Nasehat Pemilu: “Apakah ada Karakteristik dan Sosok Pemimpin yang Ideal?

Sketsa kehidupan manusia yang merupakan makhluk sosial memang memfitrahkan adanya pimpinan dan yang dipimpin. Juga menggariskan bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang mesti ada dalam setiap tatanan keluarga, masyarakat atau batas wilayah tertentu. Sebab itu, saya, anda dan semua umat manusia tak akan berbeda pandangan dalam keabsahan statemen ini. Akan tetapi problem yang sanggup membuat adanya perbedaan persepsi adalah “kriteria kepemimpinan” itu sendiri.

Dalam kondisi “krisis kepemimpinan” seperti saat ini, kita sebagai umat pilihan, yang dianugrahkan Allah ta’ala dengan ajaran Islam yang sempurna, dan universal, seharusnya tak perlu bingung apalagi berbeda dalam hal penentuan karakter dan kriteria pemimpin yang didambakan. Sebab Islam telah menggariskannya secara gamblang lewat wahyu Al-Quran maupun Sabda dan Amalan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

Diantara kriteria pertama dan utama yang mesti dibenahi terlebih dahulu adalah perkara keshalihan dan mushlih-nya seorang pemimpin. Shalih dalam artian menjalankan kewajiban dan ketaatan sebagai seorang muslim atau dalam istilah yang lebih umum disebut juga bersifat taqwa. Keshalihan ini tidak hanya nampak dari segi ibadahnya , namun juga dari segi muamalah, dan akhlak yang baik terhadap sesama dan rakyat yang dipimpinnya. Perilaku kepemimpinan seperti inilah yang disebut sebagai sikap keteladanan. Dalam Islam, keteladanan ini merupakan harga mati yang tak bisa diremehkan oleh setiap pemimpin. Islam mengajarkan bahwa keteladanan tak akan mungkin diraih tanpa adanya sifat shalih yang terpatri dalam jiwa seorang pemimpin. Sebab itu yang paling pantas menjadi qudwah/teladan utama adalah pemimpin yang paling shalih yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sebagaimana sanjungan Allah ta’ala atas beliau :

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا

Terjemahnya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab 21).

Ayat ini tidak hanya berisi sanjungan, namun juga perintah untuk selalu meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang mana beliau memiliki kepribadian qur-ani sebagaimana yang dikatakan Aisyah radhiyallahu’anha. Allah ta’ala juga telah menyanjungnya:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ

Terjemahnya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam 4).

Sangat penting bagi seorang pemimpin untuk meneladani kepemimpinan beliau yaitu menjadi sosok teladan dalam segala perbuatan dan ucapannya dihadapan Allah dan manusia. Hal inilah yang dicontohi oleh para khulafa’ rasyidin sepeninggal beliau, sehingga tidak aneh jika sejak sebelum wafat Rasulullah telah mewanti-wanti umatnya untuk berpegang teguh dengan sunnah para khulafa’ rasyidin sebagaimana dalam sabdanya :

فعليكم بسُنَّتي وسُنَّةِ الخُلَفاءِ الرَّاشِدينَ المَهْدِيِّينَ

Artinya: “Berpegangteguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ rasyidin…”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Oleh karena itu, sifat teladan ini wajib ada dalam diri seorang pemimpin. Agar masyarakat atau orang-orang bawahannya bisa meneladaninya dengan baik. Ini bisa tergambarkan dalam sosok pemimpin berikut:

1. Bersifat sebagai seorang murabbi (pembina)

Sifat inilah yang dipraktekkan oleh Rasulullah dan para khalifah setelahnya. Tidak hanya menjadi sosok yang disegani dengan perintah dan kewibawaannya, namun juga dihargai sebagai sosok pembina dan pendidik yang mengajarkan bawahan dan rakyat yang dipimpinnya akan nilai-nilai keimanan, ibadah dan akhlak yang baik. Ini bukan berarti bahwa seorang pemimpin harus berasal dari kalangan ulama, namun sekedar mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin teladan tidak pantas jahil dan bersikap masa bodoh dengan ajaran-ajaran pokok Islam.

2. Bersikap sederhana dan rendah hati

Artinya tidak menjadikan jabatannya sebagai batu loncatan untuk bermewah-mewahan dan menyombongkan diri, apalagi memperkaya diri lewat korupsi dan penyelewengan kekuasaannya. Tetap kalem dan ceria dihadapan rakyat dan yang dipimpinnya, serta selalu menanamkan prinsip bahwa keutamaan dan ketinggian derajat hakiki manusia ditentukan oleh takwa dan imannya, bukan jabatan dan pangkat.

إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ

Terjemahnya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat 13).

3. Bersikap jujur, amanah, dan adil

Ia adalah kewajiban utama seorang pemimpin. Jika ia benar-benar mengaplikasikan sifat-sfat mulia ini, maka yang dipimpinnya tentu akan meneladani dan mengikuti sikapnya, sehingga kesejahteraan yang didambakan akan tercapai dengan mudah. Mereka yang adil, jujur dan amanah inilah salah satu dari tujuh golongan yang akan diberikan naungan oleh Allah diakhirat kelak, dimana saat itu tidak ada naungan selain naungan-Nya,

Artinya: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: Imam yang adil … (HR. Bukhari dan Muslim)

Kaitan dengan penjelasan kriteria amanah erat dengan kekuatan terdapat keterangan yang bagus yang dijelaskan Syaikhul Islam dalam karyanya as-Siyasah as-Syar’iyah tentang kriteria pemimpin yang baik (Disimpulkan dari as-Siyasah as-Syar’iyah, Syaikhul Islam, cet. Kementrian Agama Saudi, th. 1418 H. hlm. 13 – 17). Beliau menjelaskan,

وينبغي أن يعرف الأصلح في كل منصب فإن الولاية لها ركنان : القوة والأمانة

Artinya: ”Selayaknya untuk diketahui siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Karena kepemimpinan yang ideal, itu memiliki dua sifat dasar: kuat (mampu) dan amanah.”

Kemudian beliau menyitir beberapa firman Allah,

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Terjemahnya: “Sesungguhnya manusia terbaik yang anda tunjuk untuk bekerja adalah orang yang kuat dan amanah.” (QS. Al-Qashas: 26).

Dalil lainnya, pujian yang diberikan oleh penguasa Mesir kepada Nabi Yusuf,

إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ

Terjemahnya: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi (kuat secara posisi) lagi dipercayai pada sisi kami”. (QS. Yusuf: 54).

Demikian pula karakter Jibril yang Allah amanahi menyampaikan wahyu kepada para rasul-Nya, karakter Jibril yang Allah puji dalam al-Quran,

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ ( 19) ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ (20 ) مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ (21)

Terjemahnya: Sesungguhnya Al Qur’aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi amanah. (QS. At-Takwir: 19 – 21).

4. Adanya sinergi antara ucapan dan perbuatan

Pada dasarnya pemimpin yang teladan adalah yang berhasil menanamkan prinsip keberhasilan dalam diri pribadinya sendiri yaitu men-sinergi-kan antara ucapan, janji dengan perbuatan dan tindak tanduknya, tidak menjadi sosok munafiq yang hanya bermanis kata. Allah ta’ala berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٢ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٣

Terjemahnya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS. Ash-Shaf 2-3).

Selain itu, ia juga harus mampu menyeru orang-orang yang dipimpinnya lewat amalan dan kinerjanya. Inilah idealnya seorang pemimpin, yang tidak hanya mengeluarkan keputusan dan perintah, namun juga tetap terjun kelapangan demi memberikan sumbangsih lebih kepada yang dipimpinnya lewat amalan tangannya sendiri.

5. Taqwa, Shalih, dan Mushlih

Tidak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai pemimpin teladan yang sukses dan ideal jika sifat shalih atau taqwa yang ada dalam dirinya tidak dibarengi dengan sifat seorang mushlih yaitu yang turut andil dalam melakukan ishlah / perbaikan ditengah-tengah masyarakat baik dengan cara berdakwah, menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar, ataupun sebagai donatur / turut mengorbankan hartanya untuk kepentingan dakwah Islam. Seorang pemimpin yang shalih dan mushlih ini, tentu tidak akan menyalahgunakan jabatan yang dipikulkan padanya, karena tujuan utamanya menjadi pemimpin adalah demi memperbaiki dan mengatur kehidupan masyarakat dengan penuh keikhlasan. Berbeda dengan mereka yang hanya menjadikan jabatan ini sebagai aset penting untuk meraih berbagai macam keuntungan duniawi semata sebagaimana perihal banyak calon pemimpin yang berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut mereka yang menganut prinsip ini, hidup ini tidak lengkap rasanya, kalau tidak pernah memegang jabatan, menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat.

Nasehat Pemilu

Anda yang akan menyalurkan hak pilihnya, saat ini kita lebih membutuhkan amanah dan profesional. Ingatlah bahwa hak pilih kita termasuk amanah, dan persaksian di hadapan Allah. Yang semua itu nantinya akan kita pertanggung jawabkan di hadapan-Nya. Jangan digunakan sembarangan dan jangan mengedepankan hawa nafsu. Allah mengingatkan kita,

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Terjemahnya: Takutlah kalian terhadap hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi Balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak didzalimi. (QS. Al-Baqarah: 281).

Setiap individu muslim penting untuk memiliki panduan dalam menentukan tindakan atau melakukan perbuatan sebelum bertindak. Panduan tersebut tentu saja bersumber dari Al-Qur’an, hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, serta arahan dari para ulama. Namun, tidak setiap orang diberikan kemudahan untuk menghafal ribuan ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah. Karena itu, para ulama telah merumuskan kaidah-kaidah fikih. Kaidah-kaidah ini bertujuan untuk menyederhanakan dan memberikan gambaran umum terkait dengan hukum-hukum syariat Islam.

Salah satu kaidah fikih yang memiliki peran penting, merupakan salah satu dari lima kaidah penting yang dirumuskan oleh para ulama. Kaidah ini menjadi sangat relevan, terutama ketika kita mengaitkannya dengan implementasi dalam konteks pemilihan calon presiden, legislatif, dan anggota dewan, baik di tingkat pusat maupun daerah secara umum. Kaidah tersebut adalah kaidah “adhdhararu yuzal,” yang artinya kemudaratan dihilangkan. Menurutnya, saat para ulama membahas kaidah ini, terdapat beberapa poin makna yang dapat dijelaskan:

Pertama, adanya larangan menimbulkan kemudaratan atau menjadi penyebab terjadinya kemudaratan, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk lainnya. Secara umum, makna pertama dari kaidah ini adalah bahwa segala bentuk kemudaratan merupakan lawan dari kemaslahatan atau kemanfaatan. Kemaslahatan didefinisikan oleh para ulama sebagai sesuatu yang bermanfaat baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat kita.

Kedua, larangan memulai tindakan kemudaratan. Ini berarti tidak boleh memulai suatu tindakan yang dapat merugikan orang lain, dan juga tidak diperkenankan membalas kemudaratan dengan tindakan kemudaratan yang lain. Dalam konteks ini, syariat agama menyediakan mekanisme khusus untuk mengatasi kemudaratan tanpa harus melakukan tindakan yang merugikan.

Ketiga, menghilangkan kemungkinan terjadinya kemudaratan dapat dilakukan sebelum terjadi, seperti tindakan preventif. Artinya, kemudaratan harus diantisipasi dan dicegah sebelum terjadinya. Jika kemudaratan sudah terjadi, maka kita memiliki kewajiban untuk berusaha menghilangkannya, sehingga konsep “adhdhararu yuzal” mengandung arti bahwa kemudaratan dapat dihilangkan baik sebelum maupun setelah terjadinya.

Hukum Memilih Pemimpin dalam Islam

Hukum memilih pemimpin bersifat wajib menurut syariat. Hal ini didasarkan pada ijmak sahabat setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, yang menyepakati pentingnya pemilihan pemimpin. Ijmak juga menegaskan kewajiban melaksanakan perkara yang membawa kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Selain itu, penegakan hukum dan perlindungan terhadap wilayah hukum juga diwajibkan, sesuai dengan kaidah bahwa apa yang tidak dapat mencapai kewajiban kecuali melalui hal tersebut, maka itu juga menjadi kewajiban. Hal ini dijelaskan dalam konsep siyasah syar’iyyah yang dipaparkan oleh Abd. Wahab Khallaf dalam kitabnya Siyasah Syar’iyyah.

Kriteria Memilih Pemimpin dalam Islam

Pemimpin harus mampu menegakkan prinsip-prinsip keadilan, memiliki pengetahuan yang dapat mendukung proses ijtihad, dan menjaga kesehatan fisik dan jasmani. Selain itu, kekuatan ide dan gagasan menjadi faktor penting dalam menilai kualitas seorang pemimpin. Pemimpin yang diinginkan juga harus memiliki keberanian dan kemampuan untuk melindungi wilayah kekuasaannya. Ini sesuai dengan prinsip-prinsip siyasah syar’iyyah yang dijelaskan oleh Abd. Wahab Khallaf dalam kitabnya Siyasah Syar’iyyah.

Rakyat memiliki hak untuk memilih calon presiden dalam pilpres, dengan penerapan kaidah ini yang mengarah pada pemilihan pemimpin yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Jika tidak ada calon yang memenuhi seluruh kriteria, maka dipilih calon yang dapat membawa kemaslahatan dan menolak kemudaratan secara maksimal. Jika tidak ada calon yang memenuhi kriteria, pilihan diberikan kepada calon pemimpin dengan kemudaratan lebih minimal.

Penentuan kemaslahatan dan kemudaratan serta pertimbangannya diserahkan kepada para ulama dan ahli yang kompeten, bukan berdasarkan keinginan pribadi. Apabila terpilih pemimpin yang dianggap tidak ideal, upaya menghilangkan kemudaratan dilakukan melalui mekanisme penyampaian nasihat, kritik kepada pemimpin, dan upaya perbaikan di tengah kehidupan masyarakat.

Wallahu A’lam.

Tinggalkan Komentar

By admin