MUQODDIMAH
Perpecahan ummat Islam adalah suatu keniscayaan, karena wahyu telah menginformasikan tentang hal ini kepada kita. Tujuan dari informasi ini bukan untuk menjustifikasi perpecahan tersebut. Namun informasi ini memiliki hikmah yang agung, di antaranya adalah:
A. Sebagai peringatan bagi ummat untuk waspada dengan fenomena perpecahan ini, sehingga kaum muslimin tidak turut hanyut dalam fitnah.
B. Perpecahan ummat adalah bagian dari fitnah dan ujian bagi kaum muslimin. Tujuannya menguji seberapa besar upaya mereka untuk selamat dari perpecahan, dan seberapa besar kadar pengorbanan mereka demi untuk menapaki jalan keselamatan yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-.
C. Musibah perpecahan ummat merupakan ajang bagi para Muslihun dan para duat untuk mengumpulkan pahala, dengan berdakwah dan memberikan pencerahan kepada mereka terkait jalan-jalan keselamatan yang telah diajarkan oleh Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-.
DEFINISI:
االافتراق لغة : من المفارقة وهي المباينة والمفاصلة والانقطاع.
والخلاصة، أن الافتراق ضد الاجتماع.
Secara etimologi bahasa Arab, kalimat iftiroq bermakna Mufaroqoh, artinya adalah berbeda, berpisah dan terputus[1].
Intinya, berpecah (iftiroq) adalah antonim dari berkumpul/bersatu (ijtima’).
ADAPUN DEFINISI SECARA ISTILAH:
Adalah proses keluarnya individu atau kelompok dari salah satu prinsip Ahlus Sunnah yang qoth’iatau lebih, baik berupa prinsip-prinsip aqidah, atau prinsip-prinsip amaliyah (tehnis amalan) yang qoth’i, atau berkaitan dengan mashlahat keumatan yang besar[2].
RIWAYAT-RIWAYAT TENTANG IFTIROQUL UMMAH (PERPECAHAN UMMAT):
Hadits tentang perpecahan ummat diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya Abu Hurairah, Muawiyah bin Abi Sufyan, Auf bin Malik dan Anas bin Malik dan selainnya.
HADITS PERTAMA: HADITS ABU HURAIRAH.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:((تَفَرَّقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى، أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَالنَّصَارَى مِثْلَ ذَلِكَ، وَتَفَرَّقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً)).
Artinya: “Kaum Yahudi berpecah belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua sekte, dan kaum Nasrani juga demikian, dan umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga sekte”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (no hadits: 8396), Abu Dawud (no hadits: 4598), At-Tirmidzi (no hadits: 2640), Ibnu Majah (no hadits: 3991), Ibnu hibban (no hadits: 6247), dan Al-Hakim (no hadits: 441) dan selainnya dari jalur Muhammad bin Amr bin ‘Alqomah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah.
Derajat Hadits:
Imam At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits ini Hasan Shahih”[3], dan disepakati oleh Ibnu Taimiyah[4]. Imam Al-Hakim mengatakan: “Hadits ini Shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim…”[5], dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi[6]. Al-Munawi mengatakan: Diriwayatkan dari Abu Hurairah dengan Sanad yang baik[7].
HADITS KEDUA: HADITS MUA’WIYAH BIN ABI SUFYAN.
عن معاوية بن أبي سفيان، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:((إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ)).
Artinya: “Sesungguhnya Kaum Yahudi dan Nasrani berpecah belah dalam agama mereka menjadi tujuh puluh dua kelompok, dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya masuk Neraka kecuali satu, Yaitu Al-Jamaah”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (no hadits: 16937), dan Abu Dawud (no hadits: 4599) dan yang lainnya dari jalur Shafwan bin Amr, dari Azhar bin Abdullah Al-Harazi, dari Abu Amir Abdullah bin Luhayy al-Himyari Al-Hauzani, dari Mua’wiyah bin Abi Sufyan.
Hadits ini memiliki dua penguat:
Pertama:Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (no Hadits: 3993) dari jalur Hisyam bin Ammar, dari Al-Walid bin Muslim, dari Al-Auza’i, dari Qotadah, dan Anas bin Malik.
Kedua:Dikeluarkan juga oleh Ibnu Majah (no hadits: 3992) dari jalur Abbad bin Yusuf Al-Kindi Abu Utsman Al-Himshi, dari shafwan bin Amr Abu Amr Al-Himshi, dari Rasyid bin Sa’ad Al-Himyari Ad-Dimasyqi, dari Auf bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu.
Derajat Hadits:
Hadits dengan redaksi di atas diriwayatkan dari tiga orang sahabat Nabi:
1- Mua’wiyah bin Abi Sufyan
Sanad hadits ini Hasan, karena Azhar bin Abdullah Al-Harazi derajat haditsnya pada level hasan.
Imam Adz-Dzahabi mengatakan dalam dalam Mizanul I’tidal: “… ia seorang Tabi’in, haditsnya hasan, namun ia seorang Nashibi”. Ibnu Hajar mengatakan: “seorang yang jujur, namun dikritik karena ia seorang Nashibi”.
Adapun perawi yang lainnya tsiqoh (terpercaya).
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Hadits Mahfudh (valid)…”[8].
Imam Adz-Dzahabi mengatakan: “Sanad-sanad hadits ini dapat dijadikan hujjah”[9].
Dan Ibnu Hajar Al-‘Asqolani menyatakan bahwa hadits ini hasan[10].
2- Anas bin Malik.
Derajat minimal hadits dari jalur ini adalah hasan. Dalam sanadnya ada Hisyam bin Ammar bin Nushoir As-Sulami Ad-Dimasyqi, Ibnu Hajar mengatakan: “Shaduuqun (jujur)… haditsnya yang lama lebih Shahih”.[11]
Al-Bushiri mengatakan: “Sanadnya shahih, para perowinya tsiqoot”.[12]
3- Auf bin Malik.
Sanad hadits dari jalur ini ada kelemahan. Padanya ada perawi bernama Abbad bin Yusuf Al-Kindi, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani mengatakan: “Maqbul”[13]. Derajat maqbul menurut persepsi Ibnu Hajar adalah perowi yang dapat menguatkan perawi yang lain dan dapat pula dikuatkan oleh perawi yang lain, maka dengan prinsip ini; hadits yang diriwayatkan dari jalur Auf bin Malik derajatkan dapat di upgrade menjadi Hasan li Ghairi, karena dikuatkan oleh jalur periwayatan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Anas bin Malik.
Kesimpulannya, menilik jalur-jalur sanad di atas, maka derajat hadits ini adalah Shahih li Ghairihi.
HADITS KETIGA: ABDULLAH BIN AMR BIN ASH DAN HADITS ANAS BIN MALIK.
عن عبد الله بن عمرو قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:((وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيل تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّة، وَتَفْتَرِق أُمَّتِي عَلَى ثَلَاث وَسَبْعِينَ مِلَّة، كُلّهمْ فِي النَّار إِلَّا مِلَّة وَاحِدَة))، قَالُوا : مَنْ هِيَ يَا رَسُول اللَّه ؟ قَالَ :((مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي)).
Artinya: “Dan sesungguhnya Bani Israil berpecah menjadi tujuh puluh dua agama (kelompok), dan ummatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga agama (kelompok), semuanya di Neraka kecuali satu, para sahabat bertanya: Siapakah mereka wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: (Kelompok) yang mengikuti jalanku dan para Sahabatku.
Hadits Abdullah bin Amr diriwayatkan oleh Tirmidzi (no hadits: 2641), dan Al-Hakim (no hadits: 444) dari jalur Sufyan Ats-Tsauri, dari Abdurrahman bin Ziyad Al-Ifriqi, dari Abdullah bin Yazid Al-Mu’afiri Al-Hubulli Al-Misri, dari Abdullah bin Amr bin Ash.
Derajat Hadits:
Sanad hadits ini lemah, karena keadaan Abdurrahman bin Ziyad Al-Ifriqi, Ibnu Hajar mengatakan: “Hafalannya lemah[14]… dan dia adalah orang yang shalih”[15]. Adapun perawi yang lainnya; berderajat tsiqoot (terpercaya).
Sebagian Ulama memandang, hadits ini memiliki penguat dari riwayat Anas bin Malik, sebagaimana dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Aushath (no hadits: 4886) dengan redaksi lafadh yang mirip, dari jalur Mahmud bin Muhammad Al-Wasithi, dari Wahb bin Baqiyah bin Utsman Al-Wasithi, dari Abdullah bin Sufyan Al-Khuza’i Al-Washiti, dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari, dari Anas bin Malik.
Namun pendapat ini disanggah oleh Al-‘Uqoily, beliau menganggap bahwa hadits ini cuma memiliki satu jalur periwayatan saja, yaitu jalur Abdurrahman bin Ziyad Al-Ifriqi. Adapun jalur periwayatan yang kedua; berderajat mungkar, sebab di sanadnya ada perawi yang bernama Abdullah bin Sufyan Al-Khuza’i Al-Washiti, beliau lemah dan haditsnya tidak ada yang menguatkan[16], maka haditsnya mungkar dan jalur ini tidak bisa menguatkan hadits dari jalur yang pertama.
Kesimpulan: Dua jalur sanad ini tidak saling menguatkan, sehingga derajat sanad hadits ini lemah, karena kelemahan Abdurrahman bin Ziyad Al-Ifriqi.
Namun kelemahan sanad pada suatu riwayat, tidak berkonsekwensi pada kelemahan matannya (redaksi hadits) secara mutlak, khususnya jika makna hadits tersebut di akomodir oleh dalil-dalil yang lain. Di antara dalil yang selaras dengan matan hadits di atas adalah firman Allah:
والسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: “Dan orang-orang yang terdahulu masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah kemenangan yang agung”. (QS At-Taubah : 100).
Makna yang terkandung di dalam ayat ini selaras dengan makna hadits di atas, yang mana ayat ini memuji para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan Allah meridhai manhaj dan metodologi mereka dalam beragama, dan meridhoi orang-orang yang dengan setia mengikuti mereka; makna ini selaras dengan lafadh hadits:
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Artinya:” (kelompok) yang mengikuti jalanku dan para Sahabatku.
Bahkan matan hadits ini, selaras dengan lafadh (( ((الجماعةyang telah dijelaskan kevalidannya di atas, sebab dalam lafadh tersebut ada alif dan lam lit ta’rif, yang berfungsi untuk mendefinitifkan sesuatu, maka yang dimaksud dengan jamaah disini adalah jamaah (kelompok) tertentu yang masyhur dan sangat dikenal, yaitu para sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam.
Oleh karena itu banyak di kalangan para ulama dan pakar hadits yang menghasankan hadits ini, di antaranya Imam At-Tirmidzi, yang mana beliau mengatakan: “Hadits ini hasan gharib… kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur (sanad) ini”[17], dan disepakati oleh Ibnu Taimiyah[18]. Hadits ini juga dinyatakan Hasan oleh Ibnul ‘Arabi[19]. Al-‘Iraqi mengatakan: “Dihasankan oleh At-Tirmidzi”[20].
Syaikh Nashiruddin Al-Albani mengatakan: “Telah jelas bahwa hadits ini adalah hadits yang tidak diragukan kevalidannya, oleh karena itu banyak kalangan ulama salaf yang berhujjah dengan hadits ini, sampai Imam Al-Hakim mengatakan dalam kitabnya: Hadits yang agung dalam masalah ushul (pokok-pokok agama)…”.
HADITS KEEMPAT: HADITS ABU UMAMAH AL-BAHILY.
عن أبي أمامة قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: تَفَرَّقَتْ بَنُو إِسْرَائِيْلَ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَأُمَّتِي تَزِيْدُ عَلَيْهِمْ فِرْقَةً، كُلَّهَا فِي النَّارِ إِلَّا السَّوَادَ الأَعْظَمَ.
Artinya: “Orang-orang Yahudi berpecah menjadi tujuhpuluh satu kelompok, orang Nasrani berpecah menjadi tujuhpuluh dua kelompok, adapun umat akan berpecah satu kelompok lebih banyak, semuanya masuk neraka kecuali jumlah mayoritas.
Diriwayatkan Thabrani di Mu’jam Al-Kabir (no hadits: 8054), dan Mu’jam Al-Ausath (no hadits: 7020).
Derajat Hadits:
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abbas bin Fadhl Al-Asfaathi, dari Sa’id bin Sulaiman An-Nusyaithi, dari Salm bin Zurir, dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah Al-Bahilii.
Al-Haitsami mengatakan: “Hadits ini dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir dan Awsath, di sanadnya ada Abu ghalib, dia dipuji oleh Ibnu Ma’in dan yang lainnya, adapun perowi yang lainnya tsiqoot (terpercaya)”[21].
KESIMPULAN:
Hadits perpecahan Ummat terbagi ke dalam dua jenis;
Pertama:Riwayat yang menjelaskan tentang perpecahan umat semata, tanpa pemaparan tentang Al-Firqoh An-Najiyah (kelompok yang selamat).
Redaksi dari hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan didukung oleh riwayat-riwayat dari Anas bin Malik, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Auf bin Malik, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abu Umamah Al-Bahily.
Para ulama kita sepakat bahwa hadits di atas valid berasal dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Kedua:Riwayat yang menjelaskan tentang perpecahan ummat, dan deskripsi terkait Al-Firqoh An-Najiyah (kelompok yang selamat).
Yang masyhur, ada tiga deskripsi terkait kelompok yang selamat:
1- الْجَمَاعَةُ.
Redaksi hadits ini terdapat dalam riwayat dari sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Anas bin Malik, dan Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhum, hadits ini valid.
2- مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.
Redaksi hadits ini datang dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum, hadits ini lemah secara sanadnya namun maknanya benar dan diakomodir oleh riwayat yang lainnya.
3- السَّوَادَ الأَعْظَمَ.
Redaksi hadits ini terdapat di dalam riwayat Abu Umamah Al-Bahily radhiyallahu ‘anhu, dan sanadnya di hasankan oleh Al-Haitsami.
Hadits jenis inilah yang diperselisihkan kevalidannya oleh para ulama dan para pakar hadits.
Secara global, pendapat para ulama terbagi menjadi dua;
Pendapat pertama:Hadits ini valid dan benar, dan riwayatnya saling menguatkan.
Ini adalah pandangan mayoritas para ulama, di antaranya: At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ibnul Arabi, Asy-Syathibi, Al-Bushiri, Ibnu Taimiyah, Adz-Dzahabi, Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar Al-Asqolani[22].
Pendapat kedua: Hadits ini lemah.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, sebagaimana telah saya jelaskan dalam riwayat-riwayat hadits iftiroqul ummah.
INTERPRETASI PARA ULAMA TERKAIT AL-JAMAAH:
Hadits yang dipaparkan di atas, selain membahas tentang perpecahan umat, juga membahas tentang Al-Firqoh An-Najiyah atau kelompok yang selamat. Tentunya, informasi terkait Al-Firqoh An-Najiyah ini cukup menggelitik minat para ulama dan penuntut ilmu untuk mengkajinya; apa dan siapa mereka?
Dan pada perkembangannya, ternyata istilah Al-Jamaah menjadi sebuah julukan, dan banyak dipakai di dalam buku para ulama kita, khususnya dari kalangan muhadditsin (ahli hadits), seakan istilah ini menjadi istilah baku bagi mereka, diantara contoh penggunaan istilah ini:
1- Imam Al-Bukhari[25]mengatakan:
بَاب قَوْلِهِ تَعَالَى ((وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا)) وَمَا أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلُزُومِ الْجَمَاعَةِ
Bab firman Allah: “Dan demikian pula kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang terbaik dan yang pertengahan”, dan perintah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk komitmen diatas jamaah.
2- Al-Imam Tirmidzi[26]mengatakan:
باب ما جاء في لزوم الجماعة
Bab riwayat yang menjelaskan tentang komitmen diatas jamaah
3- Imam An-Nasa’i[27]mengatakan:
باب قتل من فارق الجماعة
Bab membunuh orang yang memisahkan diri dari jamaah
Dan masih banyak lagi penggunaan istilah ini di buku-buku para ulama terdahulu, maka tentu sangat menarik jika dikaji tentang makna Al-Jamaah di buku-buku para ulama hadits.
Terdapat beberapa interpretasi al-jamaah yang disebutkan oleh para ulama[28], di antaranya:
1- Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Tidak ada di kalangan ulama hadits yang membuat bab khusus terkait interpretasi ini, namun ada isyarat dari Imam At-Tirmidzi terkait makna ini, yang mana beliau membuat bab[29]:
ما جاء في افتراق هذه الأمة
Bab tentang perpecahan umat ini (Islam).
Kemudian beliau menyebutkan 5 hadits, dua di antaranya hadits perpecahan umat dan firqoh An-Najiyah, dan lafadh yang diriwayatkan di dalam hadits ini adalah:
مَا أَناَ عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Artinya: “(Kelompok) yang mengikuti jalanku dan para Sahabatku”.[30]
Jadi, yang di maksud dengan Al-Firqoh An-Najiyah -versi makna ini- adalah mengikuti pendapat dan Manhaj para sahabat radhiyallahu anhum dalam beragama, apalagi dalam masalah yang menjadi ijma’ dan konsensus mereka, mereka adalah salaf dari umat ini.
2- Para ulama
Di antara ulama hadits yang tegas berpendapat seperti ini adalah Imam Al-Bukhari dan Imam At-Tirmidzi.
Al-Imam Al-Bukhari membuat dua bab khusus terkait makna ini;
بَاب قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ يُقَاتِلُونَ وَهُمْ أَهْلُ الْعِلْمِ
Bab ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi: senantiasa aka nada sekelompok umatku yang dimenangkan diatas kebenaran, mereka berperang… mereka adalah ahli Ilmu.
Hadits yang dikutip oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam bab diatas adalah hadits tentang At-Thaifah Al-Manshurah, dan yang di maksud adalah ulama.
بَاب قَوْلِهِ تَعَالَى ((وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا)) وَمَا أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلُزُومِ الْجَمَاعَةِ وَهُمْ أَهْلُ اْلعِلْمِ
Bab firman Allah: “dan demikian pula kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang terbaik dan yang pertengahan”, dan perintah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk komitmen diatas jamaah, mereka adalah ulama.
Adapun Al-Imam At-Tirmidzi, maka beliau mengatakan[33]:
باب ما جاء في لزوم الجماعة
Bab riwayat yang menjelaskan tentang komitmen diatas jamaah.
Kemudian beliau mengatakan:
وَتَفْسِيْرُ الْجَمَاعَةِ عِنْدَ أَهْلِ اْلعِلْمِ هُوَ أَهْلُ الْفِقْهِ وَالْعِلْمِ وَالْحَدِيْثِ، قَالَ: وَسَمِعْتُ الجَارُوْدَ بِنْ مُعَاذ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ عَلِي بِنْ الحُسَيْنِ يَقُوْلُ: سَأَلْتُ عَبْدَ اللهِ بِنْ الْمُبَارَك مَنِ الْجَمَاعَةُ؟ فَقَالَ: أَبُوْ بَكْر وَعُمَر، قِيْلَ لَهُ: قَدْ مَاتَ أَبُو بَكْرِ وَعُمَرُ، قال: فلان وفلان، قيل: له قد مات فلان وفلان، فقال عبد الله بن المبارك: أبو حمزة السكري جماعة، وَأَبُو حَمْزَةَ هُوَ محمد بن مَيْمُوْن وَكَانَ شَيْخًا صَالِحًا، وَإِنَّمَا قَالَ هَذَا فِي حَيَاتِهِ عِنْدَنَا.
Dan penjelasan makna Al-Jama’ah menurut para ulama adalah para ulama fiqih, pakar ilmu agama, dan ulama pakar hadits. Saya mendengar Jaruud bin Mu’adz mengatakan: saya mendengar Ali bin Husain berkata: saya bertanya kepada Abdullah bin Mubarak; siapakah jamaah itu? Maka beliau menjawab: Abu Bakar dan Umar, kemudian ada yang berkata kepada beliau: Abu Bakar dan Umar telah meninggal dunia, maka beliau berkata: (Al-Jamaah itu) adalah fulan dan fulan, kemudian ada yang berkata kepada beliau: fulan dan fulan telah meninggal dunia, maka beliau berkata: Abu Hamzah As-Sukkary adalah jamaah, ( berkata At-Tirmidzi) dan Abu Hamzah adalah Muhammad bin Maimun, beliau adalah seorang syaikh yang sholeh, dan Abdullah bin Mubarak menyebutkan namanya, sebab beliau masih hidup di sisi kami[34].
Dan sebagian ulama berpendapat bahwa yang di maksud dengan jamaah adalah imam (tokoh) di kalangan ulama, Al-Qasthalani mengatakan:
والجماعة التي أمر الشارع بلزومها جماعة أئمة العلماء لأن الله تعالى جعلهم حجة على خلقه وإليهم تفزع العامة في أمر دينها
Adapun (yang dimaksud dengan) jamaah yang perintahkan syariat untuk berkomitmen di atasnya adalah sekelompok tokoh-tokoh ulama, sebab Allah telah menjadikan mereka sebagai hujjah atas hamba-hambaNya, dan mereka adalah rujukan ummat dalam urusan agama[35].
Menilik contoh yang disebutkan di atas, maka yang dimaksud dengan ulama di sini adalah ulama yang pakar dalam ilmu syar’i.
Dan penyebutan nama Abu Bakar dan Umar ataupun nama ulama yang lainnya bukan bertujuan untuk membatasi, namun maksudnya adalah mendefinisikan sesuatu dengan contoh, dan hal seperti ini banyak dipraktekkan para ulama dalam menafsirkan dan menjelaskan ayat Al-Qur’an, dan sangat bermanfaat bagi masyarakat yang berada pada level awam, sebab metode seperti ini sangat praktis dan mudah dipahami.
Jika menilik pemilihan tokoh, maka kualitas keulamaan bukan hanya sekedar ditinjau dari glamournya ketokohan dan kemasyhurannya semata, namun ulama panutan juga harus memiliki manhaj dan pemikiran yang identik dengan tokoh-tokoh yang di sebutkan di atas. Jadi benang merahnya dengan ulama-ulama salaf terdahulu bukan hanya ditinjau dari aspek ketokohan semata, namun yang lebih urgen adalah ditelisik dari aspek kesamaan Manhaj, sebagaimana interpretasi Ibnu Mas’ud terkait jamaah:
إِنَّمَا الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ طَاعَةَ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ
Sesungguhnya yang di maksud dengan jamaah adalah yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah, meskipun engkau seorang diri[36].
3- Orang-orang yang sepakat untuk komitmen kepada pemimpin dan yang wajib untuk ditaati.المجتمعون على أمير، وتجب عليهم طاعتهم))
Di dalam shahih Muslim[37]ada Bab:
باب الأمر بلزوم الجماعة عند ظهور الفتن وتحذير الدعاة إلى الكفر
Bab perintah untuk komitmen di atas jamaah ketika fitnah merebak, dan peringatan bagi penyeru kepada kekufuran.
Dalam bab ini, disebutkan satu hadits, yaitu hadits Hudzaifah bin Yaman; yang di dalam matannya ada lafadh:
…تلزم جماعة المسلمين وإمامهم
“…Hendaknya engkau berpegang teguh dengan jamaah kaum muslimin dan pemimpin mereka”.
Al-Imam Al-Qurthubi, membuat sebuah bab[38]:
باب: فيمن خلع يدا من طاعة وفارق الجماعة
Bab tentang: Oknum yang melepaskan diri dari ketaatan, dan berpisah dari jamaah
Yang beliau maksud dengan jamaah disini adalah komitmen kepada pemimpin yang telah disepakati. Hal ini ditinjau dari hadits-hadits yang beliau pilih untuk bab ini.
Imam Malik membuat sebuah bab dalam Al-Muwathttha’[39]:
باب إثم الخوارج وما في لزوم الجماعة من الفضل
Bab tentang dosa kelompok Khawarij, dan riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan komitmen kepada jamaah
Yang dimaksud dengan jamaah di sini adalah taat kepada pemimpin, indikasinya sangat jelas, yaitu penyebutan kesalahan kelompok Khawarij di dalam bab ini, yang telah diketahui bersama, bahwa salah satu penyimpangan kelompok ini adalah memberontak kepada pemimpin muslim.
4- Kelompok mayoritas (As-Sawad Al-A’dham)
Makna ini merupakan salah satu lafadh hadits perpecahan umat, dan salah satu diantara sifat al-Firqoh An-Najiyah.
Al-Imam Ibnu Majah[41]mengatakan:
باب السواد الأعظم
Bab tentang kelompok mayoritas
Beliau meriwayatkan satu hadits dari Rasulullah shallallahu alahi wa sallam di dalam bab ini, yaitu:
حدثنا العباس بن عثمان الدمشقي. حدثنا الوليد بن مسلم. حدثنا معان بن رفاعة السلامي. حدثني أبو خلف الأعمى قال سمعت أنس بن مالك يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:(إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ . فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ.
Artinya: “Sesungguhnya umatku tidak bersepakat diatas kesesatan, jika kalian mendapatkan perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas”.
Sanad hadits ini sangat lemah, sebab dalam sanadnya ada Abu Khalaf Al-A’maa, Ibnu Hajar mengatakan: Matruk (di tinggalkan haditsnya), bahkan Ibnu Ma’in telah menuduhnya pendusta[42].
Hadits ini dilemah oleh Al-I’raqi sebagaimana dikutip oleh Al-Bushiri, dan ada beberapa jalur periwayatan yang lain, namun semuanya tidak terlepas dari kelemahan[43].
Sejatinya, Al-Imam Ibnu Majah tidak berterus terang mengatakan bahwa interpretasi dari Al-Jamaah adalah As-Sawad A’dham, namun sedikit Isyarat terhadap makna ini disimpulkan dari lafadh:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ
Sebagaimana diketahui, bahwa makna ikhtilaf adalah antonim dari ijtima’, yang merupakan pecahan kata dari Al-Jamaah juga, jadi dalam hal ini berlaku kaedah:
فبضدها تتبين الأشياء
Dengan menyebut lawan katanya, akan nampak jelas urusan.
Terlepas dari hal ini, istilah As-Sawad Al-A’dham disebutkan juga oleh para ulama, dalam upaya untuk menggali makna Al-Jamaah, dan telah ada riwayat khusus terkait istilah ini.
Makna dari istilah ini adalah jamaah yang besar (mayoritas) dari umat ini, sesungguhnya kesepakatan mereka (dalam satu urusan) sangat dekat dengan ijma’[44], namun tentunya tolak ukurnya bukan dengan jumlah semata, karena dua hal:
Pertama: Dalam riwayat hadits, lafadh ini datang dengan dihiasi alif dan lam lit ta’rif, yang memiliki makna bahwa kelompok ini dikenal dan masyhur.
Kedua:Melihat konteks dari hadits ini, yaitu menjelaskan terkait sifat Al-Firqoh An-Najiyah, kemudian dikomparasikan dengan riwayat yang lainnya, yaitu: Al-Jamaah danMa’ Ana alaihi wa ashabi.
Menyidik dari dua hal ini, maka yang di maksud dengan As-Sawad Al-A’dham yang terjadi pada generasi tertentu, yaitu generasi sahabat, jika mau diperluas; maka mencakup tiga generasi utama dari umat ini, sebagaimana yang di isyaratkan di dalam hadits:
خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
Artinya:”Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian genearasi yang setelah mereka, kemudian generasi yang setelah mereka”[45].
Interpretasi ini datang dari Asy-Syathibi, sebatas kajian saya; tidak ada di kalangan ulama hadits yang menyebutkan interpretasi ini dalam buku mereka, namun jika ditelisik; interpretasi ini sangat identik dengan interpretasi yang sebelumnya, yaitu; Kelompok mayoritas (As-Sawad Al-A’dham), Orang-orang yang sepakat untuk komitmen kepada pemimpin dan yang wajib untuk ditaati, dan para ulama, sebab interpretasi ini mengisyaratkan tentang kuatnya hujjah ijma’ ulama.
Ringkasnya, ada lima interpretasi terkait dengan lafadh Al-Jamaah yang dinobatkan sebagai Al-Firqoh An-Najiyyah di dalam hadits perpecahan ummat, yaitu:
1- Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
2- Para ulama
3- Orang-orang yang sepakat untuk komitmen kepada pemimpin dan yang wajib untuk ditaati
4- Kelompok mayoritas (As-Sawad Al-A’dham)
5- Sekelompok kaum muslimin jika bersepakat dalam satu urusan
Sejatinya, lima interpretasi ini tidak kontradiktif, namun dapat dikompromikan antara yang satu dengan lainnya, penjelasannya sebagai berikut:
· Para Sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah representasi utama dari Al-Jamaah ini, mereka adalah mercusuar yang harus diikuti oleh para ulama dari generasi setelah mereka dari umat ini, mereka adalah As-Sawad Al-A’dham, oleh karena itu; tidak ada perpecahan umat pada zaman mereka kendati ada perbedaan pendapat menghiasi kehidupan ilmiyah mereka, karena pendapat mayoritas dari para sahabat sama dan mirip; dan diantara pokok aqidah mereka adalah bersatu di bawah seorang pemimpin, dan tidak berpecah belah[47].
· Istilah Al-Jamaah secara bahasa adalah perkumpulan atau persatuan, dan sebuah perkumpulan dan persatuan biasanya ditentukan oleh persamaan pandangan dan pendapat mayoritas, yang kemudian disebut sebagai As-sawad Al-A’dham. perkumpulan dan persatuan ini memerlukan wadah, dan wadah yang paling representatif menurut syariat adalah bai’at dan ketaatan kepada pemimpin, namun persatuan dan perkumpulan yang syar’i bukan hanya taat kepada pemimpin semata, tapi harus kepemimpinan yang selaras dengan syariat, di sinilah diperlukan bimbingan para ulama yang berafiliasi kepada para sahabat secara Manhaj, dan generasi yang sukses mempraktekkan bersatu di bawah panji kepemimpinan di atas koridor nubuwah (al-khilafah ‘ala minhajin nubuwwah) adalah para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya, dan jika tidak ada wadah yang representative secara syar’i, maka berpegang teguh dengan Manhaj yang hak adalah bagian dari Al-Jamaah.
· Jadi interpretasi para ulama terkait istilah Al-Jamaah termasuk bagian dari dzikru ba’dhu afradil ‘aam(menyebutkan sebagian makna yang umum dari sebuah istilah), jadi tidak berkontradiksi, namun justru saling berhubungan[48].
Tim Alinshof
[1]. Tajul Arus (26/298).
[2]. Al-Iftiroq, Mafhumuhu wa Asbabuhu, karya Dr Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql hal. 3.
[3]. Lihat hadits no: 2640.
[4]. Iqtidhoush Sirathol Mustaqim, karya Ibnu Taimiyah hal: 32.
[5]. Lihat hadits no : 441.
[6]. Lihat Al-Mustadrok karya Al-Haakim ma’a ta’liqot Adz-Dzahabi, no hadits: 441.
[7]. At-Taisir Bisyarh Al-Jami’ As-Shagir, karya Al-Munawi (1/360).
[8]. Iqtidhoush Sirathol Mustaqim hal: 32.
[9]. Al-Mustadrok karya Al-Haakim ma’a ta’liqot Adz-Dzahabi, no hadits: 443.
[10]. Takhrij Al-Kasyaaf hal: 63.
[11]. Taqrib Tahdzib hal: 641.
[12]. Misbahuz Zujajah, karya Al-Bushiri (4/180).
[13]. Taqribut Tahdzib, karya Ibnu Hajar Al-‘Asqolani hal: 303.
[14]. Dan ini adalah indikasi bahwa kelemahan pada hadits ini adalah kelemahan yang ringan, jika ada penguat dari jalur periwayatan yang lain dengan level perowi yang sama, maka derajatnya akan terupgrate pada level hasan lighirihi.
[15]. Taqribut Tahdzib hal: 362.
[16]. Adh-Dhu’afa’ Al-Kabir karya Al-‘Uqoily (2/262).
[17]. Jami’ At-Tirmidzi, no hadits: 2641.
[18]. Iqtidhoush Sirathol Mustaqim, karya Ibnu Taimiyah hal: 31.
[19]. Ahkamul Qur-an, karya Ibnu A’rabi (3/432).
[20]. Al-Mughni ‘An Hamlil Asfaar, karya Al-‘Iraqi hal: 1033.
[21]. Majma’uz Zawaid, no hadits: 12096.
[22]. Adhwa-u A’la Hadits Iftiroqul Ummah, karya Abdullah bin Yusuf Al-Judai’, hal. 7
[23]. Al-Fashl fil Milal wal Ahwa’ (3/138).
[24].Al-‘Awashim wal Qowashim (1/186).
[25]. Shahih Al-Bukhari, hal: 1263.
[26]. Jami’ Tirmidzi, hal: 489.
[27]. Sunan An-Nasa’i hal: 621.
[28]. makna-makna ini disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqolanii di dalam bukunya Fathul Baari (13/37), dan beliau menukil dari Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan disebutkan pula oleh Asy-Syathibi di dalam Al-I’tisham (1/478-480).
[29]. Jami’ Tirmidzi, hal: 595
[30]. Idem, hal: 596.
[31]. Shahih Al-Bukhari, hal: 1259.
[32]. Idem, hal; 1263.
[33]. Jami’ Tirmidzi, hal: 489.
[34]. Jami’ At-Tirmidzi, hal: 490.
[35]. Irsyadus Sari, karya Al-Qasthalani (10/184).
[36]. Syarh Usulil I’tiqad Ahlis Sunnah, karya Al-Lalaka’i (1/121).
[37]. hal: 896.
[38]. Mukhtashar Shahih Muslim, hal: 308.
[39]. Riwayat Muhammad bih Hasan (3/318).
[40]. Diantaranya adalah Al-Imam An-Nasa’i di dalam Sunan-nya hal. 621, Al-Imam Ad-Darimi di Sunan-nya (2/314), dan Al-Imam Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra-nya (8/269).
[41]. Sunan Ibnu Majah, Hal: 651.
[42]. Taqribut Tahdzib, hal. 702.
[43]. Misbahuz Zujajah (4/169).
[44]. Hasyiyah As-Sindi ‘ala Ibni Majah (7/320).
[45]. Muttafaqun Alaihi.
[46]. Al-I’tisham )1/480).
[47]. ‘Inayatu Ulama-il Hadits Bi Taqriri Ashl Luzumil Jamaah, karya Dr Abdullah bin Abdil ‘Aziz Al-Falih, hal.40.
[48]. ‘Inayatu Ulama-il Hadits Bi Taqriri Ashl Luzumil Jamaah, karya Dr Abdullah bin Abdil ‘Aziz Al-Falih, hal.40.
Masyaallah.
Semoga penjelasan ilmiah seperti ini, dimudahkan utk dibukukan. Aamiin
Amin ya Rabb 🙂
Ini adminnya siapa, biografi penulis ada nggak