Barangkali masih banyak dari kaum Muslimin yang belum mengatahui apa itu Manhaj Salaf. Atau, sudah mengetahui namun salah dalam memahami Manhaj Salaf tersebut. Maka itu, tulisan sederhana ini akan memberi sedikit penjerahan terkait Manhaj yang mulia ini.
Sebelumnya perlu kami tegaskan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan informasi yang valid terkait keabadian Manhaj dan metodologi yang beliau ajarkan kepada para sahabatnya, beliau bersabda:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang dimenangkan di atas kebenaran, tidak memudharatkan mereka sikap para pencela, sampai tiba urusan Allah (hari kiamat), sedangkan mereka tetap di atas sikap tersebut”. (HR. Muslim).
Eksistensi dari entitas ini tidak akan punah, kendati umat dirudung perpecahan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Sesungguhnya Kaum Yahudi dan Nasrani berpecah belah dalam agama mereka menjadi tujuh puluh dua kelompok, dan ummat ini akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya masuk Neraka, kecuali satu, Yaitu Jamaah”. (HR. Ahmad no. 16937 dan Abu Dawud no. 4599).
Oleh karena itu, Manhaj yang didiktekan oleh syariat Islam kepada umatnya adalah ittiba’, yakni mengikuti jalan yang diwariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Ini dapat dikonklusikan dari banyak nas-nas Al-Qur’an, As-Sunnah, serta atsar dari para sahabat dan tabi’in. Di antaranya, firman Allah:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا
“Ikutilah yang diturunkan kepadamu oleh Rabmu, dan jangan kamu mengikuti selain Dia sebagai pemimpin”. (QS. Al-A’raf : 3).
Substansi ayat ini juga diperkokoh oleh sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,di antaranya:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Sungguh, siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku akan menjumpai perselisihan yang sangat banyak; maka itu wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin, berpegang teguhlah dengannya…”. (HR. At-Tirmidzi no. 2676 dan Abu Dawud no. 4609).
Para ulama dari kalangan sahabat pun mempertegas dalil-dalil tersebut melalui nasehat mereka yang singkat dan padat, di antaranya ucapan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu:
اتَّبِعُوْا وَلَا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيْتُمْ
“Mengikutlah kalian (pada Sunnah Nabi) dan jangan melakukan bid’ah, sesungguhnya kalian telah di cukupkan”. (Riwayat Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman no. 2024).
Dari sini, maka manhaj “ittiba’” ini mengonfirmasikan adanya “Manhaj Salaf” yang harus di ikuti.
DEFINISI SALAF:
والسَّلَفُ محرَّكةً وكُلُّ مَنْ تَقَدَّمَكَ من آبائِكِ وقَرابَتِكَ الَّذِيْنَ هُمْ فَوْقَكَ فيِ السِنِّ وَالفَضْلِ
Secara etimologi bahasa Arab, Salaf bermakna semua yang telah mendahuluimu dari kalangan orang tua, nenek moyangmu dan kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi usia dan kemuliaan . (Lisanul ‘Arab, 9/158, dan Al-Qamus Al-Muhith, hal. 1060).
Adapun definisi secara istilah, maka lafadz ini menunjukkan kepada dua makna;
1). Menunjukkan zaman dan generasi tertentu.
Ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian genearasi yang setelah mereka, kemudian generasi yang setelah mereka”. (Muttafaqun ‘alaih).
Berpijak pada hadits ini, maka yang dimaksud dengan Salaf adalah tiga generasi utama dan terbaik dari umat ini. Yakni, generasi sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, generasi Tabi’in (murid para sahabat), dan generasi Atba’ut tabi’in (murid para Tabi’in), generasi inilah yang kemudian lebih masyhur dengan predikat As-Salaf As-Shalih. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Al-Allamah Asy-Syaukani. (At-Thuhaf min Madzaahib As-Salaf, hlm. 33).
2). Menunjukkan pada Manhaj dan metode tertentu.
Interpretasi yang kedua tidak terikat dengan zaman tertentu, namun yang menjadi ukurannya adalah Manhaj dan metodologi dalam berislam. Tentunya yang di maksud dengan Manhaj di sini adalah manhaj yang diwariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian diadopsi dan dipraktekkan para sahabat sepeninggal beliau. Imam As-Saffarini mengatakan:
الْمُرَادُ بِمَذْهَبِ السَّلَفِ مَا كَانَ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ الْكِرَامُ – رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ – وَأَعْيَانُ التَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَأَتْبَاعُهُمْ وَأَئِمَّةُ الدِّينِ مِمَّنْ شُهِدَ لَهُ بِالْإِمَامَةِ، وَعُرِفَ عِظَمُ شَأْنِهِ فِي الدِّينِ، وَتَلَقَّى النَّاسُ كَلَامَهُمْ خَلَفٌ عَنْ سَلَفٍ، دُونَ مَنْ رُمِيَ بِبِدْعَةٍ
Yang dimaksud dengan madzhab Salaf adalah perkara yang dilazimi oleh para sahabat yang mulia, tokoh-tokoh Tabi’in, Atba’ut Tabi’in, serta para ulama agama yang diakui ketokohan dan kemuliaan mereka di bidang agama. Di mana manusia menerima ucapan mereka dari generasi ke generasi, bukan tokoh-tokoh dari kalangan yang tertuduh berbuat bid’ah”. (Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah, 1/20).
Landasan dari interpretasi ini adalah hadits Al-Firqoh An-Najiyah (kelompok yang selamat) dan hadits Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang menangkan) di bawah ini:[1]
عن عبد الله بن عمرو قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:((وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيل تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّة، وَتَفْتَرِق أُمَّتِي عَلَى ثَلَاث وَسَبْعِينَ مِلَّة، كُلّهمْ فِي النَّار إِلَّامِلَّة وَاحِدَة))، قَالُوا : مَنْ هِيَ يَا رَسُول اللَّه ؟ قَالَ :((مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي)).
Dari Abdullah bin Amr ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Bani Israil berpecah menjadi tujuh puluh dua agama (kelompok), dan ummatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga agama (kelompok), semuanya di Neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya: siapakah mereka wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: (Kelompok) yang mengikuti jalanku dan para Sahabatku”.[2]
Adapun yang dimaksud dengan hadits At-Thaifah Al-Manshurah, maka redaksinya adalah:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang dimenangkan di atas kebenaran, tidak memudharatkan mereka sikap para pencela mereka, sampai tiba urusan Allah (hari kiamat), sedangkan mereka tetap diatas sikap tersebut”. (HR. Muslim).
Terkait kelompok ini, Imam Bukhari menyakakan bahwa mereka adalah para ulama. Dalam hal ini beliau nyatakan:
بَاب قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ يُقَاتِلُونَ وَهُمْ أَهْلُ الْعِلْمِ
“Bab ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Senantiasa ada sekelompok umatku yang dimenangkan di atas kebenaran, mereka berperang…”, mereka adalah ahli Ilmu.”[3]
Dan para ulama ini senantiasa ada dalam setiap generasi. Titik temu mereka dengan para As-Salaf adalah keidentikkan Manhaj dalam berislam.
INTERPRETASI SALAF:
Jika menelisik paparan di atas; maka dapat kita simpulkan beberapa poin berikut ini:
Pertama: Lafadz Salaf menunjukkan pada zaman dan generasi tertentu, yaitu generasi sahabat, generasi Tabi’in, dan generasi pengikut (murid) Tabi’in. Tidak semua yang hidup pada masa tersebut layak di sebut salaf. Sebab sebagian mereka justru merupakan inisiator atau pentolan kelompok-kelompok menyimpang. Di antaranya, Abdullah bin Saba’ (wafat 70 H) pentolan Saba’iyah, Nafi’ bin Azraq (wafat 64 H) pentolan Azariqoh; salah satu sekte Khawarij, Ghilan bin Muslim (wafat 105 H) pencetus sekte Qadariyah, Washil bin ‘Atha (wafat 131) dedengkot sekte Mu’tazilah, dan selainnya. Mereka semua hidup sezaman dengan generasi keemasan dari umat ini, namun mereka tidak masuk dalam kategori ulama Salaf. Makanya, diperlukan taqyid bagi lafadz salaf ini, yakni As-Salaf As-Shalih.
Maka untuk mengkonfirmasi keidentikan seseorang dengan Madzhab salaf diperlukan “benang merah”, yaitu berupa Manhaj dalam berislam. Siapa yang hidup di zaman tiga generasi yang isyaratkan dalam hadits di atas, namun terkontaminasi dengan bid’ah-bid’ah yang merebak di masa tersebut, seperti bid’ah sekte Khawarij, sekte Mu’tazilah, sekte Rafidhah dan selainnya, maka tidak masuk dalam kategori Salaf.
Kedua: Lafadz salaf juga diukur dengan keidentikkan Manhaj, yaitu Manhaj dalam berislam yang di usung oleh tiga generasi emas di atas. Baik Manhaj tersebut terbentuk dari ijmak mereka, ataupun menjadi Manhaj As-Sawad Al-A’dham (pendapat mayoritas) mereka.
Taqyid ini diperlukan untuk memasukkan para ulama yang tidak hidup sezaman dengan tiga generasi itu, namun berusaha mengikuti jejak dan mempraktekkan Manhaj yang di wariskan oleh mereka, seperti Imam Malik dan para muridnya, Imam Asy-Syafi’i dan para muridnya, Imam Ahmad dan para muridnya, para ulama hadits seperti, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdullah bin Mubarak dan selainnya. Mereka adalah ulama salaf dalam perspektif ini. Hal tersebut telah diisyaratkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam ucapannya:
وأهل السنة الذين نذكرهم أهل الحق ومن عداهم فأهل البدعة، فإنهم الصحابة رضي الله عنهم وكل من سلك نهجهم من خيار التابعين رحمه الله عليهم، ثم أصحاب الحديث ومن اتبعهم من الفقهاء جيلا فجيلا إلى يومنا هذا، أو من اقتدى بهم من العوام في شرق الأرض وغربها رحمة الله عليهم
“Sematan Ahlus Sunnah yang kami sebutkan sebagai kelompok yang haq, dan yang selain mereka adalah ahlul bid’ah. Mereka adalah para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semua yang meniti jalan mereka dari kalangan tokoh-tokoh tabi’in rahimahumullah. Kemudian para ulama Hadits dan yang mengikuti jalan mereka dari kalangan ulama fikih dari generasi ke generasi sampai pada zaman kita hari ini. Atau siapa saja yang mengikuti jejak mereka dari kalangan masyarakat awam di belahan bumi bagian timur dan barat –semoga rahmat Allah tercurah untuk mereka-. (Ibnu Hazam, Al-Fashl Fil Milal, 2/90).
Di antara para ulama yang menggunakan istilah Salaf ini dengan makna Manhaj, adalah Adz-Dzahabi. Beliau menyifati Imam Ad-Daruquthni dengan mengatakan:
لم يدخل الرجل أبدا في علم الكلام ولا الجدال، ولا خاض في ذلك، بل كان سلفيا
“laki-laki ini, (yakni Imam Ad-Daruquthni) tidak pernah masuk ke dalam ilmu kalam dan perdebatan, serta tidak pernah mengkajinya. Bahkan beliau adalah seorang salafi”. (Siyar A’lam An-Nubala’, 16/357).
Imam Ad-Daruquthni adalah seorang tokoh dalam ilmu hadits, hidup pada abad ke-IV, wafat pada tahun 385 H. Zaman yang cukup jauh dari zaman tiga generasi utama dari umat ini. Namun Al-Hafizh Adz-Dzahabi menisbatkan beliau kepada salaf karena faktor kesamaan Manhaj dan jauhnya beliau dari belenggu ilmu kalam. Ucapan ini sekaligus mengkonfirmasi, bahwa para sahabat dan murid-muridnya tidak bersentuhan dengan ilmu kalam dalam mengkaji masalah agama.
Prof. Dr. Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji dalam bukunya Fahmu As-Salaf li An-Nushush Asy-Syar’iyyah, hlm. 35, menyimpulkan bahwa istilah Salaf menunjukkan pada tiga pengertian:
1). Pengertian zaman. Yaitu zaman sahabat, para Tabi’in dan Atba’ut Tabi’in (pengikut dan murid tabi’in), sebagaimana diisyaratkan oleh hadits tiga generasi terbaik.
2). Pengertian Manhaj. Yaitu komitmen dalam meniti Manhaj yang diwariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, para sahabatnya, serta para pengikut mereka dalam berinteraksi dengan dalil-dalil syar’i, baik dari sisi teori ilmiah, praktek amalan, maupun aqidah.
3). Pengertian madzhab. Yaitu praktek nyata dari Manhaj salaf, yaitu perkara-perkara yang di tetapkan oleh para ulama salaf dari masalah-masalah yang mereka simpulkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Perbedaan antara “pengertian Manhaj” dan “pengertian madzhab” di atas, bahwa yang di maksud dengan “pengertian Manhaj” adalah kaedah-kaedah pokok dan umum yang di tempuh oleh para As-Salaf Ash-Shalih dalam berinteraksi dengan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di mana, kaedah-kaedah ini wajib diikuti pada setiap waktu, tempat, dan peristiwa (nawazil). Seseorang akan senantiasa di sebut bermanhaj Salaf apabila komitmen dengan Manhaj dan kaedah-kaedah ini dalam beragama.
Adapun “pengertian madzhab” adalah perkara-perkara terperinci yang di tetapkan oleh para As-Salaf Ash-Shalih, seperti Manhaj mereka dalam perkara Asma wa shifat, perkara Iman, perkara taqdir, dan lain sebagainya.
MELACAK SEJARAH PENGGUNAAN ISTILAH SALAF
Sebagian orang yang kurang paham persoalan ini menganggap bahwa istilah salaf adalah istilah baru yang dipopulerkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, atau ulama-ulama mendaulat beliau sebagai salah satu rujukan ilmiah dalam beragama.
Perlu ditegaskan, istilah “pemahaman Salaf” atau “madzhab Salaf” bukanlah kreasi Ibnu Taimiyah, apalagi buatan ulama-ulama “wahabi” kontemporer. Akan tetapi, ia sudah lama merebak di tengah umat, jauh sebelum Ibnu Taimiyah hidup. Bahkan lisan yang mulia Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengucapkan istilah ini, beliau bersabda kepada Fathimah:
فَإِنِّي نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu adalah saya”. (Muttaaqun ‘alaih).
Penggunaan diksi Salaf juga masyhur di kalangan ulama Tabi’in (murid-murid para sahabat Nabi). Contohnya, ucapan Rasyid bin Sa’ad:
كَانَ السَّلَفُ يَسْتَحِبُّونَ الْفُحُولَةَ لِأَنَّهَا أَجْرَى وَأَجْسَرُ
“Adalah para salaf menyukai (menunggang) kuda jantan, karena ia lebih cepat dan lebih lebih berani (dari pada kuda betina)”. (Shahih Al-Bukhari).
Yang di maksud dengan istilah Salaf dari riwayat di atas adalah para sahabat dan generasi setelahnya (yaitu Tabi’in), karena Rasyid bin Sa’ad adalah seoarang dari generasi Tabi’in pertengahan. (Fath Al-Baari, 6/66).
Imam Muslim (wafat 261 H) meriwayatkan pada Muqaddimah shahih Muslim dari Abdullah bin Al-Mubarak (wafat 181 H), beliau mengatakan:
دَعُوْا حَدِيْثَ عَمْرو بِنْ ثَابِتْ فَإِنَّهُ كَانَ يَسُبُّ السَّلَفِ
“Tinggalkan hadits ‘Amr bin Tsabit, sesungguhnya dia telah mencela salaf”.
Demikian pula Imam Bukhari (wafat 256 H), beliau membuat sebuah bab dalam kitab Shahihnya:
بَاب: مَا كَانَ السَّلَفُ يَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِهِمْ وَأَسْفَارِهِمْ مِنْ الطَّعَامِ وَاللَّحْمِ وَغَيْرِهِ
“Bab: para salaf tidak menyimpan makanan, daging, dan lain sebagainya di rumah dan di perjalanan mereka”.
Dan di antara ulama yang banyak menggunakan istilah Salaf dalam bukunya adalah Hibatullah bin Hasan Al-Lalaka-i (wafat 418 H) dalam buku fenomenalnya; Syarh Ushul Al-I’tiqad Ahlu As-Sunnah Wa Al-Jamaah.
Pada abad ke-V, istilah salaf sudah menjadi nama sebuah buku, yaitu buah karya Imam Isma’il bin Abdurrahman Ash-Shabuni (wafat 449 H) dengan judul:
عَقِيْدَةُ السَّلَفِ وَأَصْحَابُ الْحَدِيْثِ
“Aqidah As-Salaf wa Ash-Haabul Hadits”. Di dalamnya beliau banyak menggunakan istilah Salaf.
Demikian tulisan ringkas terkait penggunaan istilah Salaf sebelum era Ibnu Taimiyah (wafat 728 H). sangat jelas menunjukkan, bahwa istilah “kembali kepada Manhaj atau pemahaman salaf” bukan propaganda pengikut dan pengagum Ibnu Taimiyah semata, demi untuk menjajakan karya ilmiah beliau. Akan tetapi, hegemoni dari istilah ini sudah dikenal dan populer jauh sebelum Ibnu Taimiyah hidup. Wallahu A’lam.
[1] . penjelasan lebih terperinci dari hadits-hadits ini bisa di telaah di:
[2] . HR Tirmidzi (no hadits: 2641), dan Al-Hakim (no hadits: 444).
[3] . Shahih Al-Bukhari, hal: 1259