Tidak ada yang dapat ditunggu dari Barat selain permusuhan yang nyata atau tipu daya yang tersembunyi terhadap Islam dan kaum Muslim, utamanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Presiden Perancis Nicolas Sarkozy secara vulgar mengatakan bahwa hijab adalah ciptaan Salafiyah. Adapun orang-orang yang kental bid’ahnya, seperti Sekte Rafidhah dan Sufi ekstrim; mereka terus-menerus memerangi dan memusuhi mazhab as-Salafus Shalih.

Tetapi musibah yang terbesar apabila sebagian orang yang mengklaim sebagai pengikut Ahlus Sunnah era ini, ikut-ikutan mengeritik Salafiyah dan membedah Ahlus Sunnah lewat berbagai media dan forum yang tendensius. Kebanyakannya di balik pencitraan yang terkesan objektif, kritis dan demi kebenaran. Sementara mereka tidak pernah mengeritik orang-orang zindik dan Ahlul Ahwa’ (pengikut hawa nafsu). Yang selalu menjadi objek kritikan hanyalah Salafiyah. Bahkan Salafiyah telah menjadi objek yang halal dan target rutin, serta kasus yang selalu berulang.

Walau demikian, pelecehan terhadap Ahlus Sunnah justru menjadi indikasi kuat terhadap warisan yang benar dan pengikutan yang sempurna terhadap Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam. Sebab, kaum Quraisy juga dahulu menggelari Nabi Muhammad sebagai orang gila, penyair, dan paranormal. Orang-orang Syi’ah menggelari Ahlus Sunnah sebagai Nawashib (orang-orang yang benci kepada keluarga Nabi). Ahli Kalam menggelari Ahlus Sunnah sebagai hasyawiyah (orang-orang yang dangkal pemahamannya) dan nawabit.  Ahl al-Ta’thil menyebut mereka sebagai musyabbihah dan mujassimah,[1] dan lain sebagainya.

Tuduhan dan pelecehan terhadap mazhab Salaf ini kebanyakan dilatari oleh dendam dan aniaya, sehingga sarat dengan dusta dan tuduhan tak berdasar.

Meskipun dalam perseteruan, kezaliman dan kejahatan seperti ini awalnya selalu menyakitkan. Akan tetapi ia selalu cepat hilang dan tenggelam, ibarat teriakan anak-anak.

Di samping itu, permusuhan yang nyata dan terbuka biasanya justru melahirkan kesadaran dan memancing untuk membuat persiapan sebelum turun menghadapi peperangan dan konfrontasi. Maha Suci Allah yang menakdirkan dan mengatur segala sesuatu dengan tepat. Sehingga Dia menjadikan dalam berbagai ujian beragam anugrah dan kelembutan. Tabarakallahu Ahasnul Khaliqin.

Ada kalanya, musuh menggunakan cara lunak dalam memerangi mazhab Salaf. Mereka berlemah-lembut dan membujuk demi menundukkan mazhab Salaf terhadap perubahan dan modernisasi. Ini merupakan cara lunak yang menyimpan makar tersembunyi, dengan memunculkan berbagai isu menyimpang, ta’wil yang dipaksakan, dan mengikuti yang samar-samar. Ada kalanya juga, pura-pura memuji dan membanggakan Salaf, sehingga tantangan dalam menghadapi mereka jauh lebih berat daripada mereka yang menggunakan cara sebelumnya.

Di antara Pembaca mungkin ada yang merasa heran jika tahu bahwa cara lunak seperti ini merupakan cara klasik bagi Ahli Bid’ah yang terbiasa dengan kemunafikan. Sebagaimana ungkapa Imam Utsman ibn Sa’id al-Darimi rahimahullah (w. 280 H) dalam ungkapannya: “Telah disampaikan kepada kami bahwa beberapa orang murid Bisyr al-Mirrisy protes kepada gurunya,  bagaimana engkau menyikapi sanad-sanad yang tidak dapat terbantahkan, yang dijadikan hujjah dalam mengkonter pendapat kita ini? Bisyr mengatakan: ‘Jangan kalian bantah, karena kelemahan kalian akan tersingkap. Tapi tipu mereka dengan ta’wil, dengan demikian kalian telah mengkonter mereka dengan lembut, jika kalian tidak dapat melawan mereka dengan vulgar.”[2]

Contoh yang paling jelas dalam dua model serangan ini, yakni serangan dangan cara kasar dan cara lembut, adalah serangan terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan karya-karyanya yang berharga. Lawan-lawannya, baik dahulu atau sekarang, merasa malu dan tersinggung dengan sang imam  rabbani Ibnu Taimiyah dan tulisan-tulisannya. Maka mereka bersekutu dan mengerahkan segala potensi untuk menyerangnya. Tetapi hal itu justru menambah kedudukan dan simpati kepada Ibnu Taimiyah, sehingga karya-karyanya mengisi berbagai kajian di berbagai belahan dunia.

Bacalah tulisan-tulisan imam yang sesungguhnya

Syeikhul wujud, sang alim rabbani

Yakni Abul Abbas, lautan yang meliputi semua teluk

Karya-karyanya di tengah manusia tersebar dan masyhur

Ia patut dibeli dengan harga mahal.[3]

Di antara kebohongan yang nyata adalah klaim bahwa Ibnu Taimiyah telah rujuk kepada aqidah Asy’ariyah. Juga klaim bahwa Ibnu Taimiyah bukan Salafy. Termasuk di antara dusta murahan tentangnya, tulisan seorang yang bodoh lagi hina bahwa Ibnu Taimiyah yang radikal mengalami sakit jiwa, lalu dia mengklaim bahwa Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa semua umat manusia akan masuk Sorga.[4]

Demikian juga klaim yang dikemukakan oleh seorang pembohong bahwa Ibnu Taimiyah tidak memiliki studi tentang buku-buku mantik dan filsafat.[5]

Realitas tersebut, selain menggambarkan tindakan dan sikap bodoh, juga menyingkap salah satu gejala dalam menjatuhkan lawan. Atau seperti yang disebutkan dalam salah satu pribahasa “romatni bi da’iha wansallat” (dia telah melempar aku dengan penyakitnya, tetapi ia lepas).

Di antara kebohongan tersembunyi, pernyataan seorang tokoh agama kontemporer: “Ibnu Taimiyah adalah sosok yang sangat toleran. Ia membolehkan ucapan selamat dan ta’ziyah kepada Ahlul Kitab, ia membolehkan menjenguk Ahlul Kitab jika mereka sakit, inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah menurut al-Ba’liy.”[6]

Dia juga mengklaim bahwa jihad menurut Ibnu Taimiyah hanya untuk melawan kezaliman saja, bukan untuk melawan kekufuran.[7]

Pernyataan pertama di atas tidak lepas dari distorsi dan penipuan. Jika dirujuk kepada kitab al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah karya al-Ba’liy, kita dapati bahwa Ibnu Taimiyah berbicara dalam konteks Ahl al- Dzimmah secara khusus, yaitu orang-orang yang berlaku padanya beberapa ketetapan Umar bin Khattab, termasuk unsur tekanan yang menghinakan mereka. Dan hal ini tidak berlaku untuk semua Ahlul Kitab. Karena orang kafir bermacam-macam, ada dzimmiy/ Ahl al- Dzimmah, mu’ahad, musta’man, dan ada juga muharib.

Selain itu, menjenguk dan ta’ziyah kepada mereka memang dibolehkan jika diprediksi bahwa mereka tertarik masuk Islam.

Kemudian al-Ba’liy sendiri menukil dua pendapat Ibnu Taimiyah yang berbeda. Berikut tulisan al-Ba’liy: “Pendapat Abul Abbas (Ibnu Taimiyah) berbeda dalam menjawab salam seorang kafir zimmi; apakah dijawab sama dengan ungkapan salamnya, atau cukup dengan ucapan ‘wa ‘alaikum’ saja. Dan boleh ia mengatakan: ‘ahlan wa sahlan.’ Boleh juga menjenguk Ahluz Dzimmah, memberi salam dan menjenguk mereka, boleh juga mereka masuk masjid jika ada maslahat yang lebih rajih, misalnya harapan masuk Islam. Para ulama mengatakan bahwa boleh menjenguk seorang dzimmiy lalu ditawarkan kepadanya Islam.”[8]

Syekh tersebut juga mengatakan: “Masalahnya adalah sebagian orang hanya membaca kitab ‘Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim dan tidak membaca kitab al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah.”

Padahal, keberatan dan desakan tersebut sebenarnya tidak perlu. Karena semua buku tersebut berisi pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah, dan yang pokok adalah mencermati semua ketetapannya. Bahkan pendapat-pendapatnya dalam Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim jauh lebih jelas dan lebih valid daripada ketetapan dan pendapat yang diliputi oleh interpretasi orang yang mengompilasikan dan menulisnya ulang, seperti al-Ba’liy.

Singkatnya, tindakan menggunting kutipan dan mengabaikan potongan suatu pernyataan, bukan tarsyid (membimbing), sebagaimana yang diinginkan oleh syekh tersebut, malah merupakan tindakan tasyrid (membongkar), mengurai dan memotong-motong teks.

Dengan mengikuti keinginan syekh dan murid-muridnya dalam menjunjung al-Ba’liy, harus diketahui bahwa al-Ba’liy yang meringkas al-Fatawa al-Mishriyah karya Ibnu Taimiyah, juga meringkas kitab Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim.

Berikut saya nukilkan beberapa ungkapan dalam Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyah. Disebutkan di dalamnya: “Tidak boleh bagi Ahluz Dzimmah menampilkan sedikit pun simbol-simbol agamanya di negeri-negeri kaum Muslim. Tidak boleh bagi kaum Muslim membantu mereka dalam perayaan hari-hari raya mereka, tidak dengan menjual sesuatu yang digunakan oleh mereka untuk kelangsungan hari raya, tidak boleh juga menyewakan kendaraan. Karena peringatan hari-hari raya mereka termasuk yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

“Adapun jika kaum Muslim turut membantu menyukseskan peringatan-peringatan mereka, seperti mewarnai telur, membakar kemenyan dan membantu pembiayaan; maka hal seperti ini telah jelas hukumnya dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Malah sekelompok ulama dari kalangan mazhab Abu Hanifah dan mazhab Malik telah memvonis kafir orang yang melakukan perbuatan tersebut.

“Seandainya seorang Muslim meniru tradisi khas orang-orang Yahudi ataupun Kristen, niscaya ia harus dilarang berdasarkan konsensus ulama. Seorang Muslim tidak boleh mengkhususkan waktu-waktu perayaan mereka dengan sesuatu yang mereka biasa khususkan untuknya. Barangsiapa melakukan hal itu sebagai bentuk ibadah dan taqarrub, maka ia harus diajar tentang ajaran Islam dengan menekankan bahwa hal itu bukan ajaran Islam; bahkan bertentangan dengan Islam. Ia harus bertobat. Jika tidak, maka ia harus dibunuh (murtad, pent.).

“Tidak boleh seseorang menghadiri undangan, walau yang mengundang adalah seorang Muslim yang kebetulan bekerja di tempat peringatan mereka, misalnya bekerja sebagai koki makanan, ia juga tidak boleh mencicipi makanan tersebut.”[9]

Selain itu, hal yang spesifik dalam masalah ucapan selamat, yang menjadi titik perbedaan pendapat, hanya apabila ucapan tersebut tidak terkait dengan peringatan dan syi’ar-syi’ar mereka yang khusus.  Adapun jika ucapan selamat tersebut terkait dengan peringatan khusus mereka, maka telah disepakati keharamannya. Malah pelakunya tidak dapat lepas dari praktek kekufuran, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qayyim, murid Ibnu Taimiyah.[10]

Bahkan lebih jauh Ibnu Utsaimin menegaskan: “Ucapan selamat dalam peringatan adalah haram, bahkan pelakunya tidak dapat lepas dari kekufuran, karena memberi ucapan selamat kepada peringatan-peringatan kufur merupakan indikasi ridha terhadap kekufuran. Padahal, ridha terhadap kekufuran merupakan kekufuran. Termasuk dalam hal ini memberi ucapan selamat terhadap peringatan hari Natal atau hari Paskah dan semacamnya.”[11]

Dalam fatwa Komisi Tetap Urusan Fatwa Saudi Arabia dikemukakan: “Tidak boleh seorang Muslim memberi ucapan selamat kepada orang-orang Kristen dalam perayaan mereka. Karena hal itu merupakan bentuk kerjasama dalam dosa, sementara kita dilarang dari hal itu. Allah berfirman: ‘Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.’ (QS. al-Maidah: 2)

“Di dalamnya juga terdapat upaya mencari kecintaan meraka . . . sedang hal itu tidak boleh. Sebaliknya, yang wajib adalah menampilkan permusuhan kepada mereka.”[12]

Klaim bahwa jihad dalam pandangan Ibnu Taimiyah murni hanya untuk perang melawan kezaliman dan bukan karena kekufuran adalah dusta dan klaim yang tertolak. Referensi yang dijiplak untuk Ibnu Taimiyah tersebut tidak benar dan tidak valid menurut sejumlah ulama dan para peneliti, seperti Ibn Qasim,[13] dan Ibn Mani’ dalam nota yang ia kirim kepada Syekh Ibn Sahman tahun 1340 H.[14]

Bahkan pada tahun 1382, Syekh Sulaiman ibn Hamdan menulis buku setebal 100 halaman lebih untuk membantah risalah yang diklaim tersebut. Ia memberi judul buku tersebut Dilalah al-Nusush wa al-Ijma’ ‘ala Fardh al-Qital li al-Kufr wa al-Difa’.

Selain itu, orang-orang yang mengoleksi dan mencatat karya-karya ilmiah Ibnu Taimiyah, seperti Ibn Rusyaid, Ibn Abdil Hadi dan selainnya, sama sekali tidak pernah menyebutkan keberadaan risalah tersebut.

Sebaliknya, klaim tersebut bertentangan dengan tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah dalam buku-buku dan risalahnya yang sangat terkenal. Seperti dalam kitab al-Jawab al-Shahih liman Baddala Diin al-Masiih,[15] kitab al-Sharim al-Maslul,[16] kitab al-Shafadiyah,[17] dan Majmu’ al-Fatawa,[18] dan lain-lain.

Ibnu Taimiyah mengemukakan bahwa: “Semua orang yang mengetahui dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengajak kepada agama Allah, lalu ia tidak menerimanya maka ia harus diperangi agar tidak terjadi fitnah dan supaya semua agama hanya untuk Allah semata.”[19]

Penutup

Patut Pembaca sadari bahwa karya-karya Ibnu Taimiyah terdiri dari beragam himpunan, berjilid-jilid kitab, bahkan lebih tepat disebut sebagai “multi ensiklopedia.” Sehingga tidak heran jika kadang terjadi kekeliruan dan kesamaran dalam memahami persoalan tertentu dalam tulisan-tulisan tersebut. Atau mungkin mendapati ungkapan tertentu yang multi interpretatif. Sehingga seluruh pendapat dan pernyataan Ibnu Taimiyah seharusnya diambil secara komprehensif sebagai konsekuensi prinsip ilmiah dan objektivitas. Lalu mengompromikan antara pernyataan yang terkesan samar dengan yang lugas, yang bersifat general dengan yang rinci. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara ungkapan yang sepintas terkesan ganjil dengan yang jelas dan dominan, antara pernyataan Ibnu Taimiyah yang tidak populer dengan yang telah diketahui luas.[20]

Ahlus Sunnah juga dituntut untuk mendalami ilmu syariat, menguasai manhaj Salaf, menjelaskan masalah-masalah akidah, siap untuk meluruskan segala tuduhan yang mendiskreditkan mazhab Salaf, menampilkan kaedah-kaedah pokok, jawaban serta bantahan argumentatif terhadap syubhat dan penyimpangan lawan-lawannya. Debat dan bantahan seperti ini termasuk ibadah yang sangat mulia dan kebutuhan yang sangat mendesak.

            Allah Ta’ala berfirman:    

{ وَتِلْكَ حُجَّتُنَا ءَاتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَّن نَّشَاءُ}  ( الأنعام : 83 ) .

“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat.”[21]

Menurut Zaid ibn Aslam dan selainnya: “Hujjah itu ilmu, yaitu ilmu tentang cara debat yang baik, termasuk hal yang meninggikan derajat seseorang di sisi Allah Ta’ala.”

Kisah Ibrahim ‘alaihis salam termasuk dalam kategori ilmu argumentasi dan debat, yang dipakai untuk melawan penentangan terhadap agama. Orang yang terbatas ilmu argumentasi dan debatnya akan kalah oleh kelompok ini. Mereka membutuhkannya saat agama dirusak oleh musuh dengan debat, atau untuk menyelamatkan urusan agama sebagian di antara mereka dari yang lain, atau mereka hidup di bawah bimbingannya di suatu tempat yang bebas dari ahli bid’ah yang selalu mengganggu mereka.

Hal yang terakhir ini tidak terjadi kecuali dengan adanya ulama hujjah dan argumentasi yang selalu siap menghadapi ahli bid’ah.[22] *

* Guru besar Aqidah dan Pemikiran Kontemporer di Imam Muhammad ibn Saud Islamic University.

[1]  Ibnu Taimiyah, al-Hamawiyah, hal. 532, Bayan Talbis al-Jahmiyah, I/386.

[2]  Al-Rad ‘ala Bisyr, hal. 556

[3]  Ditulis oleh Ibnu al-Qayyim dalam al-Nuniyah, hal. 163

[4]  Lihat: Manshur Naqidan (www.elaph.com, tanggal 22/7/2007 M).

[5] Lihat kajian Abdullah Hedlaq, al-Hadi wa al-Hazi fii al-Radd ‘ala Syagab al-Sarhan.

[6]  Lihat: wawancara dengan Syekh Abdullah ibn Bayya, Majalah al-Islam al-Yaum, ed. 67.

[7]  Ibid.

[8]  al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah.

[9] Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyah, hal. 517 (secara ringkas), Iqtidha al-Shirath al-Mustaqim, II/515,  Jami’ al-Masa’il, III/374, al-Mustadrak ‘ala al-Fatawa, III/255, Majmu Fatawa, XXV/325-331.

[10] Ibn Qayyim, Ahkam Ahl al-Dzimmah, I/205-206.

[11] Al-Syarh al-Mumti’, VIII/75. Lihat juga: Ibn Utsaimin, Fatawa al-‘Aqidah, hal.246; Abdullah Muhanna, Kitab al-A’yad al-Muhdatsah wa Mawqif al-Islam minha.

[12]  III/435.

[13]  Majmu’ Fatawa, VIII/5.

[14]  Manuskripnya tersimpan di percetakan Raja Abdul Aziz di Riyadh, no. 263.

[15]  I/75 (cet. Al-Madani)

[16]  II/415.

[17]  II/321.

[18]  Lihat: IV/205, XXVIII/349, 358.

[19]  Majmu fatawa, XXVIII/349.

[20]  Al-Madkhal ila Atsar Ibn Taimiyah, hal. 76-78.

[21]  Bayan Talbis al-Jahmiyah, I/493.

[22]  Majmu’ Fatawa, XIV/493-494.

Sumber : http://albayan.co.uk

One thought on “SERANGAN KASAR DAN LEMBUT TERHADAP MAZHAB SALAF”

Tinggalkan Komentar

By admin