Jalur Masuk Aqidah Asy’ari Ke Dalam Mazhab Syafi’i
Jadi jalur silsilah guru murid mazhab asy’ari. Mulai dari Abul Hasan Al-Asy’ari, lalu Abul Hasan Al-Bahili, lalu Abu Ishaq Al-Isfirayini (salah satu dari tiga tokoh besar mutakalim), lalu Abul Qasim Al-Isfirayini, lalu Abul Ma’ali Al-Juwaini lalu kemudian Al-Ghazali yang menyusun semua ilmu gurunya dalam mazhab Asy’ari secara rapi dan runut. Seperti dalam kitabnya Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad. Inilah jalur masuk dan menyebarnya faham asy’ari di kalangan para fuqaha mazhab syafi’i.
Sedangkan di kalangan muhadditsin mazhab syafi’i, faham asy’ari tersebar melalui Ibnu Furok. Al-Baihaqi banyak terpengaruh takwilan Ibnu Furok dalam kitabnya Musykil Al-Hadits wa Bayanuhu. Setelah Al-Baihaqi, semakin banyak kalangan muhadditsin dari mazhab syafi’i yang manhaj aqidahnya adalah asy’ari.
Sebelum aqidah asy’ari disebar oleh ketiga tokoh besar mutakalim Ibnu Furok (w. 406 H), Al-Baqillani (w. 402 H) dan Abu Ishaq Al-Isfirayini (w. 418), belum ada ulama syafi’iyyah yang menyebar faham asy’ari semasif mereka bertiga.
Guru mereka Abu Bakar Al-Qaffal Al-Syasyi yang merupakan murid langsung Abul Hasan Al-Asy’ari bisa dikatakan sebagai tokoh-tokoh awal Syafi’iyyah yang menyebar faham asy’ari di kalangan Syafi’iyyah. Bersama dengan murid-murid langsung Abul Hasan Al-Asy’ari yang bermazhab Syafi’i.
Namun penyebarannya secara massif dilakukan oleh mereka bertiga. Bukan hanya di Syafi’iyyah tapi juga ke mazhab Malikiyah. Ke kalangan Fuqaha dan Muhadditsin. Di timur dan di barat.
Ini menunjukkan bahwa Aqidah Asy’ari masuk ke syafiiyah bukan diajarkan oleh Imam Syafi’i, bahkan bukan juga oleh Ulama-ulama awal Syafi’iyyah (silakan baca di bagian akhir tulisan ini, “Keyakinan Para Ulama Awal Syafi’iyyah Sejalan dengan Mazhab Salaf”). Aqidah Asy’ari adalah sesuatu yang baru di kalangan Syafi’iyyah.
Setelah masa mereka, sedikit demi sedikit dari masa ke masa aqidah asy’ari semakin mendominasi mazhab syafi’i. Meskipun masih saja ada sisa ulama-ulama syafi’i yang pemahamannya sesuai dengan Imam Syafi’i yang berorientasi mazhab salaf. Diantaranya Imam Al-Dzahabi dan Ibnu Katsir.
Sampai Tajuddin As-Subki resah dengan kenyataan Al-Dzahabi dan Ibnu Katsir di antara deretan aimmah mazhab syafi’i yang bermazhab salaf. As-Subki mengatakan, “Ibnu Taimiyah merusak dua rijal kita dari syafi’iyyah, Ibnu Katsir dan Al-Dzahabi.”
Padahal sebelumya, di akhir abad keempat ulama syafi’iyyah yang resah dengan keberadaan asy’ariyyah. Dan di abad ke delapan, jutsru ulama asy’ariyah syafi’iyyah yang resah dengan keberadaan ulama syafi’i yang aqidahnya masih murni seperti mazhab salaf. Ini menunjukkan bahwa memasuki abad kelima faham asy’ariyah sudah mulai sedikit demi sedikit menjadi faham mayoritas ulama-ulama syafi’iyyah.
Diantara yang menyadari bahaya masuknya aqidah asy’ari ke dalam mazhab syafi’i adalah Abul Hasan Muhammad bin Abdul Malik Al-Karaji Al-Syafi’i (w. 532 H).
Abul Hasan Al-Karaji merupakan seorang Imam, Faqih, Mufti dan Muhaddits. Ibnu Taimiyah menyebutnya sebagai, “Syaikhul Haramain,” atau biasa disebut oleh beliau, “Al-Syaikh Al-Imam.”
Beliau menulis kitab, Al-Fushul fi Al-Ushul ‘An Aimmati Al-Fuhul Ilzaman li Dzawi Al-Bida’ Wa Al-Fudhul. Disini beliau menggambarkan keresahan para ulama syafi’iyyah atas fenomena infiltrasi aqidah asy’ari ke dalam mazhab syafi’i yang sedang berlangsung pada masa itu.
Abul Hasan Al Karaji di abad keenam menyusun kitabnya tersebut (Al-Fushul fi Al-Ushul Min Aimmat Al-Fuhul) karena melihat fenomena ini. Terutama setelah kemunculan Al-Juwaini (w. 478 H) dan Al-Ghazali (w. 505 H).
Abul Hasan Al-Karaji mengatakan, “Sesungguhnya Imam-imam Syafi’iyyah mereka tidak suka dinisbahkan kepada Asy’ari. Dan mereka berlepas diri dari mazhab yang dibangun oleh Al-Asy’ari. Mereka melarang murid-muridnya bermajlis kepada orang-orang yang menyebar mazhab asy’ari.” (Al-Khurrasaniyyah, Hal. 57)
Dalam kitabnya tersebut, beliau menukil keyakinan para ulama kibar dalam Islam seperti Imam Al-Auza’i (w. 157 H), Sufyan Al-Tsauri (w. 175 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Abdullah bin Mubarak (w. 181 H), Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H), Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w. 204 H), Ishaq bin Rahuyah (w. 238 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (w. 256 H), Abu Zur’ah Al-Razi (w. 264 H) dan Abu Hatim Ar-Razi (w. 277 H).
Tujuannya karena melihat banyak para ulama mazhab yang mengambil mazhab fiqh imamnya namun tidak mengambil mazhab aqidahnya.
Beliau sebutkan, “Sesungguhnya menukil nama-nama para ulama tersebut menjadi hujjah yang wajib diikuti oleh semua yang mengikuti mazhab seorang imam namun ia menyelisihi aqidah imamnya. Maka mengikuti mazhab namun menyelishi aqidah imamnya demi Allah adalah sesuatu yang diingkari secara syar’i.
Maka siapa yang mengatakan saya berfiqh syafi’i dan berakidah asy’ari, kita katakan padanya, ini sesuatu yang kontradiksi, karena Imam Syafi’i bukan asy’ari aqidahnya. Siapa yang mengatakan, saya dalam furu’ hanbali dan ushul mu’tazili, kita katakan padanya, kamu telah tersesat dari jalan yang lurus karena Imam Ahmad bukan Muktazilah dalam agama dan ijtihad.
Begitu juga dalam mazhab maliki, banyak yang terfitnah dengan mazhab asy’ari. Ini demi Allah adalah aib dan kecerobohan yang berakibat fatal bagi mereka-mereka para pendaku mazhab imam-imam kibar tersebut.” (Syekh Shaleh Sindi, Al-Quthuf Al-Majmu’ah Min Kitab Al-Fushul ‘An Aimmat Al-Fuhul, Hal. 17-18)
Aqidah Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i
Madrasah Kalamiyah banyak dinisbatkan kepada Syafi’iyyah, bukan nisbat kepada Imam Syafi’i. Namun kepada pengikut-pengikutnya dalam furu’. Pemisahan antara ushul dan furu’ sangat jelas terlihat. Padahal keyakinan Imam Syafi’i sama dengan keyakinan Imam Malik dan Imam Ahmad dan tidak keluar dari keyakinan para sahabat dan tabi’in.
Riwayat mengenai ucapan-ucapan imam syafi’i yang menggambarkan aqidah beliau sangat banyak. Namun orang-orang hanya memperhatikan kitab. Sedangkan Imam Syafi’i tidak menulis tema-tema aqidah. Seandainya beliau menulis, pasti akan disebar oleh pengikutnya, dihafal dan disyarah. Orang lain tidak terlalu perhatian dengan kitab-kitab aqidah yang menjelaskan aqidah imam syafi’i yang tidak ditulis oleh beliau langsung.
Beliau tidak menulis tema-tema aqidah alasannya karena ilmu kalam belum menyebar di Mesir pada masanya. Waktu itu ilmu kalam banyak tersebar di timur, seperti wilayah Khurasan. Sehingga beliau menganggap kalau menulis dan membantah Ahlul Bathil justru akan menghidupkan dan memperkenalkan mereka. Sebagian murid beliau meminta untuk menulis. Seperti permintaan Abu Tsaur kepada beliau untuk menulis mengenai Murji’ah. Namun Imam Syafi’i mengatakan, “Tinggalkanlah itu.”
Riwayat-riwayat perkataan beliau yang menggambarkan akidahnya dikumpulkan oleh para ulama. Seperti I’tiqad Al-Syafi’i karya Abu Thalib Al-‘Usyari, I’tiqad Al-Imam Al-Syafi’i karya Al-Hakkari, Mu’taqad Al-Imam Al-Syafi’i karya Al-Yasufi dan Aqidat Al-Imam Al-Syafi’i karya Al-Barzanji.
Kita coba kutip disini salah satu riwayat tersebut dalam kitab I’tiqad Al-Imam Al-Syafi’i karya Ali bin Ahmad bin Yusuf Al-Hakkari Al-Syafi’i (w. 486 H). Disini beliau meriwayatkan perkataan Imam Syafi’i berikut,
“Allah memiliki asma’ dan shifat yang terdapat dalam kitab-Nya dan Nabi-Nya ajarkan kepada umatnya, dan tidak boleh satu pun makhluk Allah yang telah tegak padanya hujjah untuk menolaknya. –sampai pada ucapan beliau – seperti yang diberitahukan Allah kepada kita bahwa Ia Maha mendengar lagi Maha melihat.
Dan bahwa Ia punya kedua tangan berdasar firman-Nya, Bal Yadahu Mabshuthotani. dan bahwa Ia memiliki tangan kanan berdasar pada firman-Nya, Wassamawatu mathwiyyatun biyaminihi. Bahwa Ia memiliki wajah berdasar firman-Nya, Kullu Syaiin Halikun illa wajhahu. Dan bahwa Allah memiliki kaki berdasar sabda Nabi, Hatta Yadha’a Al-Rabbu fiha Qadamahu. Bahwa Ia ketawa pada hamba-Nya yang mukmin berdasar sabda Nabi tentang orang yang terbunuh di jalan Allah, Innahu Laqiyallaha wahuwa yadhaku ilahi.
Bahwa Allah turun ke langit dunia setiap malam berdasar sabda Nabi tentang itu. Bahwa Allah tidak buta sebelah berdasar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Innahu A’war, wa inna rabbakum laisa bia’war.
Bahwa kaum mukminin melihat Rabb mereka di hari kiamat dengan mata mereka pada hari kiamat sebagaimana mereka melihat bulan di malam purnama. Dan Bahwa Allah memiliki jari berdasar sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, Ma min qalbin illa wahuwa baina ishbi’aini min ashabi’ ar-rahman.”
Riwayat ini dari jalur Al-Hakkari dari Abu Ya’la Al-Khalil bin Abdullah Al-Hafizh, dari Abul Qasim bin Alqamah Al-Abhari dari Abdurrahman bin Abi Hatim dari Yunus bin Abdul A’la dari Imam Al-Syafi’i.
Aqidah Imam Syafi’i juga dinukil oleh Abul Hasan Al-Karaji dalam kitabnya Al-Fushul min Aimmat Al-Fuhul. Juga Imam Al-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala’ pada biografi Imam Syafi’i. Juga kitabnya Al-Arba’in fi Shifat Rabb Al-‘Alamin, dan kitabnya yang lain, Al-‘Uluw.
Keyakinan Para Ulama Awal Syafi’iyyah Sejalan dengan Mazhab Salaf
Setelah menukil akidah Imam Syafi’i kita melist nama ulama-ulama awal syafi’iyyah yang menulis kitab-kitab aqidah yang menjelaskan bagaimana aqidah mereka yang masih sama persis dengan aqidah para ulama sebelumnya, Imam Al-Auza’i, Sufyan Al-Tsauri, Abdullah bin Mubarak, Sufyan bin Uyainah, Imam Malik dan Imam Ahmad.
Dimana mereka inilah jembatan penyambung akidah Islam dari generasi sahabat dan tabi’in.
Pertama Ismail bin Yahya Al-Muzani (w. 264 H) menulis kitab Syarh Al-Sunnah dimana beliau menjelaskan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah tentang asma wa shifat, hak Rasulullah, hak sahabat, hak para wali dan imam, hari kebangkitan, dan yang lainnya.
Kemudian Abu Abdillah Muhammad bin Nashr Al-Marwazi (w. 294 H) menulis kitab Al-Sunnah. Lalu Kitab Al-Tauhid disusun oleh Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
Kitab Al-Tauhid ini menjelaskan dalil-dalil itsbat shifat satu persatu. Karena ketidaksesuaian isi Kitab Al-Tauhid ini dengan keyakinan para ulama Syafi’iyyah belakangan yang sudah mayoritas Asy’ariyyah sampai kitab ini disebut sebagai Kitab Al-Syirk.
Lalu Al-Hafizh Abu Bakar Ahmad bin Ibrahim Al-Isma’ili (w. 371 H) menulis kitab I’tiqad Ahl Al-Sunnah.
Beliau menyebutkan, “Ketahuilah rahimanallahu wa iyyakum bahwa mazhab Ahlul Hadis Ahlussunnah wal Jamaah mereka meyakini bahwa Allah dipanjatkan pada-Nya doa dengan Nama-nama-Nya yang indah dan dishifati dengan sifat-sifat yang Ia namai dan sifati sendiri untuk diri-Nya serta disifati oleh Nabi-Nya. Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya. Dan kedua tangan-Nya terbuka lebar, menginfakkan apa saja yang Ia kehendaki. Tanpa meyakini bagaimananya karena Allah melarang dari hal tersebut. Bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy dan Allah tidak sebutkan bagaimana Istiwa’-Nya.”
Kemudian Imam Al-Lalika’i Hibatullah bin Al-Hasan bin Manshur Al-Thabari Al-Razi (w. 418 H) beliau menulis kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahl Al-Sunnah. Di kitab ini beliau menukil riwayat para ulama salaf mengenai keyakinan mereka tentang Al-Qur’an, tentang Takdir, tentang Asma’ dan Shifat, juga yang lainnya.
Kemudian Al-Hafizh Abu Utsman Al-Shabuni (w. 449 H) yang menulis kitab Aqidah Al-Salaf wa Ashab Al-Hadits. Lalu Sa’ad bin Ali Abul Qasim Al-Zanjani (w. 471 H) menulis kitab Al-Manzhumah Al-Ra’iyah fi Al-Sunnah dan Syarahnya. Kemudian Abul Muzhaffar Manshur bin Muhammad Al-Marwazi Al-Sam’ani (w. 489 H) menulis kitab Al-Intishar Li Ashhab Al-Hadits.
Di masa berikutnya masih banyak ulama syafi’iyyah yang menulis kitab aqidah, seperti Abul Hasan Muhammad bin Abdul Malik Al-Karaji Al-Syafi’i (w. 532 H).Beliau menulis kitab, Al-Fushul fi Al-Ushul ‘An Aimmati Al-Fuhul Ilzaman li Dzawi Al-Bida’ Wa Al-Fudhul. Disini beliau menggambarkan keresahan para ulama syafi’iyyah atas fenomena infiltrasi aqidah asy’ari ke dalam mazhab syafi’i yang sedang berlangsung pada masa itu. Kemudian Imam Al-Ashbahani Al-Taimi (w. 535 H) menulis kitab Al-Hujjah fi Bayan Al-Mahajjah. Dan masih banyak lagi setelahnya.
Ini menunjukkan bahwa aqidah imam syafi’i serta ulama-ulama awal syafi’iyyah masih murni sesuai dengan mazhab para imam-imam sebelumnya, mazhab salaf. Hingga pergeseran aliran teologi para ulama syafi’iyyah dari mazhab salaf ke asy’ariyyah terjadi di awal abad kelima dan dilakukan oleh tiga tokoh besar mutakalim yang telah kita sebutkan.
Setelah ini mazhab asya’irah semakin berkembang dalam mazhab syafi’i, termasuk ajaran-ajaran asy’ariyah mengalami perkembangan dari masa ke masa.
Keyakinan-keyakinannya semakin bertambah. Ajaran yang tidak diajarkan oleh para ulama awal asya’irah menjadi ajaran yang diyakini oleh ulama asya’irah belakangan.
Uniknya, dalam satu masalah Akidahpun kadang terjadi perbedaan pandangan para ulama mereka.
Bersambung…
Tim Alinshof