Akh sofyan khalid mengatakan :
- Kedua : Muwazanah (Menyebutkan penyimpangan seseorang bersamaan dengan kebaikannya)
Adapun tentang keharusan muwazanah, terkadang dalam ceramah asatidzah WI tidak dengan terang-terangan mengatakan keharusan muwazanah, seperti dengan mengistilahkan tawazun, atau dengan ungkapan Ust. Yusron dalam salah satu kaset ceramahnya, ketika ia menjelaskan firman Allah –Ta’ala– tentang adanya Ahli Kitab yang berkhianat dan ada pula yang amanah. Di situ Ust. Yusron mengatakan, “Ayat ini merupakan dalil, terserah mau dinamakan muwazanah atau apa[1]”.
Dalam kaset berjudul Muhasabah, Ust. Yusron mengatakan, “Kalau hanya perkara muwazanah ini yang menjadi sebab permusuhan WI dengan Salafy, maka kami siap meninggalkan muwazanah, tapi tidak dalam prakteknya”. Saya kutip secara makna, silahkan merujuk langsung ke kaset-kaset tersebut.
Secara tersirat ia mengharuskan muwazanah dengan istilah apapun. Ini membantah persangkaan sebagian orang bahwa asatidzah WI tidak mengharuskan muwazanah. Ini dikuatkan oleh perkataan Hasan Bugis yang diterjemahkan oleh Ust. Rahmat Abdurrahman, Lc ketika dauroh di Kalimantan dan telah dibantah oleh Al-Ustadz Abu Karimah Askari –jazahullahu khoiron-.
Tanggapan :
Ikhwah fillah, kami tidak ingin berspekulasi tentang maksud yang diharapkan al-akh Sofyan Khalid dalam poin ini, utamanya kutipan terhadap ucapan Ust. Muhammad Yusran Anshor, Lc mantan gurunya sendiri. Namun sebagai amanah ilmiyah, kami harus melakukan klarifikasi langsung terhadap sang empunya qaul, dan tidak asal mereka-reka apa di balik perkataan seseorang, sebagaimana dilakukan akh-Sofyan terhadap perkataan Ust. Bahrun Nida, Lc yang juga mantan gurunya sendiri.[1] Namun yang kami khawatirkan adalah, jika al-akh Sofyan kemudian mengeluarkan sebuah kesimpulan prematur dari apa yang ia dengar tersebut.
Adapun maksud Ust. Muhammad Yusron Anshar, Lc –hafidzahulloh-, tidak lebih hanya seputar “perbedaan dalam penggunaan sebuah istilah”. Dimana jika hanya karena istilah muwazanah yang menjadi benang merah perselisihan, maka kita tidak segan-segan menanggalkan istilah tersebut,[2] dan tidak mengapa kemudian dinamakan dengan istilah-istilah lain, karena substansinya tidak beda. Dan realitanya memang demikian, kendati kita berusaha menampik. Sebab hal ini banyak sekali tersirat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah serta perkataan ulama ahlu sunnah, dalam perkara penerapan “manhaj muwazanah”,[3] seperti yang akan kami nukilkan dalam tulisan ini. Anehnya, al-akh Sofyan dan kelompoknya begitu gigih memerangi muwazanah, namun dia sendiri yang terjebak dalam “muwazanah”.[4] Dan ini merupakan bukti, bahwa sebenarnya muwazanah merupakan perkara badihy (alamiyah aksiomatik) dimana seseorang tidak dapat terlepas darinya, kendati dengan sekuat tenaga berusaha membohongi fitrahnya.[5]
Perlu kami tegaskan, bahwa dalam tataran aplikasi manhaj muwazanah ini, kami memiliki koridor nyata sesuai apa yang dipraktekkan oleh para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Terdapat kaidah-kaidah yang jelas, agar dalam aplikasi manhaj tersebut tidak serampangan sebagaimana tudingan kelompok “salafy”, demikian pula dalam hal penolakannya agar tidak semrawut dan “sapurata” seperti manhaj kelompok “salafy”, yang hanya menilik seseorang berdasar kesalahan dan kekeliruannya.[6] Dan kalau mau jujur, sebenarnya ini pula yang diakui sendiri oleh al-akh Sofyan dan kelompok “salafy” berkenaan dengan manhaj muwazanah kami.[7]
Maka dapat kami katakan di sini sebagai mabda’ bagi manhaj muwazanah WI:
Pertama: Perlu dipahami perbedaan dalam hal taqwim (meluruskan) seseorang atau jama’ah tertentu, dengan bantahan dan tahdzir (memberi peringatan agar orang lain berhati-hati) dari seseorang atau suatu jama’ah yang menyelisihi manhaj yang haq.
Dalam persoalan taqwim, maka tidak syak lagi, dibutuhkan bahkan wajib bersikap muwazanah antara kebaikan dan keburukan yang ada padanya. Sebab, dalam hal ini, posisi orang yang hendak meluruskan itu ibarat seorang qadhi yang harus melihat perkaranya dari segala sisi, agar melahirkan keputusan yang adil. Makanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika duduk di hadapanmu dua orang yang berseteru, maka jangan engkau putuskan perkara hingga engkau menyimak dari pihak lain sebagaimana engkau dengarkan dari pihak pertama, sebab yang demikian lebih pantas agar jelas bagimu keputusan“.[8]
Adapun dalam perkara tahdzir, maka tidak disyaratkan muwazanah padanya, yakni tidak disyaratkan penyebutan kebaikan padanya. Sebab maksud di sini adalah membantah penyimpangan dan bukan taqwim. Dan inilah yang diisyaratkan oleh Hadits Fathimah binti Qais saat minta nasehat pada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang perihal dua laki-laki yang hendak melamarnya: “Adapun Abu Jahm, ia tidak pernah menurunkan tongkatnya dari pundaknya, sedangkan Mu’awiyah ia adalah seorang yang miskin dan tidak memiliki harta“.[9]
Namun dalam kedua kasus di atas, tetap diwajibkan untuk berjalan di atas koridor manhaj ilmi dalam membantah dan meluruskan, dan bukan atas hawa nafsu dan tendensi pribadi.
Dalam Fatwanya tgl 16/12/1416, al-Allamah as-Syaikh Faqihul Ashr Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menyatakan: “….jika seorang hendak berkata tentang seseorang, jika maksudnya adalah taqwim, maka harus menyebutkan kebaikan dan keburukannya, lalu mengeluarkan hukum sesuai dengan kondisinya. Jika ternyata kebaikannya lebih dominan maka hendaklah dipuji (atas kebaikannya), namun jika sebaliknya, yakni keburukannya lebih banyak, maka ia dipuji (disebut) atas keburukannya. Adapun jika yang diinginkan adalah membantah bid’ah-nya, maka tidak ada tempat untuk menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Sebab, dengan menyebut kebaikan-kebaikannya pada saat membantah akan menyebabkan (kekuatan) bantahan lemah dan tidak diterima. Olehnya, dalam masalah ini harus diperinci…”.
Kedua: Masalah membantah Ahli Bid’ah. Sebagian orang menyangka bahwa pijakan manhaj muwazanah antara kebaikan dan keburukan, berarti bersikap diam terhadap kesalahan, pujian bagi ahli bid’ah, bersikap lembut pada mereka melalui penyebutan kebaikan-kebaikan serta memuliakan mereka di hadapan manusia. Tudingan ini jelas sangat keliru dan bukan pada tempatnya. Sebab membantah kesalahan dari siapa pun, dan dalam persoalan apapun merupakan tuntutan syar’i. Bahkan dikategorikan sebagai satu cabang dari sekian cabang-cabang jihad.
Akan tetapi, dalam masalah ini, dibutuhkan fikih seorang alim. Yakni hendaknya kita dapat membedakan antara tiga macam manusia yang terjebak dalam perbuatan bid’ah.
- Kelompok yang terjebak dalam bid’ah lantaran hawa nafsu dan syahwat. Dimana mereka menyembunyikan kebenaran, menyimpangkan nash-nash dan mencampuradukkan kebenaran dan keadilan. Dalam kelompok inilah pemuka-pemuka firqah sesat dari kalangan Rafidhah, Jahmiyah, Bathiniyah dan selain mereka berada. Mereka ini-lah yang oleh Ahlu Sunnah disebut sebagai Ahlul Ahwa’.
- Mereka yang terjerembab dalam bid’ah karena kejahilan, tidak bersungguh-sungguh menuntut dalil, serta muqashshir dalam ruju’ terhadap para ulama. Ini banyak dialami oleh penuntut ilmu yang masih baru, dan hanya membeo kepada orang yang mereka ikuti (taqlid), dimana mereka tidak menimba ilmu dari sumbernya yang masih asli. Maka untuk kelompok ini, wajib dinasehati dan dijelaskan pada mereka agar mengetahui kadar dirinya.
- Golongan ulama al-mujtahidin yang memiliki kesanggupan untuk berijtihad, serta telah mencurahkan segala potensi agar sampai pada kebenaran, akan tetapi mereka keliru dan jatuh dalam perkara bid’ah. Maka golongan ini, insyaAllah akan mendapat satu pahala (pahala ijtihad) dan tidak boleh merendahkan apalagi merusak kedudukan mereka. Namun tetapi tidak boleh mentolerir kesalahan mereka, dan dibantah dengan cara yang baik berasas akan mahabbah serta doa semoga Allah Ta’ala memaafkan ketergelinciran mereka itu, seperti Imam al-Baihaqi, Imam Ibnu Asakir, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Izzuddin bin Abdis Salam, Imam an-Nawawi dan selain mereka -rahimahumullahu jami’an-.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– berkata: “Banyak dari kalangan mujtahid salaf dan khalaf, yang kadang berkata dan berbuat bid’ah, namun mereka tidak mengetahui bahwa ia (perbuatan dan perkataan itu) termasuk bid’ah, boleh jadi lantaran hadits dhaif yang mereka sangka shahih, atau ayat-ayat yang mereka pahami tidak sebagaimana mestinya atau karena suatu pendapat yang mereka keluarkan dalam satu masalah padahal ada nash-nash namun belum sampai pada mereka. Jika ia seorang yang bertakwa pada Rabb-nya, maka tergolong dalam firman Allah Ta’ala: “Wahai Tuhan kami, jangan Engkau siksa kami karena kami lupa atau karena salah“. (Qs: al-Baqarah : 286), dan dalam as-Shahih dinyatakan, bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Sungguh telah Aku lakukan (ampuni engkau)“.[10]
Dalam kesempatan lain, beliau –rahimahullah– berkata: Tidak semua yang menyelisihi ssuatu dari perkara aqidah akan binasa. Sebab, boleh jadi ia seorang mujtahid yang terjatuh dalam kesalahan, dan kesalahan tersebut diampuni. Atau tidak sampai padanya ilmu apa yang sapat ia jadikan sebagai hujjah, atau ia termasuk yang memiliki banyak kebaikan, dimana karena kebaikan-kebaikannya itu Allah Ta’ala kemudian mengampuni kesalahannya”.[11]
Ikhwah fillah, dari sini jelas bagi kita akan mabda’ manhaj tawazun yang kami aplikasikan selama ini. Bahwasanya, dalam perkara meluruskan seseorang dan memberi nasehat padanya, dibutuhkan sikap tawazun atau muwazanah antara kebaikan dan keburukan pada diri seseorang atau jama’ah yang dinasehati. Adapun dalam urusan tahdzir serta bantahan bagi para penyelisih, manhaj ahli sunnah amat jelas yakni tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Olehnya, alhamdulillah, sikap tegas kami kepada agama Syi’ah, JIL, Ahmadiyah dan selainnya yang jelas menyimpang dan berbahaya bagi agama begitu nampak. Tidak berlaku muwazanah bagi mereka sama sekali. Dan dalam kondisi inilah berlaku aqwal salaf yang menunjukkan sikap keras dan tidak ada adanya penyebutan kebaikan bagi ahli bid’ah.[12] Olehnya, apakah antum pernah menyaksikan kami kala membantah kelompok-kelompok sesat tersebut, lantas menyebutkan pula kebaikan-kebaikan mereka ?? kalla, dan ini dikarenakan telah jelas bagi kami, bahwa mereka adalah kelompok Ahli Bid’ah yang jelas menyimpang.
Adapun selain mereka, dari golongan yang terjebak dalam kesalahan atau bid’ah lantaran kejahilan, dan tidak karena hawa nafsu dan syahwat, maka tentu saja yang bermanfaat bagi mereka adalah nasehat yang baik serta dakwah bil hikmah. Bukan dengan kekerasan dan menuding hidung mereka, apalagi mencemarkan kehormatan dan harga diri mereka.
Sedangkan jika yang terjatuh dalam kesalahan tersebut adalah para ulama dan orang-orang yang terkenal akan ilmu, maka sudah tentu manhaj kami sebagaimana manhaj para ulama salaf dalam menyikapi mereka –para ulama dan mujtahid- yang terjebak dalam kesalahan atau perbuatan bid’ah. Tidak lantas merubuhkan kehormatan dan mencederai harga diri mereka, wal’iyadzu billah.
Dan perlu kami singgung di sini, bahwa jika kita menilik milis-milis internet milik kelompok “salafy” yang anti manhaj muwazanah, rata-rata mereka datang memaparkan fatwa-fatwa dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalin al-Utsaimin, Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan selain mereka. Padahal, dan inilah kebiasaan kawan-kawan “salafy”, fatwa tesebut lahir dari sebuah pertanyaan umum, yang kemudian seenaknya ditanzil pada orang-orang tertentu dari kalangan ulama dan du’at. Misalnya, dengan mengajukan pertanyaan: “Ya Syaikh, apa pendapat anda tentang seorang yang memuji dan memuliakan ahli bid’ah dan menyebut-nyebut kebaikan mereka dengan alasan muwazanah dan inshof ?? Maka dapat dipastikan, dan tidak ada keraguan lagi para Masyaikh Kibar tersebut akan menjawab: “Perkara ini tidak boleh !!”. Dan ini merupakan perkataan yang haq, tidak ada keraguan padanya. Namun celakanya, kemudian fatwa ini ditanzil bukan pada tempatnya, untuk mendiskreditkan para ulama dan du’at serta merubuhkan manhaj inshof dan mu’adalah (muwazanah) secara mutlak.
Buktinya, fatwa-fatwa ulama mu’tabar tersebut di atas lantas mereka –kelompok “salafy”- ditathbiq (terapkan) untuk menuding dan mendiskreditkan Syaikh Dr. Safar al-Hawali, Syaikh Dr. Salman al-Audah, Syaikh Dr. ‘Aid al-Qarni, Syaikh Abdur Rahman Abdul Khaliq dan selainnya, padahal sang empunya fatwa hidup sezaman dengan mereka, berhubungan baik dan bahkan memberi tazkiyah kepada mereka yang dituding menyimpang karena menerapkan manhaj muwazanah. Dan ini merupakan sesuatu yang sangat mengherankan, sekaligus tuduhan secara tidak langsung terhadap para ulama kibar yang fatwanya dipakai seenaknya, bahwa mereka tidak konsekwen terhadap fatwanya, atau berfatwa tanpa ilmu atau tidak tahu dalam mentanzil fatwa mereka tersebut, maadzallah !
Dan yang tak kalah aneh lagi, kelompok “salafy” ini mencomot fatwa-fatwa dari para ulama kibar tersebut, lalu mengambil contoh aplikasi fatwa itu dari Syaikh panutan mereka dan bukan dari sang empunya fatwa sendiri. Dan inilah sebenarnya buah dari manhaj kritik mereka yang banyak melahirkan tanaqudhaat (pertentangan-pertentangan), silahkan lihat tulisan kami yang berjudul “Fenomena “salafy” dan Manhaj Kritik Terhadap Orang Lain“.
Olehnya, sebagai penegas dari manhaj muwazanah dalam menilai orang lain, serta peringatan bagi kelompok “salafy” yang menafikannya secara mutlak dan menuduh manhaj muwazanah sebagai manhaj Ahli Bid’ah, maka kami akan memaparkan dalil-dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah serta perkataan para ulama Ahli Sunnah yang mu’tabar berkaitan dengan masalah ini.
Pertama: Dari ayat-ayat al-Qur’an
§ Tatkala menyebutkan ahlul kitab, Allah menyinggung pula sebagian sifat mereka yang baik. Allah Ta’ala berfirman: “Di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya“. (Qs: Ali Imran : 75).
Dan kita pun maklum, pujian Allah dalam ayat ini bukan berarti pembenaran bagi kekufuran mereka, namun hanya menyebutkan –mengabarkan- sebagian sifat mereka yang baik. Ibnu Abbas –radiallahu anhuma– berkata: “Seorang pernah menitipkan sebanyak dua ribu dua ratus uqiyyah (1 uqiyyah 28 gram) emas kepada Abdullah bin Salam, lalu ia menunaikan (mengembalikan) amanah itu, maka karenanya Allah memuji ia, lalu seseorang juga menitipkan sebanyak satu dinar kepada Fanhash bin Azura’, dan ia menghianatinya”.[13]
§ Demikian pula perkataan ratu Saba’ saat menerima surat dari Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, : “Dia berkata (Ratu Saba) “sesungguhnya raja-raja jika memasuki satu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina; dan demikian pulalah yang mereka perbuat“. (Qs: an-Naml : 34).
Perhatikan potongan ayat yang digaris bawahi. Para mufassirun sepakat, bahwa ia adalah perkataan Allah Ta’ala yang membenarkan ucapan ratu Saba, yang waktu itu belum menyatakan tunduk pada agama Sulaiman alaihis salam dan beriman kepada Allah Ta’ala.
Dan uslub semacam ini banyak dijumpai dalam Al-Qur’an saat Allah Ta’ala memberi penilaian pada masalah-masalah tertentu. Contohnya dalam penyebutan hukum Khamar dan judi, Allah Ta’ala berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang khomar dan judi. Katakanlah : “pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”..(Qs: al-Baqarah : 219).
Juga firman Allah Ta’ala: “dan janganlah kebencianmu terhadap satu kaum membuat kalian tidak berlaku adil, berlau adillah karena keadilah lebih dekat dengan ketaqwaan..”. (al-Maidah : 6).
Berkenaan dengan ayat ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “(Allah Ta’ala) mencegah orang-orang beriman (jangan sampai) karena kebencian mereka terhadap orang-orang kafir, menjadikan mereka berlaku tidak adil (terhadap mereka). Maka bagaimana jika kebencian itu terarah kepada orang fasik atau ahli bid’ah lantaran ta’wil dari kalangan orang beriman?! Sudah barang tentu, ia lebih utama akan kewajiban atasnya agar tidak terbawa kebencian (yang menghalangi) untuk berlaku adil terhadap orang beriman, sekalipun orang itu berlaku zalim”.[14]
Dan masih banyak lagi, namun kami cukupkan dengan apa yang kami sebut diatas.
Kedua: Dari as-Sunnah.
- Hadits Hatib bin Abi Balta’ah radhiallahu anhu ketika ia melakukan kesalahan fatal, membocorkan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada peristiwa penaklukan kota Makkah. Sampai-sampai Umar bin Khattab radhiallahu anhu minta izin kepada Rasulullah memenggal lehernya, karena menganggapnya telah munafiq. Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencegah Umar, dan memberi maaf pada Hatib lantaran kebaikannya lebih dominan ketimbang kesalahan yang ia lakukan, melalui sabdanya: “Sungguh ia ikut serta dalam perang badar, apakah engkau tahu wahai Umar!, sungguh Allah Ta’ala telah menilik orang-orang yang ikut perang badr, lalu berfirman: “Kerjakanlah apa yang kalian mau, sungguh Aku telah mengampuni kalian“.[15]
- Dalam hadits fitan, seperti diriwayatkan Imam Bukhari dari Hudzaifah radhiallahu anhu, ketika ia bertanya pada Nabi shallallahu alaihi wasallam: “ Apakah setelah keburukan itu ada kebaikan, ya Rasulallah?”, Beliau menjawab: “Benar, namun di dalamnya ada asap…” Dalam keterangan ini, beliau menyebutkan kebaikan, kendati padanya ada keburukan.
- Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah membenarkan ucapan Iblis –‘alaihi la’natullah– yang nyata merupakan musuh bagi kita, sebagaimana dalam kisah Abu Hurairah –radhiallahu anhu– yang didatangi Iblis tiga malam berturut-turut dan mengajarkan padanya –khasiat- ayat kursi. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lalu berkata padanya: “Ia (Iblis) telah jujur padamu, walaupun ia adalah pendusta besar“.[16]
Ketiga: Perkataan Ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, dari kalangan salaf dan khalaf.
- Imam Sa’id bin Musayyab –rahimahullah– berkata: “Tidak ada seorang pun dari ulama yang mulia dan utama, melainkan ia memiliki aib.[17] Namun diantara manusia ada yang keburukannya tidak pantas disebutkan, sebab siapa yang kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya, maka kebaikan itu menutupi keburukannya”.[18]
- Imam Ibnu Sirin –rahimahullah– berkata: “Merupakan bentuk kedzaliman atas saudaramu,[19] engkau menyebut keburukannya melebihi yang engkau ketahui, lalu menyembunyikan kebaikannya”.[20]
- Imam Sufyan At-Tsauri rahimahullah berkata: “Ketika menyebutkan orang-orang sholeh, Allah Ta’ala akan menurunkan rahmat-Nya. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui keutamaan mereka, kecuali sebagian aib mereka lantaran hasad, ketergelinciran, ta’asshub, dan syahwat, maka diharamkan untuk menggibahi serta keluar dari koridor sebenarnya”.[21]
- Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah– berkata: “Jika pada diri seseorang ada kebaikan yang lebih dominan, maka kita harus bersikap adil padanya, Namun bila keburukannya lebih banyak, maka dia-lah yang mujarroh (tercela)”.[22]
- Perkataan Imam Ahmad Bin Hanbal –rahimahullah-. Abdullah al-Humaidy meriwayatkan kisahnya bersama Imam Ahmad dan Imam Syafi’i rahimahumullah. “Suatu hari ia dan Imam Ahmad mendatangi majelis Imam Syafi’i. Setelah majelis Imam Syafi’i selesai, Imam Ahmad bertanya pada Abdullah tentang Imam Syafi’i. Beliau (al-Humaidy) berkata : Maka saya pun lantas mencari-cari kesalahan Imam Syafi’i –sebab pada diriku ada kecemburuan terhadap suku quraisy-. Lantas Imam Ahmad berkata kepadaku: “Anda tidak ridha jika seorang dari suku quraisy (Imam Syafi’i) memiliki ilmu dan penjelasan seperti ini..?, telah lewat seratus masalah, kemudian beliau keliru pada lima atau sepuluh darinya, tinggalkan kekeliruannya dan ambillah apa yang benar”.[23]
- Berkata Imam Abu Hatim rahimahullah: “Aku menyampaikan pada Imam Ahmad sebagian ahlu Hadits Kufah yang meminum nabidz (sejenis minuman keras). Beliau kemudian menjawab : “Ini adalah ketergelinciran mereka, dan kita tidak menggugurkan ‘adalah mereka lantaran kesalahan tersebut”.[24]
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata saat memberi penilaian pada para ahlu tasawwuf : “Yang benar, mereka adalah orang-orang yang berusaha beribadah kepada Allah, sebagaimana orang-orang yang berusaha ta’at kepada Allah. Diantara mereka ada yang lebih dekat (dengan Allah) karena ibadah mereka, ada pula yang pertengahan, mereka juga termasuk golongan kanan. Dan pada kedua golongan tersebut, ada yang berijtihad dan keliru dalam ijtihad, ada yang melakukan perbuatan dosa dimana Allah mengampuni dosa mereka atau tidak, dan ada juga yang mengikuti golongan mereka, yang telah dzolim terhadap diri sendiri serta berdosa kepada Allah Ta’ala”.[25]
Beliau juga berkata tentang mereka (ahli tasawuf) : “Adapun yang mengikuti “permainan ini” -yang dilakukan orang-orang sufi- yang disebabkan takwil dari golongan orang-orang jujur, ikhlas, dan baik, maka telah terhapus dengan kebaikan mereka, begitu pula keburukan dan kesalahan lainnya yang lahir karena hasil ijtihad, dan ini adalah jalan orang-orang sholeh dari umat ini dalam menyikapi kekeliruan dan kesalahan mereka”.[26]
Beliau –rahimahullah– berkata pula: “Barangsiapa meniti jalan keadilan maka ia akan memuliakan orang yang berhak dimuliakan, cinta dan loyal padanya, serta memberikan pada setiap yang memiliki hak, hak-hak mereka dan kecintaan manusia, … dia mengetahui, bahwa setiap orang memiliki kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, hingga ia dipuji sekaligus dicela, mendapatkan balasan kebaikan atau hukuman, serta dicintai dari satu sisi dan dibenci pada sisi lain. Dan ini adalah manhaj Ahlus Sunnah yang menyelisihi Khawarij dan Mu’tazilah dan yang semisal mereka”.[27]
Beliau –rahimahullah– juga pernah berkata : “Banyak keadaan terkumpul pada satu perbuatan atau seseorang itu dua perkara –yakni kebaikan dan kesalahan- dimana celaan, larangan, dan hukuman kadang di arahkan pada apa yang dikandung pada salah satu dari kedua perkara tersebut (kesalahan), namun tidak boleh mengabaikan apa yang dikandung oleh perkara lain (kebaikan). Sebagaimana pujian, perintah, dan balasan kebaikan didapatkan dari salah satu dari kedua perkara tersebut (kebaikan), namun tidak boleh mengabaikan apa yang dikandung oleh perkara lain (keburukan). Terkadang, seseorang dipuji karena meninggalkan sebagian perbuatan dosa berupa bid’ah dan asusila. Akan tetapi, sekalipun demikian kadang tercabut apa yang dipuji oleh selainnya meskipun dia tetap melakukan sebagian perbuatan baik yang sesuai dengan sunnah. Maka inilah metode muwazanah dan keadilan. Barangsiapa yang menapakinya, maka ia telah menegakkan keadilan yang Allah Ta’ala turunkan padanya Kitab dan mizan “.[28]
- Imam Adz-Dzahabi –rahimahullah-, kala menyebutkan biografi Qotadah rahimahulloh, beliau berkata: “Semoga Allah berkenan memaafkannya dan orang-orang yang terjatuh dalam bid’ah semisalnya. Dimana niat mereka mengagungkan Allah, menyucikan-Nya, dan upaya mengerahkan potensinya, dan Allah adalah Hakim yang Maha adil serta Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya. Tak ada yang berhak mempertanyakan apa yang Dia lakukan. Kemudian jika kebaikan seorang ulama kibar lebih banyak, juga dikenal dengan kerjakerasnya dalam memperjuangkan kebenaran, dengan keluasan ilmu, kecerdasan, kebaikan, sifat waro’, (ketaqwaan) dan ittiba’nya terhadap sunnah, maka ketergelincirannya itu termaafkan dan tidak pantas kita memasukkannya dalam golongan kaum sesat yang membuat kita lupa dan lalai akan kebaikan-kebaikannya. Yah, kita tidaklah mengikuti bid’ah dan kesalahannya, dan kita pun berharap baginya taubat dari yang demikian”.[29]
Beliau –rahimahullah– berkata pula: “Secara umum seorang dipuji karena memiliki banyak keutamaan, bukan dengan mengubur kebaikan-kebaikan mereka hanya karena disebabkan sebuah ketergelinciran, dan semoga ia kembali dan menyadari kekeliruannya”.[30]
Beliau –rahimahullah– juga berkata ketika menyebutkan biografi Imam Al-Maruzy rahimahullah : “Seandainya setiap kesalahan ijtihad seorang ulama dalam sebuah masalah –padahal telah diampuni baginya-, lantas kita membid’ahkannya, maka tak seorangpun diantara kita yang selamat, tidak pula Ibnu Nasr, Ibnu Mandah dan yang lebih senior dari keduanya…dan hanya Allah yang Maha pemberi petunjuk pada jalan yang lurus, dan Ialah yang maha Pemurah dan kepadaNya kita berlindung dari hawa nafsu serta sifat yang kasar”.[31]
Ketika menyebutkan biografi Ibnu Khuzaimah, beliau rahimahullah berkata : “Seandainya setiap orang yang keliru dalam ijtihadnya -yang dilandasi niat dan semangat mengikuti al-haq– menjadi sebab kita mencela serta membid’ahkannya, maka amat sedikit diantara ulama yang selamat dari kita.[32] Semoga Allah merahmati kita sekalian dengan nikmat dan kemulian-Nya”.[33]
- Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah, dalam menegaskan ‘manhaj muwazanah’ beliau berkata : “Dan diantara kaidah pokok dan hikmah dalam agama kita, siapa yang memiliki banyak kebaikan dan mempunyai pengaruh besar dalam Islam, maka hukumnya berbeda dengan selainnya, dan menjadi sebab kesalahannya termaafkan. Sesungguhnya kemaksiatan adalah sesuatu yang kotor, namun jika jumlah air mencapai qullatain (dua kullah) maka tak ada yang membuatnya najis, berbeda dengan air yang jumlahnya sedikit, sebagaimana perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Umar radhiallahu anhu : “Dan apa yang engkau tahu wahai Umar, sesungguhnya Allah telah menilik hati ahlu Badr –yang ikut serta perang Badr- seraya berfirman: Lakukanlah apa yang kalian inginkan, sungguh Aku telah mengampuni kalian”. Dan ini pula yang menjadi penghalang beliau membunuh sebagian diantara kaum muslimin di zamannya, padahal ia berhak untuk dibunuh, dimana beliau mengabarkan, bahwa mereka telah ikut dalam perang Badr. Dan hal ini menunjukkan, pada hakikatnya syarat mereka untuk dibunuh telah terpenuhi, namun terhalangi dengan jasa mereka yang sangat besar. Intinya adalah ketergelinciran mereka tertutupi oleh kebaikan-kebaikannya. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan sahabat bersedekah, serta merta Utsman radhiallahu ‘anhu bersedekah dengan jumlah yang sangat banyak. Beliau lantas bersabda: “Tidak ada lagi sesuatu (amalan) yang membahayakan Utsman setelah hari ini”. Demikian pula sabda beliau kala menyaksikan Thalhah naik ke sebuah batu dengan punggungnya, “Sungguh syurga telah wajib bagi Tholhah“.
Begitu juga dengan Kalimullah Musa ‘alaihis salam yang melemparkan “alwah” yang diberikan Allah hingga pecah, bahkan beliau pernah menampar Malaikat Maut yang menjadi sebab rusaknya mata sang malaikat, dan juga ‘pengaduan’ beliau dalam peristiwa isra’ dan mi’raj: “Seorang pemuda (Rasulullah) yang diutus setelahku namun ummatnya lebih banyak yang masuk syurga dari ummatku”, beliau juga pernah menarik janggut saudaranya Harun seorang Nabi, namun semua itu tidaklah mengurangi kedudukannya di sisi Allah Ta’ala dan Allah mencintai serta memuliakannya, lantaran perseteruan Musa dengan musuhnya, ditambah kesabarannya di jalan Allah yang begitu besar, tidaklah ternodai oleh pelanggaran-pelanggaran beliau tersebut dan sedikitpun tidak menurunkan derajat beliau di sisi Allah.
Dan hal ini merupakan perkara aksiomatik di kalangan manusia, bahwa siapa yang memiliki ribuan kebaikan, menjadi sebab satu atau dua keburukannya termaafkan. Bahkan terkadang kebaikan dan keburukannya berseteru, yang kemudian keburukannya akan terkalahkan dengan banyaknya kebaikan, sebagaimana perkataan seorang penyair :
Jika sang kekasih melakukan sebuah kesalahan
maka ribuan kebaikannya akan datang sebagai penolong
dan syair yang lain menyatakan:
jika sebuah kekeliruan muncul darinya
maka betapa banyak kebaikan yang tersembunyikan
Dan kelak pada hari kiamat, Allah akan menimbang kebaikan dan keburukan seorang hamba, maka yang paling banyak itulah yang berpengaruh. Olehnya hendaknya seseorang memperbanyak amalan kebaikan yang akan menjadi sebab ia mendapatkan kecintaan dan keridhoan Tuhannya, hingga ketergelinciran yang mungkin dilakukan disebabkan tabi’at dasarnya akan terampuni disisi-Nya”.[34]
Beliau rahimahullah juga berkata: “Siapa yang memiliki ilmu syar’i dan pengetahuan akan realita pasti mengetahui, bahwa seorang yang mulia, memiliki jasa dan kebaikan serta kedudukan di mata Islam dan kaum muslimin, yang pada dirinya lahir kesalahan dan ketergelinciran, maka hal itu akan termaafkan. Bahkan ia mendapat pahala karena ijtihadnya. Olehnya, tidak pantas untuk mengungkit-ungkit perkara itu, dan tidak boleh kemudian merusak kedudukan, keilmuan, dan kemuliaannya di hati manusia”.[35]
Dalam kesempatan lain beliau rahimahullah berkata : “Seandainya setiap yang bersalah serta merta ditinggalkan dan dilupakan kebaikan-kebaikannnya, maka akan rusak seluruh cabang disiplin ilmu, hukum, dan akan rusak pula rambu-rambu serta kode etiknya”.[36]
Beliau rahimahullah juga berkata: “Sungguh amalan-amalan akan memberikan syafa’at dan pertolongan pada pemiliknya –di hadapan Allah- pada hari kiamat. Karenanya, siapa yang kebaikannya mengalahkan keburukannya, maka ia akan beruntung, tidak diadzab dan keburukannya itu tertutupi dengan kebaikannya”.
- Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata: “Orang yang inshof (adil) itu, adalah yang memaafkan kesalahan orang lain yang sedikit lantaran kebaikannya yang banyak”.[37]
- Syaikh al-Mujaddid Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Jika sebuah permasalahan belum jelas, tidak halal bagi kalian mengingkari orang yang berfatwa atau yang mengamalkan masalah tersebut, hingga kalian mengetahui kekeliruannya. Bahkan yang wajib adalah diam. Dan jika kalian telah yakin –akan kekeliruannya-, maka jelaskanlah, namun jangan kalian lupakan semua kebaikannya disebabkan karena satu masalah atau seratus atau dua ratus, sebab saya tidaklah meng-klaim ‘al-‘ishmah‘ (bebas dari kesalahan).”[38]
- Al-Allamah asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’dy rahimahullah berkata: “Seandainya orang-orang yang jatuh dalam kesalahan itu tidak memiliki udzur dan takwil –yang baik- sekalipun, maka bukan termasuk kebenaran dan keadilan jika dilupakan kebaikan-kebaikan serta terhapus hak-hak mereka atas kita lantaran masalah sepele, seperti kebiasaan pelaku kezaliman dan permusuhan. Sebab sikap ini mendatangkan mafsadah dan kerusakan yang besar. Adakah ulama yang tidak pernah salah.?!, dan adakah hakim yang tidak pernah keliru..?![39]
- Fadhilatus Syaikh al-Allamah Abdullah bin Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Merupakan satu kewajiban melakukan klarifikasi jika seorang alim atau da’i terjatuh dalam kesalahan dalam satu urusan, lalu diberi peringatan (teguran) tanpa menjatuhkan haknya pada apa yang ia benar padanya, bahkan wajib bagi kita untuk adil dan inshof … Dan tidak pantas bagi orang berakal meninggalkan kebenaran yang diucapkan seorang alim atau da’i hanya lantaran keliruan dalam sebuah permasalahan. Kebenaran lebih diutamakan dari segalanya, jika ia memiliki kebaikan dan kebathilan. Dimana kebaikannya diambil dan keburukannya ditinggalkan … kita tidak boleh menutup mata terhadap hak da’i secara keseluruhan, akan tetapi justru kita harus berterima kasih pada kebenaran yang ia sampaikan, dan kita menasehatinya dalam ketergelinciran yang ia jatuh di dalamnya”.[40]
- Al-Allamah Faqihul Ashr asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin rahimahullah, pernah ditanya: “Apa pendapat anda yang mulia, jika ada seorang yang hendak memberi penilaian pada orang lain, apakah disebutkan kebaikan dan keburukannya atau cukup dengan menyebutkan keburukannya saja?
Beliau rahimahullah menjawab: “Ini merupakan bentuk kedzoliman, sebab Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, hendaknya kamu menjadi orang-orang yang senantiasa menegakkan (kebenaran) karena Alloh, menjadi saksi-saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu pada satu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil, berlaku adillah karena sesungguhnya itu lebih dekat dengan ketaqwaan.“(Al-Maidah, ayat:8) . Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mencegah kita dari berlaku tidak berlaku adil kendati kita benci pada satu kaum, bahkan kita diperintahkan berlaku adil.
Dan sungguh Allah telah membenarkan kebenaran yang berasal dari orang-orang musyrik, demikian pula dari kaum Yahudi. Allah Ta’ala berfirman : “jika mereka melakukan perbuatan yang keji maka mereka berkata kami telah mendapatkan bapak-bapak kami melakukan hal tersebut dan Allahlah yang memerintahkan kami untuk melakukannya”. Adapun jawabannya : “katakanlah Allah tidak memerintahkan pada perbuatan keji” . Jadi Allah menolak perkataan mereka “dan Allah-lah yang memerintahkan kami untuk melakukannya“. karena itu adalah kebathilan, namun Allah mendiamkan pada perkataan mereka, “ kami telah mendapatkan bapak-bapak kami melakukan hal tersebut”. Sebab itu merupakan sebuah kebenaran.
Demikian pula saat seorang ulama kaum Yahudi datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan berkata: “Kami mendapatkan dalam kitab Taurat, sesungguhnya Allah menciptakan langit pada sebuah jari, begitu juga dengan bumi pada sebuah jari, ….maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tertawa sebagai bentuk pembenaran akan perkataannya, kemudian membaca Firman Allah: “Mereka tidak memberikan Allah pengagungan yang sebenarnya…” Jadi Allah mengakui perkataan mereka yang benar, kendati mereka adalah itu yahudi,.
Olehnya, wajib bagi yang hendak memberi penilaian pada orang lain, untuk memberi penilaian sempurna jika hal itu dibutuhkan dengan menyebut kebaikan dan keburukannya. Jika ia seorang yang dikenal semangat memberi nasehat pada kaum Muslimin, maka ia diberikan udzur atas kesalahan dan kekeliruannya, sebagai contoh kita melihat Imam Ibnu Hajr dan Imam Nawawi dan selain keduanya, dimana mereka memiliki kekeliruan dalam masalah aqidah, namun kita telah mengetahui –jasa mereka-, bahkan kekeliruan mereka tersebut adalah merupakan buah dari ijtihad”.[41]
Beliau rahimahullah juga berkata ketika membedakan antara masalah “membantah orang yang menyelisihi dengan penyebutan biografi serta menilai seseorang“: “Jika seorang berbicara tentang individu, maka itu tidak terlepas dari beberapa kemungkinan. kadang ia ingin memberi penilain, maka dalam hal ini wajib disebut kebaikan dan keburukannya, lalu memberi hukum sesuai dengan keadaan yang tepat. Jika kebaikannya lebih dominan, maka kita memujinya, dan jika sebaliknya maka kita menyebutkan keburukannya. Adapun jika ingin membantah kebid’ahannya, maka tidak perlu menyebut kebaikannya, karena hal itu akan menjadi sebab ia (bantahan) menjadi lemah dan tidak diterima oleh orang lain”.[42]
- Fadhilatus Syaikh Al-Allamah Abdullah bin Jibrin rahimahulloh, berkata tentang Sayyid Qutb dan Hasan Al-Banna rahimahumallah: “Sungguh keduanya adalah termasuk jajaran ulama kaum muslimin, dan termasuk du’at. Keduanya telah memberi manfaat dan hidayah lewat dakwah mereka, memiliki usaha-usaha yang kita tidak dapat ingkari. Karena itulah Syaikh bin Baz rahimahullah memberi syafa’at pada Sayyid Qutb kala beliau dijatuhi vonis hukuman mati, kendati syafa’at beliau diabaikan oleh presiden Jamal Abdun Nashir –‘alaihi minallohi ma yastahiq-. Dan ketika keduanya meninggal dunia, maka keduanya disebut sebagai syahid, sebab dibunuh dengan cara dzolim. Keduanya dipuji oleh khalayak umum dan orang-orang khusus lalu disebarkan lewat surat kabar dan majalah tanpa ada pengingkaran. Kemudian para ulama menerima hasil karya mereka berdua, dan buah tangan mereka tersebut memberikan manfaat begitu besar dan tidak ada yang mengingkarinya sejak lebih 20 tahun yang lalu. Dan jika keduanya ternyata keliru dalam sebagian masalah disebabkan penakwilan, maka derajatnya tidak sampai pada kekufuran, karena ulama-ulama terdahulu seperti Imam Nawawi, Imam As-Suyuthi, Ibnul Jauzi, Ibnu ‘Athiyah, Al-Khatthaby, Al-Qasthalany dan selain mereka pun mengalami hal serupa. Dan saya telah menelaah apa yang ditulis oleh Syaikh Rabi’ Al-Madkhali dalam membantah Sayyid Qutb, dan saya mendapati judulnya tidak sesuai dengan hakikat yang ada, olehnya, Syaikh Bakr Abu Zaid pun kemudian membantah beliau..
Begitu pula beliau (Syaikh Rabi’) telah menyerang Syaikh Abdur Rahman Abdul Khaliq dan menganggap perkataanya sesat menyesatkan. Padahal beliau telah bersama Syaikh Rabi’ dalam kurun waktu yang lama. Demikianlah sebagaimana perkataan penyair :
Mata yang ridho dari setiap aib akan menjadi buta
dan mata yang murka senantiasa menampakkan keburukan.[43]
Pembaca budiman, kami mohon maaf akan kepanjangan nukilan di atas. Padahal kami belum menyebutkan secara khusus penerapan manhaj muwazanah para ahli hadits (ulama al-Jarh wa at-Ta’dil) yang begitu banyak berserakan dalam kitab-kitab al-Jarh wa at-Ta’dil. Dan InsyaAllah pada kesempatan lain kami akan ketengahkan aqwal mereka sebagai jawaban terhadap syubhat yang dihembuskan kelompok “salafy”, bahwa tidak ada manhaj muwazanah di kalangan ahli hadits, dengan memaparkan contoh-contoh yang memang hanya berisi jarh. Sayangnya, contoh-contoh yang dikemukakan itu adalah perkataan ulama ahli hadits khusus yang dibidikkan pada perawi-perawi pendusta dan yang ditinggalkan haditsnya, dan bukan penilaian –kritik- rawi secara umum. Sebab merupakan perkara maklum, bahwa siapa yang tertuduh bahkan terbukti berdusta dalam satu hadits saja, maka seluruh riwayatnya tertolak, olehnya tidak ada faidah menyebut kebaikan-kebaikannya, karena secara umum riwayat-riwayatnya rusak, dan hukum dibangun berdasarkan sesuatu yang ghalib (dominan). Juga perlu kami tegaskan, bahwa tidak ada satu kitab yang berkaitan dengan al-Jarh wa at-Ta’dil, hingga yang benar-benar khusus membahas perawi-perawi “tercela” seperti kitab al-Majruuhin karya Ibnu Hibban, melainkan tetap berjalan di atas manhaj muwazanah dengan tetap menyebut kebaikan yang ada pada perawi-perawi hadits, jika untuk tujuan taqwim dan ta’rif.
Ala kulli hal, semua ini agar kelompok “salafy” yang menafikan secara mutlak manhaj muwazanah serta menudingnya sebagai manhaj ahli bid’ah sadar, bahwa ternyata begitu banyak para ulama Ahlu Sunnah yang menyerukan manhaj tersebut. Dan bahwasanya muwazanah merupakan perkara fitrah yang seorang pun tidak dapat terlepas darinya, kendati lisannya begitu fasih menolak dan menafikannya.
Dan perlu pula kami singgung di sini, sebuah kaidah aksiomatik yang sebenarnya telah kami isyaratkan dalam artikel kami, “Hati-Hati Banyak Mengkritik“,[44] bahwa hukum asal kehormatan dan harga diri seorang muslim adalah haram (untuk dicemarkan) untuk alasan apa-pun, sebab ia termasuk kezaliman.[45] Dan tidak boleh keluar dari hukum asal ini melainkan dengan dalil dan hujjah yang kuat pula (minimal menyamai kekuatan hukum asal tersebut). Karenanya, jika hujjah atau dalil yang ada pada kita masih dibangun di atas dugaan dan bukan di atas keyakinan, apalagi masih terdapat perbedaan pandangan ulama pada dalil kita itu, maka ia belum dapat dijadikan sebagai dalil keluar dari hukum asal itu. Dan ini sejalan dengan kaidah yang diterima oleh umum, bahwa “al-Yaqin La Yazulu bis-Syak” (Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan).
Dari sini jelas bagi kami, bahwa hujjah kelompok “salafy” menghalalkan kehormatan para ulama dan du’at belum sampai pada derajat “yakin” yang dapat mengangkat hukum asal kehormatan seorang muslim, apalagi seorang ulama dan du’at yang berjasa bagi Islam. Disamping karena kebanyakannya dibangun atas prasangka bahkan tuduhan, juga lantaran pendapat Kibarul Ulama mu’tabar yang memuji atau minimal mendiamkan masalah ini, jauh lebih banyak.[46]Dan kalau tokh mereka terjatuh dalam kekeliruan atau perbuatan bid’ah, maka mereka-pun belum sampai pada derajat golongan pertama (yang terjatuh dalam bid’ah) lantaran hawa nafsu dan syahwat. Minimal mereka berada pada kelompok kedua, jika tidak dikatakan sebagai kelompok ketiga, yang wajib diluruskan dan diberi nasehat secara hikmah, disamping tidak menutup mata atas kebaikan dan jasa mereka terhadap perjuangan agama ini.
Yang menjadi masalah, kelompok “salafy” begitu getol memaksa orang lain termasuk kami untuk ikut bersama fikrah mereka menuding para ulama dan du’at. Sedang bagi yang menolak, akan dituding balik sebagai pembela ahli bid’ah atau kesesatan. Dan berlakulah kaidah mereka yang sering kami ulangi, “In Lam Takun Ma’i fa Anta ‘Aduwwun Li“, (jika anda tidak bersama saya, maka anda adalah musuh bagiku). Padahal, alhamdulillah, sekali lagi, bahwa kami memiliki manhaj yang jelas.[47] Bukan asal-asalan dalam mendudukkan perkataan para ulama lalu mentanzilnya secara membabi buta. Intinya, kami tidak serampangan dalam menetapkan manhaj Muwazanah, sebagaimana antum serampangan dalam menafikan muwazanah serta menuduh para pengusungnya sebagai ahli bid’ah.
Semoga Allah Ta’ala merahmati seorang yang tahu akan kadar dirinya. Lalu mendudukkan pada posisi sebenarnya, dan tidak melampaui batas tersebut. Olehnya sebagai penutup sekaligus nasehat bagi kita, khususnya mereka yang tergesa memposisikan diri setaraf para imam jarh wa ta’dil lalu menimbang orang lain secara zalim, padahal dirinya belum ada apa-apanya, kami hadiahkan sebuah kisah dari Ahmad bin Ali bin al-Aabar rahimahullah, beliau berkata: “Aku menyaksikan di Ahwaz seorang pemuda yang masih tipis kumisnya, dan Aku menduga bahwa ia telah membeli buku-buku yang berisi kumpulan fatwa. Orang-orang lalu menyebut nama-nama ahli hadits, kemudian ia (pemuda itu) berkata: “Mereka tidak ada apa-apanya, mereka tidak menyamai sesuatu-pun“. Maka aku berkata padanya: “Shalat pun engkau belum benar !”. Ia bertanya: “Aku?“. “Iya“, jawabku. Aku lalu bertanya padanya: “Apa yang engkau hafal dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, kala engkau memulai shalat, dan mengangkat kedua tangan?”. Pemuda itu diam. Aku bertanya lagi: “Apa yang engkau hapalkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tentang engkau meletakkan kedua tangan di atas kedua lutut?“. Ia tetap diam. Aku bertanya kembali: “Apa yang engkau hapal dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, jika engkau sujud?” Ia pun masih tetap diam. Maka aku-pun berseru padanya: “Mengapa engkau tidak menjawab? Bukankah sudah aku katakan bahwa engkau masih belum shalat dengan benar. Yang pantas dikatakan padamu adalah engkau shalat subuh dua rakaat dan dhuhur empat rakaat. Tetapilah apa yang merupakan kebaikan bagimu, ketimbang engkau menyebut-nyebut para ahli hadits. Sebab engkau belum memiliki apa-apa dan belum baik dalam sesuatu“.[48] Wallahul musta’an. Bersambung InsyaAllah.
[1] . Lihat Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at, Bag. III.
[2] . Sebab ternyata kelompok “salafy” amat sangat trauma dengan istilah muwazanah ini, lalu kemudian menjadikannya sebagai ikon da’wah mereka, yakni muharabatul muwazanah (perang terhadap manhaj muwazanah). Celakanya lagi, justru mereka menjadikan manhaj muwazanah (berlaku adil, pertengahan dan sebagainya) sebagai manhaj ahli bid’ah dan bukan manhaj ahlu Sunnah !.
[3] . Berkaitan dengan Manhaj Muwazanah, kami akan bahas dalam tulisan tersendiri InsyaAllah, sebab tidak mungkin dimuat dalam poin bantahan ini. Olehnya, kami tegaskan, bahwa karena tulisan ini hanya dalam rangka membantah syubhat, maka kami hanya paparkan hal-hal yang dirasa penting dari manhaj muwazanah tersebut.
[4] . Sebagaimana pada artikel terbarunya yang merupakan jawaban dari “silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at” (Bagian I). InsyaAllah kami akan paparkan masalah ini dalam bantahan kami terhadap artikel tersebut. Dan Alhamdulillah, tulisan sudah kami siapkan, dan akan diposting setelah “Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at” ini kelar, insyaAllahu Ta’ala.
[5] . Kami mengatakan di sini sebagai perkara badihi (aksiomatik) yang tidak mungkin ditolak oleh fitrah, sebab manusia itu, bahkan antum sendiri (kalau masih jujur terhadap diri sendiri) pun tidak ridha jika hanya dikata-katai dengan sederet kesalahan-kesalahan lalu dilupakan dari kebaikan dan andil yang telah dilakukan dalam kehidupan ini. Kalau antum masih berkelit dan mengingkari juga, silahkan tanya lubuk hati antum yang paling dalam, itu pun jika hati kita masih bisa digunakan sebagai tempat bertanya!! Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata kala menulil perkataan Imam Qatadah: “Bersikap adillah hai anak Adam, sebagaimana engkau suka jika orang lain bersikap adil kepadamu. Dan timbanglah (dengan adil) sebagaimana engkau suka orang lain menimbang untukmu (dirimu). Sungguh keadilan itu adalah untuk kebaikan manusia“.(Lihat: al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, XVII/154, program al-Maktabah al-Syamilah).
Dan jangan sampai kita seperti yang disindir oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya: “(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi“. (Qs. Al-Muthaffifin : 2-3). Yah, jangan sampai kita hanya menuntut orang lain berlaku adil pada diri kita (dengan tidak melupakan kebaikan saat menyebut kesalahan), namun terhadap orang lain kita berlaku curang dan tidak adil. Padahal apa yang kita rasakan saat dizalimi, begitu pula yang dirasakan oleh saudara-saudara seiman kita saat terzalimi.
[6] . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– bahkan menyerupakan mereka dengan lalat, sebagaimana perkataan beliau dalam Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah VI/150: “….dan yang perlu engkau ketahui, bahwasanya orang yang jahil itu seperti lalat yang hanya hinggap di tempat sakit (kotor) dan tidak pada tempat sehat dan selamat. Adapun orang yang berakal, maka ia akan menimbang segala perkara (dari setiap sisinya) ini dan itu”.
Berkata Muhaqqiq kitab Raf’u al-Malaam ‘an Aimmah al-A’lam, Syaikh Ali bin Nayif al-Syuhud: “Akan tetapi yang manjadi masalah pada sebagian manusia, yang hilang pada dirinya sikap inshof dan adil, kala berhubungan dengan kabar dan kisah (para ulama), pada dirinya terdapat penyakit (hasad) terhadap ulama yang ia baca biografinya. Olehnya, ia membacanya hanya untuk tujuan mengais-ngais kesalahan dan kekeliruan serta melupakan kebaikan-kebaikannya. Orang ini, sebagaimana disifatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ibarat lalat yang tidak hinggap kecuali hanya pada luka (tempat kotor). Dan jelas ini menyelisihi manhaj al-Qur’an, sebagaiman digariskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan“. (Qs: al-Maidah : 8). Juga firman-Nya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat“. (Qs: al-An’am : 152). Kami mohon kepada Allah Ta’ala sifat adil dan inshof pada diri-diri kami, dan saudara-saudara serta musuh yang menyelisihi…”. (Lihat: Raf’u al-Malaam ‘an Aimmah al-A’lam, h. 300 Program al-Maktabah al-Syamilah. Vol. 3.3).
Subhanallah, hingga seperti ini ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– bagi orang yang kerjanya hanya mengendus-endus kesalahan orang lain, lalu melupakan kebaikan yang ada pada diri mereka. Kendati orang yang mereka endus kesalahannya itu seorang ulama ahlu sunnah atau mereka yang telah menanamkan jasa bagi perjuangan Islam ini. Yah, seperti lalat. Yang hanya tahu tempat kotor dan mangabaikan tenpat bersih yang jauh lebih baik baginya. Olehnya ambillah pelajaran darinya..!.
[7] . Kalau pembaca sekalian ingin bukti, silahkan lihat catatan kaki no 20 pada artikel terbaru Sofyan (bagian I) sebagai jawaban terhadap “Silsilah Pembelaan para Ulama dan Du’at”. InsyaAllah ulasan akan catatan kaki ini akan kami paparkan dalam bantahan kami. Namun sebagai muqaddimah, memang betul apa yang dikatakan oleh pembuat catatan kaki itu (yakni Ust. Abdul Qadir), bahwa kami menegakkan hajr terhadap Syi’ah, JIL dan Ahmadiyah. Kecuali satu hal, kami tidak pernah meng-hajr para salafiyyun di mana pun mereka berada. Sebab mereka adalah saudara-saudara kami yang bersama berjuang menegakkan al-haq, kendati mereka telah melampaui batas atas kami. Adapun kaum JIL, Syi’ah, Ahmadiyah, maka manhaj kami jelas, tidak ada “muwazanah” bagi mereka.
[8] . Hadits Hasan, riwayat Abu Daud (no 3582) dan at-Tirmidzi (no 1331).
[9] . HR. Muslim (no 1480).
[10] . Lihat: Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, XIX/192.
[11] . Ibid, III/146.
[12] . Seperti riwayat-riwayat dari kaum salaf yang diketengahkan oleh al-akh Sofyan Khalid dalam muqaddimah artikelnya, “Mengapa Saya Keluar dari Wahdah Islamiyah”, diantaranya:
1. “Dua orang dari kalangan pengikut hawa nafsu mendatangi Ibnu Sirin seraya berkata, “Wahai Abu Bakr, bolehkah kami menyampaikan satu hadits kepadamu?”. Beliau menjawab, “Tidak. Keduanya berkata lagi : Kalau begitu kami bacakan satu ayat Al-Qur’an kepadamu?” Beliau menjawab, “Tidak, kalian pergi dari sini atau saya yang pergi”. Lalu keduanya pun keluar. Sebagian orang berkata, “Wahai Abu Bakr, mengapa engkau tidak mau mereka membacakan ayat Al-Qur’an kepadamu?” Beliau menjawab, “Sungguh saya khawatir mereka bacakan kepadaku satu ayat lalu mereka selewengkan maknanya sehingga tertanam dalam hatiku”. [R. Ad Darimy (1/120/no. 397)]
2. Sallam –rahimahullah– berkata, “Seorang pengikut kesesatan berkata kepada Ayyub, “Saya ingin bertanya kepadamu tentang satu kalimat?” Maka Ayyub segera berpaling dan berkata, “Tidak, meski setengah kalimat, meski setengah kalimat” Beliau mengisyaratkan jarinya”. [R. Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah (2/447 no. 402), Al-Lalaka’iy dalam Syarh Ushul Al-I’tiqod (1/143/no. 291), Abdullah bin Ahmad dalam As Sunnah (1/138/no. 101), dan Ad Darimy dalam Sunan-nya (1/121 no. 398)].
3. Al Fudlail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Jauhilah olehmu duduk dengan orang yang dapat merusak hatimu (aqidahmu) dan janganlah engkau duduk bersama pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) karena sungguh saya khawatir kamu terkena murka Allah”. [R. Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah (2/462-463 no. 451-452), dan Al-Lalaka’iy dalam Syarhul Ushul (262)].
[13] . Lihat: Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, I/408. Program al-Maktabah al-Syamilah, vol. 3.3.
[15] . Lihat Shahih al-Bukhari, I/422, dan II/612.
[16] . HR. Bukhari, IV/396, 398. Al-Hafidz Ibnu Hajr al-Asqalani –rahimahullah– berkata: Artinya, Ia (setan) telah jujur kepadamu dalam perkataan ini, kendati kebiasaannya selalu berdusta. Dan ungkapan ini seperti perkataan mereka (ulama), kadang kala pendusta itu juga berkata jujur”. (Lihat: Fath al-Bari, IX/65, hadits no: 5009).
[17] . Hal ini sebagai penegas bagi sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang bersalah, adalah yang segera bertaubat“. (HR. Ahmad III/198, Ibnu Majah no. 4251, at-Tirmidzi no. 2499, dengan sanad hasan).
Apalagi, jika kezaliman tersebut terkait dengan harga diri dan kehormatan kaum muslimin secara umum dan ulama serta du’at secara khusus. Ibnu Daqieq al-Ied berkata: “Kehormatan kaum muslimin itu (ibarat) jurang dari sekian jurang-jurang neraka, dimana berdiri di bibir jurang tersebut dua golongan manusia, para ahli hadits dan hakim“. (Lihat: al-Iqtirah fi Bayan al-Ishtilah, h. 344). Subhanallah, kalau para ahli hadits dan hakim saja dikategorikan sebagai golongan yang berdiri di bibir jurang neraka di mana mereka hampir saja terjatuh di dalamnya karena berhubungan banyak dengan kehormatan dan harga diri kaum muslimin, maka bagaimana dengan mereka yang jahil dan tidak termasuk dalam satu dari kedua golongan tersebut?!.
[18] . Al-Kifayah, h. 102.
[19] . Dan merupakan perkara maklum dalam agama, bahwa kezaliman dalam bentuk apa-pun diharamkan oleh Allah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersama: “Hati-hatilah dari berlaku zalim, sebab kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat“. (HR. Muslim, no. 2578).
[20] . Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawy, II/202
[21] . Jami’ bayan al-ilmi wa fadhlih, II/162
[22] . Lihat: Al-Bidayah wa an-Nihayah, IX/250.
[23] . Adabus Syafi’i wa Manaqibuhu, h. 44. Lihat pula: Hilyah al-Auliya’, IX/69.
[24] . Al-Musawwadah, h. 265.
[25] . Majmu’ Fatawa, XI/18
[26] . Al-Istiqomah, I/279
[27] . Minhaj Sunnah, IV/543
[28] . Majmu’ Fatawa, X/365-366
[29] . Siyar a’lam an-Nubala, V/297
[30] . Ibid, XVI/285.
[31] . Ibid, XIV/40
[32] . Ucapan ini mengandung hikmah yang sangat dalam. Bahwa tidak seorang alim pun di dunia ini yang luput dari salah dan alpa, termasuk para ulama dan panutan kelompok “salafy”. Namun yang membedakan manhaj kami dan kelompok “salafy” ini, bahwa kami tidak pernah menanamkan kelancangan pada murid-murid kami dalam perkara ikut-ikutan mengendus-endus kesalahan para ulama dan du’at, termasuk mencari-cari kekeliruan ulama dan Syaikh panutan kelompok “salafy”, alhamdulillah. Kendati antara mereka dan ulama-ulama lain yang sepantaran terjadi “pertikaian” yang saling menjatuhkan satu sama yang lainnya. Sebab kami yakin, bahwa kehormatan dan harga diri mereka begitu agung dalam syari’at ini. Dan apa yang mereka lakukan tersebut tidak lain adalah demi kepentingan Islam dan kaum muslimin, kendati kami sadar bahwa tidak seluruh niat baik itu terealisasi dengan cara dan metode yang baik pula.
[33] . Ibid, XIV/374
[34] . Lihat: al-Fawaaid, h. 195
[35] . I’laam al-Muwaqqi’ien, III/283.
[36] . Madarij as-Salikin, II/39.
[37] . Lihat: al-Qawa’id, h. 3.
[38] . Tarikh Najd, II/169
[39] . Ar-Riyadh an-Nadzirah wal Hadaiqh An-Nayyirah Az-Zahiroh, h. 96.
[40] . Majallah al-Ishlah, 28/12/1413.
[41] . Majallah Al-Muslimun, edisi 4730.
[42] . Rekaman kaset tertanggal 16-12-1416 H
[43] . Lihat: www.islamgold.com.
[44] . Semoga Allah memberi hidayah pada situs www.cahayasalaf.co.cc milik “salafiyyun” Muna, (situs yang hanya mengumpulkan ma habba wa dabba dari tulisan-tulisan kelompok “salafy” yang berserakan di dunia maya) yang berusaha menjawab artikel kami ini dengan hanya mengutip terjemahan tulisan Dr. Ibrahim ar-Ruhaili. Akan tetapi, sebagaimana perkataan pepatah, jauh panggang dari api, atau sederhananya, tidak ada sangkutan antara yang membantah dan yang di bantah sama sekali. Dalam artikel kami tidak ada larangan untuk memberi kritik, namun yang menjadi sorotan kami adalah perkara “berlebihan” dalam kritik, hilangnya sikap wara’, serta penegasan akan besarnya kedudukan harga diri seorang muslim dalam syari’at Islam agar kita tidak serampangan dalam memberi kritik. Olehnya kami tidak berselera menjawab, sebab tidak ada yang perlu untuk dijawab. Ala kulli hal, kami ucapkan jazakumullahu khairan atas tanggapan dan kesedian antum menelaah artikel kami, semoga bermanfaat dan dapat membuka mata hati kita.
Kalau antum masih ragu juga, kami persembahkan sebuah riwayat dalam Musnad Imam Ahmad, III/367, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma, ia berkata: “Allah Ta’ala memberi harta rampasan Khaibar kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, lalu Nabi pun tetap mengizinkan mereka (penduduk Khaibar) menempati negerinya seperti semula, serta menjadikan antara beliau dan mereka (perjanjian bagi hasil). Beliau kemudian mengutus Abdullah bin Rawahah radhiallahu anhu untuk menetapkan perkiraan (pembagian hasil bumi) atas mereka, seraya berkata: “Wahai sekalian kaum Yahudi, kalian adalah makhluk yang paling saya benci, kalian benyak membunuh nabi-nabi Allah, dan berdusta atas nama Allah. Maka tidaklah kebencianku terhadap kalian ini menyeretku berlaku zalaim atas kalian. Aku telah menetapkan atas kalian (pembagian) dua puluh ribu wasaq dari buah kurma. Jika kalian mau maka itu untuk (kebaikan) kalian, namun jika tidak maka itu untukku. Maka mereka pun berkata: “Dengan inilah tegak langit dan bumi. Kami menerima dan keluarlah dari negeri kami“.
Subhanallah, jika kezaliman terhadap seorang yang kafir saja di haramkan, maka bagaimana jika ia seorang mukmin yang beriman kepada Allah Ta’ala, apalagi seorang ulama yang telah menghabiskan umur dan potensinya dalam thalabul ilmi, mengerahkan kemampuan mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil, serta berjuang di barisan terdepan membela harga diri dan kehormatan agama Allah Ta’ala dari makar musuh !?.
[46] . Yang menjadi masalah mendasar pada kelompok “salafy” ini, sikap tertutup dan ekslusif terhadap pendapat dan nasehat orang lain. Hingga jangan heran kalau mereka mentahdzir (baca: mem-protek) murid-murid mereka untuk tidak membaca atau menelaah apa saja yang datang dari luar dengan alasan jangan sampai terpengaruh syubhat. Seolah merekalah yang paling bersih dan benar, sedang pendapat atau nasehat orang lain dikategorikan sebagai syubhat. Demikian pula dalam hal tamassuk pada perkataan dan pendapat para Masyaikh panutan mereka. Kendati berseberangan dengan pendapat mayoritas atau ulama Kibar, tetap saja diperjuangkan dan dimenangkan. Olehnya, Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Mengambil pendapat-pendapat seseorang dan mendudukkannya seperti nash-nash syara’, lalu tidak melirik pada pendapat lain, bahkan tidak pula kepada nash-nash syara’ kecuali jika sesuai dengan pendapatnya, maka hal ini, demi Allah, merupakan kesepakatan umat akan keharamannya dalam agama Allah Ta’ala. Dan tidak nampak fenomena ini dalam tubuh umat melainkan setelah berlalunya qurun waktu mufadhalah (yakni zaman sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in)”. (Lihat: I’lam al-Muwaqqien, II/236).
[47] Hal ini telah dituangkan dalam salah satu poin naskah Aqidah dan Manhaj Wahdah Islamiyah sebagai berikut: “Kami berkeyakinan bahwa diantara ciri-ciri Ahl al-Haq adalah sikap inshaf (adil) terhadap orang yang berselisih paham dengannya, dengan tidak mengurangi sesuatu dari hak-haknya dan tidak menuduhnya dengan sesuatu yang tidak ada padanya, atau berkata yang tidak benar tentangnya. Adapun penyebutan kebaikan-kebaikannya kepada khalayak ramai ketika memberikan peringatan tentangnya (tahdzir), maka dikembalikan kepada pertimbangan mashlahat tentang hal itu. Maka dalam hal ini, ulama Ahl al-Sunnah perlu disebutkan kebaikan-kebaikannya, agar mereka tidak dianggap rendah dalam pandangan orang banyak. Sementara Ahl al-Bid’ah tidak disebutkan kebaikan-kebaikannya agar orang banyak tidak tertipu dengan mereka.”
[48] . Lihat: al-Kifayah, h. 19-20.
saran buat admin klo bisa dimuat juga komentar org yg tidak sepaham dg tulisan2 anda… biar lebih fair…
pada hakikatnya orang yang mengkalaim dirinya as-salfi seharusnya mereka tidak hanya mengambil aqidah salaf namun mengabaikan akhlaq salaf dan ini sering tedengar istilah para uts dua lemba artinya aqidah fi wadin akhlaq fi wadin akhar oleh karena itu wahai al muddai ass-salaf sadarlah jangan sampai antum tidak sadar enkau memakan daginng saudaramu setiap saat dan salah-satu yang menyebabkan umat islam terbelakang adalah perpecahan ini yang musti kita khawtirkan.
aqidahnya shahihah, ibadahnya sunnah, akhlaqnya karimah….insya Allah ada pada antum sekalian Team Al Inshof….hafadzakumullah