Catatan Penting Terhadap Tulisan Ust. Abdul Qadir yang berjudul: ” Terlarangkah Memakai Nisbah As-Salafiy atau Al-Atsariy ??”
Segala puji bagi Allah Ta’ala, shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas junjungan kita Nabi besar Muhammad, keluarga, para sahabat dan segenap pengikutnya hingga hari kiamat kelak.
Sebagai pembuka, kami nukil sebuah hikmah yang masyhur beredar dan dihapalkan oleh kalangan thullabul ilmi, yakni fahmu as-suaal nishfu al-jawab, artinya memahami pertanyaan dengan baik dikategorikan sebagai setengah dari jawaban. Termasuk dalam memahami perkataan seseorang merupakan setengah dari jawaban yang hendak dilontarkan.
Berangkat dari hikmah ini, kami berhasrat menjawab goretan tulisan Ust. Abdul Qadir sekaligus mengingatkan tentang hikmah tersebut. Bahwa alangkah lebih bijak seseorang itu memahami dengan baik perkataan atau tulisan orang lain terlebih dahulu, baru kemudian melemparkan jawaban. Hal ini agar terjalin singkronisasi antara jawaban dan yang hendak dijawab. Hingga tidak asal bunyi. Apalagi jika sampai menyebabkan kita berlaku zalim serta berdusta terhadap orang lain.
Pembaca budiman, menyimak tulisan Ust. Abdul Qadir yang judulnya tertera di atas, sungguh membuat kami miris. Tulisan tersebut tidak hanya sebatas penjelasan bolehnya at-tasammi (menggunakan sebagai nama) istilah as-Salafiy dan al-Atsariy, namun lebih dari itu sarat pula hujatan dan tuduhan sebagai karakter dan perangai unik kelompok “salafy”. Seolah tidak ada lagi kebenaran di kolong bumi ini melainkan hanya milik mereka dan kelompoknya semata. Duhai, seandainya ia cukupkan artikelnya dengan penjelasan tentang at-tasammi tersebut, sungguh merupakan kebaikan yang melimpah. Wallahul musta’an.
Kami tegaskan, dan semoga Ust. Abdul Qadir memahami dengan baik, agar supaya tidak lantas menghamburkan energi dan waktu menukil begitu banyak aqwal para ulama tentang intisab pada manhaj Salaf, serta penyematan nama dengan istilah as-Salafy, bahwa siapa yang bilang tidak boleh berintisab sembari menyematkan di belakang nama istilah as-Salafy dan al-Atsariy??.
Olehnya sebagai jawaban terhadap tulisannya, kami membagi Artikel ini menjadi dua bagian, Pertama: Penegasan akan mauqif (sikap) kami terhadap masalah at-Tasammi (penamaan) dengan as-Salafiy dan al-Atsariy. Kedua: Jawaban terhadap syubhat dan tudingan yang dilemparkan oleh Ust. Abdul Qadir.
§ Mauqif (sikap) kami terhadap masalah at-tasammi dengan as-Salafiy dan al-Atsariy.
Ikhwah fillah, dikarenakan Ust. Abdul Qadir telah menukilkan lebih dari cukup aqwal para ulama tentang intisab dengan manhaj salaf serta at-tasammi dengannya –Jazahullahu Khairan-, maka kami pandang tidak perlu mengulang paparan tersebut, sebab pada dasarnya yang dikemukakan oleh al-Ustadz tersebut, selaras dengan apa yang kami yakini dan percaya.
Namun, kami anggap perlu menjabarkan lebih rinci akan mauqif (sikap) kami terhadap at-tasammi (penamaan) as-Salafiy dan al-Atsariy, agar tidak keliru memahami hal-hal yang berkaitan dengan masalah at-tasammi ini. Maka Billahit Taufiq kami katakan, sekurangnya terdapat tiga perkara yang patut diperhatikan: (1). Masyru’iyah menggunakan nama as-Salafy, al-Atsariy dan selainnya. (2). Sejauh mana kebenaran ilzam (keharusan) bagi penamaan tersebut. (3) Bolehkah mengingkari orang yang tidak memandang perlu at-tasammi dangan istilah as-Salafy, al-Atsariy dan selainnya .
Pertama, berkaitan dengan syari’at menggunakan nama as-Salafy dan selainnya. Dalam tataran kaidah, lafadz ini –yakni as-Salafiy- tergolong lafadz-lafadz baru yang datang kemudian dan sifatnya muhtamal. Ia tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam, demikian pula zaman shahabat yang mulia. Karenanya, masuk dalam kaidah masyhur: “Bahwa Lafadz-lafadz yang mengandung kemungkinan (muhtamal), perkara diterima atau ditolaknya terkait erat dengan apa yang dikandung olehnya berupa kebenaran dan kebatilan“. Makanya jika lafadz muhtamal tersebut mengandung makna kebenaran maka diterima, sedang jika tidak maka tertolak.
Dalam persoalan istilah as-Salafy, khususnya belakangan ini, nampak bahwa ia merupakan tanda bagi mereka yang beriltizam terhadap manhaj Nabi shallallahu alaihi wasallam, para sahabat dan tabi’in dalam tataran syari’ diniyah. Lebih khusus lagi, ia sebagai tanda bagi intisab pada ahli hadits dan ahli atsar dalam masalah akidah, utamanya persoalan al-asma’ wa as-shifat yang santer terjadi perbedaan persepsi dalam interpretasi ayat dan hadits tentang shifat di kalangan umat Islam.
Sebagai pembuktian, jika diarahkan pada seorang tertentu bahwa ia adalah salafy, maka yang terbetik dalam pikiran adalah urusan akidah utamanya asma’ wa as-shifat, kendati kadang terkandung pula padanya perkara-perkara lain. Namun urusan inilah yang menjadi asal dan pokok
Hal ini berlaku pula pada penamaan-penamaan lain, seperti at-Tabligh, al-Ikhwan dan sebagainya. Dan bukan merupakan petunjuk salafussalih mempermasalahkan (membicarakan) sekitar musthalahat (istilah) semata. Hanya saja, yang menjadi pokok bagi mereka adalah subtansi dari istilah tersebut, apakah mengandung kebenaran atau kebatilan. Sebagai pendekatan, perhatikan firman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”,[1] tetapi Katakanlah: “Unzhurna”. (Qs. Al-Baqarah : 104).
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mencegah orang-orang beriman mengucapkan kata raa’inaa, lantaran apa yang terkandung dalam lafadz, berupa ihtimal (kemungkinan) digunakan oleh kaum Yahudi, dimana mereka sengaja menyembunyikan maksud yang inginkan (sebenarnya) dari kata ini, yakni Ru’uunah yang berarti sangat bodoh, sebagai olok-olokan bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam, padahal (hukum) asal lafadz ini tidak mengapa.
Olehnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– dalam banyak tempat menjelaskan penolakan Ahlus Sunnah terhadap lafadz al-Jihah dan selainnya (dalam masalah asma’ wa as-sifat), lantaran lafadz tersebut mengandung makna muhtamal (lebih dari satu kemungkinan), jika tidak berhati-hati padanya akan menyebabkan seorang terjerembab dalam kebatilan tanpa disadari, dan hal ini telah terjadi. Akan tetapi, pada waktu yang sama, Ahlu Sunnah menjelaskan alasan penolakannya tersebut kepada kelompok-kelompok lain, kapan istilah-istilah itu diterima dan kapan ditolak.[2]
Maka dari sini, tidak ada pengingkaran terhadap orang yang beriltizam dengan manhaj as-salafy, serta menggunakan nama Salafy, khususnya saat merebak seruan-seruan batil yang menyelisihi manhaj yang lurus ini. Tidak ada halangan berintisab pada nama as-Salafy, dengan memandang apa yang digunakan sebagai sandarannya. Sebab, kadang para imam pun berintisab dan menggunakan nama asy-Syafi’iy, al-Hambaliy, al-Malikiy, al-Hanafiy, adz-Dzahiriy dan selainnya, dan tidak pernah kita saksikan seorang pun dari ulama yang mengingkari nisbat tersebut.
Jika nisbat pada seseorang dan ijtihadnya dibolehkan, dan para imam-imam tidak memandang sebagai sebuah masalah, maka memakai nama dengan istilah penyandaran diri pada manhaj Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan para pengikutnya dari kalangan shahabat dan tabi’in, lebih utama dalam hal kebolehan. Bahkan boleh saja ia menjadi sebuah keharusan bagi seseorang, utamanya pada waktu-waktu nampaknya fitnah dan minimnya jumlah ahlus sunnah yang menzahirkan sunnah. Tujuannya untuk menjelaskan bahwa dirinya termasuk bagian di dalamnya. Dan hendaknya ia menyampaikan bahwa dirinya Salafiy, agar manusia mengetahui salafiyah dari selainnya berupa manhaj-manhaj yang salah dan batil. Bahkan Ibnu Taimiyah rahimahullah meriwayatkan akan kesepakatan menerima demikian, beliau mengungkapkan: “Bukan merupakan aib bagi seorang yang menampakkan mazhab salaf dan berintisab padanya, bahkan wajib untuk menerima demikian menurut konsensus. Sungguh tidaklah mazhab salaf itu melainkan kebenaran“.[3]
Intinya, tidak mengapa menggunakan nama dengan istilah as-Salafiy, jika maknanya mengarah pada nisbat terhadap apa yang ada pada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para shahabat-nya. Namun dengan satu ketentuan, pengakuan terhadap nama tersebut harus seiring dengan realita penggunanya. Sebab dikhawatirkan jangan sampai ia hanya sekedar tazkiyah bagi diri yang merupakan perbuatan tercela, sebagaimana dijelaskan para ulama mu’tabar. Adapun jika istilah as-Salafiy tersebut diarahkan pada makna penolakan terhadap sebagian besar shifat-shifat Allah Ta’ala sebagaimana penisbatan kalangan Asya’irah dan Maturidiyah terhadap salaf (untuk makna tersebut), maka jelas istilah ini tertolak.
Kedua, Masalah keharusan seseorang menggunakan nama tersebut, maka yang menjadi sikap kami (team al-Inshof) –Wallahu Ta’ala A’lam-, bahwa tidak didapatkan dari ahli sunnah wal jama’ah, pengharusan (ilzam) terhadap nama-nama dan istilah tersebut, khususnya istilah as-Salafy yang merupakan istilah lughawi dan mengandung ihtimal (kemungkinan) lebih dari sekedar intisab terhadap sunnah Nabi shalllallahu alaihi wasallam sebagaimana telah diketahui. Sebab kita menyaksikan pula kelompok al-Asya’irah dan al-Maturidiyah juga mengaku diri sebagai Salafiy, sesuai apa yang mereka yakini (baca: klaim) berada di atas akidah yang merupakan mazhab para shahabat dan tabi’in. Olehnya, sekali lagi, dalam kondisi ini-lah yakni istilah as-Salafiy yang menurut kaum Asya’irah dan Maturidiyah bermakna manhaj yang menafikan begitu banyak shifat-shifat bagi Allah Ta’ala, yang tertolak. Sebab makna yang dikandung pada istilah tersebut adalah makna batil.
Ketiga, Adapun mengingkari orang yang tidak menggunakan nama as-Salafy, maka dapat ditinjau dari dua keadaan.
1. Keadaan pertama, orang itu tidak mengakui apa yang dikandung olehnya, dan apa yang disandarkan padanya (jika makna as-Salafiy ini diarahkan pada makna haq). Dan kondisi pengingkaran ini bertingkat-tingkat dan bukan hanya satu derajat. Siapa yang mengingkari penamaan as-Salafiy, sebagai nisbat terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat, maka tidak ada keraguan, ia telah kufur. Namun pengingkaran yang kami maksud di sini, adalah pengingkaran yang dibangun atas syubhat pada sebagian pandangan yang keliru, khususnya belakangan ini, bahwa ia menyelisihi mashlahat dakwah dan selainnya. Dan dalam kondisi dan derajat manapun, ketiadaan pengakuan tersebut boleh diingkari dan diarahkan perkataan itu padanya. Kendati pada sebagian keadaan lebih utama jika diperkenalkan terlebih dahulu akan istilah ini untuk tujuan menegakkan hujjah, jika orang yang memandang (kebolehan menggunakan nama as-Salafiy) mengharapkan kebaikan. Sebab, kadang kala penyelisih menerima pada satu keadaan tertentu.
2. Keadaan kedua, orang itu mengakui apa yang terkandung di dalamnya dan apa yang disandarkan padanya, maka (hukum) asal tidak boleh mengingkari atasnya. Sebab tidak ada kelaziman menggunakan istilah tersebut, disamping hukum asal bagi al-wala’ dan bara’ menurut tingkatannya tidak terjadi melainkan hanya pada istilah syar’i, yakni Islam dan apa yang dikandung oleh istilah ini. Allah Ta’ala mengabarkan, bahwa Ia telah menamakan kita semua sebagai kaum muslimin, sebagaimana dalam firman-Nya: “Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu“. (Qs. Al-Hajj : 78). Olehnya tidak boleh memberi wala’ dan permusuhan pada selain (nama) ini.
Berkaitan dengan poin ini, kami nukilkan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– dalam Majmu’ al-Fatawa sekalipun agak panjang, agar jelas maksud yang kami harapkan darinya. Beliau –rahimahullah– berkata:
“Demikian pula memecah belah umat dan menguji mereka (imtihanun naas) pada apa yang tidak diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, seperti jika dikatakan pada seseorang: Engkau Syakiliy atau Qarfandiy; sungguh semua ini adalah nama-nama batil yang tidak pernah Allah Ta’ala turunkan. Tidak ada dalam kitab Allah, tidak pula pada sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, dan juga tidak pada atsar yang ma’ruf dari Salaful Ummah, yakni Syakiliy dan tidak pula Qarfandiy. Dan wajib atas setiap muslim, jika ditanya tentang demikian untuk menjawab: Aku bukan Syakily dan bukan pula Qarfandiy, namun aku adalah seorang muslim yang mengikuti kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.[4]
Telah kami riwayatkan dari Mu’awiyah bin Abi Sofyan –radhiallahu anhu-, bahwa ia pernah bertanya pada Abdullah bin Abbas –radhiallahu anhuma-: “Engkau berada di atas millah (kelompok) Ali atau millah Utsman? Maka Ibnu Abbas menjawab: “Aku bukan berada pada millah Ali dan bukan pula millah Utsman, namun aku berada di atas millah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam“. Demikian pula keadaan setiap dari kalangan salaf, mereka berkata: “Seluruh ahwa’ (hawa nafsu) berada dalam neraka”, juga perkataan seorang dari mereka: “Aku tidak perduli (tidak tahu) nikmat manakah yang paling besar? Nikmat Allah Ta’ala memberiku petunjuk pada Islam atau nikmat Ia selamatkan daku dari al-ahwa‘”, Dan Allah Ta’ala menamakan kita dalam al-Qur’an: Kaum muslimin, mu’minin, dan Ibadullah (hamba Allah). Olehnya, tidak boleh berpaling dari nama-nama yang Allah Ta’ala berikan pada kita kepada nama-nama yang diada-adakan oleh suatu kaum –yang mereka namakan untuk diri dan bapak-bapak mereka-, padahal tidak pernah diturukan oleh Allah Ta’ala.
Bahkan nama-nama yang kadang boleh digunakan, seperti intisab pada salah satu Imam, contohnya al-Hanafy, al-Malikiy, al-Syafi’iy, al-Hambaliy, atau (nisbat) pada salah seorang syaikh, seperti al-Qadiriy, al-‘Adawiy dan selainnya, atau seperti intisab pada kabilah, misalnya al-Qaisiy, al-Yamaniy, atau kepada kota seperti as-Syamiy, al-Iraqiy, dan al-Mishriy, maka tidak boleh bagi siapapun dari mereka untuk menguji manusia terhadapnya. Tidak boleh pula menetapkan wala’ dan permusuhan atas landasan nama-nama tersebut.[5] Sebab makhluk yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala adalah siapa yang paling bertaqwa, dari kelompok manapun ia berada.
Beliau rahimahullah menambahkan: “Dan Allah Ta’ala mewajibkan al-muwalat (memberi wala’) kepada orang-orang beriman, serta mewajibkan pula permusuhan terhadap orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka…Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti menang“. (Qs: al-Maidah : 52-56).
Allah Ta’ala juga mengabarkan, bahwa wali (penolong) bagi kaum mukminin itu adalah Allah, Rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya yang beriman. Dan ini berlaku umum bagi setiap orang yang beriman dan disifatkan dengan sifat iman tersebut, baik ia berintisab dengan negeri, mazhab tariqah tertentu atau tidak. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain“. (Qs. At-Taubah : 71). Firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi … Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga)”. (Qs. Al-Anfal : 52-52).
Dalam Shahih, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda: “Perumpamaan orang beriman dalam kecintaan, kasih sayang, dan lemah lembut seperti satu tubuh, jika salah satu anggotanya mengeluh sakit maka akan menyebabkan seluruh anggota tubuh lainnya merasakan demam dan sush tidur“. Juga sabda beliau: “Orang beriman dengan orang beriman yang lain seperti satu bangunan, dimana sebagiannya menguatkan sebagian yang lain“. Beliau bersabda pula: “Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak beriman (dengan sempurna) salah seorang diantara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri“. Beliau bersabda: “Seorang muslim itu adalah saudara muslim yang lain, ia tidak akan menyerahkannya (pada musuh) dan tidak pula menzaliminya“. Dan masih banyak lagi.
Allah Ta’ala dalam ayat dan hadits di atas, menjadikan hamba-hamba-Nya yang beriman itu sebagiannya penolong bagi sebagian lain. Menjadikan bagi mereka persaudaraan, saling menolong, berkasih sayang dan bersikap lemah lembut. Demikian pula, Allah Ta’ala memerintahkan untuk bersatu dan mencegah dari perpecahan dan perselisihan. Allah berfirman: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai“. (Qs. Ali Imran : 103). Juga firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan[525], tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka“. (Qs. Al-Maidah : 159).
Dari sini, mana mungkin dibolehkan perpecahan dan perselisihan pada Umat Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Dimana seorang memberi wala’ kepada satu kelompok serta mengarahkan permusuhan terhadap kelompok lain berdasarkan persangkaan dan hawa nafsu, dan bukan petunjuk dari Allah Ta’ala? Sungguh Allah Ta’ala telah melepaskan (menyelamatkan) Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam dari orang yang demikian.
Dan ini adalah perbuatan para ahli bid’ah, semisal Khawarij yang telah memecah belah jama’ah kaum muslimin serta menghalalkan darah orang yang menyelisihi mereka. Adapun Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka mereka senantiasa berpegang teguh pada tali Allah. Dan yang paling minimal dari demikian (perbuatan ahli bid’ah yang memecah kaum muslimin) adalah mengutamakan seseorang yang sejalan dengan hawa nafsunya, kendati selain (yang dia utamakan) itu lebih bertakwa darinya.
Hanyasaja yang wajib adalah mengedepankan orang yang diutamakan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta mengakhirkan orang yang diakhirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya serta membenci apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Melarang apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya serta meridhai apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan hendaklah kaum muslimin itu bergandengan tangan. Maka bagaimana (keadaannya) jika telah sampai pada perkara sebagian manusia menyesatkan dan mengkafirkan selainnya, padahal boleh saja kebenaran itu bersama orang yang disesatkan dan dikafirkan, dan lebih sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah?
Jika sekiranya saudaranya sesama muslim terjatuh dalam kesalahan dalam perkara agama lantaran lupa, maka tidak setiap yang jatuh dalam kesalahan itu otomatis menjadi kafir atau fasik. Bahkan Allah Ta’ala telah mengampuni bagi umat ini segala kekeliruan yang terjadi lantaran lupa. Allah Ta’ala menyatakan dalam kitab-Nya tentang doa Nabi shallallahu alaihi wasallam dan orang-orang beriman: “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah“. (Qs. Al-Baqarah : 286). Dan dalam as-Shahih dinyatakan, bahwa Allah Ta’ala berfirman saat itu: “Sungguh aku telah lakukan”.
Apalagi, kadang orang yang sepakat dengan kalian dalam sesuatu yang khusus dalam ajaran Islam, misalnya sejalan dalam mazhab Syafi’i, atau sama-sama berintisab dengan Syaikh ‘Adawy, lalu setelah itu ia menyelisihi pada sesuatu, dan boleh jadi kebenaran itu ada padanya. Maka bagaimana boleh seseorang itu kemudian berani menghalalkan kehormatan, darah dan hartanya?? Padahal telah jelas apa yang Allah sebutkan berupa hak-hak seorang muslim dan mukmin?!
Bagaimana boleh mengadakan perpecahan bagi umat dengan nama-nama bid’ah yang tidak ada asalnya baik dalam al-Qur’an dan tidak pula dalam sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Perpecahan yang terjadi dalam umat -baik kalangan ulama, masyaikh dan kibar- inilah yang menyebabkan penguasaan musuh atas mereka. Yang demikian lantaran mereka meninggalkan amal ketaatan pada Allah, sebagaiman firman Allah Ta’ala: “Dan diantara orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya Kami ini orang-orang Nasrani”, ada yang telah Kami ambil Perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; Maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian“. (Qs. Al-Maidah : 14).
Olehnya kapan saja manusia meninggalkan sebagian apa yang diperintahkan Allah, mereka akan terjatuh dalam permusuhan dan kebencian. Dan jika terjadi perpecahan, mereka akan rusak dan binasa. Sebaliknya jika bersatu, mereka akan baik dan berkuasa. Sungguh berjama’ah (bersatu) itu rahmat dan berpecah belah itu azab. Selesai perkataan Ibnu Taimiyah –rahimahullah-.[6]
§ Jawaban terhadap beberapa syubhat dan tuduhan yang dilemparkan oleh Ust. Abdul Qadir.
Pada dasarnya kami tidak mempersoalkan hujjah dan dalil Ust. Abdul Qadir yang diketengahkan dalam artikelnya, sebab demikianlah yang selama ini kami yakini dan percaya. Olehnya, dalam catatan ini kami hanya menjawab beberapa tudingan dan syubhat yang ia bidikkan.
“Diantara orang yang menganggap tidak bolehnya menggunakan istilah salafiy atau atsariy adalah seorang yang melantik dan men-tazkiyah dirinya sebagai “Pengamat Dakwah”, ia dilahirkan dengan Muhammad Ihsan Zainuddin, dan Penulis majhul risalah “Silsilah Pembelaan Ulama dan Du’at”. Demikian pula jama’ah yang ia bela, yakni Wahdah Islamiyah juga berpandangan sama. [Lihat Gerakan Salafi Modern di Indonesia, oleh Muhammad Ihsan Zainuddin. Tulisan ini dimuat di website resmi WI”.
Jawaban:
Ini adalah tuduhan Ust. Abdul Qadir terhadap artikel kami “Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at“. Begitu entengnya ia menuding, bahwa kami menganggap tidak boleh menggunakan istilah as-Salafy dan al-Atsariy. Sungguh merupakan kedustaan atas nama kami (team al-Inshof). Dan kami secara terbuka menantang Ust. Abdul Qadir menunjukkan dalam tulisan kami tersebut adanya pelarangan atau ungkapan tidak boleh menyematkan istilah as-Salafy atau al-Atsariy pada nama!!
Perhatikan ungkapan kami dalam artikel tersebut: “Perlu diperhatikan, kami tidak mengingkari secara mutlak kebolehan ber-intisab kepada manhaj salaf dengan memperindah nama kita melalui bubuhan kalimat as-salafy atau al-atsary di belakangnya, karena telah jelas perkataan ulama tentang hal ini. Yang kami ingkari adalah jika ternyata tidak ada korelasi antara intisab kita terhadap manhaj salaf dengan realita diri, baik dalam hal aqidah, ibadah, mu’amalah ataupun akhlaq. Sebab, ibroh terpenting adalah ketetapan kita terhadap manhaj yang shohih ini, dan bukan sekedar intisab (baca: pengakuan)”.[7]
Jelas sekali dalam kalimat di atas, bahwa kami –alhamdulillah– tidak pernah mengingkari intisab tersebut. Hanyasaja yang kami ingkari adalah, jika tenyata tidak ada korelasi antara nama dan yang dinamai. Dan inilah yang diisyaratkan oleh fatwa-fatwa para ulama Ahli Sunnah. Diantaranya fatwa Fadhilatus Syaikh al-Fauzan -hafidzahullah-: “Menggunakan nama As-Salafiyah[8] –jika sesuai hakekatnya-, tak mengapa. Adapun jika hanya sekedar pengakuan, maka tidak … tidak boleh baginya memakai nama As-Salafiyah,[9] sedang ia bukan di atas manhaj Salaf….”.[10]
Juga fatwa Samahatus Syaikh al-Allamah Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh –hafidzahullah– Mufti ‘Aam Saudi Arabiyah: “…Adapun perkataan seseorang, saya ‘salafy’, saya salafy ini dan saya salafy itu, maka gelar-gelar seperti ini merupakan pujian bagi diri sendiri, dan ini adalah sesuatu yang tidak pantas, sebab semestinya yang menjadi bukti adalah amalan. Adapun jika sekedar pengakuan dan pernyataan bahwa saya telah mendapat pujian dari fulan (atau tazkiyah) dari fulan, maka ini sama sekali tidak bermanfaat baginya. Tidak ada yang bermanfaat bagi anda kecuali amalan anda, keistiqomahan serta manhaj anda yang benar. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya inilah jalanku, maka ikutilah dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain yang menjadikan kalian berpecah-belah dari jalanNya”…”.[11]
Demikian pula Fatwa Fadhilatus Syaikh al-Allamah Abdullah bin Abdul Aziz Baz –rahimahullah– yang dinukil oleh Ust. Abdul Qadir dari buku BSDS: “Sebenarnya menisbatkan diri kepada kepada julukan-julukan seperti ini (salafi, atsari) bukan termasuk simbol syariat, bukan mengaku semaunya atau hanya klaim. Itu saja tak cukup. Akan tetapi, pengakuan itu butuh kepada realisasi dan bukti amal perbuatan. Merealisasikan sifat-sifatnya yang telah diperintahkan dan melaksanakan kewajiban-kewajiban merupakan tuntutan penisbatan diri kepada julukan-julukan tersebut“.
Karenanya, jika pengakuan dan intisab pada manhaj Salaf tidak disertai dengan realita dan bukti nyata berupa amal-amal terpuji menurut al-kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafussalih, maka itu sama artinya tazkiyah bagi diri yang sebenarnya tidak pantas untuknya. Dan ini termasuk perbuatan tercela menurut keterangan ulama mu’tabar.
Apalagi jika kemudian penamaan diri (at-tasammi) tersebut (dengan nama apa saja baik itu as-Salafiy, as-Syafi’iy, al-Hambaliy, al-Hanafiy, dan selainnya) untuk tujuan tahazzub, ta’asshub dan memecah belah umat. Hal ini telah diisyaratkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, setelah menyebutkan secara panjang lebar akan masalah at-tasammi tersebut: “Maka bagaimana boleh mengadakan perpecahan bagi umat dengan nama-nama bid’ah yang tidak ada asalnya baik dalam al-Qur’an dan tidak pula dalam sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?[12]
Demikian pula sangat jelas kami paparkan untaian mutiara dari Fadhilatus Syaikh Al ‘Allamah Abdullah al-Ghunaiman mantan guru besar Universitas Islam Madinah dan mesjid Nabawi, dalam tulisan beliau yang berjudul “al-Hawa wa Atsaruhu fi al-Khilaf“, kala berkata: “Kendati penyebutan “salafy” ada atsar yang menopangnya, dalam arti orang yang mengikuti jalan para shahabat, namun jika ia digunakan untuk tujuan ta’asshub atau fanatik terhadap satu kelompok tertentu, maka ia dibenci oleh syari’at.
Beliau –hafidzahullah– melanjutkan: “Disebutkan dalam sirah, pada salah satu perang Nabi shallallahu alaihi wasallam, terjadi sengketa antara dua orang pemuda, yang satu berasal dari golongan Muhajirin dan lainnya dari golongan Anshar. Lalu pemuda Muhajirin itu berseru: “Wahai Kaum Muhajirin!!”, sang pemuda Anshar-pun berteriak: “Wahai kaum Anshar!!”. Mendengar hal tersebut, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersegera keluar seraya berkata: “Ada apa ini, (ini adalah) seruan ahli Jahiliyah!!, tinggalkanlah, sebab ia tercela”.[13] Padahal, kedua nama ini (yakni Muhajirin dan Anshar) disebutkan dalam al-Qur’an, dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, tatkala ia digunakan untuk tujuan ta’asshub, maka ia menjadi sebuah perbuatan jahiliyah. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa seruan ini tercela sebab ia mengajak pada perpecahan dan perselisihan.
Demikian pula yang terjadi pada diri Salman al-Farisi saat perang Uhud ketika melempar salah seorang dari kaum musyrikin seraya berseru lantang: “Rasakan, Aku ini farisy (orang Persia)”. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda padanya: “Katakanlah, dan saya seorang muslim!”.[14]
Olehnya, sekali lagi kami katakan bahwa ini merupakan tuduhan yang dibangun atas sangka buruk dan sikap apriori. Alangkah lebih baiknya, jika dalam memahami perkataan dan tulisan seseorang dimulai dengan niat mencari kebenaran dan bukan untuk mengais-ngais kekeliruan dan kesalahan yang ada padanya.
“Maka perlu kami jelaskan bahwa menyatakan diri sebagai salafiy atau atsariy, bukanlah penyucian diri, tapi ia merupakan bentuk tamyiz dan tafriq (pembedaan) jati diri Ahlus Sunnah dengan ahli bid’ah sebagaimana hal boleh bagi kita menyatakan bahwa kita adalah muslim dan mukmin, bahkan boleh kita cantumkan dalam KTP kita. Ini bukan tazkiyah, walapun maknanya muslim adalah orang yang berserah diri, dan mukmin adalah orang beriman“.
Jawaban:
1. Kami sepakat, bahwa penamaan dengan as-Salafy bukan bentuk penyucian diri, jika memang penamaan tersebut sesuai realita sebenarnya.
2. Demikian pula kami sepakat jika penamaan tersebut untuk membedakan antara Ahli Sunnah dengan Ahli Bid’ah. Namun yang menjadi persoalan, makna “Ahli Bid’ah” menurut Ust. Abdul Qadir dan kelompoknya yang masih bermasalah. Sebab Ahli Bid’ah di sini lebih pada kelompok-kelompok Ahli Sunnah selain kelompoknya, atau kelompok Ahli Sunnah lain yang telah mereka “eliminasi” seenaknya dari barisan Ahli Sunnah. Perhatikan catatan kaki no. 4 artikel Ust. Abdul Qadir yang jelas-jelas menta’yin kelompok-kelompok mana saja yang tidak mungkin bergabung dengan “Ahli Sunnah”nya. Karenanya kami katakan, bahwa penamaan mereka dengan istilah as-Salafiy bukan lagi untuk membedakan mereka dengan Syi’ah, JIL, Mu’tazilah, Khawarij, Ahmadiyah dan sebagainya. Namun lebih pada pembeda kelompoknya dengan kelompok Ahlu Sunnah lainnya. Sebagai tambahan faidah, perhatikan pada catatan kaki ini (no. 4), Ust. Abdul Qadir menulis: Ahlus Sunnah (baca: Salafiyyun). Kami tidak tahu maksud sebenarnya dari hal ini (yakni, isyarat untuk membaca yang ada dalam kurun). Namun yang nampak di sini bagi kami ada dua hal. Pertama, ia masih mengakui kelompok-kelompok yang ia sebutkan satu persatu sebagai Ahlus Sunnah hingga perlu ia khususkan kelompoknya dengan kalimat Salafiyyun. Kedua, Ini mempertegas, bahwa kelompoknya adalah bagian kecil dari barisan Ahlus Sunnah yang ingin tampil beda hingga enggan bersatu dengan barisan Ahlus Sunnah lainnya. Wallahu A’lam.
3. Penyamaan antara penyebutan as-Salafy dengan Muslim dan Mukmin, perlu ditinjau ulang. Bagaimana mungkin menyamakan antara nama-nama Syar’i (yakni Mukmin dan Muslim) dengan nama yang baru dikenal kemudian??! Penisbatan diri dengan as-Salafiy tidak dikenal pada zaman nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat ridwanullah ‘alaihim, sedangkan Muslim dan Mukmin telah ada, digunakan bahkan disyariatkan.
“Inilah beberapa nukilan dan pernyataan ulama-ulama tentang bolehnya seseorang menamakan diri dengan salafiy atau atsariy, jika pengakuannya sesuai dengan realita dirinya. Adapun jika tak sesuai, maka kami juga tahu bahwa itu tak boleh, seperti pengakuan sebagian hizbiyyun pada hari ini bahwa mereka juga bermanhaj salaf alias salafiy. Walaupun ia malu-malu dan enggan menyebut dirinya sebagai “salafiy”.
Jawaban:
- Ust. Abdul Qadir pun sama mengakui, bahwa jika penamaan diri dengan as-Salafiy tidak sesuai realita sebenarnya, maka itu tidak boleh.
- Alhamdulillah sang “tertuduh hizbiyyun” tidak pernah malu mengatakan “Ana Salafiy”, “Ana berjalan di atas manhaj Salaf”. Dan sebagainya. Bahkan yang “tertuduh hizbiyyun” pun menjadikan materi utama daurah-daurah mereka, al-Wajiz Fii Manhaj as-Salaf, (“Garis-Garis Besar Manhaj Salaf“).
- Namun yang membedakan sang “tertuduh hizbiyyun” dan yang menuduh, sang tertuduh masih tahu diri agar tidak terlalu maghrur (tertipu) dengan penampilan zahir, hingga besar kepala menyematkan “gelar” as-Salafiy atau al-Atsariy di belakang nama mereka. Kami tidak tahu, apakah mereka juga menuding Kibarul Ulama semisal Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh al-Utsaimin, Syaikh al-Albany[15], Syaikh Bakr Abu Zaid dan masih banyak lagi yang tidak menyematkan “gelar” tersebut di belakang nama mereka, juga karena masih “malu-malu”. Sebab, lazimul kalam berindikasi ke sana. Dan semoga Allah merahmati seorang yang tahu kapasitas dirinya.
Demikian pula, di Makassar ada kelompok da’wah yang mulai mengaku sebagai Salafiyyun pernah mengadakan demonstrasi dalam menuntut pemerintah setempat. Mereka keluar ke jalan-jalan menuntut sesuatu yang mereka maukan, tanpa malu dan tanpa memperhatikan aqidah dan manhaj salaf dalam bermu’amalah dengan penguasa, serta tidak lagi memperhatikan adab dan akhlak islami.
Jawaban:
- Dalam catatan kaki (no. 15) tentang point di atas, jelas Ust. Abdul Qadir mengakui bahwa kelompok “Salafy” pernah mengadakan demontrasi akbar. Tempatnya di senayan Jakarta yang dihadiri begitu banyak massa. Hingga yang tidak ikut saat itu dapat dihitung dengan jari. Adapun demo yang pernah di lakukan oleh “pengaku salafiyyun” adalah ibarat turun ke jalan dengan jumlah yang dapat dihitung dengan jari dan tidak menganggu kepetingan umum. Dan yang tidak ikut serta padanya begitu banyak dan tak bisa di hitung.
- Demo yang dilakukan oleh kelompok “salafiy” begitu fulgar, memakai atribut militer sambil mengacung-acungkan aneka senjata tajam, dengan dalih Idzhar al-Quwwah serta dibumbuhi oleh parade-parade hasil latihan militer mereka. Adapun demo yang dilakukan oleh sang “pengaku Salafiyyun” adalah demo damai, tertib, tetap menjaga adab Islami, berpakaian yang sopan dan tidak dengan mengacung-acungkan aneka senjata tajam.
- Demo yang dilakukan oleh kelompok “salafiy” membuat orang takut dan khawatir akan keselamatan diri mereka, sebab tampil dengan aneka senjata tajam, atribut militer lengkap dengan sepatu laras, ditambah wajah sangar yang hampa dari senyum persahabatan. Adapun demo sang “pengaku Salafiyyun” turun ke jalan tetap dengan kedamaian, keramahan dan tidak membuat masyarakat umum ketakutan.
- Demo yang dilakukan kelompok “salafy” disertai cercaan dan makian terhadap pemimpin negara saat itu Presiden Abdul Rahman Wahid, dan (kemungkinan) tidak mengantongi izin darinya (buktinya Presiden saat itu murka). Sedangkan demo sang “pengaku Salafiyyun” tetap dengan adab islami, menghormati pemerintah setempat, kosong dari cercaan dan makian serta telah mendapat izin.
- Demo kelompok “salafy” disertai “pengepungan” kantor DPRD dan Istana Negara dengan aneka senjata tajam. Sedang demo “pengaku salafiyyun” tidak ada “pengepungan” dan sebagainya.
- Demo kelompok “salafy” dikategorikan sebagai bughot (memberontak), dan yang menguatkan hal tersebut, karena mereka keluar dengan aneka senjata. Dan bughot menurut terminologi fuqaha’ adalah mereka yang keluar dari ketaatan pada pemerintah dengan menggunakan senjata. Sedang demo “pengaku salafiyyun” masih sangat jauh dari kategori tersebut.
- “Pembangkangan” terhadap pemerintah dari para pendemo “salafy” belangsung bertahun-tahun hingga kemudian Laskar mereka digulung. Sebab sejak mula pemerintah tidak setuju dengan keberadaan mereka. Sedang demo “pengaku salafiyyun” hanya berlangsung beberapa jam saja.
- Ini dari sisi perbedaannya agar pembaca sekalian tahu siapa yang tidak menampakkan adab Islami, tidak tahu malu, dan bertindak lancang pada pemerintah serta siapa yang pemberontak. Adapun sisi persamaannya, kalau Ust. Abdul Qadir menyatakan bahwa para salafiyyun telah menyatakan taubat nashuha kepada Allah dan mengingkari hal tersebut, maka “pengaku salafiyyun” pun telah ruju’ dari perkara tersebut. Adapun tentang diumumkannya taubat kelompok “salafy” sebab kesalahan mereka diketahui oleh seluruh masyarakat tanah air dan diliput oleh media massa baik elektronik maupun media tulis. Adapun demo “pengaku salafiyyun”, tidak diketahui kecuali hanya sedikit, bukan skala nasional dan tidak diliput oleh media. Itu pertama. Perbedaan kedua, kelompok “salafy” terus mengungkit-ungkit masa lalu dari kesalahan orang lain yang tidak seberapa, sementara mereka pura-pura lupa dan masa bodo dengan masa silam mereka yang kelam. Seandainya bukan karena mereka yang mengungkit-ungkit masalah ini (lihat tuduhan ini di www.almakassari.com), sungguh kami tidak akan pernah mengangkat masa lalu yang suram mereka juga. Dan kami mohon ampun kepada Allah Ta’ala dari hal ini, jika memang dianggap sebagai kesalahan.
“Anggaplah –tapi ini jauh kemungkinannya- bahwa Syaikh Al-Utsaimin -rahimahullah- mengingkari secara mutlak semua orang-orang yang menamai dirinya sebagai Salafiyyun atau menisbahkan diri kepada Salaf, maka kita tidak begitu saja menerima fatwa beliau, sebab ada ulama’-ulama’ yang menyelisihi beliau, sedang dalil-dalil mereka lebih jelas dan kuat”.
Jawaban:
Beginilah karakter saudara-saudara “salafy” kita. Hanya mengambil ucapan dan fatwa dari ulama yang sesuai dengan selera dan hawa nafsu mereka.[16] Kendati kami pun yakin bahwa para ulama adalah manusia biasa yang tidak mu’shum. Boleh saja mereka terjatuh dalam kesalahan termasuk dalam fatwanya. Maka dari sini, mungkin saja orang-orang yang mereka tuding itu menggunakan “kaidah” yang sama. Bahwa semua fatwa-fatwa yang kelompok “salafy” gunakan untuk menyerang kelompok lain, kita tidak begitu saja menerima, sebab ada ulama-ulama yang menyelisihi beliau, sedang dalil-dalil mereka lebih jelas dan kuat.
Olehnya, berdasarkan “kaidah” ini pula mungkin saja kelompok Ikhwanul Muslimin akan berkata, bahwa fatwa Syaikh bin Baz yang kelompok “salafy” kemukakan tentang kesesatan Ikhwanul Muslimin dan termasuk dalam 72 golongan yang binasa, kita tidak begitu saja menerima-nya, sebab ada ulama-ulama yang menyelisihi beliau, sedang dalil-dalil mereka lebih jelas dan kuat. Sedang kami hanya mengingatkan, agar jangan membuka pintu penolakan terhadap fatwa-fatwa para ulama lantaran hawa nafsu dan ta’asshub hizbiyah. Alangkah lebih selamat jika kita mengumpulkan seluruh fatwa-fatwa tersebut, lalu melihat mana yang lebih jelas darinya berupa mauqif (sikap) beliau terhadap sesuatu.
“Alhamdulillah, Salafiyyun telah mengamalkan semua yang diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sesuai dengan kemampuan mereka. Salafiyyun tak perlu diajari bahwa jika mengaku salafi, yah harus beramal. Memang harus beramal sesuai tuntutan manhaj dan aqidah salaf. Siapa yang tak beramal, kalian wahai hizbiyyun, atau kah salafiyyun yang difitnah?? Nampaknya Penulis buta karena sikap salafiyyun yang selalu mengingkari dan menasihati ummat dari bahaya penyimpangan para ahli bid’ah khususnya, Sayyid Quthb, Hasan Al-Banna, dan Salman, Cs”.
Jawaban:
1. Ungkapan di atas kalau bukan sebagai bentuk tazkiyah diri, kami tidak tahu apa lagi. Bahkan dengan ungkapan “…telah mengamalkan semua yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam sesuai kemampuan”. Alangkah lebih bijak dan tawadhu jika Ust. Abdul Qadir berkata, “berusaha sedapat mungkin mengamalkan….”. Apalagi jika ia telah memastikan dengan mengatakan para salafiyyun telah mengamalkan … (secara mutlak tanpa ada taqyid sedikit pun). Padahal lebih selamat jika ia mengatakan “sepanjang pengetahuan kami”, atau “insyaAllah kebanyakan dari mereka dan selainnya”. Apakah al-Ustadz telah memeriksa setiap dari mereka, bahwa mereka telah mengamalkan semua yang diajarkan Nabi?? Sebagai pengingat bagi diri kami dan khususnya al-Ustadz Abdul Qadir dan kelompoknya, kami persembahkan sebuah riwayat yang mengambarkan keagungan sikap tawadhu yang jauh dari sikap takabbur, dan menganggap diri telah mencapai derajat kebaikan yang tinggi. Yakni riwayat dari al-Imam al-Hasan al-Bashri –rahimahullah– seorang ulama salaf dari kalangan tabi’in, yang diceritakan oleh Ibnu Nujaih, ia berkata: Seorang laki-laki pernah bertanya pada al-Hasan, dan berkata: “Apakah engkau seorang mukmin (orang yang beriman)?”. (al-Hasan) menjawab: “Jika engkau bertanya padaku tentang iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, surga, neraka, kebangkitan dan perhitungan amal, maka dengannya aku beriman. Namun jika engkau bertanya padaku tentang (kaitan) diriku dengan firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka“,[17] maka aku tidak tahu, apakah aku termasuk dalam golongan mereka atau tidak”.[18] Pembaca budiman, kalau orang semisal Imam al-Hasan al-Bashri yang kedudukannya begitu mulia di mata sejarah dan umat ini, berkata demikian sebagai bukti sikap tawadhu dan rendah hati, maka bagaimana dengan kita yang masih hijau dalam hal kesalehan dan sikap wara’??. Olehnya silahkan bandingkan sikap rendah hati beliau ini dengan sikap Ust. Abdul Qadir. Semoga Allah senantiasa memelihara kita semua dari sifat ghurur dan melampaui batas dalam bertindak.
2. Kalau memang demikian kenyataannya, maka ada beberapa hal yang harus dijawab, (1). Dalam hadits Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu anhu ia berkata: “Tidaklah Nabi shallallahu alaihi wasallam itu seorang yang suka berkata kasar dan bukan pula seorang yang berperangai kasar”.[19] Maka apakah celaan sebagai “Salafy Gadungan”, “Dajjal”, “Teroris Pemberontak” yang di arahkan pada para Ulama dan Du’at merupakan buah dari pengamalan ajaran Nabi?? (2). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Bukanlah seorang mukmin; orang yang suka menuduh, suka melaknat, suka berbuat keji, dan suka berkata kasar“.[20]. Maka apakah menuduh seorang sebagai Ahli Bid’ah tanpa landasan jelas, berkata-kata kasar atas dalih nasehat termasuk buah dari pengamalan ajaran Nabi??. (3). Dalam Shahih, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda: “Perumpamaan orang beriman dalam kecintaan, kasih sayang, dan lemah lembut seperti satu tubuh, jika salah satu anggotanya mengeluh sakit maka akan menyebabkan seluruh anggota tubuh lainnya merasakan demam dan susah tidur“.[21] Apakah senang melihat saudara muslim jatuh dalam kesalahan lalu dipermalukan dihadapan “Ummat” merupakan pengamalan ajaran Nabi?? Apakah mempermasalahkan tentang manhaj kaum muslimin di Palestina tepat pada saat mereka dibantai, kehormatan wanita-wanita muslimah dinodai dan anak-anak bayi kaum muslimin yang tak berdosa menggelepar bersimbah darah diterjang peluru Yahudi laknatullah alaihim, ketimbang mengumpulkan bantuan bagi mereka atau minimal do’a, merupakan pengamalan ajaran Nabi?? (4) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menceritakan (tentang seorang yang tertipu dengan kebaikan dirinya dan memandang rendah orang lain), bahwa seorang lelaki pernah berkata: “Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampuni si fulan. Lalu Allah berfirman: “Siapa yang berani bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak mengampuni si fulan, sungguh Aku telah mengampuni si fulan dan menggugurkan amal-amalmu”.[22] Maka apakah ucapan, “Afwan akhi, kita berbeda akidah, ana ahlul Jannah wa anta ahlun Naar“, atau perkataan: “Laa ya Akhi, Ana ahlul Haq wa anta Ahlul Batil“[23] secara ta’yin di hadapan saudara muslimnya sesama Ahlu Sunnah, merupakan pengamalan ajaran Nabi?!. Duh, pembaca budiman sebenarnya masih banyak sekali yang ingin kami kemukakan kepada kelompok “salafy” sebegai pertanyaan sejauh mana korelasi antara nama dan dinamai tersebut.
3. Kami ingin bertanya, umat yang mana wahai Ustadz? Sementara kenyataannya antum fi Wadin wal Ummah fii Wadin akhar. Namun jika ummat di sini adalah orang-orang yang sefikrah dengan kelompok antum, maka itu sesuatu yang benar. Tapi kalau yang dimaksud adalah kaum muslimin secara umum selain kelompok “salafy”, Wallahu A’lam bis Shawab. Silakan turun ke jalan, dan tanyakan ummat tentang antum dan kelompok antum, pasti anda akan dapatkan, bahwa yang mereka ketahui tentang kelompok “salafy” adalah kelompok yang keras, kasar, kaku, tertutup, ekslusif dan lain sebagainya. Maka apakah ini yang dinamakan pengamalan terhadap seluruh ajaran Nabi shallallahu alaihi wasallam??.
4. Berkaitan dengan para ulama dan du’at yang berjasa bagi perjuangan Islam yang disebut sebagai Ahli Bid’ah oleh Ust. Abdul Qadir, silahkan tengok jawabannya dalam tulisan kami, Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at.
“Padahal andai kita boleh masuk dalam pemilu, maka sebenarnya kita harus memilih dan mempertahankan pemerintah yang berkuasa, dalam hal itu GUBERNUR yang menjabat, sebagai bentuk ketaatan kita kepada pemerintah muslim”.
Jawaban:
Ini-lah buah jika bicara tanpa ilmu. Hingga berandai-pun masih jatuh dalam kesalahan. Bagaimana bisa dalam pemilihan gubernur itu, calon yang ikut “bertaruh” masih menjabat sebagai gubernur?? Tidakkah al-Ustadz tahu, bahwa sebelum pemilihan, seluruh calon yang ada telah non aktif dan kosong dari jabatannya dan digantikan oleh pejabat sementara, termasuk jika ia seorang Gubernur sebelumnya. Jadi, saat pemilihan tersebut calon-calon yang dipilih berada di atas status yang sama. Tidak ada pemimpin dan terpimpin pada saat itu. Seandainya apa yang al-Ustadz itu nyatakan benar, maka apa gunanya pemilihan kalau tokh yang harus dipilih itu-itu juga. Wallahu a’lam.
Tak mungkin Salafiyyun akan bersatu dengan Tabligh yang gandrung sufiyyah, atau HTI, YWI, At-Turots dan IM yang senang mencela pemerintah, dan mendemo mereka.
Jawaban:
Khusus yang digarisbawahi, maka kami hanya katakan “qul haatu burhanakum“, dan jangan hanya melempar tuduhan tanpa bukti dan dalil. Alhamdulillah sepanjang pengetahuan kami, bahwa kedua nama yang kami garisbawahi tersebut sangat jauh dari tuduhan dan fitnah Ust. Abdul Qadir. Apalagi dengan kalimat mubalaghah (hiperbola) ala kelompok “salafy”, senang mencela dan mendemo.
Pembaca budiman, sebenarnya masih banyak yang ingin kami beri catatan pada artikel Ust. Abdul Qadir ini. Akan tetapi, sebagiannya telah kami paparkan dengan jelas pada Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at. Silakan tengok, khususnya tuduhan dan syubuhat Ust. Abdul Qadir seputar nasehat terhadap pemerintah, korelasi pengakuan diri sebagai salafy dan realita, klaim menyatukan umat dan tuduhan kepada kelompok-kelompok lain sebagai pemecah belah umat, padahal realita berbicara sebaliknya, dan lain sebagainya. Wallahu A’lam. (AbRh).
[1] . Raa ‘ina artinya, sudilah kiranya engkau memperhatikan kami. Kala Para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi-pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut Raa’ina, padahal yang mereka katakan ialah Ru’uunah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar Perkataan Raa’ina dengan Unzhurna yang juga sama artinya dengan Raa’ina.
[2] . Yakni, lafadz tersebut termasuk lafadz muhdats (yang diada-adakan) dan mengandung kemungkinan makna lain. Olehnya, jika lafadz ini dimaksudkan untuk makna haq, ia diterima namun jika untuk meksud batil, ia ditolak. Misalnya, lafadz al-Jihah (secara bahasa bermakna arah), jika dimaksudkan bahwa Allah Ta’ala berada pada satu tempat yang meliputinya, maka kita katakan makna ini batil, Allah Ta’ala Maha Suci dari hal tersebut dan kita menolaknya. Adapun jika yang dimaksud al-jihah, bahwa Allah Ta’ala terpisah dari makhluk-Nya dan berada di atas mereka, yakni pada tempat yang tinggi secara mutlak, maka kita katakan ini adalah makna yang haq dan wajib diimani. Akan tetapi, sekali lagi lafadz jihah adalah lafadz muhdats muhtamal, dan lebih utama ditinggalkan. (Lihat penjelasannya pada Majmu’ al-Fatawa, V/299,366 dan Syarh al-Thahawiyah, h. 97).
[3] . Majmu’ al-Fatawa, IV/149
[4] . Perlu pembaca ketahui, bahwa istilah Salafy pada zaman beliau sudah dikenal, bahkan sebagaimana kami singgung di atas dari ucapan beliau –rahimahullah-, bahwa tidak ada aib untuk menampakkan dan menisbatkan diri pada salaf. Akan tetapi beliau menyatakan di sini, cukuplah bagi kita untuk mengatakan, “Aku adalah seorang muslim yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya“. Tidak lebih dari itu. Dan bukan, “Aku seorang muslim Salafiy“, sementara beliau sangat paham, bahwa nisbat pada salaf itu adalah nisbat pada manhaj Nabi dan para sahabat yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Olehnya, sekali lagi, sebagai penegas bagi poin ke-2 tentang tidak adanya kelaziman (keharusan) menggunakan istilah as-Salafiy, dikuatkan oleh pernyatan Ibnu Taimyah rahimahullah ini, bahwa ia bukan sesuatu yang lazim (harus) apalagi menguji manusia padanya.
[5] . Misalnya jika ia bertanya kepada seseorang, “Apakah engkau Syafi’iy (pengikut mazhab Syafi’i ?”, jika ia mengatakan “Iya”, maka diberi wala’ dan jika tidak, maka diarahkan permusuhan padanya.
[6] . Lihat: Majmu’ al-Fatawa, III/451-453. Program al-Maktabah al-Syamilah.
[7] . Lihat: Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at, bag. I.
[8] . Dalam buku asli milik kami bukan tertulis “As-Salafiy” sebagaimana yang ditulis oleh Ust. Abdul Qadir dalam artikelnya, namun “As-Salafiyah”. Kami tidak tahu apakah dalam buku cetakan milik beliau terjadi perubahan atau tidak, Wallahu A’lam. Namun kami bersangka baik saja, sebab barangkali ia hendak menyelaraskan terjemahan tersebut dengan konteks pertanyaan yang menyebutkan kata as-Salafiy. Akan tetapi tetap saja maknanya berbeda, “as-Salafiyah” bermakna manhaj, sedangkan “as-Salafy” mengandung makna nisbat pada manhaj tersebut. Olehnya dikatakan, kita berintisab pada manhaj as-Salafiyah dan bukan berintisab pada manhaj as-Salafiy.
[9] . Sekali lagi, yang tertulis adalah kata “As-Salafiyah”, dan bukan As-Salafiy”, seperti yang dituliskan oleh Ust. Abdul Qadir. Bahkan sampai akhir fatwa, tidak ada penyebutan as-Salafiy, namun yang Syaikh sebut adalah As-Salafiyah. Wallahu Ta’ala A’lam. Apakah maksud Syaikh –Hafidzahullah– seperti yang diinginkan Ust. Abdul Qadir atau tidak, sekali lagi Wallahu A’lam.
[10] . Lihat: al-Ajwibah al-Mufidah ‘An Asilah al-Manahij al-Jadidah, disusun oleh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan al-Haritsiy, I/14-15. Daar as-Salaf, th. 1416 H/1995M.
[11] . Lihat: Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at, bag. I.
[12] . Majmu’ al-Fatawa, III/453. Program al-Maktabah al-Syamilah. Lihat kelengkapan Fatwa beliau pada akhir tulisan ini.
[13] . HR. Muslim, Kitab al-Birr, wa al-Shilah, wa al-Adab, Bab Nasru al-Akh Dzaliman au Madzulaman.
[14] . Dan semisalnya seperti dalam riwayat Abu Daud, Kitab al-Adab, Bab Fi al-Ashabiyah.
[15]. Anehnya, dalam artikelnya tersebut Ust. Abdul Qadir menyematkan istilah al-Atsariy dibelakang nama Syaikh al-Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani. Kami tidak tahu –wallahu a’lam– apakah kalimat al-Atsariy itu memang benar dari Syaikh atau hanya perbuatan Ust. Abdul Qadir untuk lebih meyakinkan pembacanya. Padahal Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani secara sharahah menyatakan bahwa istilah al-Atsariy adalah “Maudhah al-‘Ashr”, atau trend zaman sekarang. (Lihat: As-Silsilah Ash-Shohihah, VI/ 417 dst. Program al-Maktabah al-Syamilah).
[16] . Termasuk penolakan mereka terhadap sebuah karya berharga dari Fadhilatus Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaid –rahimahullah– yang berjudul “Tashnifun Naas Baina al-Dzonni wa al-Yaqien“, lantaran tidak sejalan dengan selera dan hawa nafsu mereka. Bahkan penolakan tersebut diembel-embeli dengan ucapan tak mengenakkan, “(buku ini) teranggap sebagai sesuatu yang paling jelek beliau tulis…”. (Lihat paparan akan hal ini dalam artikel kami, “Fenomena “Salafy” dan Manhaj Kritik Terhadap Orang Lain”, catatan kaki no. 9
[17] . Qs. Al-Anfal : 2.
[18] . Lihat: Tafsir al-Baghawiy, surah al-Anfal ayat 2.
[19] . HR. Bukhari, no. 3295. Muslim, no. 4285.
[20] . HR. at-Tirmidzi, no. 1900, dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, dan Syaikh al-Albani –rahimahullah menshahihkan dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 1977
[21] . HR. Muslim no. 2586, dari Nu’man bin Basyir –radhiallahu anhu-.
[22] . HR. Muslim, no. 6847.
[23] . Lihat pemaparan akan hal ini dalam artikel kami yang berjudul Fenomena Salafy dan Manhaj Kritik Terhadap Orang Lain, catatan kaki no. 7.
JAUH DARI SEBRANG MAKASSAR AKU BERDOA SEMOGA UST ABD.QADIR MEMAHAMI TULISAN KRU AL INSHOF SEHINGGA TIDAK MENGELUARKAN BANTAHAN BARU UNTUK TULISAN BARU INI..KALAO' SAJA SEKELAS ILMUKU YG JAUH DIBWAH UST ABD QADIR SANGAT BISA MEMAHAMI TULISAN INI TAMPA TERHALANG SUBHAD2 DIRI MAKA LEBIH UTAMA BAGI UST ABD QADIR U/ MEMAHAMINYA SEBAB ILMU, KEWARAAN,PEMAHAMAN BELIAU SANGAT JAUH DIATASKU
SEMOGA UST ABD QADIR SELALU DLM PENJAGAAN ALLAH DAN KEPADA KRU AL INSHOF SEMOGA DAPAT TETAP BERADA DI JALUR YG INSHOF
SEMOGA PENJELASAN YANG TERANG BENDERANG BAK MENTARI INI DAPAT MENGUSIR GELAP DAN SURAMNYA SUASANA HATI SIAPA SAJA YG TERCEMARI DENGKI,IRI, DAN HASAD.AMIN
SUNGGUH DENGKI DAN HASAD ITULAH YG MENYEBABKAN MATA KORBANNYA BUTA,TELINGANYA TULI DAN HATINYA MEMBATU, SEHINGGA SETIAP BENTUK NASEHAT,PENJELASAN,KLARIFIKASI,SANGGAHAN BAHKAN BANTAHAN MELALUI PERKATAAN MAUPUN TULISAN MESKIPUN TELAH DI BANJIRI HUJJAH DALIL2 YG SANGAT RINCI DI SETIAP SUDUTNYA SELALU MENUAI PENOLAKAN DGN DALIH YG SANGAT DI PAKSAKAN…WALLAHUL MUST'AN…..SUNGGUH INI BUKANLAH CIRI SEORANG SALAFI….
KEBENARAN ITU ADALAH BARANG TERCECER MILIK SEORANG MUSLIM MAKA DIMANA SAJA DIA MENDAPATKANNYA DIALAH YG PALING BERHAK TUK MENGAMBILNYA…MESKIPUN IA MENDAPATINYA DI PEKARANGAN RUMAH RIVALNYA (MUSUHNYA)…
SEMOGA ALLAH 'AZZA WAJALLA SENANTIASA MENJAGA HATI2 KITA DARI BENIH2 DENGKI DAN IRI HATI, MENJADIKAN HATI2 INI TERPAUT SATU SAMA LAIN DALAM BINGKAI UKHUWAH ISLAMIYAH DIATAS MANHAJ SALAF SHALEH, JAUH DARI SIFAT CELA MENCELA, NODA MENODAI APALAGI BILA SAMPAI SESAT MENYESATKAN…WAL 'IYAZU BILLAH…..
SALAM UKHUWAH BUAT KRU AL INSHOF, SEMOGA ALLAH TA'ALA MERIDHOI USAHA ANTUM2 SMUA DAN MENJADIKANNYA SEBAGAI AMAL JARIAH YG TAK TERPUTUS MESKI TELAH BERKALANG TANAH….
SUNGGUH BANYAK MANFAAT ILMU YG KAMI BISA PETIK DARI SETIAP PENJELASAN ANTUM INI…DAN AKHIRNYA SMOGA ANTUM2 DAN KITA SEMUA BISA BENAR2 INSHOF…..AMIN
Subhanallah, penjelasan bagaimana lagi agar mereka Inshof???
Andi, Perth
perkataan syeikh fauzan yang mengingkari pembubuhan embel2 salafy dengan atsary ketika kita memahaminya dengan bijak dan benar tidak akan menyisakan secuil musykilah……. dan orang2 yang tidak menyematkan istilah itu dbelakang namanya alasan mereka bukanlah karena phoby atau keengganan untuk instisab dengan manhaj yang haq ini tapi semata2 ia merupakan bentuk at taaddub ma'aLLah ( sebagaimana perkataan syeikh fauzan )……….
Ana pernah ngaji di baji rupa namun ana kemudian tinggalkan sekitar akhir 90-an .Penyebab utamanya karena merasa kurang nyaman dengan sikap sebagian asatidzah dan ikhwa di sana yang gemar berbangga diri dan cenderung kibr.Padahal setahu ana sikap ini jauh dari akhlaf salafussoleh yang mengedepankan sikap tawadhu walaupun keilmuan, ibadah dan ketakwaan mereka jauh melebihi kita.Hal ini bisa kita simak dari buku "Aena nahnu min akhlaqissalaf".Dan bukankah para salaf ketika mereka menimba ilmu maka yang pertama mereka pelajari dan ambil dari para guru mereka adalah adab? Wajar mereka kemudian menonjol dalam adab dan akhlaq mereka.Sebaliknya wajar pula para ikhwa"salafiyyun" tampil trendi dengan berbagai macam klaim" assalafy","al-atsary","ahlulhaq","ahluljannah",yang lebih dominan nuansa ujub dan tazkiyahnya dibanding semangat menisbatkan diri pada manhaj salaf sehingga suka memandang enteng kepada orang lain dan susah menerima kebenaran dari orang lain(terutama yang tidak sekelompok dengannya) lha wong ini hasil didikan dari para Ustadzx yang sering ditazkiyah dan enjoy aja dipuji setinggi langit oleh para muridnya semisal" satunya-satunya pensyarah Bulughul Maram","murid Syeikh AlBani,Syeikh Utsaimin,Syeikh bin Baz karena sempat ketemu waktu musim Haji" dll.
assalaamu alaikum, subhanallah, kami ikhwa bau-bau sgt senang dgn khadiran alinshof. smoga syubhat yg mereka sebarkan dpt kami bendung dng hujjah yg jlas. jazaakumullahu khairan.
Allahu yahdiina wa iyyaahum("salafi")
semoga Allah berihkan dari hati-hati kita sekalian noktah-noktah hitam yang menghalangi masuknya hidayah, kita bersama berharap jangan sampai proses membatunya hati sudah pada stadium lanjut sehingga tidak bisa menikmati belaian hangat penjelasan yang menyejukkan dari kru al inshof.Allahu yahdiina wa iyyaahum…
kita juga harus membuka mata terhadap fatwa syaikh Al Utsaimin rahimahullah dalam shohwah islamiyah tentang larangan memecah umat ini dengan mengatakan ini ikhwani, tablighi, "salafi". lantas kita harus menjadikan fatwa syaikh ini sebagai bahan bandingan untuk menerima org yang bersebrangan dengan pendapat kita. setidaknya kita paham bahwa ini adalah masalah ijtihadiyah. wallahu a'lam. saya kira ini adalah buah dari hikmah ilmu seorang muslim. wallahu al muwaffiq.
Kalau seandainya keistiqamahan dan kebenaran aqidah serta akhlak seseorang cuman dinilai dari penampilan fisik dan embel-embel As-salafy, al Atsariy dibelakang namanya saja, maka sungguh setiap orang bisa saja dianggap sebagai pengikut salaf sejati hanya dengan mengikutkan kata-kata As-salafy atau Al-atsariy walaupun tingkah lakunya tidak sesuai dengan akhlak salaf yang sejati. Sebab kelompok al-Asya'irah dan al-Maturidiyah juga mengaku diri sebagai Salafiy padahal hakekatnya mereka jauh dari manhaj salaf yang benar. Menurut ana tidak terlalu urgen memasang embel-embel As-salafy atau Al-atsariy dibelakang nama kita karena seorang salafy sejati dikenal melalui akhlak dan pengamalan mereka mengikuti sunnah Rasullullah.
silahkan menggunakan nisbah tersebut semoga Allah berikan kemudahan dan kekuatan kepada yang mengenakannya untuk senantiasa menetapi dan meneladani salafus shalih baik dalam aqidah, ibadah, da'wah, muamalah dan tentunya akhlaq…
HATI YANG BERSIH PASTI AKAN PAHAM DALAM MEMBACA