Segala puji bagi Allah Ta’ala, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas qudwah kita, Nabi Besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarga, para shahabat dan segenap pengikutnya hingga hari kiamat kelak.

Pembaca budiman, masih dalam Silsilah Pembelaan para Ulama dan Du’at, maka dalam kajian ini kami akan mengangkat isu (baca: syubhat) yang termasuk paling banyak diangkat kelompok “salafy” untuk menuding sesat orang lain, yakni masalah Pemilu. Baik yang ikut “bertarung” di dalamnya atau sekedar memberi dukungan suara.

Makanya jangan heran, dalam situs-situs kelompok “salafy” ramai menggelar fatwa-fatwa ulama panutan mereka yang mengharamkan ikut Pemilu, termasuk memberi hak suara. Dan kami kira dalam hal ini kelompok “salafy” mendapat dukungan gerakan Hizbut Tahrir yang mengeluarkan pendapat sama, kendati untuk alasan berbeda. Sayangnya, kebanyakan situs-situs tersebut hanya berisi lampiran-lampiran fatwa dan bukan suguhan ilmiyah alasan pelarangan tersebut. Lalu dari fatwa-fatwa tersebut, mereka jadikan sebagai batu ujian untuk menguji orang lain. Dan yang paling anyar dari alasan pengharaman tersebut, dikarenakan Pemilu merupakan hasil produk demokrasi, maka siapa yang terlibat di dalamnya dikategorikan sebagai pendukung demokrasi yang berseberangan dengan Syari’at Islam !?

Karenanya, tulisan ini sengaja kami buat secara sistematis, agar pembaca sekalian mendapat suguhan jawaban ilmiyah, dan bukan sekedar qila dan qaala atau hanya sekedar kumpulan fatwa-fatwa, lalu membangun manhaj darinya, tanpa ambil peduli terhadap landasan fatwa-fatwa itu sendiri. Dengan dalih husnud dzon terhadap sang empunya fatwa, bahwa tidak mungkin fatwa itu keluar dari hawa nafsu dan kejahilan. Sangka baik semacam ini ada benarnya, namun sangat rentan menjebak kita dalam kubangan ta’asshub hizbiyyah. Na’udzu billah min al-Hizbiyyah al-Madzmumah.

Sofyan Khalid berkata berkaitan dengan “kesesatan” WI:

· Ketiga : Terjun dalam Politik Demokrasi

Tanggapan:

Sebelum menjawab tuduhan dan syubhat Sofyan Khalid dalam masalah ini, terlebih dahulu kami paparkan secara ringkas hujjah yang berkaitan dengan Pemilu, serta mauqif kami terhadap-nya. Sebab, inilah diantara dalih kelompok “salafy” menjadikan saudara muslim-nya sebagai bulan-bulanan kezaliman. Yang demikian, agar jelas bagi pembaca sekalian, pondasi yang kami jadikan sebagai patokan dalam membangun sebuah sikap. Bukan hanya atas ucapan dan klaim seseorang tanpa ada penjabaran lebih lanjut. Demikian pula agar menjadi jelas perkaranya sebelum masuk dalam sesi menjawab tuduhan dan syubuhat.

§ Pengangkatan seorang Pemimpin dari sisi realita dan syari’at.

Secara umum, pengangkatan seorang pemimpin, baik dalam skala nasional maupun daerah merupakan hal yang diakui oleh realita dan syari’at. Dari sisi realita, adalah sebuah keharusan adanya kepemimpinan yang mengatur suatu wilayah atau negara, apakah melalui sistem pemilihan umum, warisan tahta kekuasaan dan sebagainya. Sedang dari sisi Syar’iyyah, jika seorang muslim ditawarkan kesempatan memberi suara pada sebuah keputusan kekuasaan, wajib baginya memilih yang tegak di atas Syari’at Islam. Jika tidak terdapat hal ini pada diri calon-calon yang bertarung, maka harus memilih yang paling utama di antara mereka dan paling ringan mudharat-nya. Sebab jika selain kaum muslimin atau orang yang kurang baik agamanya menduduki tampuk kekuasaan, besar kemungkinan akan melahirkan mudharat bagi kaum muslimin.

Sejarah umat Islam menjadi bukti, bahwa pemilihan dan pengangkatan seorang pemimpin telah dikenal dan dianjurkan. Begitu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat, kaum muslimin sepakat menunjuk Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai Khalifah. Demikian pula Khalifah Abu Bakar saat menjelang wafat, mengusulkan agar Umar bin al-Khattab sebagai penggantinya. Dan seterusnya, hingga para ulama menyimpulkan, kepemimpinan itu dapat terwujud melalui tiga keadaan yang telah ma’ruf, yakni: Pemilihan yang dilakukan oleh ahlul halli wa al-aqdi, istikhlaf (penunjukan seorang untuk menjadi pemimpin setelahnya), kudeta atau penggulingan kekuasaan. Imam Ibnu Hazm –rahimahullah– bahkan menambah satu hal, yakni mengajak orang memilih dirinya untuk menjadi seorang pemimpin.[1]Artinya, jika seorang khalifah meninggal dan tidak menunjuk seseorang yang akan menggantikannya, disamping majelis ahlul halli wa al-aqdi belum memilih seorang khalifah bagi kaum muslimin, maka menurut Ibnu Hazm –rahimahullah– dibolehkan bagi seseorang yang terpenuhi padanya syarat-syarat seorang pemimpin mengajukan dirinya, dan hal ini tidak ada perdebatan padanya. Jika berhasil menduduki tampuk kepemimpinan, waka wajib taat, memberi bai’at, dan menyerahkan ketaatan padanya, hal ini sebagaimana dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib –radhiallahu anhu– tatkala Utsman bin Affan wafat.[2]

Dari riwayat-riwayat ini-lah, kemudian para ulama menetapkan kaifiyyah seseorang mencapai tampuk kepemimpinan yang syar’i. Sebab hal tersebut dilakukan dan diamalkan para shahabat yang mulia, sedang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Hendaklah kalian mengikuti sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ al-Rasyidin setelahku“.[3]

Namun yang menjadi persoalan pada zaman belakangan ini, khususnya setelah runtuhnya khilafah Utsmaniyah di Turki, nyaris tidak ditemukan lagi negara yang menerapkan sistem pemilihan bagi pemimpin melalui jalur syar’i. Kebanyakannya dibangun atas asas demokrasi hasil produk kaum kuffar. Dimana majelis ahli halli wa al-aqdi yang sejatinya diduduki oleh para ulama dan pemuka kaum yang bermusyawarah menunjuk seorang menjadi pemimpin tidak ada lagi. Sedang yang menempati posisi mereka adalah orang-orang yang berhasil meraup suara terbanyak dalam Pemilu untuk duduk dalam Parleman, siapa pun ia tanpa melihat kapasitas dan kadar keshalihannya. Demikian pula pemimpin sebuah negara, akan maju mencalonkan diri berdasarkan suara terbanyak yang di raih partai pendukungnya.

Akan tetapi, bersama dengan fenomena ini, secara badihiy darury umat manusia khususnya kaum muslimin butuh seorang pemimpin yang mengatur sistem kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sebab tidak dapat dibayangkan, bagaimana sebuah organisasi masyarakat hidup tanpa adanya seorang pemimpin. Karenanya, syari’at Islam yang datang demi mewujudkan kebaikan (mashlahat) dan mencegah kerusakan, memberi perhatian besar bagi tegaknya sebuah kepemimpinan dalam organisasi masyarakat. Meletakkan kaidah-kaidah dan rambu-rambu, baik yang berkaitan dengan pemimpin, rakyat, mu’amalah rakyat terhadap pemimpi dan sebaliknya. Termasuk diantaranya menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang pemimpin. Sebab kebaikan seorang pemimpin adalah kebaikan bagi masyarakat (baca: ummat), sedang kerusakan seorang pemimpin adalah kehancuran bagi umat. Olehnya Imam Abdullah bin al-Mubarak –rahimahullah– berkata: “Dua golongan manusia, jika keduanya baik maka baik pula manusia, namun jika keduanya rusak, maka rusak pula manusia. Keduanya adalah penguasa dan ulama“.[4] Artinya, mashlahat dan kerusakan bagi umat sangat ditentukan oleh kebijakan yang lahir dari seorang penguasa. Olehnya, lahir-lah sebuah kesepakatan pada umat ini, perlunya menetapkan dan memilih seorang pemimpin yang dapat menciptakan mashlahat bagi umat, atau minimal mudharat yang ditimbulkan lebih kecil. Sebab, keberadaan seorang pemimpin merupakan sebuah aksiomatik yang tidak dapat dielakkan, di atas sistem apapun organisasi masyarakat itu hidup.

§ Kaidah-kaidah Syar’iyyah sejalan dengan kebolehan berpartisipasi dalam Pemilu

Dari uraian di atas, maka para ulama menetapkan kaidah-kaidah syar’iyyah bagi kebolehan musyarakah (ikut serta) dalam Pemilu, baik dalam arti ikut “bertarung” di dalamnya, atau minimal memberi dukungan suara bagi calon yang mampu mengemban aspirasi umat, menciptakan mashalahat atau minimal mengurangi mudharat bagi umat Islam. Sekali lagi, jika telah jelas bahwa tujuannya adalah mendatangkan manfaat dan mencegah kerusakan bagi umat. Diantara kaidah-kaidah syar’iyyah tersebut:

1. Kaidah Maa Laa Yatimmul Wajib Illa bihi fa Huwa Wajib, [Jika suatu kewajiban tidak sempurna lantaran sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib pula]. Adalah satu ketentuan, bahwa menciptakan kebaikan dan mashlahat kaum muslimin dalam kehidupan dan kebebasan menjalankan syari’at agama Allah merupakan sebuah kewajiban. Dan jika kaum muslimin mengabaikan ikut serta memberi dukungan dan suara pada pemimpin yang dapat menjamin hal ini, dikhawatikan akan naik sebagai pemimpin orang yang jauh dari akhlak Islam, atau bahkan orang-orang kafir dan sekuler akan mendominasi parlemen. Maka dapat dipastikan akan memberi dampak bahaya bagi kehidupan umat. Olehnya, wasilah untuk mewujudkan kemashlahatan umat tersebut juga menjadi wajib ditempuh (kendati sebagai kehati-hatian, kami belum sampai menyatakan ia sebagai sesesutu yang wajib, minimal sangat dianjurkan).

2. Kaidah adh-Dharar al-Asyadd Yuzalu bi al-Akhaf, [Kemudharatan yang Besar dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan]”. Tidak disangkal, bahwa masuk dan ikut memberi dukungan suara dalam Pemilu mengandung mudharat. Sebab ia bersinggungan langsung dengan aturan-aturan yang menyelisihi syari’at Islam. Akan tetapi, jika tidak terdapat kaum muslimin yang ikut dan masuk ke dalam sistem untuk tujuan memberi perbaikan, menjelaskan keunggulan aturan-aturan Islami, memberi perlindungan terhadap kaum muslimin dan sebagainya, maka dapat dipastikan akan menimbulkan mudharat yang jauh lebih besar. Karenanya, bergabung dan ikut mendukung calon muslim yang memiliki ghirah Islam, kendati dikategorikan sebagai sebuah mudharat, namun hal tersebut bertujuan mengatasi mudharat yang jauh lebih besar.

3. Kaidah Ihthiyat Jalbi al-Mashalih wa Daf’i al-Mafasid [Kemungkinan untuk mengambil manfaat dan menghilangkan kerusakan]. Kaidah ini jika diaplikasikan pada parlemen dan musyarakah memberi dukungan suara pada seorang calon muslim yang memiliki ghirah Islam, maka ia masuk dalam kondisi darurat kemungkinan memberi manfaat bagi kaum muslimin dan mencegat mudharat (kerusakan) bagi mereka, khususnya dalam perkara pembuatan kebijakan dan aturan. Imam Izzuddin bin Abdis Salam rahimahullah berkata: “Jika suatu wilayah yang luas dikuasai oleh orang-orang kafir, lalu mereka menyerahkan jabatan qadhi kepada seorang (muslim) untuk memberi mashlahat bagi kaum muslimin secara umum, maka yang nampak adalah hendaknya ia menerima jabatan tersebut demi terciptanya mashlahat bagi kaum muslimin secara umum dan mencegah kerusakan yang lebih besar.[5]

4. Kaidah I’tibar al-Dzaraai’ wa an-Nadzar fi al-Ma’aalat, [Memperhatikan kerusakan (yang bakal terjadi) serta memandang pada akibat-akibat yang dapat ditimbulkan]. Kaidah ini banyak digunakan para fuqaha dalam keputusan hukum. Misalnya Umar bin al-Khattab radhiallahu anhu memerintahkan Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu anhu menceraikan istrinya yang beragama Yahudi. Hal ini agar jangan sampai pasukan yang berada di bawah kepemimpinan Hudzaifah mengikuti perbuatannya, hingga berpaling dari wanita-wanita muslimah. Dan ini tentunya dapat menjadi fitnah bagi mereka. Karenanya, Imam Izzuddin bin Abdis Salam berkata: “Terkadang boleh bekerjasama atas dosa, permusuhan, kefasikan, dan maksiat, namun bukan karena keberadaannya sebagai maksiat, akan tetapi karena ia merupakan wasilah (sarana) untuk mencapai mashlahat“.[6] Contohnya, mengorbankan harta yang banyak guna membebaskan tawanan perang. Ia haram bagi yang mengambil-nya namun boleh bagi yang mengeluarkannya. Jika diperhatikan, sebenarnya maksud dari perkataan beliau di atas adalah untuk tujuan menutup pintu kerusakan lebih besar yang bakal terjadi atas tawanam muslim.

5. Kaidah al-Umuur bi Maqashidihaa, [segala tindakan tergantung niat dan tujuannya]. Dari kaidah ini, dibangun kebolehan bagi kaum muslimin belajar ilmu kimia, kedokteran dan selainnya dari kaum kuffar (jika hal ini tidak ada pada kaum muslimin), kendati dalam pelajaran tersebut akan banyak terlihat aurat yang diharamkan Islam. Akan tetapi, jika hal tersebut untuk niat khidmat pada kaum muslimin serta mengangkat kesulitan bagi mereka, maka ia dibolehkan. Demikian pula masuk atau memberi dukungan suara pada parlemen, jika diniatkan untuk tujuan mashlahat kaum muslimin serta menghilangkan kesulitan bagi mereka, maka ia dibolehkan.

Adapun dhawabith atau batasan-batasan bagi mereka yang ingin terjun dan bertarung dalam Pemilu tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Tidak boleh menyakini bahwa dirinya dan selainnya memiliki hak membuat hukum selain Allah Ta’ala. Masalah penentuan hukum atas sesuatu, baik halal atau haram, benar atau buruk, seluruhnya merupakan hak prerogatif bagi Allah Ta’ala. Olehnya, tidak halal bagi seorang muslim ridha dan mengakui akan hal ini, yakni menempatkan dirinya sebagai pembuat undang-undang dan aturan.

2. Menyakini bahwa keikut-sertaannya untuk tujuan meringankan keburukan atau meminimalkan kerusakan (al-mafasid) atau untuk mewujudkan sebagian dari mashlahat. Bukan kedudukan di parlemen yang menjadi tujuan. Dan Manhaj Syar’i khususnya dalam aturan-aturannya yang universal sangat banyak mendukung hal tersebut.

3. Tidak boleh terlibat dalam hal ini, melainkan setelah tahaqquq (memastikan) adanya mashlahat dan tertolaknya kerusakan sesuai kemampuan. Dan ia bukan merupakan -apa yang santer selama ini- sebagai program dakwah atau pijakan tarbiyah. Demikian pula, tidak boleh bergabung padanya orang-orang lemah yang rentan terhadap fitnah atau orang yang sangat tamak dan rakus akan kekuasaan. Hanya saja, yang bergelut di dalamnya adalah mereka yang telah terpenuhi padanya syarat-syarat sebagaimana ditetapkan para ulama.

Berangkat dari kaidah-kaidah dan dhawabit di atas, maka kami memandang kebolehan ikut dalam memberi dukungan suara pada Pemilu, untuk tujuan mashlahat bagi kamu muslimin dan menghindari kerusakan yang lebih besar. Dan bukan karena mengakui dan mengganggap benar hukum demokrasi. Sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam juga masuk dalam jiwar (perlindungan yang didasarkan oleh hukum Quraiys saat itu) Abu Thalib paman beliau lalu ke jiwar al-Muth’im bin ‘Adiy,[7] demikian pula Abu Bakar as-Shiddiq masuk dalam jiwar Ibnu ad-Dugunnah, dan para shahabat yang lainnya.[8] Adapun posisi kita dalam pandangan hukum syar’i, berkenaan dengan kondisi hidup di bawah hukum yang tidak dibangun di atas landasan Syari’at, seperti orang terzalimi. Dan orang terzalimi akan selalu berusaha keluar dari kezaliman atau minimal berupaya meminimalisir kezaliman yang lebih besar lagi atas dirinya.

§ Fatwa-Fatwa Ulama Ahlu Sunnah Mu’tabar Tentang Pemilu

Adapun Fatwa-fatwa Ulama Mu’tabar berkaitan dengan masalah pemilu begitu banyak, namun kami cukupkan beberapa diantaranya:

Pertama: Fatwa Lajnah Daimah Tentang Sikap Seorang Muslim Terhadap Partai-partai Politik.[9]

Soal: Sebagian orang mengaku sebagai muslim namun tenggelam dalam partai-partai politik, sementara di antara partai-partai itu ada yang mengikuti Rusia dan ada pula yang mengekor Amerika. Dan partai-partai ini terbagi menjadi banyak, seperti Partai Kemajuan dan Sosialis, Partai Kemerdekaan, Partai Orang-orang Merdeka –Partai Al Ummah-, Partai Asy Syabibah Al Istiqlaliyyah dan Partai Demokrasi, serta partai-partai lainnya yang saling mendekati satu sama lain. Bagaimana sikap Islam terhadap partai-partai tersebut, serta terhadap seorang muslim yang tenggelam dalam partai-partai itu ? Apakah keislamannya masih sah ?

Jawaban: Barang siapa yang memiliki pemahaman yang baik tentang Islam, iman yang kuat, keislaman yang terbentengi, pandangan yang jauh ke depan, kemampuan retorika yang baik serta mampu memberi pengaruh bagi kebijakan partai hingga dapat mengarahkan ke arah yang Islami, maka ia boleh berbaur dengan partai-partai tersebut atau bergabung dengan partai yang paling dekat dengan al haq, semoga Allah memberi manfa’at dan petunjuk dengannya, sehingga ada yang mendapatkan hidayah untuk meninggalkan gelombang politik menyimpang menuju politik syar’i dan adil yang dapat menyatukan barisan ummat, menempuh jalan lurus dan benar. Akan tetapi jangan sampai ia justru mengikuti prinsip-prinsip mereka yang menyimpang. Adapun yang tidak memiliki iman dan pertahanan seperti itu, serta dikhwatirkan terpengaruh dan bukan memberi pengaruh, maka hendaknya ia meninggalkan partai-partai tersebut demi melindungi dirinya dari fitnah dan menjaga agamanya agar tidak tertimpa seperti yang telah menimpa mereka (para aktifis partai itu) dan mengalami penyimpangan serta kerusakan seperti mereka.

Wabillahittaufiq, Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Ketua : Abdul Aziz ibn Abdillah ibn Baz.

Wakil Ketua : Abdurrazzaq ‘Afifi

Anggota : Abdullah ibn Ghudayyan

Anggota : Abdullah ibn Qu’ud.

Kedua: Fatwa al-Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahullah Tentang Keikutsertaan Dalam Pemilu

Soal Kedua : Apakah hukum syar’i memberikan dukungan dan sokongan berkaitan dengan masalah yang telah disebutkan terdahulu (maksudnya: pemilihan umum) ?

Jawaban : Pada saat ini kami tidak menasehati seorang-pun dari saudara-saudara kami kaum muslimin untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen yang tidak berhukum kepada hukum Allah, kendati (negara) itu mencantumkan dalam undang-undangnya “agama negara adalah Islam”, sebab teks semacam ini terbukti hanya untuk “meninabobokkan” anggota parlemen yang masih baik hatinya!!. Itu disebabkan karena ia tidak mampu mengubah satu-pun dari pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang yang menyelisihi Islam, sebagaimana telah terbukti di beberapa negara yang undang-undangnya memuat teks tersebut (bahwa “agama negara adalah Islam”-pent).

Ditambah seiring perjalanan waktu, ia kemudian turut menyetujui beberapa hukum yang menyelisihi Islam dengan alasan belum tepat waktunya melakukan perubahan. Sebagaimana kita saksikan di beberapa negara, sang anggota parlemen mengubah gaya penampilan Islami dengan mengikuti gaya barat agar sejalan dengan (gaya) para anggota parlemen lainnya!. Padahal ia masuk dalam parlemen untuk tujuan memperbaiki orang lain, malah justru ia telah merusak dirinya sendiri. (Seperti kata pepatah) hujan itu mulanya hanya setetes namun kemudian menjadi banjir!. Olehnya, kami tidak menyarankan seorangpun mencalonkan dirinya (sebagai anggota parlemen). Akan tetapi saya memandang tidak ada halangan bagi rakyat muslim bila dalam daftar calon anggota legsilatif itu terdapat orang-orang yang memusuhi Islam dan terdapat pula calon-calon anggota legislatif muslim dari partai yang memiliki manhaj yang berbeda-beda, maka -dalam kondisi seperti ini- kami menasehatkan agar setiap muslim memilih (calon anggota legislatif) dari kalangan Islam saja dan orang yang paling dekat dengan manhaj yang shahih sebagaimana telah dijelaskan (manhaj salaf-pent).

Saya mengatakan ini –walaupun saya yakin bahwa pencalonan dan pemilihan ini tidak dapat merealisasikan tujuan yang diharapkan seperti telah dijelaskan terdahulu- sebagai suatu upaya untuk meminimalisir kejahatan atau sebagai suatu bentuk usaha menolak mafsadah yang lebih besar dengan menempuh mafsadah yang lebih kecil sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha’.[10]

Soal ketiga: Apakah hukum keluarnya kaum wanita untuk turut serta dalam pemilihan umum ?

Jawaban : Dibolehkan bagi mereka keluar dengan syarat yang telah diketahui bersama yang harus mereka penuhi, yaitu mengenakan jilbab syar’i dan tidak bercampur baur (ikhtilath) dengan kaum pria. Ini yang pertama.

Kemudian mereka hendaknya memilih orang yang paling dekat kepada manhaj ilmu yang shahih sebagai suatu upaya menolak kemafsadatan yang lebih besar dengan menempuh kemafsadatan yang lebih kecil sebagaimana telah dijelaskan.[11]

Ketiga: Fatwa Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah Tentang Dewan/Majelis Legislatif

Soal : Banyak penuntut ilmu syar’i bertanya-tanya tentang hukum masuknya para du’at dan ulama ke dalam dewan legislatif dan parlemen, serta turut dalam pemilihan umum di negara yang tidak menjalankan syari’at Allah. Maka apakah batasan untuk hal ini ?

Jawab : Masuk ke dalam parlemen dan dewan legislatif adalah sangat berbahaya. Masuk ke dalamnya sangat berbahaya. Akan tetapi barang siapa yang masuk ke dalamnya dengan landasan ilmu dan pijakan yang kuat, bertujuan menegakkan yang haq dan mengarahkan manusia pada kebaikan serta menghambat kebatilan, dimana tujuan utamanya bukan kepentingan dunia atau ketamakan terhadap harta, namun benar-benar demi menolong agama Allah, memperjuangkan yang haq dan mencegah kebatilan, dengan niat baik seperti ini, maka saya memandang tidak mengapa melakukan hal itu, bahkan seyogyanya dilakukan agar dewan dan majelis seperti itu tidak kosong dari kebaikan dan pendukung-pendukungnya. (Ini) bila ia masuk (dalam perlemen) dengan niat seperti ini dan memiliki pijakan kuat agar dapat memperjuangkan dan mempertahankan yang haq serta menyerukan untuk meninggalkan kebatilan. Mudah-mudahan Allah memberikan manfa’at dengannya hingga (dewan) itu dapat menerapkan syari’at (Allah). Dengan niat dan maksud seperti ini disertai ilmu dan pijakan yang kuat, maka Allah Jalla wa ‘Ala akan memberinya balasan atas usaha ini.

Akan tetapi jika ia masuk ke dalamnya untuk tujuan duniawi atau ketamakan menggapai kedudukan, maka tidak diperbolehkan. Sebab ia harus masuk dengan niat mengharapkan wajah Allah dan negeri Akhirat, memperjuangkan dan menjelaskan yang haq dengan dalil-dalilnya agar semoga dewan dan majelis itu mau kembali dan bertaubat kepada Allah.[12]

Keempat: Fatwa Faqihul Ashr Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin rahimahullah Tentang Hukum Masuk Ke Dalam Parlemen

Soal : Fadhilah Asy Syaikh -semoga Allah senantiasa menjaga Anda-, tentang masuk ke dalam majelis legislatif padahal negara itu tidak menerapkan syari’at Allah dengan sempurna, bagaimana pandangan Anda tentang masalah ini -semoga Allah senantiasa menjaga Anda- ?

Jawaban: Kami pernah menjawab pertanyaan serupa beberapa waktu lalu, yaitu bahwa sudah seharusnya (ada yang) masuk dan turut serta dalam pemerintahan. Dan hendaknya seseorang dengan masuknya ia ke dalam pemerintahan meniatkan untuk melakukan perbaikan bukan untuk menyetujui setiap keputusan yang dikeluarkan. Dan dalam kondisi seperti ini, bila ia menemukan sesuatu yang menyelisihi syari’at, ia harus berusaha membantahnya. Walaupun pada kali pertama tidak banyak yang mengikuti dan mendukungnya, maka (ia mencoba terus) untuk kedua kalinya, atau (bila tidak berhasil pada) bulan pertama, (ia mencoba lagi) pada kedua dan ketiga, atau (bila tidak berhasil) pada tahun pertama, (ia mencoba lagi) pada tahun kedua…maka di masa yang akan datang akan ada pengaruh yang baik.

Sebab jika (pemerintahan) itu dibiarkan lalu kesempatan diberikan kepada orang-orang yang jauh dari (cita-cita) penerapan syari’at, maka ini adalah sebuah kelalaian yang besar yang tidak seharusnya seseorang itu melakukannya.[13]

Dalam kesempatan lain beliau ditanya: “Apakah anda memberi fatwa akan kebolehan ikut dalam Pemilihan Umum? Dan apa hukumnya?

Beliau menjawab: “Iya, kami memberi fatwa demikian –dan ini harus dilakukan-, sebab jika hilang suara kaum muslimin sama artinya kita memberi (kursi) majelis pada ahli keburukan. Namun jika kaum muslimin bergabung dalam Pemilihan Umum, mereka akan memilih siapa yang layak untuk demikian, dan dengannya akan tercapai kebaikan dan berkah“.[14]

Kelima: Fatwa Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah Seputar Menjadi Anggota Parlemen

Soal : Bagaimana hukum menjadi anggota parlemen ?

Jawaban: Apa yang akan terealisasi dengan masuknya ia menjadi anggota parlemen? Kemashlahatan bagi kaum muslimin?, Bila hal itu berdampak bagi kemashlahatan kaum muslimin dan mengupayakan perubahan terhadap parlemen itu menuju Islam, maka ini adalah perkara yang baik. Setidak-tidaknya mengurangi bahaya dan kemudharatan bagi kaum muslimin dan mendapatkan sebagian kemashlahatan jika tidak memungkinkan meraih semua kemashlahatan, walaupun hanya sebagian saja.

Soal: Tapi hal itu terkadang mengharuskan seseorang untuk mengorbankan beberapa hal yang ia yakini?

Jawaban: Mengorbankan, maksudnya melakukan tindakan kufur kepada Allah atau apa?

(Yang hadir menjawab ): Mengakuinya.

Jawaban: Tidak, pengakuan ini tidak boleh dilakukan. Yakni ia meninggalkan agamanya dengan alasan untuk berda’wah ke jalan Allah, ini tidak benar. Bila mereka tidak mempersyaratkan ia harus mengakui hal-hal (yang kufur) itu dan ia tetap berada di atas keislaman, aqidah dan diennya, lalu dengan masuknya ia (dalam parlemen) terdapat kemashlahatan bagi kaum muslimin, dan bila mereka tidak mau menerimanya, ia pun meninggalkan mereka; apa yang akan ia lakukan? Memaksa mereka? Tidak mungkin memaksa mereka. Yusuf alaihissalam masuk ke dalam jajaran kementrian seorang raja di zamannya, lalu apa yang terjadi? Anda sekalian tahu atau tidak apa yang terjadi pada Nabi Yusuf alaihissalam? Apa yang dilakukan Yusuf ketika beliau masuk? Ketika sang raja mengatakan bahwa engkau hari ini telah menjadi orang yang terpercaya dan memiliki posisi kuat dalam pandangan kami, maka beliau mengatakan : “Angkatlah aku sebagai bendaharawan negara, sebab saya adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” Lalu kemudian beliaupun masuk (ke pemerintahan) hingga akhirnya kekuasaan berada di tangan Yusuf alaihissalam. Beliau kemudian menjadi raja Mesir. Salah seorang nabi Allah menjadi raja Mesir.

Maka bila masuknya membuahkan hasil yang baik, ia hendaknya masuk. Namun jika hanya sekedar menerima dan tunduk kepada apa yang mereka inginkan, dan tidak ada kemashlahatan bagi kaum muslimin dengan masuknya ia, maka tidak dibolehkan menjadi anggota parlemen. Para ulama mengatakan: Mendatangkan maslahat atau menyempurnakannya, artinya, bila maslahat itu tidak dapat diraih seluruhnya, maka tidak mengapa walaupun hanya sebagian yang dapat dicapai, dengan syarat tidak menyebabkan terjadinya kerusakan yang lebih besar.

(Para ulama) mengatakan, bahwa Islam datang guna meraih kemashlahatan dan menyempurnakanya, serta menolak kemafsadatan dan menguranginya. Artinya, bila kemafsadatan itu tidak dapat ditolak seluruhnya, setidaknya ia berkurang dan lebih ringan. (Dengan kata lain) menempuh kemudharatan yang paling ringan di antara dua kemudharatan demi mencegah terjadinya kemudharatan yang lebih besar.

Ini semua bergantung pada maksud dan niatnya serta hasil yang akan dicapai. Dan bila masuknya ia sebagai anggota parlemen hanya karena ketamakan pada kekuasaan dan harta, lalu kemudian mendiamkan (kebatilan) atau menyetujui (kebatilan) yang mereka kerjakan, jelas ini tidak diperbolehkan. Dan bila masuknya mereka demi kemashlahatan kaum muslmin dan da’wah ke jalan Allah sehingga semuanya dapat berpangkal pada kebaikan kaum muslimin, ini adalah perkara yang harus dilakukan, tentu saja bila tidak mengakibatkan ia harus mengakui kekufuran. Sebab bila demikian maka ini tidak dibolehkan. Tidak dibenarkan mengakui kekufuran walaupun dengan tujuan yang mulia. Seseorang tidak boleh menjadi kafir lalu mengatakan bahwa tujuan saya adalah mulia, saya ingin berda’wah ke jalan Allah; ini tidak diperbolehkan.[15]

Keenam: Fatwa Fadhilatus Syaikh al-Allamah Abdullah bin Jibrin rahimahullah

Soal: Negara telah menetapkan Pemilihan Umum dan keikutsertaan warga negara untuk memilih calon-calon yang bakal duduk di Parlemen. Kesempatan memilih diberikan kepada warga negara dalam memberi keputusan untuk memilih yang paling baik dari calon-calon yang memiliki kredibilitas dan pengalaman untuk duduk dalam parlemen…Bagaimana pendapat anda ikut serta dalam pemilihan umum ini?

Jawaban: Melihat kepentingan dan pengaruh Pemilihan Umum ini dalam kebaikan negara, dan memilih apa yang merupakan kepentingan dan mashlahat bagi negara dan umat, maka kami memandang penting ikut serta dalam pemilihan umum tersebut untuk memilih siapa yang paling afdhal dari para calon dari kalangan orang yang berpengalaman, memiliki pengetahuan dan kebaikan guna memberi pelayanan bagi program-program negara. Dan sebagai harapan, bahwa calon-calon termasuk dari kalangan baik dan menginginkan perbaikan, serta bekerja pada apa yang menjadi sebab istiqamah (dalam agama), memilih apa yang sesuai dengan negara, orang-orang yang shalih dan memperbaiki, dan mereka yang hanya mengharapkan (pahala) dari Allah dan negeri akhirat. Memberi nasehat bagi pemimpin dan rakyat. Dan apa yang disumbangkan oleh orang yang memiliki pengetahuan, pengalaman, istiqamah (pada agama) berupa partisipasi memilih siapa yang memiliki kebaikan dan pengetahuan, maka yang demikian adalah merupakan kebaikan di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.[16]

Pembaca budiman, sebenarnya masih banyak fatwa-fatwa dari para Ulama Kibar umat ini. Alhamdulillah kami telah kumpulkan ada sekitar 36 ulama yang mengeluarkan fatwa sejenis. Semoga menjadi penerang bagi kelompok “salafy” utamanya Sofyan Khalid, agar tidak tergesa menjatuhkan vonis sesat hanya lantaran menyelisihi pendapat ulama panutan mereka dalam hal kebolehan ikut Pemilu. Sebab vonis tersebut akan berindikasi pula pada Ulama Kibar mu’tabar yang mengeluarkan fatwa kebolehannya. Sebagai tambahan, kami pun telah mengumpulkan fatwa-fatwa ulama panutan kelompok “salafy” yang menyelisihi hal ini. Dan memang –Wallahu A’lam– yang menelurkan pendapat seperti ini kebanyakan berasal dari kelompok ulama panutan “salafy”. Alasannya pun klasik sekali. Tidak dibangun atas persoalan waqi’ umat (realita umat) dan petimbangan mashlahat dan mafsadat, sebagaimana dikemukan oleh Kibarul Ulama di atas. Yang penting jika menurut asumsi mereka, -hingga pada tataran Pemilihan Umum- bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa, maka dikatakan sebagai hal terlarang. Dan bukan memandang dan mengutamakan kondisi dan mashlahat umat. Dan kalau tokh harus memilih, menurut Ust. Abdul Qadir, maka pilih-lah calon yang masih berkuasa saat itu, sebagai bentuk ketaatan pada pemerintah!?, dan bukan calon yang dipandang baik agamanya, lebih dekat pada Islam atau minimal mudharatnya bagi umat lebih kecil.[17] Padahal tidak demikian yang dipahami oleh pemerintahan sistem demokrasi. Wallahul musta’an.

Sofyan Khalid berkata :

Hal ini terbukti pada pemilu 2004 di TPS dekat kampus STIBA, bahwa PKS mendapat suara yang cukup signifikan, sehingga membuat masyarakat sekitar terheran-heran karena di daerah tersebut hampir tidak ada bendera PKS, karena yang mencoblos adalah para santri STIBA.

Tanggapan:

Sebelum menanggapi penyataan Sofyan Khalid ini, ada beberapa catatan yang masih terkait dengan ungkapan Sofyan sebelumnya, yang akan kami kemukakan, diantaranya:

1. Pernyataan tersebut merupakan sekian dari bukti ketergesaan kelompok “salafy” menarik kesimpulan hukum atas orang lain. Parahnya, kesimpulan hukum tersebut hanya diambil berdasarkan fatwa ulama panutan mereka yang hendak dipaksakan pada orang lain, tanpa mau melirik landasan dan alasan bagi perbuatan orang lain. Pokoknya, jika menyelisihi mereka, maka langsung dicap sesat atau ahli bid’ah. Termasuk diantaranya masalah klasik ini, yang selalu dijadikan senjata menjatuhkan kelompok lain, yakni Pemilu. Begitu mudahnya kelompok “salafy” menjatuhkan vonis hukum atas seseorang atau jama’ah tertentu sebagai Ahlu Bid’ah, atau mengeluarkan mereka dari barisan Ahlu Sunnah hanya lantaran masalah Pemilu.

2. Pada pernyataan ini, Sofyan berusaha menggiring opini pembaca, bahwa mereka yang ikut Pemilu termasuk kami, sebagai golongan yang menghalalkan Demokrasi hasil produk kaum kuffar. Sementara di sisi lain justru mereka begitu getol mendukung hasil dari Pemilu tersebut. Dan yang paling kami khawatirkan jika tuduhan ini berindikasi terhadap para ulama Kibar yang berfatwa akan kebolehan Pemilu.

3. Kalimat hiperbola Sofyan yang merupakan ciri unik kelompok “salafy” begitu tercium, “Terjun dalam Politik Demokrasi“, seakan ia hendak menipu pembaca, bahwa WI terjun dalam arti masuk, ikut bertaruh dan lain sebagainya. Karena kalimat yang disuguhkan Sofyan di atas, adalah kalimat yang santer nongol di surat-surat kabar yang memberi makna tersebut. Padahal, yang benar adalah menganjurkan [bukan mewajibkan] ikut serta memberi dukungan suara pada calon muslim yang dekat dengan perjuangan mashlahat bagi umat. Taruh-lah, jika memang demikian adanya, maka kami-pun tidak ragu mengatakan bahwa kelompok “salafy” juga Terjun Dalam Politik Demokrasi, sebab mereka adalah kelompok yang berada pada garda terdepan memberi dukungan dan mengawal hasil demokrasi, serta menjadi kanvas bagi siapa yang mencoba menggoyang hasil demokrasi tersebut.

Berkaitan dengan pernyataan di atas, bahwa PKS mendapat suara signifikan di TPS dekat kampus STIBA, maka kami akan suguhkan satu ayat dalam al-Qur’an yang banyak tidak dipahami hikmahnya oleh banyak orang, kecuali yang dirahmati oleh Allah Ta’ala. Ayat tersebut adalah firman Allah Ta’ala dalam surah al-Ruum ayat 1 – 5: “alif lam mim, telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang–orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki, dan Dialah yang perkasa lagi Maha Penyayang“.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, ia berkata: (Bangsa Romawi) dikalahkan dan mengalahkan. Lalu ia melanjutkan: “Kaum musyrikin Quraisy sangat mengharapkan kemenangan bagi bangsa Persia, karena mereka adalah penyembah berhala. Sedangkan kaum muslimin mengiginkan kemenangan bagi bangsa Romawi karena mereka adalah ahlul kitab. Bahkan Abu bakar as-Shiddiq radhiallahu anhu siap bertaruh akan (kepastian) kemenangan bagi pasukan Romawi atas Persia.[18]

Perhatikan hikmah dari ayat dan tafsirnya ini. Persia terkenal sebagai agama musyrik yang menyembah api, sedang bangsa Romawi adalah ahlul kitab. Betapa kaum muslimin bersedih hati menyaksikan kekalahan bangsa Romawi, lalu bergembira hati kala Romawi menaklukkan Persia, padahal Romawi adalah bangsa kufur (kristen). Dan tak satu pun dari kalangan umat Islam menyatakan bahwa kegembiraan kaum muslimin tersebut adalah pembenaran bagi agama bangsa Romawi dan hukum negara mereka yang di bangun atas asas kristen tersebut. Akan tetapi , pertimbangan di sini adalah lantaran bangsa Romawi lebih dekat pada Islam sebab keduanya merupakan agama samawi. Adapun bangsa Persia lebih dekat dengan kaum kuffar Quraisy, olehnya kaum muslimin berharap bangsa Romawi memenangkan pertempuran tersebut. Tentu saja ayat yang mulia ini bukan hanya sekedar mendikte sebuah sejarah, namun juga membangun sebuah manhaj tentang al wala’ wal bara’. Dan kenyataannya, bahwa PKS (baca: Ikhwnul Muslimin)[19] adalah partai Islam yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah, dan paling jelas mashlahatnya bagi umat. Dimana tidak dipungkiri, mereka memiliki saham besar dalam memperjuangkan norma-norma Islam dari rongrongan sekulerisme dan liberalisme, ketimbang partai-partai sekuler lainnya. Anehnya, Sofyan justru heran (baca: tidak setuju) jika PKS yang meraih suara terbanyak tersebut. Bukannya malah bersyukur, sebab partai yang lebih dekat dengan Ahlu Sunnah tersebut yang menang. Semantara, di tempat-tempat lain dimana partai-partai sekuler bahkan kafir mendulang suara mayoritas tidak dipermasalahkan olehnya. Aina al-wala’ wa al-bara’, dimanakan al-wala dan al-bara’ itu??. Perhatikan kegembiraan kaum muslimin terhadap kemenangan bangsa Romawi di atas. Padahal, bangsa Romawi adalah bangsa kafir, namun karena mereka lebih dekat dengan Islam maka kaum muslimin senang dan gembira atas kemenangan mereka. Kalau terhadap golongan kafir saja (dimana mereka lebih dekat dengan Islam, mashlahat bagi kaum muslimin lebih besar, serta mudharat lebih kecil) kaum muslimin boleh bergembira, maka bagaimana dengan kelompok yang telah jelas sebagai seorang Muslim Ahlu Sunnah, yang nampak memperjuangkan kehormatan dan harga diri Islam dan kaum muslimin??

Sofyan Khalid berkata:

Diantara bentuk terjunnya mereka dalam politik demokrasi, ada seorang da’i WI menjadi caleg PBB pada Pemilu 2009. Sebagian diantara mereka ada yang menjadi tim sukses dalam sebuah pemilu.

Tanggapan:

Alhamdulillah, sikap kami terhadap Pemilu telah jelas, sebagaimana telah kami paparkan di atas. Akan tetapi, mura’at terhadap mashlahat dakwah, khususnya Dakwah Ahlus Sunnah, secara kelembagaan WI tidak menetapkan sebuah keharusan masuk secara langsung bertarung dalam Pemilihan Umum. Akan tetapi jika ada kader atau da’i (sebagaimana perkataan Sofyan) yang ingin terjun dalam hal ini, maka sikap WI-pun jelas, yakni menon-aktifkan kader tersebut, dan tidak boleh sama sekali mengusung nama dakwah WI, dalam artian bahwa terjun-nya ia ke dalam politik praktis atas anjuran dan sokongan WI. Dan hal ini (yakni, penon-aktifan) setelah menempuh fase-fase tertentu, diantaranya nasehat bagi kader tersebut, serta mengingatkan akan dhawabit yang harus dipenuhi bagi setiap yang ikut terlibat dalam pertarungan di Pemilu. Dan kalau Sofyan Khalid mengatakan hanya seorang, maka kami katakan bahkan lebih dari seorang, namun bukan di sini tempat untuk menyebutkan satu persatu dar kader-kader tersebut.

Sofyan Khalid berkata:

Adapun bermajelis dengan para ahli bid’ah dalam seminar dan lainnya, maka perkara ini telah masyhur bagi semua orang. Ini semua merupakan bukti lemahnya manhaj wala’ dan baro’ mereka.

Tanggapan:

1. Sekali lagi, bagi kami definisi Ahli Bid’ah versi kelompok “salafy” masih bermasalah dan rancu. Dan kami tidak tahu Ahli Bid’ah mana yang Sofyan Khalid maksudkan.

2. Kalau yang ia maksudkan adalah Syi’ah, sebagaimana terjadi belum lama ini antara Ust. Rahman Abdur Rahman, Lc, MA dan Jaluluddin Rahmat, atau antara Ustadaz Ikhwan Abdul Jalil, Lc versus Qasim Mathar, maka semua ini al-hamdulillah dalam rangka membela akidah dan lahir dari rasa cemburu terhadap kemurnian agama. Intinya, majelis tersebut bertujuan membantah dan menjelaskan penyimpangan dan kesesatan mereka, bukan bermesra-mesraan apalagi bekerja sama dalam kebatilan. Dan ini kami yakini sebagai bentuk jihad bil lisan yang sangat ditekankan. Lihatlah Nabi Musa alaihis salam datang dan mendebat Fir’aun, Nabi Ibrahim alaihis salam mendebat kaum dan Rajanya yang terus bergelimang dalam kungkungan syirik, shahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma datang mendebat kelompok khawarij hingga setengah dari mereka kembali pada jalan kebenaran, juga Imam Ahmad bin Hambal duduk dan mendebat Ibnu Abi ad-Du’ad, dan masih banyak lagi. Adapun kelompok “salafy”, lantaran kerdilnya pemahaman terhadap masalah hajr terhadap Ahli Bid’ah dan penerapan kaidah hajr -dimana tidak boleh berbicara, duduk, mengucapkan salam dan lain sebagainya- kepada mereka yang terkesan serampangan dan asal tampil beda, menjadikan dakwah mereka ibarat katak dalam tempurung, yang buta akan waqi’ dan kebutuhan mendesak bagi umat. Pintarnya hanya mengkritik, menyalahkan dan mencemooh saudara-saudaranya yang berusaha berjuang mematahkan hujjah dan dalih Ahli Bid’ah, lalu dikata-katai sebagai muslim yang lemahnya manhaj al-wala wa al-baro’-nya. Tidak ada rasa hormat atau ucapan terima kasih, alih-alih memberi bantuan minimal doa agar tetap diberi at-tsabat oleh Allah Ta’ala. Wallahul musta’an.[20].

3. Namun jika yang dimaksud oleh Sofyan Khalid Ikhwanul Muslimin yang telah mereka tuding sebagai Ahli Bid’ah, maka hal itu dalam rangka membantah agama Syi’ah yang telah jelas sebagai Ahli Bid’ah dan sesat. Dan dalam kondisi ini, tidak mengapa duduk bersama mereka (itu-pun kalau anggapan mereka benar terhadap Ikhwanul Muslimin) yang lebih dekat dengan Ahli Sunnah untuk membantah Ahlu Bid’ah besar yang telah nyata berbahaya bagi umat ini. Sebab, bid’ah dan Ahli bid’ah dalam tataran syari’at tidak berada dalam satu derajat, namun tingkatannya berbeda-beda. Dan agar kelompok “salafy” tidak salah persepsi, bahwa dalam kondisi ini, yakni duduk bersama mereka untuk membantah Ahli Bid’ah besar semisal Syi’ah, tidak bermakna meridhoi kekeliruan yang barangkali mereka lakukan. Karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Jika terhalang penegakkan kewajiban-kewajiban berupa ilmu, jihad dan selainnya melainkan dengan bantuan seseorang yang pada dirinya ada bid’ah, dimana mudharatnya tidak sampai seperti mudharat meninggalkan kewajiban-kewajiban tersebut, dan pencapaian mashlahat itu wajib bersama dengan kerusakan yang marjuh (tidak dianggap), maka itu lebih baik dari pada sebaliknya. Olehnya pembahasan masalah ini terdapat perincian padanya“.[21] Wallalhu Ta’ala A’lam.


[1] . al-Fashlu fi al-Milal wa Ahwa’ wa al-Nihal, IV/131.

[2] . Ibid.

[3] . HR. Abu Daud no. 4609 dan at-Tirmidzi no. 2676.

[4] . I’laam al-Muwaqqien, I/10.

[5] . Lihat: Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, I/99.

[6] . Lihat: Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, I/170.

[7] . Lihat: Fathul Bari, VII/233.

[8] . HR. Al-Bukhari, no. 2297.

[9] . Lihat: Fatwa Lajnah ad-Daimah, XII/384.

[10] . Kelompok “salafy” berusaha semaksimal mungkin mentakwil fatwa Syaikh al-Albani tersebut, namun ala kulli hal, yang menjadi penegas bagi sikap beliau tersebut adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’y saat beliau melakukan klarifikasi kepada Syaikh al-Albani. Syaikh Muqbil bertanya: “Mengapa anda membolehkan Pemilihan Umum?”. Syaikh al-Albani menjawab: “Saya tidak membolehkan, namun hanya memandang (mengambil) yang paling ringan mudharatnya”. (Lihat: http://www.elkhabar.com/quotidien/lire.php?idc=30&ida=87671&key=1&cahed=1). Perhatikan pembaca budiman, Syaikh al-Albani menggunakan kaidah yang makruf ini saat mengizinkan ikut serta Pemilihan Umum di Aljazair.

[11] . Fatwa ini adalah bagian dari faksimili yang dikirimkan oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albany rahimahullah kepada Partai FIS Aljazair, tertanggal 19 Jumadil Akhirah 1412 H. Dimuat di majalah Al Ashalah edisi 4 hal 15-22.

[12] . Fatwa ini dimuat dalam majalah Al Ishlah edisi 242-27 Dzulhijjah 1413 H/23 Juni 1993 M. Adapun terjemahan ini dinukil dari buku Ash-Shulhu Khair terbitan Jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah di Sudan.

[13] . Fatwa ini dimuat dalam majalah Al Furqan edisi 42-Rabi’ Ats Tsani 1414 H/Oktober 1993 M. Adapun terjemahan ini diambil dari buku Ash Shulhu Khair terbitan Jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah di Sudan.

[15] . Fatwa ini berasal dari sebuah kaset yang direkam dari Syaikh, lalu dimuat dalam buku Ash-Shulhu Khair terbitan Jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah di Sudan.

[17] . Lihat selengkapnya dalam artikel tulisan Ust. Abd. Qadir “Terlarangkah memakai Nisbah as-Salafiy atau al-Atsariy ?, dan bantahan kami, Siapa Bilang Nisbat pada as-Salafiy dan al-Atsariy terlarang?. Pembaca budiman, penyataan ini begitu aneh. Tatkala para Ulama Kibar menyampaikan udzur dan alasan ikut serta dalam Pemilihan Umum kendati hukum yang berlaku adalah hukum selain Syari’at Islam, yakni memandang mashlahat umat serta upaya memperkecil mudharat bagi mereka, justru yang menjadi perhatian kelompok “salafiy” adalah “mashlahat” penguasanya. Yang penting selama ia masih berkuasa, maka pilihan kita –kalau tokh harus memilih- adalah pemimpin yang masih berkuasa, bagaimana pun kondisi agama dan akhlak penguasa tersebut, dalihnya adalah ini merupakan bentuk ketaatan pada penguasa. Artinya, dapat dipahami, menurut logika kelompok “salafy”, bahwa Pemilihan Umum itu menyelisihi konsep ketaatan pada pemerintah !!, padahal tidak ada satu pun baik dari kalangan ulama dan politikus yang beranggapan demikian. Justru, kalau mau menggunakan logika ini, ikut Pemilihan Umum justru yang merupakan bentuk ketaatan pada Pemerintah muslim. Sebab yang mengeluarkan aturan dan perintah ikut dalam Pemilu adalah pemerintah. Bahkan jauh sebelum hari pemilihan, setiap hari di seluruh stasiun televisi disebarkan sosialisasi pemerintah berupa anjuran ikut Pemilu. Dan yang tak kalah aneh lagi, bersamaan dengan fatwa haramnya ikut Pemilu yang dikeluarkan kelompok “salafy”, justru mereka-lah yang kemudian berada pada garda terdepan mengawal dan membela hasil demokrasi tersebut. Menyerang dan menuduh khawarij pemberontak bagi mereka yang “macam-macam” pada hasil demokrasi itu. Sekali lagi, sebagai bentuk ketaatan pada pemirintah, bagaimana pun kondisinya. Padahal sekali lagi kami tegaskan, bahwa ikut dalam Pemilu-lah yang merupakan bentuk ketaatan pada pemerintah demi merealisasikan mashlahat bagi penguasa dan umat ini. Wallahi ayyuhal Ikhwah, kami bingung sekali, atas landasan berpikir apa manhaj ini di bangun??!!.

[18] . Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat ar-Rum.

[19] . Sebenarnya kalau mau jujur, ada sesuatu yang amat sangat samar antara kelompok “salafy” dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Kadang kami juga heran dan bertanya-tanya, mengapa kelompok “salafy” ini begitu getol “memerangi”, menyerang dan memojokkan kelompok Ikhwanul Muslimin dan tokoh-tokohnya, namun tidak pada kelompok-kelompok lain yang barangkali jauh lebih “sesat” menurut istilah kelompok “salafy” daripada mereka. Bukan hanya bagi mereka yang jelas menyatakan diri sebagai bagian dari Ikhwanul Muslimin, bahkan yang punya kaitan atau yang dikait-kaitkan dengan mereka, bakal ikut tertuding, contohnya Ihya’ at-Turotsy dan juga gerakan dakwah WI, yang menjadi korban “kait-kaitan” kelompok “salafy”. Perkara ini sampai pada kenyataan, seolah inti dakwah kelompok “salafy” tersebut adalah, muharabatul ikhwanil Muslimin dan muharabarul Muwazanah (Perang terhadap Ikhwanul Muslimin dan Manhaj Muwazanah), kalau pembaca sekalian ingin bukti, silahkan jelajahi seluruh situs-situs kelompok “salafy” baik yang ada di dalam maupun luar negeri, dengarkan pula ceramah-cerama para ulama panutan kelompok ini serta ustadz-ustadz lokal mereka, sungguh sangat sarat dengan serangan dan cercaan pada Ikhwanul Muslimin dan siapa saja yang tertuding memiliki hubungan dengan mereka. Hingga pada tataran mentahdzir segala hal-hal punya kaitan dengan Ikhwanul Muslimin. Karenanya Syaikh Abu Hasan al-Ma’ribiy (seorang ulama yang pernah sangat dekat dengan Syaikh Rabi’ al-Madkhali hafidzahullah, dalam kitabnya ad-Difa’ ‘an Ahli al-Ittiba’, berseru lantang, apakah jika kelompok Ikhwanul Muslimin menegakkan shalat lantas kita harus meninggalkan shalat, agar dapat menyelisishi mereka? Sebab diketahui, bahwa Ikhwanul Muslimin menegakkan shalat lima kali sehari semalam.

Demikian pula, fitnah terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin baru santer sekitar awal-awal tahun 90-an, dan sebelumnya tidak pernah ada permasalahan. Apakah selama kurun waktu, sejak lahirnya Ikhwanul Muslimin hingga sebelum tahun 90-an, para ulama Ahlu Sunnah tertidur dan tidak menangkap kesesatan Ikhwanul Muslimin sebagaimana yang berhasil dibongkar oleh kelompok “salafy” saat ini? Padahal, sebagaimana yang telah kami singgung dalam tulisan kami, Fenomena “Salafy” dan Manhaj Mengkritik Terhadap Orang Lain, bahwa Syaikh al-Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly, juga pernah menjadi anggota aktif bahkan menjadi tokoh (baca: Syaikh) dalam barisan Ikhwanul Muslimin selama 13 tahun, apakah rentan waktu yang begitu lama, beliau buta dari berbagai penyimpangan yang begitu besar hingga layak dieliminasi dari barisan Ahlu Sunnah, dan baru beliau singkap akhir-akhir ini??

Wallahi akhi karim, kami tidak ada hubungan apa-apa dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Hanyasaja, ini merupakan bagian dari pembelaan kami terhadap saudara-saudara muslim (ulama dan du’at) yang terzalimi. Dan membela seorang muslim yang terzalimi kendati ia seorang Ahli Bid’ah, merupakan perkara yang dianjurkan oleh Syari’at. Lihatlah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kala membela harga diri al-Hallaj dan menafikan perkataan-perkataan batil yang dinisbatkan padanya. Dan semua kita tentu mengenal siapa al-Hallaj tersebut. Beliau rahimahullah berkata: “Perkataan ini –wallahu a’lam– apakah ia shahih dari al-Hallaj atau tidak? sungguh dalam sanad (tersebut) ada orang orang (rawi) yang tidak diketahui keadaannya. Aku telah menyaksikan banyak sekali yang dinisbatkan pada al-Hallaj, baik dalam buku-buku, perkataan serta risalah, merupakan kedustaan atasnya, tidak ada keraguan padanya…“. (Lihat: al-Istiqamah, I/119). Maka apakah lantaran pembelaan Syaikhul Islam terhadap al-Hallaj merupakan pembenaran terhadap akidah (wihdatul wujud)nya?? Dan apakah lantaran pembelaan beliau ini lantas kita menuding Syaikhul Islam sebagai Ahli Bid’ah lantaran membela seorang Ahli Bid’ah?! Perhatikan pula pengingkaran al-Hafidz adz-Dzahabi rahimahullah terhadap Yahya bin ‘Ammar al-Sijistaniy: “Sungguh ia terlampau keras terhadap Ahli Bid’ah dan Jahmiyah, hingga menyebabkan beliau melampaui jalan (manhaj) salaf, padahal Allah Ta’ala menjadikan segala sesuatu menurut ukurannya. Namun diakui beliau memiliki kemuliaan yang mengagungkan di Harat, pengikut serta para pendukung”. (Lihat: Siyar al-A’lam an-Nubala’, XII/481). Maka apakah pengingkaran al-Hafidz ad-Dzahabi terhadap Yahya bin Ammar al-Sijistaniy, lantaran terlalu keras terhadap ahli bid’ah dan Murji’ah sebagai pembenaran terhadap keduanya?? Atau kita pun menuding adz-Dzahabi sebagai Ahli Bid’ah lantaran membela Ahli Bid’ah?! Fa’tabiru Ya Ulil Abshaar!

[20] . Silahkan lihat penjelasan akan hal ini dalam Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at, bag. II.

[21] . Lihat: Majmu’ al-Fatawa, XXVIII/212.

5 thoughts on “SILSILAH PEMBELAAN PARA ULAMA DAN DU’AT (BAGIAN VI)”
  1. masya Allah syukran wajazakumullahu khairan atas penjelasan antum smua.. untuk masalah ini kayaknya para salafiyyin yang lain keliru dengan menganggap wi membolehkan pemilu padahal hakikatnya wi tdk membolehkan. hanya saja keikutsertaan untuk memilih saja dengan keyakinan tdk halal pemilu. di majalah qiblati edisi dulu pernah dimuat fatwa syaikh Abdullah Mani' (murid senior syaikh bin baz di saudi skaligus agt haiah kibar ulama)tentang hukum ikut polling pendapat di internet tentang pendapatseputar islam bagi umat islam, ternyata beliau membolehkan untuk mencegah mudharat dan memberikan maslahat dengan kemenangan suara dan pendapat org2 Islam. masyaAllah.

  2. Mudah-mudahan dengan penjelasan ini bisa membuka wawasan kita tentang bagaimana sebenarnya hukum mengikuti pemilu.Dan hal ini telah ditegaskan oleh para asatidzah WI melalui penjelasan Dewan Syari'ah Wi bahwa WI tidak menganggap pemilu dan masuk ke parlemen sebagai wasilah dakwah, namun semata-mata untuk mencegah mudharat yang lebih besar klo kaum muslimin tidak menyalurkan hak pilihnya misalnya terpilihnya pemimpin dan anggota parlemen yang tidak berpihak kepada kepentingan kaum muslimin.Dan sikap ini dipertegas dengan "memecat" pengurusnya yang lebih memilih berpartai.Ana sendiri pernah melihat SK "pemecatan" tersebut.Dan para ustadz2 di WI sering menekankan kepada para kader bahwa untuk memperbaiki ummat ini dan menegakkan agama Allah maka satu-satunya jalan adalah lewat dakwah dan tarbiyah yang tegak di atas manhaj salaf.Klo Ikhwa"salafiyyun" ingin fair harusnya mereka juga menyesatkan seluruh rakyat Indonesia yang ikut pemilihan umum dan mengeluarkan dari ahlussunnah kenapa hanya anggota WI saja? dan harusnya mereka memasukkan HT sebagai ahlusunnah karena tidak ikut pemilu, sama dengan pendapat mereka? Sebenarnya banyak sikap mereka yang berseberangan dengan "slogan' mereka selama ini yaitu taat kepada pemerintah diantaranya pada saat lebaran lebih memilih tidak bersama-sama dengan mayoritas kaum muslimin yang mengikuti pemerintah.

  3. Alhamdulillah wa jazakumullahu khaeran atas penjelasannya. Apa yang telah dipaparkan diatas menjelaskan dengan gamblang tentang hukum keikutsertaan dan memberikan dukungan dalam pemilu. Selain itu penjelasan diatas telah lebih dari cukup untuk menunjukkan sikap wahdah islamiyah terhadap kader-kadernya yang terjun langsung kedalam politik praktis yaitu dengan menon-aktifkan kader tersebut, dan tidak boleh sama sekali mengusung nama dakwah WI. Yang aneh adalah para ikwah "salafy" yang dengan serampangan menuduh WI tidak patuh terhadap pemerintah karena ikut dalam pemilu yang kemungkinannya ada pemimpin baru yang terpilih, bukan lagi pemimpin sebelumnya. Akan tetapi subhat tersebut telah terjawab tuntas dengan penjelasan diatas. Yang jadi pertanyaan, dimana letak ketaatan ikhwa "salafy" terhadap pemerintah saat pemerintah sendiri yang menyuruh seluruh rakyat Indonesia yang memiliki hak suara untuk datang ke TPS saat pemilihan umum? dan setelah ada yang dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilu, mereka (baca: "ikhwah salafy") dengan wajah tegap menjadi orang pertama yang menerima dan mengawal hasil tersebut dengan alasan sebagai bentuk ketaatan terhadap pemerintah. Apakah kalau pemimpin yang terpilih itu adalah orang kafir atau minimal seorang wanita -yang telah dijelaskan dalam agama ini tidak boleh menjadi pemimpin laki-laki- mereka juga mau menjadi garda terdepan sebagai orang yang menerimanya dan mengawal hasil tersebut? padahal saat pemilihan dulu ada calon laki-laki dari kaum muslimin yang jelas memiliki keimanan dibanding orang kafir. Naudzu billahi min dzalik. Nasehat saya bagi para ikhwah "salafy" banyak-banyaklah berdoa untuk dibukakan pintu hatimu menerima kebenaran, jangan sampai karena kebencian antum terhadap suatu kaum menyebabkan antum berlaku tidak adil. Coba baca risalah (artikel) diatas dengan tenang dan menghilangkan sikap fanatik terhadap ust-ust antum di Baji Rupa sana, sehingga jelaslah subhat yang selama ini antum terima mentah-mentah dari para ust-ust antum?

  4. Saya tergolong baru dalam memahami manhaj yang benar dan metode ber-ISLAM yang ilmiyah ini. Awalnya saya gerah dengan sikap orang-orang yang mengaku ngaji salaf tapi memasang wajah "dingin" dan tak mau menjawab salam. Rupanya mereka seperti saya dan mungkin ribuan orang lain yang masih belajar rasakan, bahwa seperti ada yang SALAH dalam memahami manhaj yang hanif ini. Dan bahwa diantara mereka yang belajar hidup dan berusaha mendekat-dekati pemahaman para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang mulia itu ada yang bersikap terbaik (sikap pertengahan) meski mereka juga tak luput dari kesalahan sebagai manusia biasa. Namun siapapun akan mengakuinya dalam hati bahwa Insya Allah inilah SALAFY sebenar-benarnya. Tuk para asatidz WI dan admin situs ini, Inniy uhibbukum fillah

  5. seorang ahlus sunnah adalah yang paling bermanfaat kepada manusia, paling lembut kepada manusia, paling ikhlas mendakwahkan kebenaran, paling lapang menghadapi perbedaan, paling bersungguh sungguh untuk menyampaikan manusia kepada hidayah…..semoga Allah jadikan kita sedemikian

Tinggalkan Komentar

By admin