definisi iman ini, bahwa ia adalah “istilah untuk pembenaran (tashdiq) kepada Allah, sifat-sifat-Nya dan segala yang dibawa oleh para nabi dan rasul”, Al-Amidiy kemudian mencela para salaf dengan ucapan:
بهذا ثبت فساد قول الحشْوية أن الإيمان هو: التصديق بالجنان, والإقرار باللسان, والعمل بالأركان.
“Dengan ini tsabit-lah kerusakan pandangan Al-Hasywiyyah yang berpandangan bahwa keimanan adalah pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amalan anggota tubuh.”[9]
Perhatikan, bagaimana sekaliber Imam Asy-Syafi’iy, bahkan para sahabat dan tabiin yang merupakan generasi terbaik umat ini, diklaim oleh Al-Amidiy sebagai Hasywiyyah hanya karena mereka menyatakan bahwa iman adalah berupa pembenaran hati, pengakuan lisan dan amalan anggota tubuh! Padahal definisi yang ia tawarkan sendiri adalah definisi yang tak berdasar dalam syariat Islam, bahkan menyelisihi ijmak para salaf sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya.
Penjulukan para salaf dengan “Hasywiyyah” ini merupakan penjulukan sangat buruk. Karena Hasywiyyah berasal dari kata “Hasywun” yaitu kalangan manusia awam dan rendahan, yang jahil dan tak memahami apa yang dipahami oleh kalangan intelektual. Kata “Hasywiyah” ini juga digunakan oleh kalangan Ahli Bid’ah untuk merendahkan Ahli Sunnah dan para salaf. Hal ini terjadi pada zaman salaf, sebagaimana pernyataan Abu Hatim dan Abu Zur’ah:
وعلامة الزنادقة: تسميتهم أهل السنة حشوية
“Ciri orang-orang Zindik adalah menjuluki Ahli Sunnah sebagai Hasywiyyah.”
Hasywiyah juga adalah julukan untuk Ahli Bid’ah. Dengan melontarkan julukan ini kepada salaf, maka para salaf diklaim sebagai Ahli Bid’ah dan orang-orang sesat. Sungguh sangat buruk klaim Al-Amidiy ini terhadap para salaf.[11] Bahkan dengan klaim ini, Al-Amidiy secara langsung mencela dan menyesatkan Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy, pendiri Mazhab Asya’irah yang -dalam salah satu pendapatnya atau pendapat terakhirnya- menyatakan,
ويقرون -أي أهل السنة- بأن الإيمان قول وعمل يزيد وينقص
“Mereka (Ahli Sunnah) menyatakan (secara ijmak) bahwa iman berupa ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.”
Keberanian Al-Amidiy merendahkan dan menyesatkan para salaf dengan julukan “Hasywiyah” ini, juga sebelumnya telah dilakukan oleh figur Muktazilah, ‘Amr bin ‘Ubaid At-Taimiy yang mencela Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dengan berkata, “Ibnu Umar adalah seorang Hasywiy.”[13]
Ucapan Al-Amidiy ini sangat buruk, apalagi kemungkinan besar dia memang sangat mengetahui bahwa definisi iman yang berupa pembenaran hati, pengakuan lisan dan amalan anggota tubuh adalah ijmaknya para salaf; karena hal ini tertulis dalam buku-buku Asya’irah sebelum eranya. Hal ini juga diketahui oleh Al-Juwainiy dan Ar-Raziy, namun keduanya membantah definisi para salaf ini dan membatilkannya dengan tak mencela para salaf dan tak menjuluki mereka dengan julukan buruk seperti Al-Amidiy.
Imam Al-Juwainiy dalam Al-Irsyad (306) menyatakan bahwa definisi iman berupa pembenaran hati, pengakuan lisan dan amalan anggota tubuh adalah pandangan Ahli Hadis, namun di halaman yang sama dia sendiri membatilkan definisi ini dan lebih memilih definisi iman sebagai pembenaran (tashdiq). Hal ini senada dengan Ar-Raziy dalam Al-Mahshal (567), ia berkata, “Iman dari segi bahasa bermakna tashdiq (pembenaran hati), dan secara syariat bermakna pembenaran Rasul dengan segala perkara aksiomatik yang diketahui dibawa olehnya. Ini berbeda dengan Muktazilah yang menjadikan iman sebagai istilah ketaatan, dan berbeda dengan para salaf yang menyatakan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amalan anggota tubuh.”
Sangat jelas, meskipun Ar-Raziy menyebutkan pandangan para salaf secara ijmak terkait definisi iman ini, namun beliau malah tidak mengikutinya, dan lebih mengikuti pandangan yang menyatakan bahwa iman hanyalah tashdiq.
Ironisnya, para ulama Asya’irah tidak hanya sengaja menyelisihi para salaf dalam persoalan ini dan juga persoalan akidah lainnya, namun di internal mereka sendiri mereka berselisih dalam banyak pendapat terkait definisi iman ini. Di antara pandangan internal mereka selain makna iman sebagai tashdiq al-qalb (pembenaran hati) yang disebutkan oleh Al-Amidiy dan Ar-Raziy di atas adalah:
1-Iman adalah makrifah (pengetahuan) terhadap Allah. Ini disebutkan Al-Iijiy dalam Al-Mawaqif (384). Artinya, sekadar mengetahui Allah maka seseorang meskipun kafir telah dianggap beriman, padahal tidaklah demikian menurut Ahli Sunnah, karena keimanan harus dibenarkan dengan hati, diakui dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh, bukan sekadar pengetahuan.
2-Iman adalah perkataan jiwa yang mengikut makrifah. Sebagaimana disebutkan Asy-Syahrastaniy (Nihayah Al-Iqdam: 472) dan selainnya.
3-Iman adalah mengilmui Allah. Yaitu mengetahui bahwa Allah dan Rasul-Nya benar dalam penyampaian mereka. Ini dinukil oleh Asy-Syahrastaniy dari Abul-Hasan Al-Asy’ariy (Nihayah Al-Iqdam: 472).
4-Iman adalah pengakuan lisan dan makrifah. Ini pandangan Ibnu Kullab sebagaimana dinyatakan Al-Amidiy dalam Abkar Al-Abkar (5/314)
5-Iman adalah pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amalan anggota tubuh. Pandangan ini sesuai dengan ijmak para salaf. Hal ini dinyatakan oleh Al-Qalanisiy dari Asya’irah sebagaimana dinyatakan oleh Al-Amidiy (Abkar Al-Abkar: 3/314).[14]
Banyaknya perselisihan internal mereka ini berbeda dengan Ahli Sunnah, para pengikut As-Salaf Ash-Shalih yang satu kata secara konsisten dalam mengikuti para salaf dalam berbagai persoalan akidah. Mereka semua tidak berbeda pandangan dalam persoalan iman ini, tepat sesuai yang dinyatakan oleh para salaf. Rahimahumullah.
[1] . Dinukil oleh Al-Lalakaiy dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahl As-Sunnah (5/956).
[2] . Manaqib Asy-Syafi’iy karya Al-Baihaqiy dengan sanad sahih (1/385).
[3] . Manaqib Asy-Syafi’iy karya Al-Baihaqiy dengan sanad sahih (1/385).
[4] . At-Tamhid (9/238)
[5] . Diriwayatkan Al-Lalakaiy dengan sanad sahih (1/197)
[6] . (Thabaqat Asy-Syafi’iyah: 8/306).
[7] . (Mir’ah Az-Zaman: 8/691).
[8] . (Lihat: Mawqif Ibn Taimiyah: 2/678).
[9] . Gayah Al-Maram (311)
[10] . Aqidah Ar-Raziyain (Lihat Al-Khurasaniyyah: 582)
[11] . Lihat makna “Hasywiyyah” ini di Taj Al-‘Arus (37/434), dan Al-Khurasaniyah (582-586).
[12] . Maqalat Al-Islamiyyin (1/293).
[13] . Al-Ikmal (7/266)
[14] . Bisa dirujuk di buku ‘Aqaid Al-Asya’irah karya Syekh Mushthafa Baju (222-229).
Masya Allah, ilmu yg sangat bermamfaat