Salaf dan Manhaj

1. Pengertian Al-Salaf Al-Solih

Siapa yang tidak pernah mendengar kata salaf hari ini? Tidak ada, oleh karena masyhurnya dan sangat seringnya ia disebutkan baik itu melalui mimbar-mimbar masjid, pengajian-pengajian, media sosial dan sarana lainnya. Bahkan dewasa ini bermanhaj salaf telah menjadi tolok ukur kebenaran beragama seseorang, sehingga siapa yang mengaku dirinya bermanhaj salaf maka dia berada di atas kebenaran, dan siapa yang tidak demikian maka dia tak dianggap berada di jalan yang benar. Benarkah demikian? Siapakah sebenarnya salaf?

Apabila ditinjau dari sisi bahasa, kata Salaf diambil dari kosa kata bahasa Arab yaitu salafa. Ibnu Faris rahimahullah berkata, “Huruf Sin, Lam, dan Fa adalah kosa kata dasar yang menunjukkan makna taqaddum wa sabaq, atau bermakna terdahulu dan telah lewat. Di antaranyakata Al-Salaf yang bermakna orang-orang yang telah lampau, dan Al-Qaum Al-Sullaaf bermakna kaum yang telah lampau dan terdahulu.”[1]

Menurut syara’, istilah salaf biasa disandingkan dengan kosa kata lainnya yaitu Al-Solih. Al-Salaf Al-Solih maknanya menurut mayoritas pendapat ulama adalah orang-orang yang hidup dalam tiga kurun yang paling utama di dalam dinul Islam berdasarkan firman Allah ta’ala dalam Q.S. Al-Taubah: 100:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ.

Terjemahnya:

Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan merekapun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.

Syaikh Al-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa Al-Sabiqun Al-Awwalun adalah para pendahulu umat ini yang telah mendahului mereka dan bersegera untuk beriman, berhijrah, berjihad dan menegakkan agama Allah, baik dari kalangan Muhajirin yang dengan suka rela meninggalkan negeri dan harta mereka di kota Makkah untuk memperoleh keridaan Allah ta’ala, atau kalangan Ansar yang dengan penuh keridaan dan keimanan menerima Rasulullah serta orang-orang Muhajirin, melindunginya dan mendahulukannya walaupun mereka juga butuh. Demikian pula dengan orang-orang yang mengikuti mereka (Muhajirin dan Ansar) dengan cara yang baik dalam itikad, perkataan, dan perbuatan, mereka semua adalah orang-orang yang selamat dari segala bentuk celaan, dan berhak untuk mendapatkan pujian yang termulia serta kedudukan yang tertinggi dari Allah subhanahu wa ta’ala.[2]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan telah memuji para sahabat radiyallahu ‘anhum di dalam banyak hadis beliau, di antaranya adalah sabda beliau:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ.

Artinya:

Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya.[3]

Hadis ini menjelaskan bahwa manusia terbaik dari umat Islam adalah orang-orang yang hidup pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beriman kepada beliau. Demikian halnya dengan orang-orang yang mengikuti para sahabat dari kalangan Tabi’in dan Atbaa Tabi’in sebagaimana dijelaskan dalam ayat sebelumnya, sehingga tiga kurun ini dikenal sebagai kurun terbaik dan yang paling utama dari umat Islam.

Adapun lawan kata salaf adalah khalaf yang bermakna belakang atau yang di belakang. Berkata Ibnu Faris, “Huruf Kha, Lam, dan Fa adalah kosa kata dasar yang menunjukkan tiga hal, salah satunya adalah datangnya sesuatu menggantikan hal lainnya yang telah lewat atau berlalu.[4] Sehingga makna khalaf adalah orang-orang yang datang dan menggantikan para salaf atau pendahulu mereka. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Q.S. Maryam: 59:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

Terjemahnya:

Kemudian datanglah setelah mereka pengganti yang mengabaikan salat dan mengikuti keinginannya, maka mereka kelak akan tersesat.

2. Pengertian Manhaj

Manhaj bersumber dari kata kerja nahaja, berkata Ibnu Faris, “Huruf Nun, Ha, dan Jim adalah kosa kata yang memiliki dua dasar, salah satunya Al-Nahju bermakna jalan, demikian pula kata Al-Minhaaj bermakna jalan.[5] Allah ta’ala berfirman tentang lafaz Al-Minhaj dalam Q.S. Al-Maidah: 48:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Terjemahnya:

Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah berkehendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dalam tafsirnya:

أَمَّا الْمِنْهَاجُ: فَهُوَ الطَّرِيقُ الْوَاضِحُ السَّهْلُ.

Artinya:

Adapun Al-Minhaj maka maknanya adalah jalan yang jelas dan mudah.[6]

Manhaj agama Islam bersumber dari dalil-dalil Syar’i berdasarkan pemahaman Al-Salaf Al-Solih yang diwariskan kepada umat ini. Manhaj tersebut berupa kaidah-kaidah umum yang diturunkan dari dalil-dalil yang ada yang diamalkan oleh para ulama salaf. Seperti manhaj mereka dalam pengambilan dalil dan berhujjah dengannya, manhaj dalam persoalan ushul dan masailnya, manhaj dalam dakwah dan jamaah, dan lain sebagainya.

3. Keutamaan Al-Salaf Al-Solih

A. Pujian Allah dan Rasul-Nya kepada Al-Salaf Al-Solih

Allah ‘azza wa jalla telah memuji para pendahulu umat ini dan meridai mereka menjadi pewaris syurga-Nya. Allah berfirman Q.S. Al-Taubah: 100:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ.

Terjemahnya:

Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan merekapun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.

Di dalam ayat lainnya, Allah menyebut mereka sebagai sebaik-baik umat yang dikeluarkan kepada umat manusia dalam firman-Nya Q.S. Ali-Imran:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ.

Terjemahnya:

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kamu menyuruh berbuat yang maruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik untuk mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan dalam tafsirnya bahwa Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu menafsirkan makna umat terbaik dalam ayat ini adalah orang-orang yang berhijrah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari kota Makkah ke kota Madinah, tetapi makna yang sahih menurutnya bahwa ayat ini menjelaskan keutamaan umat Islam secara umum di setiap kurun dan masa mereka, namun yang terbaik dari seluruh kurun tersebut adalah orang yang di tengah-tengah mereka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus sebagai Nabi dan Rasul Allah, kemudian kurun yang setelahnya, lalu kurun yang setelahnya.[7]

Hal ini berdasarkan pada pujian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka sebagai sebaik-baik manusia dalam hadis sebelumnya:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ.

Artinya:

Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya.[8]

Di dalam hadis lainnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

تَجِدُونَ النَّاسَ مَعَادِنَ، فَخِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ إِذَا فَقِهُوا، وَتَجِدُونَ مِنْ خَيْرِ النَّاسِ فِي هَذَا الْأَمْرِ، أَكْرَهُهُمْ لَهُ، قَبْلَ أَنْ يَقَعَ فِيهِ، وَتَجِدُونَ مِنْ شِرَارِ النَّاسِ ذَا الْوَجْهَيْنِ، الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ.

Artinya:

Kalian akan mendapatkan manusia bagaikan barang-barang tambang. Mereka yang pernah menjadi orang-orang yang terbaik pada masa jahiliyah akan menjadi orang-orang yang terbaik pula pada masa Islam jika mereka memahaminya (ajaran Islam). Selain itu kalian juga akan menjumpai orang-orang yang tergolong baik, tapi dulunya sebelum masuk Islam mereka adalah orang-orang yang sangat membenci Islam. Kalian juga akan menjumpai seburuk-buruknya manusia, yaitu orang-orang yang bermuka dua, yang apabila datang ke satu kelompok dengan satu sikap dan bila datang kepada kelompok lain dengan sikap yang lain pula.[9]

Hadis ini menjelaskan bahwa umat manusia memiliki asal nasab yang berbeda-beda (meskipun kesemuanya kembali kepada Nabi Adam ‘alaihissalam), ada yang asalnya baik dan mulia, adapula yang buruk sebagaimana barang tambang ada yang baik dan ada pula yang buruk. Maka sebaik-baik manusia adalah yang memiliki asal yang baik pada masa jahiliyah apabila dia mempelajari dinul Islam dan mengamalkannya dengan baik. Hadis ini sekali lagi meskipun bermakna umum, akan tetapi siapakah gerangan yang dapat menyamai pemahaman dan pengamalan terhadap dinul Islam dibandingkan tiga kurun pertama umat ini?

Hadis lainnya menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggelari para sahabat sebagai penjaga bagi umat Islam sepeninggal Rasulullah dari berbagai macam fitnah yang telah Allah takdirkan sebelumnya:

النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ، فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ، وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي، فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ، وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي، فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ.

Artinya:

Bintang-bintang merupakan penjaga langit, apabila bintang-bintang tersebut hilang maka terjadilah pada langit apa yang telah dijanjikan. Dan Aku (Rasulullah) adalah penjaga bagi sahabatku, jika aku telah tiada, maka akan terjadi pada sahabatku apa yang dijanjikan. Dan para sahabatku adalah penjaga umat ini, jika mereka telah tiada, maka akan terjadi pada umat ini apa yang dijanjikan.[10]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan yang indah dalam hadis ini untuk menjelaskan kedudukan seorang alim di tengah-tengah umat manusia. Ibarat bintang-bintang yang menghiasi langit, yang sejatinya ia adalah penjaga bagi langit tersebut. Jika bintang-bintang telah tiada maka itu adalah pertanda tibanya janji Allah pada hari kiamat sebagaimana firman-Nya Q.S. Al-Infitar: 1-2:

إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ. وَإِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْ.

Terjemahnya:

Apabila langit terbelah, dan bintang-bintang jatuh berserakan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai alim termulia sepanjang sejarah kehidupan manusia ibarat bintang tersebut yang menjaga para sahabatnya dari segala bentuk kesyirikan dan kezaliman, fitnah dan kemurtadan. Setelah beliau wafat maka terjadilah apa yang dijanjikan Allah kepada para sahabat berupa fitnah dan kemurtadan kabilah-kabilah Arab. Begitupula halnya para sahabat radiyallahu ‘anhum yang membawa risalah Islam yang murni dari alim umat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka adalah penjaga para generasi selanjutnya dengan ilmu yang mereka ajarkan. Jika mereka telah tiada maka terjadilah apa yang dijanjikan Allah atas umat ini berupa fitnah, bid’ah, musibah, perpecahan umat, dan tanda-tanda kiamat lainnya.

   B. Larangan Mencela Sahabat

   Perbuatan mencela adalah sesuatu yang diharamkan dalam syariat Islam, Allah berfirman dalam Q.S. Al-Hujurat: 11:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ.

Terjemahnya:

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang diolok-olokkan lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olokkan perempuan lain, karena boleh jadi perempuan yang diolok-olokkan lebih baik dari perempuan yang mengolok-olok. Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Tatkala bertemu dengan keutamaan al-salaf al-solih maka pengharaman mencela semakin besar di sisi Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perbuatan mencela para sahabat beliau sebagaimana sabdanya:

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ، ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلاَ نَصِيفَهُ.

Artinya:

Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebanyak gunung uhud, tidak akan ada yang menyamai satu genggam infak seorangpun dari mereka, tidak juga setengahnya.[11]

Hadis ini bukan hanya berisi larangan dari mencela sahabat semata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan menekankan larangan tersebut dengan memberikan permisalan yang sangat jelas tentang besarnya keutamaan para sahabat, dimana infak emas sebanyak gunung uhud tidak akan dapat menyamai satu genggam infak seorangpun dari sahabat bahkan tidak juga setengahnya.

Oleh karena itu, simaklah bagaimana ‘Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu menggambarkan besarnya keutamaan para sahabat dengan perkataan beliau:

إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ، فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ، فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ، فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ، يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا، فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ.

Artinya:

Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba, lalu Dia mendapati hati Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai sebaik-baik hati para hamba maka Allah memilihnya untuk-Nya dan mengutusnya dengan risalah (Islam). Kemudian Dia melihat pada hati para hamba setelah hati Muhammad, maka Dia mendapati hati para sahabat sebagai sebaik-baik hati para hamba, lalu menjadikan mereka sebagai pembantu Nabi-Nya, mereka berperang membela agamanya. Maka apa yang dilihat oleh kaum muslimin sebagai satu kebaikan, maka di sisi Allah adalah kebaikan juga dan apa yang mereka pandang buruk, maka di sisi Allah juga buruk.[12]

C. Kewajiban Mengikuti Manhaj Al-Salaf Al-Solih

Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa Allah ta’ala telah menurunkan syariat dan manhaj bagi setiap umat manusia, maka demikian halnya dengan para Al-Salaf Al-Solih. Mereka memiliki manhaj yang jelas dan metode yang lurus dalam memahami dan menjalankan syariat Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan kaum muslimin untuk mengikuti dan berpegang teguh dengan manhaj mereka guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.

Di antara nas-nas yang menunjukkan kewajiban untuk mengikuti manhaj Al-Salaf Al-Solih adalah sebagai berikut:

Pertama, dalil dari Al-Quran yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala Q.S. Al-Taubah: 100:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ.

Terjemahnya:

Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan merekapun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.

Ayat ini dengan jelas menunjukkan keridaan Allah ta’ala kepada orang-orang Muhajirin dan Ansar sebagaimana dijelaskan sebelumnya, namun tidak hanya kepada mereka saja. Allah pun rida kepada orang-orang yang mengikuti jalan mereka dengan baik, sehingga seseorang yang hendak mendapatkan keridaan Allah di dunia dan akhirat maka sudah sepantasnya baginya untuk mengikuti jalannya kaum Muhajirin dan Ansar yang terlebih dahulu telah menggapai keridaan-Nya.

Di dalam ayat yang lainnya, Allah ‘azza wa jalla berfirman Q.S. Al-Nisa: 115:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.

Terjemahnya:

Dan barangsiapa menentang Rasulullah setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.

Imam Al-Bagawy rahimahullah menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kisah Tu’mah bin Ubairiq yang ketahuan melakukan tindakan pencurian. Setelahnya dia merasa takut dari hukuman had pencurian dan rasa malu yang harus ditanggungnya, maka dia melarikan diri ke kota Makkah dan murtad di sana. Allah kemudian menurunkan ayat ini menjelaskan bahwa barang siapa menentang Rasulullah dengan menyelisihinya setelah jelas kebenaran tauhid dan hukum-hukum hudud baginya, serta dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin dari kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, niscaya Allah biarkan dia dalam kesesatan itu dan kelak akan dimasukkan ke dalam Neraka Jahannam.[13]

Olehnya, ayat ini berisi ancaman dengan siksaan Neraka Jahannam bagi siapa yang menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengikuti selain jalan Al-Salaf Al-Solih serta jalan kaum mukminin secara umum yang telah mereka sepakati/ijmak di dalamnya. Sebaliknya, dalam ayat sebelumnya Allah berjanji dengan syurga dan keridaan-Nya bagi siapa yang menikuti jalan mereka.

Kedua, di antara dalil yang menunjukkan kewajiban mengikuti manhaj Al-Salaf Al-Solih adalah hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ المِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ: ثِنْتَانٍ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِيْ الجَنَّةِ، وَهِيَ الجَمَاعَةُ.

Artinya:

Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari Ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya umat agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Syurga, yaitu Al-Jama’ah.[14]

Di dalam riwayat lainnya disebutkan:

وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.

Artinya:

Dan umatku (umat Rasulullah) akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk ke dalam Neraka kecuali satu golongan, para sahabat bertanya, “siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh kepadanya.”[15]

Hadis ini menunjukkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semua akan masuk ke dalam Neraka kecuali satu golongan yang selamat, yaitu mereka yang mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Dengan kata lain, jalan selamat dalam agama ini hanya satu yaitu mengikuti Al-Quran dan Hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menurut pemahaman Al-Salaf Al-Solih.

Hadis lainnya yaitu apa yang diriwayatkan oleh ‘Irbad bin Sariyah radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْداً حَبَشِيَّاً، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرى اِخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثاَتِ الأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

Artinya:

Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, senantiasa taat dan mendengar meskipun yang memerintah adalah seorang budak habsyi yang hitam. Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku, sunah para khalifah rasyidin yang mendapatkan petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.[16]

Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini berisi pengabaran tentang apa yang akan terjadi setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa perselisihan dalam urusan dasar agama dan cabang-cabangnya; baik tentang perkataan, perbuatan dan iktiqad. Hal ini sejalan dengan hadis lainnya yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa umat Islam akan terpecah belah ke dalam tujuh puluh tiga golongan, semuanya berada di dalam Neraka kecuali satu yaitu golongan yang mengikuti apa yang dipegangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Hadis ini pula mengandung perintah dalam keadaan terjadinya perselisihan dan terpecah belahnya umat Islam maka hendaknya seseorang senantiasa berpegang teguh dengan sunah Rasulullah dan sunah para khulafa rasyidun setelahnya, yaitu Abu Bakr Al-Siddiq, ‘Umar bin Al-Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Talib.[17]

Oleh karenanya para ulama salaf memerintahkan umat Islam untuk senantiasa berpegang teguh dengan manhaj Al-Salaf Al-Solih, di antaranya perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu:

مَنْ كَانَ مُسْتَنًّا، فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ، فَإِنَّ الحَيَّ لاَ تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الفِتْنَةُ، أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانُوْا أَفْضَلَ هَذِهِ الأُمَّةِ: أَبَرَّهَا قُلُوْبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، اِخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ، وَلِإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ، وَاتَّبِعُوْهُمْ عَلَى أَثَرِهِمْ، وَتَمَسَّكُوْا بِمَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ أَخْلاَقِهِمْ وَسِيَرِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الهُدَى المُسْتَقِيْمِ.

Artinya:

Barang siapa di antara kalian ingin mencontoh, maka mencontohlah kepada orang yang telah wafat, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena orang yang masih hidup tidak akan aman dari fitnah. Mereka adalah yang terbaik dari umat ini, paling suci hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling baik kehidupannya. Mereka adalah kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka, ikutilah manhaj mereka, dan berpegang teguhlah dengan akhlak serta sirah mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan lurus.[18]

Imam Al-Auza’i rahimahullah pernah mengatakan:

اصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ وَقُلْ بِمَا قَالُوا، وَكُفَّ عَمَّا كَفُّوا عَنْهُ وَاسْلُكْ سَبِيلَ سَلَفِكَ الصَّالِحِ فَإِنَّهُ يَسَعُكُ مَا وَسِعَهُمْ.

Artinya:

Sabarkan dirimu di atas sunah, dan berhentilah engkau dimana kaum itu berhenti (yaitu para sahabat Nabi), dan katakanlah dengan apa yang mereka katakan, dan tahanlah dirimu dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan tempulah jalan Al-Salaf Al-Solih karena sesungguhnya apa yang dapat engkau lakukan, juga dapat mereka lakukan.[19]

4. Karakteristik Manhaj Al-Salaf Al-Solih

Manhaj Al-Salaf Al-Solih memiliki karakteristik khas yang membedakan antara manhaj mereka dengan manhaj selainnya dalam memahami, mengamalkan dan menerapkan dinul Islam. Di antara karakteristik tersebut:

1. Al-Ashaalah, atau kemurnian manhaj Al-Salaf Al-Solih yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih. Kemurnian manhaj salaf mencakup akidah, amalan dan akhlak mereka yang senantiasa berada di dalam koridor dan batasan-batasan Al-Quran serta apa yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman Q.S. Muhammad: 2:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَآمَنُوا بِمَا نُزِّلَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَهُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا اتَّبَعُوا الْبَاطِلَ وَأَنَّ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّبَعُوا الْحَقَّ مِنْ رَبِّهِمْ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ لِلنَّاسِ أَمْثَالَهُمْ.

Terjemahnya:

Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengerjakan kebajikan serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad, dan itulah kebenaran dari Tuhan mereka; Allah menghapus kesalahan-kesalahan mereka, dan memperbaiki keadaan mereka. Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang batil dan sesungguhnya orang-orang mukmin mengikuti yang hak dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka.

Maka manhaj Al-Salaf Al-Solih (khususnya para sahabat Nabi) bersumber dari apa yang Allah turunkan kepada Rasulullah, dan bukan bersumber dari agama nenek moyang mereka sebagaimana keadaan orang-orang musyrik seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah: 104:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ.

Terjemahnya:

Dan apabila dikatakan kepada mereka, mari mengikuti apa yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya. Mereka menjawab, “cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya”. Apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapatkan petunjuk?

Manhaj Al-Salaf juga bukanlah campuran antara manhaj Islam dan manhaj lainnya dari agama Yahudi dan Nasrani, sebagaimana Allah jelaskan dalam Q.S. Al-Maidah: 13:

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ.

Terjemahnya:

Maka karena mereka melanggar janjinya, sehingga Kami (Allah) melaknat mereka dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman Allah dari tempatnya, dan mereka sengaja melupakan sebahagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka.

2. Al-Samaahah, Agama Islam adalah agama yang mudah dan penuh toleransi, namun tentu saja tetap dalam batasan-batasan yang dibenarkan oleh agama Islam sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah ta’ala, maka beliau menjawab: Al-Hanifiyyah Al-Samhah, atau agama yang lurus dan mudah.[20]

Diriwayatkan pula dari ‘Utsman bin Madz’un radiyallahu ‘anhu bahwa beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

يَا رَسُولَ اللهِ، ائْذَنْ لِي فِي الِاخْتِصَاءِ، فَقَالَ لَهُ: يَا عُثْمَانُ، إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَنَا بِالرَّهْبَانِيَّةِ الْحَنَفِيَّةَ السَّمْحَةَ، وَالتَّكْبِيرَ عَلَى كُلِّ شَرَفٍ، فَإِنْ كُنْتَ مِنَّا فَاصْنَعْ كَمَا نَصْنَعُ.

Artinya:

Wahai Rasulullah, izinkan saya untuk melakukan pengebirian, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Wahai ‘Utsman, sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kita manhaj rahbaniyah (biarawan) dengan agama yang lurus dan mudah, serta bertakbir setiap kali melewati tanjakan, apabila engkau adalah bagian dari kami maka lakukanlah sebagaimana kami melakukannya.[21]

Maka manhaj Al-Salaf Al-Solih adalah manhaj yang lurus dalam akidahnya, mudah dalam ibadahnya, dan penuh toleransi dalam muamalahnya.

3. Al-Syumuliyyah, atau menyeluruh. Manhaj Al-Salaf Al-Solih adalah manhaj yang mencakup seluruh lini kehidupan seorang manusia. Allah subhanahu wa ta’ala telah menurunkan firman-Nya yang menjelaskan tentang manhaj mereka yang syamil/menyeluruh dan banyaknya keutamaan mereka. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Fath: 29:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا.

Terjemahnya:

Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka yang diungkapkan dalam Taurat dan sifat-sifat mereka yang diungkapkan dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya, tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.        

5. Penisbatan Kepada Al-Salaf Al-Solih

Sebelumnya telah kita jelaskan mengenai kewajiban untuk mengikuti manhaj Al-Salaf Al-Solih. Hal ini memunculkan fenomena yang meresahkan di tengah-tengah kaum muslimin karena senantiasa diperdebatkan, yaitu penisbatan diri kepada manhaj Al-Salaf Al-Solih, dimana seseorang mengaku dan menisbatkan dirinya kepada manhaj Salaf. Seseorang yang menisbatkan dirinya kepada manhaj salaf kemudian dikatakan sebagai Salafi.

Pertanyaan yang sering diketengahkan adalah apakah menisbatkan diri kepada Al-Salaf Al-Solih adalah sesuatu yang dibenarkan dan diperintahkan dalam syariat Islam?

Apabila kita memahami dalil-dalil yang sebagiannya telah disebutkan di atas berkenaan manhaj Al-Salaf Al-Solih, akan kita dapati bahwa dalil-dalil tersebut hanya menunjukkan kewajiban untuk mengikuti manhaj mereka. Adapun menisbatkan diri kepada manhaj salaf maka hendaknya memperhatikan beberapa poin di bawah ini:

Pertama, hendaknya seseorang lebih mengedepankan substansi masalah ini dan bukan sekedar bertujuan menjual nama salaf semata kepada kaum muslimin. Karena apabila tidak berhati-hati maka hal ini dapat menyebabkan mudarat yang besar, di antaranya seseorang dapat dengan mudah mengklaim seseorang berada di atas kebenaran atau tidak, hanya karena sedikit perbedaan dalam masalah khilafiyah misalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.

Artinya:

Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada postur dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amalan kalian.[22]

Oleh karena itu, apabila seseorang mengikuti manhaj salaf dalam urusan akidah, ibadah dan akhlak maka hal ini telah cukup, dan tak perlu dia menisbatkan dirinya dan mengatakan bahwa dia adalah seorang salafi, karena substansi masalah ini jauh lebih penting dibanding sekedar penisbatan nama semata. Sebaliknya, apabila seseorang tidak mengikuti manhaj salaf lantas menisbatkan dirinya kepada manhaj salaf, maka hal ini tidaklah dibenarkan.

Kedua, Penisbatan diri terhadap manhaj salaf hakikatnya bertujuan untuk membedakan antara mereka yang senantiasa berpegang teguh dengan manhaj salaf, dan mereka yang menyelisihi manhaj salaf. Sehingga seseorang yang berada di tengah-tengah kaum muslimin yang mayoritasnya berusaha menerapkan Al-Quran dan Sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka penisbatan diri terhadap manhaj salaf menjadi hilang hakikatnya. Olehnya, dalam keadaan seperti di atas, hendaknya seseorang mencukupkan dirinya dengan menggunakan identitas Islam, sebagaimana nama yang telah Allah berikan di dalam Q.S. Al-Hajj: 78:

هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ.

Terjemahnya:

Dia Allah telah menamakan kamu muslimin (orang-orang muslim) sejak dahulu, dan begitu pula di dalam Al-Quran ini agar sang Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat, dan berpegang teguhlah kepada Allah. Dialah pelindungmu, Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.

Ketiga, Penisbatan diri terhadap manhaj salaf bukanlah sebuah kewajiban ataupun rukun agama Islam. Karena apa yang Allah wajibkan adalah mengikuti manhaj salaf, dan bukan sekadar menisbatkan diri semata. Sehingga apabila dikhawatirkan dakwah Islam tercoreng di zaman fitnah dan perselisihan hari ini disebabkan ketidaktahuan sebagian kaum muslimin (yang mengaku-ngaku sebagai pengikut salaf) tentang hakikat manhaj salaf maka sebaiknya seseorang tidak menggunakan penisbatan diri ini kepada manhaj salaf.

Apabila poin-poin di atas telah kita pahami, maka mari menyimak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah tentang persoalan penisbatan diri terhadap manhaj salaf:

لَا عَيْبَ عَلَى مَنْ أَظْهَرَ مَذْهَبَ السَّلَفِ وَانْتَسَبَ إلَيْهِ وَاعْتَزَى إلَيْهِ بَلْ يَجِبُ قَبُولُ ذَلِكَ مِنْهُ بِالِاتِّفَاقِ. فَإِنَّ مَذْهَبَ السَّلَفِ لَا يَكُونُ إلَّا حَقًّا. فَإِنْ كَانَ مُوَافِقًا لَهُ بَاطِنًا وَظَاهِرًا: فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُؤْمِنِ الَّذِي هُوَ عَلَى الْحَقِّ بَاطِنًا وَظَاهِرًا. وَإِنْ كَانَ مُوَافِقًا لَهُ فِي الظَّاهِرِ فَقَطْ دُونَ الْبَاطِنِ: فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُنَافِقِ. فَتُقْبَلُ مِنْهُ عَلَانِيَتُهُ وَتُوكَلُ سَرِيرَتُهُ إلَى اللَّهِ. فَإِنَّا لَمْ نُؤْمَرْ أَنْ نُنَقِّبَ عَنْ قُلُوبِ النَّاسِ وَلَا نَشُقَّ بُطُونَهُمْ.

Artinya:

Tak ada aib bagi orang yang menampakkan mazhab salaf dan menisbatkan dirinya kepada manhaj salaf serta merasa mulia dengannya, bahkan wajib untuk menerimanya menurut ijmak ulama. Karena sesungguhnya mazhab salaf berada di atas kebenaran. Maka siapa yang mengikuti mazhab salaf secara batin dan zahir maka dia berada dalam manzilah seorang mukmin yang berada di atas kebenaran secara batin dan zahir. Akan tetapi siapa yang mengikuti secara zahir tanpa batinnya maka dia dianggap sebagai orang munafik. Sehingga diterima darinya secara zahir dan kita mengembalikan perkara batinnya kepada Allah, karena kita tidak diperintahkan untuk melubangi hati umat manusia dan tidak pula membelah dada mereka.[23]

Syaikh Al-‘Utsaimin menjelaskan tentang persoalan Al-Salafiyyah ini dengan apa yang terjadi pada hari ini berupa fitnah penisbatan diri kepada manhaj salaf namun jauh panggang dari api, karena justru menyelisihi manhaj ulama salaf sendiri. Beliau rahimahullah menjelaskan[24]:

Al-Salafiyyah adalah mengikuti manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, karena mereka adalah salaf kita dan telah mendahului kita, maka mengikuti mereka adalah makna dari Al-Salafiyyah. Adapun menjadikan Al-Salafiyyah sebagai manhaj khusus untuk orang tertentu dan menyesatkan orang lain dari kaum muslimin yang menyelisihinya meskipun mereka berada di atas kebenaran, dan menjadikan Al-Salafiyyah sebagai manhaj hizby atau golongan tertentu, maka tidak ada keraguan sedikitpun bahwa perbuatan ini menyelisihi Al-Salafiyyah itu sendiri. Padahal ulama salaf senantiasa mengajak manusia untuk bersatu dan bersama dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka tidak menyesatkan siapapun yang menyelisihi mereka disebabkan ta’wil, kecuali apabila penyelisihan itu pada persoalan akidah maka ulama salaf akan menyesatkan siapa yang menyelisihi akidah, adapun dalam persoalan ilmiyyah maka mereka senantiasa meringankan persoalan tersebut.

Namun sangat disayangkan karena sebagian orang yang menisbatkan dirinya sebagai pengikut Al-Salafiyyah pada hari ini justru menyesatkan siapapun yang menyelisihinya padahal kebenaran bersama dengannya. Adapula yang menjadikan Al-Salafiyyah sebagai manhaj hizby sebagaimana kelompok-kelompok lainnya yang menisbatkan diri kepada agama Islam, dan hal ini adalah perkara yang harus diingkari dan tidak mungkin untuk disepakati. Lihatlah kepada mazhab Al-Salaf Al-Salih, apa yang dahulu mereka lakukan dalam persoalan ini? lihatlah cara mereka bermuamalah dan kelapangan jiwa mereka terhadap persoalan khilafiyyah yang masih terbuka pintu ijtihad di dalamnya, bahkan mereka juga berselisih dalam persoalan-persoalan besar dari agama ini, atau persoalan-persoalan akidah, atau persoalan-persoalan ilmiyyah, kamu akan mendapati contohnya bahwa sebagian sahabat mengingkari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Allah subhanahu wa ta’ala (dalam keadaan sadar), dan sebagian sahabat lainnya tidak mengingkari hal tersebut. Kamu juga akan mendapati sebagian sahabat berpendapat bahwa yang ditimbang dari seorang hamba di mizan pada hari kiamat adalah amalan-amalannya, sedangkan sahabat lainnya berpendapat bahwa yang ditimbang adalah lembaran-lembaran catatan dari amalan seorang hamba. Kamu juga mendapati para sahabat banyak berbeda pendapat dalam persoalan fikih; seperti nikah, warisan, jual beli dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak seorangpun sahabat Rasulullah yang menyesatkan sahabat lainnya, sehingga apabila Al-Salafiyyah dijadikan sebagai kelompok hizby yang memiliki kekhususan-kekhususan tersendiri, dan menyesatkan siapapun yang bukan bagian dari kelompok itu, maka ia bukanlah bagian dari Al-Salafiyyah. Karena Al-Salafiyyah adalah ittiba’ kepada manhaj salaf baik secara akidah, ucapan, amalan, keserasian, perselisihan, persatuan, saling mengasihi, dan saling mencintai sesama mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.

Artinya:

Permisalan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh, apabila ada satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas.[25]

6. Beberapa Persoalan Mengenai Manhaj Salaf

Kejahilan terhadap manhaj salaf dan penisbatan diri kepadanya sebagai Al-Salafiyyah, telah melahirkan fitnah yang begitu besar di antara kaum muslimin pada hari ini. Oleh karena itu, berikut ini akan dijelaskan beberapa persoalan mengenainya:

Pertama, tidak ada seorang, atau jamaah, atau kelompok pun yang dapat mengambil peran mewakili Al-Salafiyyah, dimana apabila ada orang yang menyelisihi pandangannya dan pendapatnya maka berarti orang tersebut telah menyelisihi manhaj salaf, dan apabila dia menyepakati pandangannya dan pendapatnya maka berarti orang tersebut telah bermanhaj salaf. Hal itu disebabkan karena Al-Salafiyyah adalah manhaj yang menjadi tolok ukur, dan ia bukanlah personal, jamaah atau kelompok yang menghukumi ke-salafiyahan orang lain. Tentu di sana ada orang-orang atau jamaah yang menisbatkan dirinya kepada manhaj salaf, dan berusaha untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun sikap yang keliru adalah apabila seseorang mengakui bahwa hanya dirinya seorang atau kelompoknya saja yang bermanhaj salaf, dan selainnya tidak bermanhaj salaf apabila bukan bagian dari kelompoknya.

Kedua, sekadar menisbatkan diri kepada Al-Salafiyyah tidaklah cukup menjadikannya sebagai salafi yang bermanhaj salaf. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang tidak menisbatkan dirinya kepada Al-Salafiyyah tidak berarti dia bukanlah seorang salafi yang bermanhaj salaf. Karena Al-Salafiyyah bukanlah sebuah kelompok yang terbatas pada orang-orang yang berafiliasi kepada kelompok itu saja, tetapi ia adalah manhaj yang didasarkan atas pengetahuan dan pengamalan manhaj para sahabat dan ulama salaf.

Ketiga, apabila seseorang yang menisbatkan dirinya kepada Al-Salafiyyah terjatuh ke dalam perbuatan dosa dan maksiyat maka kesalahan itu tidak boleh disandarkan kepada Al-Salafiyyah, tetapi ia disandarkan kepada para pelakunya. Karena Al-Salafiyyah adalah sebuah manhaj, dan bukanlah kelompok yang dapat disandarkan kepadanya kesalahan tersebut. Sehingga apabila seorang salafi melakukan kekeliruan dan kesalahan maka kekeliruan itu bukan karena adanya kekurangan pada manhaj salaf, tetapi karena hawa nafsu pelakunya atau kurangnya pemahaman terhadap manhaj salaf.

Keempat, berpegang kepada manhaj salaf tidak berkonsekwensi harusnya bersepakat pada persoalan-persoalan khilafiyyah fikhiyyah atau persoalan siyasah yang dibangun di atas maslahat dan mafsadat (kerusakan) atau persoalan-persoalan ijtihadiyyah. Karena kesepakatan para ulama salaf pada dasar-dasar agama dan manhaj umum bukan berarti bahwa mereka juga bersepakat pada persoalan-persoalan furu’, bahkan mereka berselisih pendapat dalam banyak permasalahan fikhiyyah, atau persoalan-persoalan yang dibangun di atas maslahat dan mafsadat, namun perselisihan mereka itu tidak menyebabkan seseorang mencela dan menghina ulama lainnya selama mereka berpegang teguh dengan dasar-dasar agama dan manhaj salaf.

Kelima, seseorang yang terjatuh dalam kesalahan dan kemaksiyatan tidak mengeluarkan dia dari lingkaran Al-Salafiyyah selama dia tetap berpegang teguh dengan manhaj salaf dan dasar-dasar agama Islam, serta senantiasa bersungguh-sungguh dalam mengamalkannya. Kecuali apabila dia terjatuh dalam penyelisihan terhadap dasar agama Islam atau banyak melakukan kesalahan-kesalahan sehingga dia menyimpang dari manhaj salaf dan menjauhkannya dari sikap istikamah terhadap agama ini. Hendaknya dipahami pula bahwa penyimpangan seperti ini berkaitan dengan perbuatan orang tersebut dan bukan tentang pelakunya, karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa menghukumi seseorang atas apa yang dia lakukan memiliki kaidah dan norma yang wajib diperhatikan.

Keenam, Al-Salafiyyah sebagai sebuah manhaj memiliki arti bahwa orang-orang yang dinisbatkan kepadanya sangatlah banyak. Siapapun yang mengamalkan Al-Quran dan Sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan pemahaman Al-Salaf Al-Solih maka dia adalah seorang salafi, tanpa memandang asal negerinya, atau jamaah dakwah yang dia geluti. Karena Al-Salafiyyah adalah sifat asal dan sifat dasar dari seorang muslim yang mengamalkan agamanya, dan ia bukanlah pengecualian untuk orang-orang atau kelompok tertentu. Olehnya, seseorang yang berusaha memilah dan memilih, serta mengkotak-kotakkan kaum muslimin dengan sebutan mereka salafi dan mereka bukan salafi adalah perbuatan yang lahir dari kejahilan terhadap agama Islam dan manhaj para ulama salaf.


[1] Ahmad bi Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis Lughah, jilid 3, h. 95.

[2] ‘Abdul Rahman bin Nasir bin Abdullah Al-Sa’di, Taisir Al-Karim Al-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, h. 349.

[3] HR. Bukhari nomor 2652 dan Muslim nomor 2533.

[4] Ahmad bi Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis Lughah, jilid 2, h. 210.

[5] Ahmad bi Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis Lughah, jilid 5, h. 361.

[6] Ismail bin ‘Umar bin Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adzim, jilid 3, h. 129.

[7] Ismail bin ‘Umar bin Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adzim, jilid 2, h. 93-94.

[8] HR. Bukhari nomor 2652 dan Muslim nomor 2533.

[9] HR. Bukhari nomor 3493 dan Muslim nomor 2526.

[10] HR. Muslim nomor 2531.

[11] HR. Bukhari nomor 3673 dan Muslim nomor 2540.

[12] Ahmad bin Hanbal, Musnad, jilid 6, h. 84.

[13] Husain bin Mas’ud bin Muhammad, Ma’alim Al-Tanzil fi Tafsir Al-Quran, jilid 1 (Cet. I; Beirut: Dar Ihya Turats, 1420H), h. 701-702.

[14] Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq, Sunan Abu Dawud, jilid 7 (Cet. I; Suriah: Dar Al-Risalah Al-‘Alamiyah, 1430H/2009M), h. 6. Hadis ini disahihkan oleh Imam Timidzy, Al-Hakim dan disepakati oleh Al-Dzahabi, lihat kitab Al-Albani, Silsilah Al-Ahadis Al-Sahihah, jilid 1 (Cet. I; Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 1415H/1995M), h. 402.

[15] Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan Tirmidzy, jilid 5 (Cet. II; Mesir: Syarikah Maktabah Mustafa Albani, 1395H/1875M), h. 26. Hadis ini dihasankah oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadis Al-Sahihah, jilid 1, h. 407.

[16] Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq, Sunan Abu Dawud, jilid 7, h. 16. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadis Al-Sahihah, jilid 6, h. 526.

[17] Abdul Rahman bin Ahmad bin Rajab, Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam, jilid 2 (Cet. 7; Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1422H/2001M), h. 120.

[18] Mubarak bin Muhammad bin Muhammad, Jami’ Al-Usul, jilid 1 (Cet. I; Maktabah Al-Hulwany, 1389H/1969M), h. 292. Riwayat ini dilemahkan oleh Al-Albani dalam Misykat Al-Masabih, jilid 1, h. 67.

[19] Ahmad bin Abdullah bin Ahmad Al-Asbahany, Hilyatul Auliya, jilid 6 (Mesir: Al-Sa’adah, 1394H/1974M), h. 143.

[20] Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jilid 4, h. 16. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadis Al-Sahihah, jilid 2, h. 541.

[21] Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Al-Tabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, jilid 6, h. 62. Hadis ini dilemahkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’ Al-Zawaid, jilid 4, h. 252. Namun dapat dikuatkan oleh hadis yang sebelumnya.

[22] Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, jilid 4, h. 1987.

[23] Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, jilid 4 (Madinah: Mujamma’ Al-Malik Al-Fahd, 1416H/1995M), h. 149.

[24] Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Liqa Al-Bab Al-Maftuh, jilid 57, h. 15.

[25] Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, jilid 4, h. 1999.

Tinggalkan Komentar

By admin