Salah satu hal yang gencar Islam promosikan adalah persatuan atas dasar kebenaran dan kebaikan. Ajakan terhadap persatuan tersebut Al-Qur’an sebutkan secara mutlak, bahkan terhadap pihak-pihak yang berseberangan. Allah berfirman:
Katakanlah: “Hai Ahlul Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran/3: 46)
Bila contoh di atas berlaku terhadap Ahlul Kitab, maka sesungguhnya upaya untuk mewujudkannya di internal kalangan umat Islam sendiri tentu lebih urgen.
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai . . . . (QS. Ali Imran/3: 103)
Di samping perintah Allah untuk bersatu itu, terdapat pula larangan untuk terpecah-belah, sebagaimana perilaku umat terdahulu dari kalangan Ahlul Kitab. Mereka saling sengketa dan meninggalkan kebenaran.
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka . . . . (QS. Ali Imran/3: 105)
Al-Qur’an selanjutnya menjelaskan tentang berlepasnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari orang-orang yang memecah-belah agama dan fanatik kepada golongannya, sehingga menjadi kelompok-kelompok yang saling berselisih.
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka . . . . (QS. al-An’am/6: 159)
Berkumpul dalam kebenaran beserta usaha-usaha mewujudkannya akan mendorong kebersamaan dan lahirnya persatuan. Sebaliknya, berselisih dalam dan meninggalkan agama adalah sumber perpecahan dan sengketa.
. . . maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat . . . . (QS. al-Ma’idah: 14)
Ibn Taimiyah menulis:
Persatuan dan kebersamaan lahir dari bersatu dalam dan mengamalkan agama secara paripurna, yaitu ibadah kepada Allah yang Esa dan tanpa sekutu bagi-Nya, lahir maupun batin. Sedangkan perselisihan lahir karena mengabaikan sebagian dari tugas sebagai hamba Allah, serta sikap aniaya kepada sesama. Persatuan akan berbuah rahmat, ridha, dan pujian Allah; kebahagiaan dunia dan akhirat, serta wajah yang bercahaya. Sedangkan perselisihan akan membuahkan azab dan laknat dari Allah, wajah yang gelap, serta berlepasdirinya Rasulullah dari pelaku-pelakunya.
Karena persatuan merupakan ajaran yang penting dalam Islam, tidak heran jika dia menjadi karakter serta ciri Firqah Najiyah (golongan yang selamat), yang disinggung dalam hadits:
Sesungguhnya Ahlul Kitab berpecah dalam agama mereka menjadi 72 golongan, dan umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu yaitu al-jama’ah. (Hadits dengan beberapa sanad, yang menurut Dzahabi bisa menjadi hujjah; serta dinilai shahih banyak ulama)
Sehingga al-jamaah itu adalah golongan yang bersatu dalam kebenaran. Itulah golongan yang selamat.
Dalam sebuah riwayat, golongan tersebut dijelaskan sebagai: “Apa yang aku dan sahabat-sahabatku berada di atasnya.”
Nama “golongan yang selamat” (firqah najiyah) atau yang dikenal di kalangan ulama sebagai “Ahlus Sunnah wal Jamaah,” mereka itulah orang-orang yang pada hari Kiamat mukanya putih berseri (QS. Ali Imran/3: 106).
Ibn Katsir berkomentar:
Adapun firman Allah, artinya: “pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram,” (QS. Ali Imran/3: 106) ialah pada hari Kiamat, ketika muka Ahlus Sunnah wal Jamaah putih berseri, dan muka Ahlul Bid’ah wal Firqah/golongan bid’ah dan perpecahan, hitam muram. Demikian menurut Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Oleh karena itu, perpecahan serta silang sengketa kaum Muslim dalam kebenaran adalah pengantar kepada Neraka. Sebagaimana persatuan dan kesepakatan kaum Muslim akan mengantar kepada Surga. Dengan kata lain, komitmen pada jamaah dan persatuan, serta kebersamaan dalam kebenaran akan mengantar pelakunya ke dalam Surga. Hal ini sejalan dengan sabda Rasul yang mulia:
Barangsiapa yang menginginkan tempat di Surga maka hendaknya dia mengikuti al-jama’ah.
Persatuan yang terpuji mustahil terwujud kecuali bila ditegakkan di atas fondasi kebenaran, yang terartikulasi dalam komitmen kepada Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berpedoman kepada para Sahabat yang mulia. Hal ini ditegaskan dalam hadits:
Aku telah tinggalkan buat kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya: Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.
Dalam hadits ini, Rasulullah memberi garansi bagi siapa pun yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah untuk terjaga dari kesesatan, janji dari Rasulullah yang pasti terjadi. Sebab beliau adalah manusia yang al-shadiq al-mashduq (jujur dan dibenarkan oleh Allah).
Adapun tentang berpedoman kepada tuntunan al-Khulafa al-Rasyidun yang konsisten dengan ajaran Rasulullah, beliau menukas:
Ikutilah ajaranku dan ajaran al-Khulafa al-Rasyidun yang mendapat petunjuk. Berpegangteguhlah kalian kepadanya, gigitlah dengan gigi geraham kalian (berpegangteguhlah dengan kuat).
Rasulullah mengajarkan untuk berpegang teguh hingga dengan ungkapan “menggigit dengan gigi geraham,” karena dengan itulah perlindungan dan petunjuk kepada jalan yang lurus akan terwujud.
Sedangkan tentang para Sahabat pada umumnya, Rasulullah bersabda:
. . . dan Sahabat-sahabatku adalah penjaga bagi umatku, sehingga bila para Sahabatku telah pergi, umatku akan ditimpa perkara yang telah ditetapkan.
Dengan kata lain, keberadaan para Sahabat di tengah umat merupakan jaminan perlindungan dari perpecahan dan kesesatan, baik itu secara fisik atau maknawi, dengan aqidah dan manhaj mereka.
Bukti lain perhatian Islam terhadap persatuan dan kebersamaan adalah fakta bahwa seluruh kewajiban dalam Islam hanya dapat dilaksanakan dalam kebersamaan. Baik itu kebersamaan secara fisik, seperti shalat dan jihad; atau kebersamaan dalam aspek waktu, tempat, dan tata cara ibadah, sebagaimana dalam puasa dan haji. Hampir tidak ada pengecualian selain ibadah zakat.
Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu Wata’ala mengancam dengan Neraka orang-orang yang menyelisihi jalan petunjuk serta mengikuti, dalam hal aqidah dan manhaj, jalan orang-orang yang tidak beriman. Allah berfirman:
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. al-Nisa’/4: 115)
Dari ayat di atas, Imam Syafi’i mengambil konklusi tentang validitas Ijma’ (konsensus ulama) serta terpeliharanya umat secara keseluruhan dari kesesatan. Hal ini mendukung sabda Rasulullah yang lain:
Segolongan dari umatku akan senantiasa tampil di atas kebenaran.
Sehingga kapan saja umat Islam satu kata terhadap sebuah urusan, otomatis golongan yang hak tersebut akan masuk di dalamnya. Hal ini juga didukung oleh hadits:
Umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan.
Ibn Abdilbarr, dalam Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih, menulis:
Menurut hemat saya, tidak boleh menyelisihi konsensus para Sahabat. Sebab, tidak mungkin mereka semuanya tidak tahu takwil (tafsir Al-Qur’an, pent.). Sedangkan firman Allah: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia . . . .” (QS. al-Baqarah/2: 143), mengindikasikan bahwa ketika para Sahabat itu bersepakat, maka kesepakatan tersebut menjadi hujjah bagi orang lain. Sebagaimana para rasul merupakan hujjah bagi seluruh manusia.
Allah Ta’ala telah mengakui integritas komunitas Sahabat, dan menerima persaksian mereka terhadap umat-umat para nabi. Ini artinya, komunitas tersebut senantiasa berada di atas kebenaran mutlak.
Agar persatuan umat Islam menjadi kenyataan yang sejalan dengan perintah syariat, maka terdapat beberapa pokok pemersatu yang harus dijadikan acuan. Pokok-pokok tersebut akan menyamakan persepsi. Pokok acuan itu ada tiga:
Pertama, unifikasi sumber pengambilan agama, yang mana telah disepakati ialah:
1. Kitabullah
Dalam menjelaskan kedudukan Al-Qur’an, Allah menyebutnya sebagai mubin (jelas, gamblang) dan hakim (mengandung hikmah). Sebab, Al-Qur’an menjelaskan tentang persoalan-persoalan yang rumit dan samar. Al-Qur’an adalah “kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu” (QS. Hud/11: 1). Dengan kata lain, Al-Qur’an bebas dari kerancuan dan kesamaran.
Al-Qur’an sejatinya adalah tali penghubung kepada Allah, yang mana kita diperintah untuk berpegang kepadanya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, terkait perintah yang terkandung dalam firman Allah:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. (QS. Ali Imran/3: 103)
Katanya: “Yaitu: Al-Qur’an.”
Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berujar tentang Al-Qur’an, “Tali Allah yang kuat, peringatan yang kokoh, dan jalan yang lurus. (Kitab yang dengannya) hawa nafsu tidak menyimpang dan ucapan tidak samar. (Kitab yang) tidak habis dikaji oleh para ulama.”
Dengan segala kiteria tersebut, Al-Qur’an merupakan sumber dari segala acuan yang akan menyatukan umat Islam.
2. Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Qur’an menegaskan bahwa jaminan petunjuk terikat dengan ketaatan kepada Rasulullah. Firman Allah, artinya:
Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. (QS. al-Nur/24: 45)
Allah juga memerintahkan agar manusia ikut kepada perintah dan larangan Nabi-Nya:
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. al-Nur/24: 63)
Hal ini menegaskan kedudukan Sunnah Rasulullah yang sangat besar, dan bahwa petunjuk serta kemenangan terdapat dalam sikap mengikutinya. Sebaliknya, fitnah dan azab akan terjadi bila Sunnah tersebut dilanggar. Singkatnya, komitmen kepada Sunnah merupakan salah satu faktor utama yang akan mendukung kebersamaan dan persatuan umat.
3. Ijma’ Salaful Ummah (para Sahabat dan tabi’in).
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah ridha kepada mereka dan kepada orang-orang yang mengikuti mereka.
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah . . . . (QS. al-Tawbah/9: 100)
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam juga menegaskan bahwa merekalah firqah najiyah yang sesungguhnya, dan bahwa mereka adalah penjaga bagi umat, sebagaimana dipaparkan di muka.
Kedua, unifikasi kaidah-kaidah argumentasi, termasuk metodologi penyimpulan hukum-hukum dari sumber-sumber yang telah disebutkan sebelumnya. Aspek ini merupakan bidang kajian ushul fiqh. Dengan demikian, penguasaan terhadap kaidah-kaidah usul fiqh merupakan faktor penting dalam rangka menyatukan persepsi serta kesimpulan hukum.
Ketiga, kesucian jiwa para pengguna kaidah-kaidah di atas, lengkap dengan wawasan yang komprehensif. Dengan pokok ini, persatuan dan kebersamaan menjadi prioritas mereka. Pokok ini menjadi subjek dalam kajian ilmu akhlaq, ilmu khilaf dan jadal (debat).
Dari uraian ini, tampak bahwa persatuan umat Islam sesungguhnya bukanlah utopia, sebagaimana dia tak mungkin direalisasikan hanya dengan angan-angan kosong. Persatuan tersebut akan nyata lewat fondasi ilmiah dan imaniah sekaligus, yang diterima dan diamalkan umat Islam.***