Maka Jika Mereka Bertanya, Mana Kalam Allah?
Satu pertanyaan yang diajukan ke saya oleh para ahli Kalam. Kata mereka, “Kalamullah itu apakah di kertasnya, atau di tulisannya, atau di suara yang dari pembacanya. Kalau jawabannya “Tidak” terus di bagian mana kalam Allah itu?
Pertanyaan seperti ini sebenarnya tidak pernah dikatakan oleh para salaf. Pertanyaan seperti ini muncul dari pemikiran orang-orang yang telah terkotori oleh ilmu Kalam.
Sebagaimana perkataan dari imam al-Muwaffaq Ibnu Quddamah rahimahullah, bahwa hakikat dari mazhab mereka adalah meyakini di atas langit tidak ada Tuhan dan di bumi tidak ada Kalam Allah (Al-Qur’an).
Tapi, kita akan jawab pertanyaan dari mereka tersebut biidznillah.
Kami katakan, al-Qur’an merupakan Kalam Allah, diturunkan dengan bahasa Arab agar manusia memahaminya. Ia tertulis dalam mushaf, dibaca oleh lisan, dihafal di dalam dada. Maka Al-Qur’an dengan bahasa Arab itu, huruf-hurunya (al-Qur’an) dan maknanya adalah bagian dari Kalam Allah, bukan makhluk.
Lalu dimana Kalam Allah itu?
Kalam Allah itulah yang tertulis di mushaf, yang dapat dibaca oleh lisan, dan dihafalkan di dalam dada. Allah menurunkan kalam-Nya berupa Al-Qur’an dengan bahasa Arab agar manusia memamhinya. Huruf-hurufnya diketahui oleh akal manusia. Karena untuk dipahamilah Allah turunkan kalam-Nya dengan bahasa Arab. Terdiri dari huruf Alif, hingga huruf Ya.
Imam Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman ash-Shabuni rahimahullah menukil perkataan imam Abdullah bin Mubarak rahimahullah yang berkata:
من كفر بحرفٍ مِن القرآنِ، فقد كفر، ومن قال: لا أؤمِنُ بهذه اللامِ فقد كَفَر
“Siapa saja yang mengingkari satu huruf dari Al-Qur’an maka dia kafir. Dan siapa yang mengatakan bahwa saya tidak beriman dengan huruf lam ini, maka dia kafir.” (Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman ash-Shabuni, Aqidah Salaf Wa Ashabul Hadits, Tahqiq Dr. Nashir bin Abdurrahman al-Jadi’, hal 174-175, Daar al-Ashimah-Riyahd, cet 2, 1419 H)
Para ahli kalam bingung dimana Kalam Allah. Hal itu karena dasar pengingkaran bahwa Kalam Allah tidak tertulis di dalam mushaf. Kalam Allah itu bersifat Nafsi yang terus bersama Allah. Sehingga, yang ada di dalam mushaf itu adalah pengibaratan dari Kalam Allah, bukan Kalam Allah. Baik itu Kalam dari Jibril yang memahami firman Allah atau yang diibaratkan oleh Nabi kita, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karena itu, ketika Imam Ibnu Quddamah rahimahullah menceritakan hasil perdebatannya dengan para ahli Kalam itu, beliau menjelaskan keyakinan mereka tentang Al-Qur’an:
وعِنْدَهم أَن هَذِه السُّور والآيات لَيست بقرآن وَإِنَّمَا هِيَ عبارَة عَنهُ وحكاية، وأنها مخلوقة وَأَن الْقُرْآن معنى فِي نفس الْبَارِي وَهُوَ شَيْء وَاحِد
“Menurut mereka bahwa surat-surat dan ayat-ayat itu bukan al-Qur’an, melainkan ibarat tentangnya atau hikayat dan dia adalah makhluk. Sesungguhnya al-Qur’an (menurut mereka) adalah makna dalam diri Allah dan ia sesuatu yang satu.” (Ibnu Quddamah, Hikayat al-Munazharah Fi al-Qur’an, Tahqiq Abdullah bin Yusuf al-Judai’, hal.17, Maktabah Rusyd-Riyadh, cet 2, 1418 H)
Ahlul Sunnah tidak seperti mereka. Bagaimana mungkin mengingkari hal itu, sementara Allah menyatakan kalimatnya dapat tertulis di atas kertas dan diturunkan ke dunia.
Allah Azza wajalla berfirman:
وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ لَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ
“Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang yang kafir itu berkata, “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (QS. Al-An’am: 7)
Yang dimaksud dengan kitab yang diturunkan kertas itu adalah Wahyu Allah, yaitu Kalam Allah. Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menafsirkan ayat itu berkata:
لو أنزلتُ عليك – يا محمد – الوحيَ الذي أنزلته عليك مع رسولي، في قِرْطاس
“(Maksudnya), sekiranya Aku menurunkan kepadamu wahai Muhammad Wahyu yang Aku turunkan padamu bersama Rasulku di kertas.” (ath-Thabari, Jami’ul Bayan, Jilid 4, hal. 812, Daar al-Hadits-Kairo, T. Cet, 1431 H)
Allah Azza wajalla juga berfirman:
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
“Katakanlah, “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al-Kahfi: 109)
Ayat ini juga begitu jelas menyatakan bahwa Kalam Allah dapat tertulis dengan sarana makhluk berupa tinta.
Maka jika mereka bertanya, mana Kalam Allah? Maka kita jawab, yang tertulis di dalam mushaf itulah Kalam Allah. Mengapa hal yang begitu sederhana seperti ini menjadi rumit dan berbelit-belit dalam pemahaman kalian wahai ahli Kalam?. Wallahul Musta’an.
Wallahu A’lam.