Menjawab Syubhat Bagian I
Alhamdulillah, puja dan puji hanya milik Allah Ta’ala Rabb seru sekalian alam, shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas qudwah kita, Nabi besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarga, para shahabat dan segenap pengikutnya hingga hari kiamat kelak.
Download File PDF
Total download :
Ikhwah fillah, merupakan karunia agung dari Allah Ta’ala, rampungnya Silsilah Pembelaan kami bagi para ulama dan du’at jilid I, dan tak lupa kami lantunkan, “alhamdulillahillladzi bini’matihi tatimmus shalihat“. Seperti diisyaratkan dalam tulisan terdahulu, bahwa kami akan menyanggah “Jawaban Ilmiyah” Sofyan Kholid atas silsilah kami, maka goretan ini adalah mata rantai pembuka bagi Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at jilid II.
Semua ini adalah bukti kesungguhan kami membela kehormatan para ulama dan du’at dari kelaliman kelompok “salafy” yang menganggap halal ghibah dan merusak kehormatan orang lain. Lebih tragis lagi, kelancangan ini diklaim sebagai bentuk taqarrub kepada Allah Ta’ala. Hanya kepada Allah kami berharap pahala dan kebaikan di sisi-Nya. Kami yakin, tenaga, waktu dan pikiran yang dituangkan demi membela harga diri kaum muslimin utamanya para ulama dan du’at yang berjasa bagi perjuangan Islam, baginya balasan terpuji di sisi-Nya kelak. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Siapa yang membela kehormatan saudara muslim-nya, Allah pasti akan membela (menjauhkan) wajahnya dari api neraka“.[1] Juga sabdanya: “Tolong-lah saudara muslim-mu, baik ia dalam keadaan menzalimi atau terzalimi“.[2]
Pembaca budiman, Sofyan Khalid menganggap jawaban kami terhadap tuduhannya dibangun atas emosi berlebihan. Bahkan ia berasumsi kami salah paham dalam mengartikan “nasehat-nasehat” darinya dan para asatidzah “salafy”. Dan ini bukan perkara aneh. Sebab demikianlah sikap kelompok ini. Jika didiamkan dan tidak ditanggapi, mereka lantas menepuk dada bahwa tudingan-tudingan itu memang benar adanya, dan sang tertuding tidak memiliki sebarang hujjah untuk membantahnya. Contoh sederhana, pernyataan Ust. Dzulkarnain dalam sebuah ta’lim di UIN “…Saya sudah mengeluarkan dari 5 tahun yang lalu. Kurang lebih 6 kaset penjelasan tentang kesesatan Wahdah Islamiyah, mana bantahannya? Dan saya tantang sampai sekarang mana bantahannya. Dan InsyaAllah sebentar lagi saya keluarkan buku tentang mereka. Kalau memang mereka bisa untuk berbicara ilmiyah, maka keluarkan bantahan, selesai. Biarkan orang mendengarkannya. Jangan hanya sekedar berbicara.., tidak mau debat, tidak mau ini…”. Sebenarnya ini hanya jiplakan dari senior mereka dahulu, Ust. Ja’far Umar Thalib yang kemudian hari dicerca, ditahdzir bahkan diusir dari barisan dari “Ahlu Sunnah”, yang dengan sesumbar menantang mubahalah Syaikh Syarif Fuad Hazza, “…Kemudian lebih daripada itu saya pernah nyatakan, saya telah tegakkan hujjah kepada mereka. Dan mereka kalau tetap seperti itu membuat kedustaan terhadap kami, maka saya tantang mereka untuk mubahalah dimanapun mereka suka. Dan ini sampai sekarang masih tetap saya berlakukan dan sampaikan kepada mereka..”.
Anehnya, apabila muncul klarifikasi atas tudingan-tudingan itu, maka yang pertama diumbar di hadapan khalayak adalah semisal pernyataan Sofyan ini, “salah paham memahami nasehat“, “berlebihan menyikapi kritikan“, tidak tahu membedakan antara nasehat dan hinaan” dan sebagainya, demi menutupi borok “nasehat” yang mereka lontarkan pada orang lain secara sepihak, tendensius, dan sarat kezaliman.
Padahal silsilah pembelaan ini hanya klarifikasi dari gerakan dakwah Ahlu Sunnah WI akan kekeliruan tudingan kelompok “salafy”, yang secara resmi diedarkan melalui kaset-kaset tahdzir Ust. Dzulkarnain tahun 2002 yang lalu. Kemudian disusul oleh tahdzir-tahdzir lain yang menghiasi hampir seluruh majlis-majlis mereka, baik majlis umum maupun khusus. Bahkan boleh jadi salah paham para asatidzah ahlu sunnah terhadap dakwah WI di negeri tercinta ini, lantaran terpengaruh kaset-kaset Dzulkarnain (tidak terkecuali Sofyan dalam artikelnya, Mengapa Saya Keluar Dari Wahdah Islamiyah?). Dan apabila selama ini WI lebih memilih sikap diam [kendati banyak ikhwah dan akhwat binaan WI yang termakan syubhat kelompok “salafy” ini] adalah karena adanya mashlahat yang kami harapkan darinya. Sama sekali bukan menunjukkan ketidakmampuan menjawab tudingan-tudingan tersebut.
Kami yakin Sofyan tidak menafikan pernyataan sikap ini, sebab ia pernah menimba ilmu di Sekolah Tinggi milik WI. Bahwa sejak dulu sebagian mahasiswa bertanya tentang syubhat–syubhat yang ditudingkan kelompok “salafy”. Namun jawaban para asatidzah tidak membuat mereka puas, yakni, “Biarkan saja, lebih baik fokus belajar dan berdakwah, karena jika kita bantah mereka dengan satu kaset, mereka akan membalas dengan dua kaset dan seterusnya”. Barangkali saat itu sebagian mahasiswa sempat “bersu-udh dzon” kepada asatidzah. Bahwa jawaban tersebut hanya untuk berkilah demi menutupi ketidakmampuan menjawab syubhat. Akan tetapi ternyata jawaban ini adalah inti dari hikmah dan kebijaksaan. Bahwa menghadapi kelompok yang perangainya seperti kelompok “salafy” ibarat menyiram api dengan bensin. Bukannya padam, malah akan lebih membuat sang jago merah membara dan melalap segala yang ada di sekelilingnya.
Pembaca budiman, sebelum kami menjawab beberapa syubhat Sofyan Khalid dalam “Jawaban Ilmiyah”-nya ini, terlebih dahulu ada beberapa catatan yang ingin kami kemukakan di sini sebagai ciri dominan kelompok “salafy” yang juga dijiplak oleh Sofyan Khalid.
- Pertama: Kebiasaan mendramatisir masalah.
Sangat menyedihkan, para pemuda “salafy” termasuk Sofyan, seakan telah mendedikasikan waktunya untuk menjadi “pelayan” kebatilan dalam hal mengerik-ngerik kesalahan kaum muslimin pada setiap waktu dan tempat. Lalu seluruh hasil “kerikan”nya itu dibeberkan di tengah khalayak hingga dapat dipungut oleh setiap orang hingga kalangan sekuler dan kaum kuffar. Disamping berupaya membangun manhaj berpikir tidak rasional serta manhaj beragama plin plan tidak menentu. Seakan menjadi sebuah bencana besar bagi mereka saat menyaksikan saudara-saudara muslim mereka sedikit lebih maju. Olehnya, kapan saja mendapat peluang menjatuhkan “musuh-musuh” mereka, pasti akan dilakukan dengan cara apa-pun, hingga menghalalkan ghibah dan fitnah. Termasuk diantaranya, mendramasitir hal-hal sepele yang kemudian dibesar-besarkan hingga memberi kesan luar biasa. Makanya, jika ada klarifikasi dari sang tertuding, maka dengan permainan kata-kata berusaha mengelabui pembaca, bahwa merekalah pihak terzalimi (padahal, mereka yang mulai menyulut api fitnah). Apalagi, jika ibarat yang digunakan sebagai jawaban bagi orang tertuding itu agak sedikit ketus namun belum keluar dari koridor sikap adil, oleh mereka dibuat sedapat mungkin agar terkesan keras dan emosi berlebihan.
Makanya pada awal “keterkejutan”-nya, Sofyan Khalid membuka dengan kalimat pengelabuan, “Pandangan yang jelek dan sinis kepada Penulis serta emosi yang berlebihan dalam menyikapi sebuah kritikan“. Lalu disusul pula dengan ungkapan: “Saya ingin mengingatkan satu permasalahan penting, yakni ketika membaca artikel ini, pembaca sebaiknya menahan emosi dulu dan tetaplah menganggap saya sebagai saudara yang mencintai Anda dan menginginkan kebaikan bagi Anda, agar Anda bisa mencerna dengan baik setiap untaian kalimat dari nasihat ini -semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepadaku dan kepadamu”.
Perhatikan, kalimat ini lahir dari Sofyan dan kelompoknya lantaran sebuah sanggahan ilmiyah yang masih tetap berada di atas koridor ilmiyah dan inshof, kendati terdapat sedikit ibarat keras namun al-hamdulillah sekali lagi tidak keluar dari koridor ilmiyah. Sebenarnya ibarat-ibarat itu diarahkan pada mereka yang masih hijau dalam ilmu syar’i agar tahu diri dan tidak tergesa mendudukkan diri sebagai penghukum bagi orang lain atau jama’ah lain, terlebih terhadap para ulama dan du’at yang berjasa bagi perjuangan Islam, insyaAllah akan kami jelaskan hal ini beserta hujjah-nya pada pembahasan lain. Demikian pula, kalimat sederhana [yang kemudian dikesankan luar biasa oleh Sofyan], keluar dari sebuah jama’ah Ahlu Sunnah yang telah puluhan tahun menjadi bulan-bulanan kezaliman Sofyan dan kelompok “salafy”-nya, yang tidak pernah mau ambil peduli terhadap kezaliman tersebut, bahkan selalu berdo’a bagi mereka agar diberi petunjuk kepada jalan yang haq.
Memang sangat ironis. Sekian lama memulai menyulut fitnah, menebar tudingan, dan menanamkan permusuhan, lalu tatkala dipersembahkan jawaban ilmiyah, seakan “kebakaran kumis”, uring-uringan lalu didramatisir sebagai sebuah sikap emosi berlebihan, persangkaan jelek, sinis pada penulisnya dan lain sebagainya. Kami tidak tahu, jika artikel-artikel ilmiyah yang dikemukakan team al-Inshof disifati sebagai penjabaran emosi, pandangan buruk, sinis dan sebaginya, maka bagaimana dengan artikel Sofyan serta artikel-artikel kelompok “salafy” yang berserakan di dunia maya yang sarat dengan hujatan, cacian, tudingan, fitnah dan lain sebagainya?! Duhai Sofyan, timbanglah segala sesuatu dengan satu timbangan dan bukan dengan dua timbangan.
- Kedua: Sikap ghurur, merasa diri paling benar, paling suci dan paling Ahlu Sunnah.
Klaim diri dan kelompok paling benar dan paling suci serta bebas dari cela adalah salah satu ciri menonjol kelompok “salafy”, sekaligus merupakan rahasia eksistensi kelompok ini. Mereka terus berkembang lantaran merasa diri paling Ahlu Sunnah, paling ath-Thaifah al-Manshurah dan paling selamat. Hingga hampir dalam setiap tulisan maupun artikel yang bersumber dari kelompok ini, sering memposisikan diri sebagai hakim dan penentu keputusan hukum bagi orang lain. Anehnya, yang dijadikan tolak ukur kebenaran itu adalah diri dan kelompoknya. Makanya, jangan heran jika ada kelompok yang menyelisihi kelompoknya, langsung dituding sebagai Hizbiyah tercela. Demikian pula jika ada yang membantah Syaikh, ustadz, atau kelompok mereka, lantas dituding sebagai musuh Ahlu Sunnah, dan lain sebagainya. Seakan hanya mereka saja-lah manifestasi dan mi’yar dari kebenaran itu.
Perhatikan tulisan salah seorang dari ustadz “salafy” yang menyatakan: “Dengan demikian, ketika fitnah perpecahan dan perselisihan datang bertubu-tubi, bid’ah dan penyimpangan semakin menyebar, maka adalah suatu hal yang niscaya, menguji manusia dengan kesesuaian mereka terhadap sunnah, dan memilah-milah guru dalam menuntut ilmu.[3] Inilah sikap Salafiyyun yang sering disalah artikan dengan fanatisme terhadap ulama-ulama mereka saja. Inilah sikap Salafiyyun yang sering disalah-persepsikan dengan menyibukkan diri untuk mencari-cari kesalahan kelompok-kelompok Islam saat ini, padahal mereka hanyalah bermaksud menguji kesesuaian kelompok-kelompok tersebut terhadap As Sunnah“.[4]
Juga pernyataan Ust. Abdul Qadir, dalam muqaddimah artikelnya Memang Benda Salafiyah dan Hizbiyah: “Pergolakan antara tentara kebenaran, dan tentara kebatilan akan senantiasa berjalan sampai akhir zaman. Para pejuang kebenaran harus memiliki kesabaran yang tinggi dan ilmu yang kuat, sebab ia akan diserang oleh musuh-musuh kebatilan dengan berbagai macam senjata syubuhatnya“. Tanpa qarinah-pun bau tudingan sudah begitu nampak terendus. Bahwa kebatilan dan musuh-musuh kebenaran itu adalah kelompok selain kelompok “salafy”, dan para pejuang kebenaran itu adalah diri dan kelompoknya. Namun alhamdulillah dugaan kami akan tudingan ini terbukti melalui qarinah pada paragraf setelahnya, “Diantara syubuhat yang mereka arahkan kepada dakwah salafiyyah, dan pengikutnya (salafiyyun), adanya sebagian kitab-kitab yang menyudutkan dakwah salaf, dan salafiyyun, seperti: “Aku Melawan Teroris”,“Dakwah Salaf Dakwah Bijak”, “Siapa Teroris Siapa Khawarij”.
Perhatikan ungkapan Sofyan Khalid dalam “Jawaban Ilmiyah”-nya terhadap Silsilah kami yang telah merasa diri paling berada di atas kebenaran lalu memberi “nasehat” berupa tudingan terhadap para Ulama dan du’at: “Tatkala seseorang melihat dirinya berada di atas suatu kebaikan berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan bimbingan para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sepatutnya ia mengajak saudaranya kepada kebaikan tersebut, meski terkadang pahit untuk disampaikan“. Sekilas ungkapan Sofyan ini benar, namun jika pembaca sekalian mengikuti dengan saksama apa yang ia goreskan dalam dua artikel sebelumnya, maka akan nampak seperti apa yang diucapkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu: “Kalimatul Haq Uriida bihal Bathil“, [kalimat haq namun untuk tujuan batil]. Sebab pada dua tulisan sebelumnya, Sofyan Khalid menebar tudingan sesat atas para ulama dan du’at serta mengeluarkan mereka dan kelompok-kelompok lain dari barisan Ahlu Sunnah, lalu tatkala sang tertuding melakukan klarifikasi, lantas Sofyan pun mengeluarkan kalimat-kalimat di atas sebagai penegasan bahwa dirinya-lah yang telah berada di atas kebenaran berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan bimbingan para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hingga ia sepatutnya mengajak para ulama dan duat serta kelompok-kelompok lain selain kelompok “salafy” kepada “kebaikan” yang ia berada di atasnya itu. Dan masih banyak lagi, silahkan simak nukilan-nukilan ungkapan Sofyan dalam artikel ini.
§ Ketiga: Menang sendiri dan tidak mau kalah
Hal ini ditunjukkan oleh sikap takjub Sofyan Khalid terhadap klarifikasi kami terhadap tudingan yang ia bidikkan. Maunya Sofyan pihak WI tidak usah menjawab dan hanya boleh melihat-lihat saja sepak terjang mereka. Diam serta tidak perlu membantah. Perhatikan penyataan Sofyan, “Sesuatu yang sungguh sangat saya khawatirkan akhirnya terjadi juga, yaitu kesalahpahaman orang-orang Wahdah Islamiyah (WI) atas nasihat yang saya sampaikan, pandangan yang jelek dan sinis kepada Penulis serta emosi yang berlebihan dalam menyikapi sebuah kritikan.
Jika Sofyan Khalid merasa heran akan munculnya jawaban ilmiyah ini, yakni Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at jilid I, dan mengutarakan bahwa kekhawatirannya terbukti, maka lahinya artikel Sofyan yang berjudul “Mengapa Saya Keluar dari Wahdah Islamiyah” berserta “Jawaban Ilmiyah”-nya serta artikel-artikel lainnya di situs www.almakassari.com, alhamdulillah sedikit-pun tidak membuat kami terkejut. Apalagi menjadi khawatir. Sebab demikian-lah yang terjadi selama ini. Bahwa pihak WI yang menjadi bulan-bulanan kezaliman mereka selama ini tidak pernah ambil peduli dan memilih jalan mengalah terhadap kelompok unik ini.[5] Yakni, kelompok yang sangat doyan mendebat dan tidak pernah mau kalah. Apalagi, seperti telah kami singgung dalam akhir Silsilah Pembelaan jilid I, bahwa kelompok ini maunya hanya menang sendiri serta hanya mereka yang berhak menulis dan tidak boleh dibantah sama sekali. Hingga tatkala muncul jawaban pembelaan, mereka merasa takjub, lalu mengeluarkan bantahan-bantahan yang begitu banyak dan menguras energi besar.
Berikut ini beberapa tambahan dari tuduhan-tuduhan yang ditudingkan Sofyan Khalid kepada Gerakan Dakwah Ahlu Sunnah Wahdah Islamiyah:
Sofyan Khalid berkata : “WI tidak bisa membedakan antara nasehat dan hinaan”.
Tanggapan :
Pertama, ungkapan ini pada hakekatnya justifikasi atas tikaman dan celaan kelompok “salafy” terhadap para du’at dan ulama dalam majlis–majlis mereka. Begitu fasihnya mereka mentalbis cercaan dengan kalimat nasehat, ghibah dengan kalimat al-jarh wa at-ta’dil, dan selainnya, lalu menyitir dalil–dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah tentang urgensi nasehat. Duhai pembaca, siapa gerangan yang sebenarnya tidak bisa membedakan antara nasehat dan hinaan?? Allah Ta’ala menegaskan: “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan yang melihat, dan juga tidak sama antara gelap gulita dengan cahaya, dan tidak pula sama yang teduh dengan yang panas“. (QS. Fathir : 19 – 21 ).
Di sini kami akan beberkan tadlis dan ketidakjujuran Sofyan Khalid dalam menukil perkataan para ulama, hingga memberi kesan bahwa demikianlah mauqif [sikap] ulama tersebut, demi melegalkan tudingannya terhadap para ulama dan du’at [semoga hal ini dilakukan tanpa kesengajaan]. Dan dari sini pula pembaca sekalian akan dapat menilai siapa gerangan yang tidak mampu membedakan antara nasehat dan hinaan.
Sofyan Khalid mendatangkan hujjah berupa perkataan Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah, yakni ungkapan beliau dalam Risalah-nya, tentang kesamaran perbedaan antara nasehat dan celaan. Dia juga menukil sebagian dhawabid (kriteria) pembeda antara nasehat dan hinaan. Maka kami katakan, sepanjang Sofyan berhujjah dengan perkataan Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah dalam kitabnya al-Farqu Bainan Nasihati wa at-Ta’yir, maka kami pun akan memakai hujjah yang sama dari perkataan beliau pada kitab yang sama pula, terkait perbedaan antara nasehat dan hinaan. Yang demikian agar jelas bagi, kita siapa sebenarnya yang samar pemahamannya tentang hakikat celaan dan nasehat.
Agar jelas bagi pembaca sekalian, sebelumnya kami akan kemukakan definisi nasehat menurut pemahaman yang benar. Secara bahasa, nasehat berasal dari ungkapan arab: “Nashaha al-Khayyath at-Tsauba”, [penjahit itu menambal baju], yakni jika ia tidak meninggalkan padanya cela yang robek dan rusak. atau dikatakan pula berasal dari ungkapan arab: “Nashahtu al-Asal”, [saya menapik madu] yakni membersihkannya dari lilin sarangnya. Adapun menurut istilah, maka para ulama memiliki beberapa definisi, diantaranya:
Imam al-Khatthabi berkata: “Nasehat adalah kata-kata yang digunakan dalam sebuah kalimat untuk tujuan kebaikan bagi orang yang diberi nasehat”.[6]
Imam al-Raghib al-Ashfahani berkata: “Nasehat adalah menjaga perbuatan dan perkataan yang padanya terdapat kebaikan bagi pelakunya”.[7]
Imam Muhammad bin Nashr al-Marwadzi berkata: “Sebagian Ahli Ilmu memberi definisi, bahwa nasehat adalah memperhatikan hati bagi orang yang diberi nasehat bagaimana pun keadaan dan kondisinya”.[8]
Jika menilik makna bahasa dan istilah di atas, maka kita dapati bahwa hubungan antara keduanya ada pada penyempurnaan kekurangan dan membersihkan jiwa dari segala kotoran. Maka jika nashaha at-tsaub bermakna menjahitnya dan nashaha al-asal bermakna membersihkannya dari kotoran, maka nashaha bagi seseorang itu bermakna menyempurnakan kekurangannya, serta membersihkan dirinya dari segala yang tergantung padanya berupa kotoran dan cela.[9] Intinya, nasehat adalah suatu upaya menciptakan perbaikan pada diri orang yang diberi nasehat, termasuk dalam hal ini menjaga keadaan hati mereka agar dapat menerima nasehat tersebut bagaimana-pun situasi dan kondisinya.
Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata menukil perkataan al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah :
قال الفضيل : المؤمن يستر وينصح والفاجر يهتك ويُعيِّر , فهذا الذي ذكره الفضيل من علامات النصح والتعيير ، وهو أن النصح يقترن به الستر والتعيير يقترن به الإعلان, وكان يقال : من أمر أخاه على رؤوس الملأ فقد عيَّره
“Orang mukmin menutup (aib) dan menasehati, sedangkan orang yang keji membuka (aib) dan mencela, dan yang di sebutkan al-Fudhoil ini merupakan perbedaan antara nasehat dan celaan, yaitu bahwa nasehat diiringi menutup (aib) adapun celaan diiringi membongkar (aib ditengah khalayak). Dikatakan: Barang siapa menasehati saudaranya ditengah keramaian manusia maka dia telah mencelanya”.[10]
Masih bersama Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah, berkaitan dengan nasehat dalam karya beliau yang fenomenal “Jami’ al-Ulum Wa al-Hikam, beliau berkata :
وكان السَّلفُ إذا أرادوا نصيحةَ أحدٍ ، وعظوه سراً حتّى قال بعضهم : مَنْ وعظ أخاه فيما بينه وبينَه فهي نصيحة، ومن وعظه على رؤوس الناس فإنَّما وبخه
“Para salaf dahulu, jika ingin menasehati seseorang, maka dia menasehatinya secara sembunyi-sembunyi. Hingga sebagian mereka mengatakan: Barang siapa yang menasehati saudaranya secara rahasia maka itulah nasehat [yang sebenarnya], dan barang siapa yang menasehati seseorang di tengah khalayak, maka sungguh ia telah mencelanya”.[11]
Beliau rahimahullah menambahan pula: “Adapun seorang yang memberi nasehat itu, maka tujuan utamanya adalah mengangkat [menghilangkan] aib dan menjauhkan darinya, dimana Allah Ta’ala memuji Rasul-Nya (lihat: at-Taubah :128 dan al-Fath : 29), di sini Allah Ta’ala menyifati kaum mukminin itu dengan kesabaran dan saling menasehati atas landasan kasih sayang. Adapun orang yang mengusung kefajiran untuk menyebarluaskan keburukan dan membeberkannya (di tengah khalayak) ia adalah kekuatan [dorongan nafsu], kemarahan dan kesenangan menyakiti saudara mukminnya serta mendatangkan mudharat bagi mereka, maka ini merupakan sifat setan yang selalu menghiasi bagi anak-anak Adam kekufuran, kemaksiatan dan kedurhakaan agar mereka juga menjadi penduduk neraka…”.[12]
Dari penyataan ini, nampak sebuah pertanyaan besar, siapakah sebenarnya yang tidak bisa membedakan antara nasehat dan hinaan versi Ibnu Rajab?? Apakah membongkar aib-aib dan memfitnah kaum muslimin melalui dunia maya yang dapat dipungut oleh seluruh manusia di planet bumi ini termasuk kategori nasehat versi Ibnu Rajab al-Hambali yang dijadikan tameng oleh Sofyan Khalid?? Apakah membeberkan aib-aib kaum muslimin terutama para ulama dan du’at di majelis-majelis lalu direkam dan disebar ke seantero tanah air [padahal boleh jadi hanya kedustaan, atau kalau benar ia merupakan aib, maka Allah Ta’ala ta’ala telah menutupinya] dikategorikan sebagai bentuk nasehat menurut Imam Ibnu Rajab al-Hambali ?? Pembaca, seakan ucapan Ibnu Rajab rahimahullah di atas adalah cambuk yang dilecutkan pada punggung mereka yang tidak dapat membedakan antara nasehat dan hinaan, lalu mentadlis ghibah dan hujatan terhadap kaum muslimin utamanya para ulama dan du’at dan mengatakan hal itu sebagai nasehat.
Disini kami tegaskan, bahwa penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah terkait perbedaan nasehat dan celaan, juga sejalan dengan pernyataan para ulama salaf lainnya, diantaranya Imam asy-Syafi’i rahimahullah, beliau mengatakan :
من نصح أخاه بين الناس فقد شانه، ومن نصح أخاه فيما بينه وبينه فقد ستره وزانه
“Siapa yang menasehati saudaranya di tengah–tengah manusia, maka sungguh dia telah menjelek-jelekannya, dan barang siapa yang menasehatinya dengan rahasia maka sungguh dia telah menutupi (aib) dan menghiasinya”.
Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad rahimahullah, juga menyatakan:
كان من كان قبلكم إذا رأى الرجل من أخيه شيئاً يأمره في رفق، فيؤجر في أمره ونهيه، وإن أحد هؤلاء يخرق بصاحبه، فيستغضب أخاه، ويهتك ستره
“Sesungguhnya orang sebelum kalian jika melihat saudaranya melakukan penyimpangan, ia menasehatinya dengan lembut, maka dia mendapat pahala dari nasehatnya. Dan di antara mereka ada yang mencela saudaranya, maka dia membuat marah saudaranya dan membongkar aibnya”.[13]
Imam Abu Hatim bin Hibban al-Busti rahimahullah berkata: “Nasehat itu wajib atas seluruh manusia sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya. Akan tetapi pelaksanaannya tidak boleh melainkan dengan cara rahasia (sembunyi-sembunyi), sebab siapa yang menasehati saudaranya secara terang-terangan, sungguh ia telah merusaknya (mempermalukannya) dan siapa yang menasehatinya dalam keadaan rahasia maka ia telah menghiasinya (memperbaikinya)“.[14]
Imam Ibnu Hazm ad-Dzahiri rahimahullah berkata: “Dan jika engkau memberi nasehat, maka nasehatilah dalam keadaan rahasia (sembunyi) dan jangan terang-terangan“.[15]
Adapun untuk tataran ulama kontemporer, maka cukup kiranya kami nukilkan fatwa Mufti Aam Saudi Arabiyah, Fadhilatus Syaikh al-Allamah Abdul Aziz Alu Syaikh, berkenaan dengan metode nasehat, sebagai wakil dari ulama-ulama Ahlu Sunnah di zaman ini. Berikut nukilan taujih beliau kepada kaum muslimin.
Redaksi Pertanyaan: “Wahai syaikh.. sekarang ada sekelompok orang yang mengklaim berada di atas manhaj salaf, tapi mereka doyan mencela para du’at dan masyayaikh. Mereka mencela Syaikh ‘Aidh al-Qorni dan Syaikh Salman al-Audah, bahkan diantara mereka ada yang mengatakan bahwa mereka [para ulama tersebut] sesat dan menyesatkan. Kami mohon pengarahan dari Syaikh yang mulia kepada mereka, [perlu diketahui pent.] sebagian besar dari mereka adalah murid-murid Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali…”.
Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh menjawab: “Wahai saudaraku, saya berharap kita semua bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala terhadap diri-diri kita, dan hendaknya kita tidak menampakkan hal–hal yang seperti ini (baca celaan dan hujatan pent.), jika memang kita yakin akan keberadaannya (kesalahan–kesalahan tersebut pent.), maka mari kita berupaya untuk memperbaikinya. Adapun menyebarkannya dan menampakkannya di depan khalayak umum maka ini adalah sesuatu yang tidak patut, karena sungguh bukan sesuatu yang patut terjadi bagi kaum muslimin untuk bertikai dan berpecah belah antara satu dengan yang lain. Wahai saudaraku, barang siapa yang menginginkan kebenaran dan perbaikan maka ada jalannya, dan bagi siapa yang menginginkan untuk menyebarkan hujatan dan celaan maka ada jalannya tersendiri juga. Penuntut ilmu tidaklah disibukkan dengan mencela dan menghujat si fulan dan si fulan, akan tetapi menyibukan diri dengan perbaikan dan dakwah kepada kebaikan, dan setiap dari kita rentan untuk terjatuh ke dalam kesalahan dan sebaik–baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat, Imam Malik rahimahullah berkata: Setiap dari kita berhak untuk menolak dan ditolak [perkataannya pent.] kecuali nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, maka setiap kita tidaklah selamat dari kesalahan, adapun membagi-bagi manusia ini salafi ini …(perkataan yang tidak jelas) maka ini tidak patut dilakukan, seluruh yang menisbahkan diri kepada ilmu maka kita do’akan semoga mereka diberikan taufiq, hidayah dan ke-istiqamahan, dan barang siapa yang mendapati saudaranya melakukan kesalahan maka hendaknya dia menasehatinya dan menghubunginya, hendaknya kita memohon kepada Allah untuk diselamatkan dari sifat tahazzub dan pengelompokan-pengelompokan serta perpecahan, ini semuanya tidak ada kebaikan di dalamnya...[16]
Jika paparan ini masih kurang, kami akan nukilkan perkataan Fadhilatus Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidhohullah, beliau mengatakan dalam sebuah kesempatan tanya jawab :
…إذا رأيتَ على أحدٍ خطأ ..تناصحه بينك وبينه مب تجلس في مجلس ، تقول فلان سوى كذا وفلان سوى كذا…تناصحه فيما بينك وبينه ..هذه النصحية أما كلامك في المجلس عن فلان هذه ليست نصيحة هذه فضيحة..هذه غيبة..هذه شر . نعم
“Jika memang kamu melihat seseorang terjatuh dalam kesalahan, maka berilah nasehat dengan rahasia, ajak dia duduk di majlis, katakanlah kepadanya wahai fulan lakukanlah begini, wahai fulan kerjakan begitu, berikanlah nasehat dengan empat mata antara kamu dan dia [rahasia], maka inilah yang disebut nasehat adapun berbicara tentang si fulan di tengah majlis maka ini bukan nasehat tapi pembongkaran [aib], ini adalah ghibah, ini adalah keburukan”.[17]
Kedua, dari paparan ulama Ahlu Sunnah di atas, maka merupakan perkara sulit bagi kami untuk mengkategorikan artikel Sofyan Kholid ataupun kaset muhadharah astidzah “salafiyin” sebagai nasehat. Sebab selain artikel dan kaset-kaset muhadharah tersebut sengaja dilakukan di tempat-tempat terbuka bahkan di tengah khalayak ramai, juga dikarenakan “nasehat” itu sarat dengan kedustaan, hujatan dan celaan yang kemudian bermuara kepada emilinasi dari manhaj Ahlus Sunah wal Jamaah.
Berikut adalah bukti perkataan–perkataan akh Sofyan yang kemudian ditalbis sebagai bentuk “nasehat”:
1. Dengan perkara tersebut, teramat sulit untuk mengkategorikan WI sebagai Jam’iyyah Salafiyyah Sunniyyah”[MSKDW]
2. Dia juga berkata: Karena saya khawatir –meskipun saya tidak memastikannya- jangan sampai WI termasuk dalam 72 golongan ahlul bid’ah yang ke neraka –wal ‘iyadzu billah-, maka saya pun keluar dari WI, sebab mengingat beberapa perkara dan pertimbangan yang kami akan sebutkan.
Meskipun dalam redaksi tulisannya tercium sifat wara’ untuk menta’yin [menvonis], maka kami berharap sifat tersebut merupakan buah tarbiyah yang Sofyan kecap dari asatidzah di WI, kendati pada akhirnya kami kecewa, lantaran pada tulisannya “Jawaban Ilmiyah” [artikel yang sedang kami bantah sekarang ini] Sofyan mulai menampakkan tujuan sebenarnya dari artikel-artikel dia sebelumnya, yakni vonis dan ta’yin bagi “kesesatan” WI versi Sofyan dan kelompok “salafy”, dimana ia berkata :
“Padahal sejatinya bukti-bukti ilmiah tentang kesesatan WI yang telah disebutkan oleh para asatidzah sudah cukup. Hanya saja untuk menghilangkan syubhat-syubhat itu perlu usaha. -Insya Allah- saya akan sebutkan lagi sebagian dari bukti-bukti ilmiah tersebut pada bagian-bagian yang akan datang dari seri artikel ini agar syubhat-syubhat itu bisa hilang dan musnah”.[18]
Kalimat senada juga menghiasi artikel Sofyan Khalid yang bertajuk “Jawaban ilmiah”, kami akan nukilkan beberapa yang kami ketahui :
Dia mengatakan: “Syubhat usang ini masih terus dihembuskan oleh WI, demi menjaga kesetiaan anggota-angotanya. Mereka men-talbis dan menggambarkan bahwa yang di-tahdzir oleh ahlus sunnah adalah sesama “ahlus sunnah” (WI). Padahal mereka (WI) tahu bahwa asatidzah salafiyin tidak menggolongkan mereka sebagai ahlus sunnah disebabkan penyimpangan-penyimpangan dari manhaj ahlus sunnah”.[19]
Dia juga berkata: “Kembali saya tegaskan, sebagaimana pada artikel Mengapa Saya Keluar dari Wahdah Islamiyah, telah saya jelaskan bahwa bukan hak saya untuk mengeliminasi WI dari barisan Ahlus Sunnah, tetapi hak para ulama ataupun asatidzah yang benar-benar mendalam ilmunya. Hanya saja dengan penyimpangan-penyimpangan yang ada teramat sulit mengatakan WI termasuk Ahlus Sunnah”.[20]
Setelah bukti-bukti kelancangan tulisan Sofyan ini, maka sekali lagi teramat sulit bagi kami mengatakan bahwa apa yang Sofyan kemukakan tersebut adalah sebuah nasehat.
Penting!!, Perlu ditegaskan, bahwa nukilan kami dari ucapan Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah tidak dipahami bahwa kami mengharamkan tasyhir ahlul bid’ah secara mutlak. Tentu saja diperbolehkan sepanjang ada maslahat di baliknya dan diarahkan pada yang memang berhak (baca ahlul bid’ah) untuk ditahdzir atau dinasehati secara terang-terangan. Dan semua ini kami buktikan dengan tahdzir kami kepada Syiah, Ahmadiyah, JIL dll secara terang-terangan. Walillahil hamd.
Ketiga, Sebagai tambahan, bahwa di antara adab yang sejatinya menghiasi nasehat adalah tidak memaksakan nasehat tersebut kepada saudara yang dinasehati. Apalagi jika masalah yang dinasehati tersebut termasu perkara khilafiyah ijtihadiyah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Hazm ad-Dzahiri rahimahullah :
ولا تنصح على شرط القبول منك، فإن تعديت هذه الوجوه، فأنت ظالم لا ناصح، وطالب طاعة وملك، لا مؤدي حق أمانة وأخوة، وليس هذا حكم العقل، ولا حكم الصداقة، لكن حكم الأمير مع رعيته، والسيد مع عبده
“Dan jangan kamu paksakan nasehat agar di terima. Jika kamu menyelisihi sisi ini, maka kamu adalah seorang yang dholim bukan pemberi nasehat, dan peminta ketaatan kepada yang dinasehati, bukan menunaikan hak amanah dan ukhuwah, ini bukan semata-semata hukum logika, dan bukan juga semata-semata hukum pertemanan, tapi hukum amir (pemerintah) dengan rakyatnya, dan tuan terhadap hambanya”.[21]
Imam Sofyan at-Tsauri rahimahullah berkata: “Jika engkau menyaksikan seseorang mengamalkan ilmu yang masih diperselisihkan padanya, sementara engkau memandang sebaliknya, maka jangan engkau cegat dia”.[22]
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Tidak pantas bagi seseorang memaksa orang lain pada mazhab tertentu, dan tidak pantas pula untuk keras [dalam hal pemaksaan tersebu] atas mereka”.[23]
Mungkin sikap inilah yang hilang dari sebagian pegiat dakwah Ahlu Sunah hari ini, saat memberi nasehat. Sikap sekedar memberikan taujih dan irsyad tanpa ada kesan memaksakan isi dari taujih tersebut [apalagi jika perselisihannya bersifat ijtihadi dan memang diperselisihkan para ulama], sehingga kemudian menyuburkan stigma yang masyhur di tengah pegiat dakwah, sikap hitam putih dan kaku yang biasa dikenal dengan istilah ‘in lam takun ma’ana fa anta ‘aduwwun lana’ (jika kamu tidak bersama kami maka kamu adalah musuh kami), yang natijah-nya adalah terjerembabnya kelompok “salafi” ke dalam jurang perselisihan, pertikaian, dan perpecahan, bahkan hingga pada taraf saling mentabdi’ [membid’ahkan] dan tadhlil [saling menyesatkan] sesama mereka sendiri. Kendati diantara sesama murid Syaikh Muqbil rahimahullah sendiri. Contoh segarnya adalah masalah berta’awun dengan Yayasan Ihya-ut Turots, yang kemudian terjadi perselisihan tentang keabsahannya. Masing-masing ngotot dengan pendapatnya, dan tidak menyisakan ruang dalam hati untuk saling legowo, yang akhirnya berujung perpecahan dan penyesatan kepada sesama saudara. Sungguh hal ini sangat mengkhawatirkan, terlebih menyaksikan sikap “salafiyun” terhadap Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari pasca layangan tahdzir dari Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali terhadap beliau. Wallahul musta’an.
Sofyan Khalid berkata :
Inilah syubhat usang yang senantiasa menjadi senjata WI untuk “mengamankan” anggotanya jangan sampai keluar dari WI. [24] Mereka berusaha semampu mungkin untuk menggiring pemahaman anggotanya bahwa hakikat dari nasihat yang disampaikan asatidzah salafiyin hanyalah penyerangan dan caci maki, sebagaimana jelas dalam paragraf di atas.
Tanggapan :
Pertama, Setelah penjelasan tentang hakikat perbedaan antara nasehat dan hujatan berserta nukilan fatwa ulama salaf, kami yakin pernyataan di atas tidak akan diucapkan kembali oleh Sofyan Khalid. Sebab jika menelaah artikel Sofyan Khalid akan hakikat perbedaan antara nasehat dan celaan justru artikelnyalah yang mengandung distorsi terkait hakikat perbedaan antara keduanya. Disamping adanya penggelapan nukilan perkataan ulama [semoga terjadi tanpa disengaja], untuk memuluskan usaha “pemaksaannya” pada para pembaca bahwa hakikat hujatan dan celaan mereka terhadap ulama dan du’at adalah nasehat yang tulus, bersumber dari nurani paling dalam dan bukti cinta tarhadap sang tertuduh !?.
Kedua, Justru inilah syubhat usang yang senantiasa dihembuskan kelompok “salafy” untuk menjustifikasi penyerangan dan cacian terhadap para ulama dan du’at. Perlu kami tegaskan, terkait apa yang senantiasa kami dengungkan, bahwa hakikat “nasehat” kelompok “salafi” adalah hujatan dan celaan terhadap para ulama dan du’at, bukan isapan jempol dan syubhat, namun ia adalah realita yang kita saksikan terpampang jelas di depan mata berupa sikap menutup celaan bahkan vonis tabdi’ mu’ayyan dengan nama nasehat. Dan ini bukan perkara baru bagi kami dan seluruh elemen pergerakan Dakwah Islamiyah selain kelompok mereka. Lantaran telah terjadi sejak awal kemunculan kelompok ini yang sangat fenomenal. Silahkan bertanya pada seluruh elemen umat Islam di dunia ini, dan khususnya di tanah air, apakah tudingan dan hujatan yang ramai memadati situs-situs dan buku-buku kelompok “salafy” merupakan nasehat atau hinaan?? Kami yakni, pembaca sekalian sudah mengetahui jawabannya. Dan barangkali yang menyatakan ia sebagai nasehat hanya kelompok “salafy” dan pengekor-pengekornya.
Sebagai penegas, perhatikan kaset tahdzir serampangan Ust. Dzulkarnain, lalu risalah fatwa “sesatnya” Wahdah Islamiyah (baca: Ust. Zaitun Rasmin) dari Syaikh Rabi’ yang disebarkan di tengah khalayak,[25] seluruhnya belum sampai kepada kami, sebagai bahan evaluasi jika memang apa yang merekam nyatakan itu benar.
Tengok pula situs yang tak kalah beringas dari www.almakassari.com, yakni situs “tuk pencari alhaq” [artikel akh Sofyan Kholid “Mengapa Saya Keluar Dari Wahdah Islamiyah? juga nongol di situs ini], pembaca akan temukan begitu banyak hujatan dan celaan terhadap para du’at. Bahkan sebagian musthalahat begitu enteng keluar dari lisan anak muda pengelola situs ini, membuat bulu kuduk kaum muslimin merinding. Kata-kata dajjal [yang ditujukan untuk seorang ulama], si pendusta, pembebek setia dll, seakan mereka lupa firman Allah Ta’ala: “Dan kelak akan ditulis persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung jawaban“. (Qs. az-Zukhruf : 19)
Pembaca budiman, setelah menyaksikan fenomena di atas muncul banyak pertanyaan, benarkah yang mereka lakukan selama ini adalah nasehat tulus kepada para du’at?? Ataukah mereka yang tidak paham perbedaan antara nasehat dan hinaan?? Salahkah jika kami dan seluruh elemen Dakwah Islam menyatakan bahwa nasehat mereka pada hakekatnya adalah celaan dan hinaan, kendati mereka secara sepihak menampik dan ngotot mengatakan itu adalah sebuah nasehat??
Ikhwah fillah, sebenarnya apa yang kami paparkan ini masih lebih kecil ketimbang hakikat sebenarnya. Jika fenomena di atas begitu mudah kita jumpai dari para masyaikh dan asatidzah kelompok “salafy”, maka apa yang kita dapati dari murid-murid karbitan kelompok “salafy” dapat menghasilkan berjilid-jilid buku, berupa sikap-sikap aneh tapi nyata, yang kemudian diklaim sebagai nasehat dari lubuk hati paling dalam. Wallahul musta’an.
Akh Sofyan berkata :
Lantaran itu, perkataan Al-Imam Abdullah bin al-Mubarak – rahimahullah- tatkala menyaksikan seseorang yang meng-ghibah saudaranya yang muslim, tidak pantas kalian (orang-orang WI) arahkan kepada orang-orang yang ingin memperingatkan kaum muslimin dari bahaya kesesatan, “Apakah engkau pernah berperang melawan Romawi?” Ia menjawab, “Tidak”. “Apakah engkau pernah memerangi Persia”. Ia menjawab, “Tidak”. “Apakah engkau pernah memerangi as-Sanad dan India”. Ia menjawab, “Tidak”. Beliau –Abdullah bin al-Mubarak- lantas berkata, “ Selamat darimu Romawi, Persia, as-Sanad[26] dan India, namun tidak selamat dari –kejelekan lisanmu- saudaramu yang muslim “.
Tanggapan :
Pertama, Ucapan Sofyan Kholid “Lantaran itu, perkataan Al-Imam Abdullah bin al-Mubarak – rahimahullah- tatkala menyaksikan seseorang yang meng-ghibah saudaranya yang muslim, tidak pantas kalian (orang-orang WI) arahkan kepada orang-orang yang ingin memperingatkan kaum muslimin dari bahaya kesesatan”, kalimat yang kami garisbawahi menguatkan “prediksi” kami. Artikel yang ditulis Sofyan Khalid memang berangkat dari sebuah keyakinan, bahwa WI berada dalam kesesatan. Makanya, artikel tersebut kurang patut apabila disebut sebagai nasehat, tapi lebih layak disebut sebagai vonis sesat. Demikian pula, Sofyan berulang-ulang memaparkan atsar dari ulama salaf yang menunjukkan halal-nya menggibah mubtadi’ (ahli bid’ah). Karenanya, dari sini pun sudah tercium aroma vonis sebagai Ahli Bid’ah bagi gerakan Dakwah Ahlu Sunnah WI, sebab isi artikel seolah menghalalkan perbuatan tersebut.
Kedua, Kami memandang vonis sesat kelompok “salafi” [akh sofyan juga termasuk di dalamnya] serampangan dan prematur sebab dibangun atas landasan ketergesaan dan bukan atas dasar ilmu dan bashirah. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa faktor :
· Belum ada diskusi ilmiah terkait tudingan-tudingan yang dibidikkan tersebut. Jadi seluruh masalah yang menjadi titik perselisihan belum ter-tarjih secara ilmiah. Dan pada kondisi seperti ini, adalah sikap serampangan apabila menjatuhkan vonis sesat kepada yang lain, sebuah kaidah berbunyi: “wal Hudud Tudra’u bis Syubuhaat“, yang berarti: “Pelaksanaan hudud dibatalkan (ditangguhkan) selama masih ada syubhat [kesamaran dalam masalah]“.
· Sebagian masalah yang dituduhkan sifatnya ijtihadi [dibangun atas ijtihad]. Contohnya: Masalah boikot ahlul bid’ah. Hal ini terkait erat dengan mashlahat, dimana jika ada mashlahat, disyariatkan untuk menegakkanya. Namun jika sebaliknya, maka tidak dianjurkan. Penentuan maslahat atau tidaknya termasuk masalah ijtihadi, berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Contoh lainnya adalah partisipasi dalam pemilu[27], ini juga berhubungan kuat dengan urusan mashlahat.
· Sebagian tuduhan masih diperselisihkan oleh para Ulama. Contohnya sikap terhadap para masyayaikh seperti Fadhilatus Syaikh al-Allamah Dr. Salman al-Audah, Fadhilatus Syaikh Dr. Safar al-Hawali, Syaikh Dr. ‘Aidh al-Qorni, dan selainnya.
· Sebagian tuduhan tidak berdasar sama sekali, kalau tidak disebut sebagai tuduhan dusta. Contohnya: Tuduhan bahwa WI melaksanakan bai’at.
· Tidak ada upaya nyata dan serius untuk iqamatul hujjah melalui cara dakwah bil hikmah ataupun mau’idhah hasanah. Akan tetapi kecendrungan lebih pada mengutamakan hujatan dan celaan serta vonis secara langsung.
Ketiga, Jika menilik fenomena dan realita yang ada di lapangan, maka artikel, muhadharah, selebaran-selebaran dan selainnya yang mereka klaim sebagai “nasehat”, pada hakikatnya hanyalah tuduhan, celaan, serta hujatan. Kendati mereka berusaha memanipulasi bahwa itu semua adalah nasehat yang bersumber dari kecintaannya terhadap kaum muslimin. Sebab lisanu haalihim mukholifun li lisani maqolihim [bahasa realita mereka kontradiksi dengan bahasa lisan mereka].
Mungkin lisan mereka fasih menyatakan, bukankah salah satu dari bentuk nasehat kepada sesama muslim adalah dengan cara menjelaskan kesesatan kepada umat [metode tahdzir] dan boikot kepada ahlu bid’ah?, maka kami katakan :
1. Kami sepakat dalam masalah ini. Namun permasalahannya, siapakah yang patut disematkan padanya “gelar” ahlul bid’ah itu??
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab pertanyaan tadi seraya mengatakan :
و البدعة التى يعد بها الرجل من أهل الأهواء ما اشتهر عند أهل العلم بالسنة مخالفتها للكتاب والسنة كبدعة الخوارج والروافض والقدرية والمرجئة
“Dan bid’ah yang karenanya seseorang divonis sebagai ahlu ahwa’ adalah hal-hal aksiomatik bagi ulama sunnah yang jelas menyelisihi al-quran dan sunah misalnya bid’ah khawarij, raafidhah, qodariyah, dan murji’ah”.[28]
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaily hafidhahullah mengatakan: “Dan kesimpulan perkataan tentang kriteria ahlu bid’ah dan ahwa’ adalah siapa saja yang bid’ahnya masyhur [baca tidak ada perselisihan pent.] di kalangan Ulama [tentang] penyelisihannya terhadap al-Quran dan sunnah dan bukan terkait dengan masalah-masalah pelik yang tersembunyi hakikatnya pada sebagian manusia, maka dia adalah ahlu bid’ah tidak dibedakan apakah dia seorang ‘alim atau orang biasa“.[29]
2. Kendati orang yang ditelanjangi kesesatannya [tahdzir] dan diboikot adalah ahlul bid’ah tulen, tetap ada “keharusan” menimbang mashlahat dari aplikasi sikap di atas. Dan ini menunjukkan kedalaman fiqih seorang terhadap realita dan mashlahat dakwah yang hendak dicapai.
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: “Tidak ada boikot [terhadap ahlul bid’ah] kecuali bagi yang engkau harapkan kesadarannya [kebaikannya] atau engkau takut terhadap keburukan bid’ahnya [terpengaruh] atau yang lain”.[30]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Sikap hajr berbeda hukumnya tergantung kekuatan dan kelemahan pemboikot, banyaknya dan sedikitnya, sesungguhnya maksud dari boikot adalah memberikan efek jera dan mendidik [ahlul bid’ah], dan kembalinya orang-orang awam dari seperti keadaan mereka, maka apabila maslahat boikot lebih kuat [dominan], yaitu ber-efek lemah dan tersembunyinya keburukan maka disyariatkan, dan jika tidak ada yang kapok [jera dari bid’ahnya] baik yang diboikot ataupun yang lain, akan tetapi justru menambah keburukan dan yang memboikot juga lemah yang ber-efek menguatnya kerusakan dibanding maslahat, maka tidak disyariatkan boikot”.[31]
Syaikh Prof. Dr. Ibrohim ar-Ruhaili hafidhahullah menegaskan: “Berdasarkan hal itu, maka mungkin kita katakan bahwa hajr [boikot] ahlul bid’ah hanya disyariatkan bila harapkan kesadaran dan kebaikannya, atau dikhawatirkan menularkan keburukan [bid’ah] kepada yang bermua’malah dengannya, dan jika tidak [hilangnya dua sebab ini] maka tidak disyariatkan”.[32]
Fadhilatus Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan: “Maka apabila mayoritas dan kekuatan dimiliki ahlus sunah, maka sikap hajr [boikot] ahlul bid’ah disyariatkan, dan apabila kekuatan dan mayoritas dimiliki ahlul bid’ah –laa haula walaa quwwata illa billah- dan tidak ada efek jera bagi ahlul bid’ah dan yang selainnya dengan sikap hajr dan tidak merealisasikan tujuan syar’i, maka tidak disyariatkan hajr dan sikap yang lebih tepat adalah sikap ta’lif [baca: lembut pent.] karena dikhawatirkan bertambahnya keburukan”.[33]
Al-Allamah al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah pernah ditanya tentang cara bermu’amalah dengan para penyelisih manhaj salaf, dimana ada kelompok yang terlalu memudah-mudahkan sementarara di sisi lain ada yang terlalu berlebihan dengan dalih perbuatan salaf juga menunjukkan demikian. Beliau rahimahullah kemudian menjawab:
“Pendapat saya, -wallahu a’lam-, bahwa perkataan salaf (yang keras terhadap ahli bid’ah) berlaku pada jaww salafi (kondisi masyarakat yang didominasi pengikut manhaj salaf); yaitu kondisi yang penuh dengan keimanan yang kuat dan ittiba’ yang benar kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat. Masalah ini sama persis dengan masalah muqatha’ah -pemutusan hubungan atau boikot- seorang muslim terhadap muslim yang lain dalam rangka mendidik dan memberi pelajaran kepadanya. Ini merupakan sunnah yang diketahui umum.
Namun yang menjadi keyakinan saya, -dan saya sering sekali ditanya mengenai hal ini- bahwa zaman kita tidak sesuai untuk diterapkan muqatha’ah. Zaman kita ini tidak cocok untuk memutuskan hubungan dengan para ahli bid’ah. Sebab konsekwensinya -yakni hajr ahli bid’ah itu- berarti engkau akan tinggal di puncak gunung dan engkau jauh dari masyarakat. Hal ini dikarenakan tatkala engkau meng-hajr masyarakat –karena kefasikan atau kebid’ahan mereka- tidaklah hal ini memberi pengaruh (positif) sebagaimana pengaruh yang timbul di zaman salaf yang mengucapkan kalimat-kalimat (keras terhadap ahli bid’ah) tersebut”.[34]
Kendatipun demikian, kami tidak menutup mata bahwa sikap hajr dan boikot terhadap ahli bid’ah disyariatkan[35], dan alhamdulillah kami tidak menyesatkan orang yang menggunakan metode ini terhadap ahlul bid’ah, jika memang menurutnya terdapat mashlahat bagi sikap tersebut. Sebab, demikian adanya, penentuan dan penetapan mashlahat dalam masalah ini adalah ijtihadii, dimana dibutuhkan padanya fatwa dan keterangan para ulama Ahlu Sunnah Rabbani, dan bukan pendapat setiap orang apalagi yang belum rasikh [kuat] pijakannya dalam ilmu syar’i. Di samping bahwa hukum asal dari penerapan metode di atas adalah fardhu kifayah. Wallahu a’lam.
Akan tetapi, kami keberatan dengan sikap serampangan kelompok “salafy” dalam hal menyesatkan orang-orang yang memandang sikap ta’lif [lembut] dengan mubtadi’ yang lebih mendatangkan maslahat untuk untuk saat ini, dan bukan sikap keras, kaku dan hajr terhadap ahlul bid’ah, khususnya di tanah air tercinta [indonesia], sebagaimana hal ini banyak terjadi dalam realita kehidupan da’wah kita.
3. Keharusan untuk mentahrir [menganalisa] masalah-masalah yang dituduhkan. Apakah masalah-masalah yang ditudingkan memang benar bisa mengeluarkan seseorang dalam ruang lingkup ahlus sunnah atau tidak, sehingga dia memang pantas untuk di boikot dan ditadzir, jika mashlahat menuntut demikian ??
4. Harus ada i’tibar keyakinan yang kuat, khususnya masalah vonis atas seseorang, bahwa orang yang kita vonis memang benar-benar jatuh dalam kesalahan manhaj secara yakin. Sebab kaidah menyatakan “al-yaqinu laa yazuulu bis syakki” [keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan]. Dan hukum asal [yang diyakini] atas setiap muslim adalah bersih dari segala kerusakan dan kesesatan hingga datang keterangan yang jelas bahwa ia telah menyimpang. Disamping keterangan akan menyimpangnya seseorang itu harus dibangun atas landasan yakin yang menyamai hukum asal dan bukan hasil reka-reka atau hanya pendapat sebagian Syaikh saja sementara banyak Syaikh lain yang menyelisihinya.
5. Hukum asal menyebut keburukan seorang muslim adalah haram, sebab ia merupakan ghibah muharromah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kala mendefinisikan ghibah: “Dzikruka akhaaka bimaa yakrahu“, yakni “Engkau menyebutkan (sesuatu) tentang saudaramu, dan ia tidak senang (untuk disebutkan)”.[36]
Dan masalah inipun, yakni menyebutkan kesesatan, masuk dalam kategori ghibah kendati terdapat rukhsoh [keringanan] padanya, jika dipandang ada maslahatnya.
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan :
فَإِنَّ مَفْسَدَة الْجَرْح عَظِيمَة ؛ فَإِنَّهَا غِيبَة مُؤَبَّدَة مُبْطِلَة لِأَحَادِيثِه
“Sesungguhnya kerusakan jarh [celaan] sangat besar, sungguh [jarh] dikategorikan ghibah yang membinasakan serta menghalangi [diterimanya] hadits-hadits”.[37]
Jika saja ilmu jarh wat ta’dil yang puncaknya adalah celaan bagi keadilan [‘adaalahtur rawi] dan kekuatan ilmiah [dhabtur rawi] seorang rawi yang berkonsekwensi ditolaknya hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang harus bersikap hati-hati di dalamnya, maka apalagi ilmu “jarh wat ta’dil” masa kini, yang puncaknya lebih dahsyat yaitu celaan terhadap agama seseorang bahkan tak jarang berakhir pada emilinasi seseorang dari barisan ahlus sunah, maka sudah sepatutnya bagi kita untuk lebih berhati-hati.
Memang benar, ada beberapa kondisi pengecualian yang oleh para ulama diperbolehkan ghibah di dalamnya. Akan tetapi perlu diingat, bahwa pengecualian tersebut bukan berarti legalnya sikap berluas-luas dalam masalah ini. Cukuplah bagi kita mengambil pengecualian tersebut sesuai kebutuhan dan hajat. Dan apabila hajat telah tercukupi dengan satu kalimat jarh [celaan], maka tidak dibutuhkan mengucapkan dua kalimat apalagi berpanjang-panjangan di dalamnya.
Fadhilatus Syaikh Abdul Karim al-Khudoir hafidhohullah [salah seorang anggota Lajnah Da-imah lil Ifta’] berkata :
أمَّا إذا وُجِد مُبتدع ويُخشى من تَعدِّي بِدعتِهِ إلى غيرِهِ مثل هذا يُحذَّر منهُ بقدْر الحاجة، ولا يكون الغرض من التَّحذير منهُ التَّشفِّي بعرضِهِ
“Adapun jika didapati ahlul bid’ah dan khawatirkan tersebar bid’ahnya di tengah manusia, maka di berhak untuk ditahdzir sesuai hajat [kebutuhan], dan tidak menjadikan tahdzir tersebut untuk tujuan mencela kehormatannya.[38]
Perhatikan Imam an-Nawawi rahimahullah yang perkataannya digunakan sebagai mubarrir [legitimasi] bagi ulah kelompok “salafi” terkait kondisi-kondisi pengecualian dalam ghibah, beliau tidak serta merta serampangan mengumbar tudingan dan tahdzir-an terhadap ulama-ulama di zamannya yang menyimpang. Demikian pula kibarul ulama salaf kontemporer yang fatwanya banyak digunakan kelompok ini untuk menyesatkan sebagian kelompok-kelompok Islam, mereka tidak serta merta mengobral tuduhan dan tahdziran terhadap kelompok-kelompok tersebut. Bahkan sebaliknya, mereka mengeluarkan wasiat emas agar seluruh elemen kelompok kaum muslimin tetap memelihara kelanggengan ta’awun, [tentunya berta’awun dalam kebenaran dan kebaikan], kasih sayang dan saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran, sebagaimana telah kami singgung dalam Silsilah Pembelaan Terhadap Ulama Dan Du’at I.
Satu hal yang tak kalah penting, bahwa tidak semua orang seenaknya masuk dalam wilayah berbahaya ini. Sebab batas antara pembolehan hal ini dengan hukum asalnya sebagai sesuatu yang diharamkan dan dapat membinasakan, tipis sekali. Dan tidak ada yang sanggup menangkap akan hal ini melainkan mereka yang kompeten padanya, yakni para ulama Ahlu Sunnah Rabbani.
Imam Nawawi rahimahullah mewasiatkan :
ثُمَّ إِنَّمَا يَجُوز الْجَرْحُ لِعَارِفٍ بِهِ ، مَقْبُول الْقَوْل فِيهِ ، أَمَّا إِذَا لَمْ يَكُنْ الْجَارِح مِنْ أَهْل الْمَعْرِفَة, أَوْ لَمْ يَكُنْ مِمَّنْ يَقْبَل قَوْله فِيهِ ؛ فَلَا يَجُوز لَهُ الْكَلَام فِي أَحَد ؛ فَإِنْ تَكَلَّمَ كَانَ كَلَامُهُ غِيبَةً مُحَرَّمَةً, كَذَا ذَكَرَهُ الْقَاضِي عِيَاضٌ رَحِمَهُ اللَّه وَهُوَ ظَاهِرٌ
“Kemudian diperbolehkan jarh [mencela] bagi orang yang pakar tentangnya [ulama], yang diterima perkataannya [jarhnya], adapun jika pen-jarh [pencela] bukan termasuk dalam barisan ulama, atau tidak pula orang yang diterima jarhnya [celaannya], maka tidak boleh mencela seseorang, jika dia berbicara [menjarh/mencela], maka perkataannya adalah ghibah yang diharamkan, sebagaimana dijelaskan oleh al-Qodhi Iyadh rahimahullah, dan itulah yang rajih [kuat]”.[39]
Al-Hafidz adz-Dzahabi rahimahullah menulis sebuah kitab yang bertajuk “Dzikru Man Yu’tamadu Qouluhu Fil Jarh Wat Ta’dil”, [menyebutkan siapa yang diterima perkataannya dalam jarh wat ta’dil], artinya, dapat dipahami bahwa tidak semua orang berhak men-jarh dan men-ta’dilnya. Dan jika jika berkompeten-pun, maka tidak lantas harus ditelan bulat-bulat sebelum memastikan bahwa tidak ada mawani’ [penghalang-penghalang] yang merintangi diterimanya jarh darinya.
Sebagai peringatan, barangkali inilah yang paling nampak dari buah tarbiyah kelompok “salafy” terhadap para pemuda-pemuda, yang kemudian melahirkan generasi ta’aalum [sok pintar], lancang terhadap orang yang lebih senior, dan tidak takut mengeluarkan fatwa apalagi vonis sesat dan bid’ah terhadap orang lain, kendati orang yang divonis itu seorang ulama terpandang atau da’i yang sangat berjasa bagi dunia Islam dan diakui jasanya tersebut oleh seantero jagat ini. Anehnya, kadang ukuran bagi “fatwa”-nya itu hanya lantaran tidak femiliar baginya atau masih baru bagi pendengarannya dan bukan atas ilmu dan bashirah. Wallahul musta’an. Sebagai contoh, fatwa vonis bid’ah dari pemuda-pemuda “salafy” terhadap yayasan, tandzim, dan hal-hal yang berkaitan dengan wasilah da’wah, yang kemudian direvisi lantaran syaikh-syaikh mereka sudah tidak mempermasalahkan lagi !?.
6. Ingatlah, bahwa hukum asal nasehat itu adalah dilakukan dengan lemah lembut, hikmah, dan kasih sayang. Tidak boleh keluar dari hukum asal ini melainkan jika terdapat maslahat yang kuat. Jika benar Sofyan Khalid dan kelompok “salafy” mengharapkan ishlah [perbaikan] bagi umat ini, khususnya bagi para du’at, lalu kenapa mereka memilih yang menyimpang dari hukum asal tersebut, yakni menempuh sikap keras, kaku, tahdzir serampangan dan selainnya, ketimbang sikap lemah lembut dan hikmah ?? Olehnya, jika menilik dan mencermati metode dakwah kelompok “salafi”, terkhusus metode “nasehat” terhadap para du’at Ahlu Sunah, akan nampak bahwa metode hujatan, tahdzir bahkan sampai pada tingkatan tahziib [menghizbikan seseorang], tasriir [menjuluki seseorang dengan sururi] dan tabdii’ [melabeli bid’ah], lebih dominan dilaksanakan daripada metode lemah lembut dan hikmah. Wailallohil al-musytaka.
7. Aktifitas dan sepak terjang kelompok “salafy” yang serampangan mengeliminasi para ulama dan du’at dari barisan ahlu sunnah, serta mengobral julukan-julukan buruk kepada mereka dengan asumsi menjelaskan kesesatan dan bid’ah kepada umat, tidak luput dari sorotan tajam al-‘Allamah Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah-, hingga beliau tidak segan menyatakan:
و في عصرنا الحاضر يأخذ الدور في هذه الفتنة دورته في مسلاخ من المنتسبين إلى السنة متلفّعين بمرط ينسبنه إلى السلفية – ظلما لها – فنصبوا أنفسهم لرمي الدعاة بالتهم الفاجرة, المبنية على الحجج الواهية, و اشتغلوا بضلالة التصنيف.
“Di zaman sekarang, yang mengambil peran besar dalam penyebaran fitnah ini (fitnatut tashnif) adalah sebagian orang yang menisbatkan diri kepada sunnah dan nenutupi dirinya dengan jubah salafiyah –sebagai bentuk kedhaliman terhadap manhaj tersebut– lalu mereka mencela para du’at dengan tuduhan-tuduhan keji, berdasarkan hujjah yang lemah, dan menyibukkan diri dengan kesesatan tashnif (menggolong-golongkan manusia).[40]
Namun jika mereka menolak perkataan tegas Fadhilatu Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaid rahimahullah- dalam bukunya “Tashniifun Naas Bain ad-Dhonni wa al-Yaqin“, lantaran menurut kelompok ini bahwa buku tersebut adalah karangan terjelek yang pernah beliau tulis, maka kami tegakkan hujjah berupa nasehat Fadhilatus Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad hafidhohullah dalam risalah kecilnya “Rifqan Ahlas Sunnah Bi Ahlis Sunnah”[41], dimana buku ini merupakan representasi keprihatinan beliau terhadap fitnah yang terjadi di dunia Islam, terkhusus fitnah tajrih dan tabdii’ sesama Ahlu Sunnah.
Benar, buku ini adalah nasehat dari ulama ahlus sunnah kepada sesama ahlus sunah [sebagaimana klaim kelompok “salafy”]. Seakan Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafidhahullah dengan buku tersebut ingin memadamkan fitnah yang terjadi di kalangan kaum muslimin, berupa fitnah tajrih dan tabdi’ yang terjadi, khususnya di wilayah Saudi Arabiyah, dalam bentuk celaan dan tuduhan kepada tokoh-tokoh ahlus sunnah wal jama’ah. Dan ini menguatkan keyakinan, bahwa fitnah tajrih [celaan] dan tabdii’ [vonis bid’ah] di dunia Islam umumnya dan di Saudi Arabiyah khususnya, adalah fitnah yang terjadi antara sesama ahlus sunah, vonis tabdii’ yang dibidikkan kepada Dr. Salman al-Audah, Dr. Safar al-Hawali, Dr. ‘Aidh al-Qarni, Dr Muhammad bin Mukhtar as-Syinqity, Syaikh Sholih al-Munaajjid, Syaikh Abul Hasan al-Ma’ribi, kemudian di Mesir Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini, Muhammad Hassan hafidhahumullah dan yang lainnya, adalah celaan dan tuduhan kepada tokoh-tokoh ahlus sunnah. Dan dan inilah yang di pahami oleh tokoh-tokoh kelompok “salafi” dari buku ini, yang berindikasi melahirkan kegerahan mereka hingga lahir penolakan membabi buta terhadapnya. Bahkan kami khawatir Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafidhahullah pun telah didepak oleh mereka dari lingkaran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Perhatikan ungkapan salah seorang tokoh kelompok “salafy” yang tinggal di bagian selatan Saudi Arabiyah[42] :
الذي يروّج هذا, يدل على أنه مبتدع ويريد الفتن حذّروا منه حذّروا منه
“Yang menyebarkan buku ini [Rifqon ahlas sunnah], maka itu menunjukan bahwa dia ahlul bid’ah dan menginginkan tersebarnya fitnah, maka hati-hatilah kalian terhadap mereka”.[43]
Demikian pula perkataan salah seorang tokoh kelompok ini, yang tinggal di Madinah[44], dia mengatakan ketika menjawab sebuah pertanyaan yang di tujukan kepadanya tentang nasehat bagi orang yang menyebarkan buku Rifqan Ahlas Sunnah :
الذي ينشر صاحب الفتة, أو لا يدرك
“Yang menyebarkan buku adalah orang yang terkena fitnah atau orang yang tidak tahu”.[45]
Duhai pembaca sekalian, jika sekedar menyebar buku divonis sebagai ahlul bid’ah dan shohibul fitnah, maka bagaimana dengan sang penulis buku yang dengan sadar menyusunnya agar dibaca oleh kaum muslimin, bahkan menegaskan pada sampulnya “yuhda wa yuba’” [dihadiahkan dan tidak diperjualbelikan]??, Pembaca tentu telah mengetahuinya. Wallahul musta’an.
Dan kalau benar buku Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafidhahullah hanya ditujukan pada pertikaian diantara sesama kelompok “salafy” saja [menurut klaim mereka], lantas mengapa harus ada penolakan membabi buta terhadap buku tersebut ??.
Jika kelompok ini masih belum menyadari sorotan tajam ulama ahlus sunah terhadap manhaj “jarh wat ta’dil” yang mereka lakoni lewat nasehat-nasehat yang kami nukilkan di atas, maka kami akan sumbangkan nasehat lain yang jauh lebih “keras” berasal dari Fadhilatus Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafidhahullah dalam risalahnya “Al-Hattsu ‘Alal Ittba’ “.[46]
Beliau hafidzahullah berkata :
و من البدع المنكرة ما حدث في هذا الزمان من امتحان بعض من أهل السنَّة بعضا بأشخاص، سواء كان الباعث على الامتحان الجفاء في شخص يُمتحن به، أو كان الباعث عليه الإطراء لشخص آخر
“Diantara bentuk bid’ah yang mungkar yaitu apa yang terjadi di zaman ini berupa menguji sebagian ahlus sunnah dengan tokoh tertentu, baik disebabkan karena kebencian terhadap orang yang diuji dengannya, ataupun faktor kecintaan [yang berlebih-lebihan] kepada tokoh tertentu.[47]
Beliau juga mengatakan :
وقريب من بدعة امتحان الناس بالأشخاص ما حصل بهذا الزمان من افتتان فئة قليلة من أهل السنة بتجريح بعض إخوانهم من أهل السنة وتبديعهم, وما ترتب علي ذلك من هجر وتقاطع وقطع لطريق الإفادة منهم.
“Yang hampir serupa dengan bid’ah menguji manusia dengan tokoh tertentu yang terjadi di zaman ini, adalah terfitnahnya segelintir ahlus sunnah dengan mentajrih [mencela] sebagian saudaranya sesama ahlu sunah dan memvonis bid’ah mereka, yang berujung pada terjadinya boikot dan perpecahan diantara mereka dan memutuskan jalan untuk mengambil manfaat dari mereka“.[48]
Beliau juga mengatakan :
ومن ذلك أيضا حصول التحذير من حضور دروس شخصو لأنه لا يتكلم في فلان الفلاني أو الجماعة الفلانية
“Dan diantaranya [bid’ah yang mungkar] adalah terjadinya tahdzir [larangan] untuk menghadiri durus [pelajaran-pelajaran] seseorang, kerena orang tersebut tidak mencela si fulan yang Fulani atau jama’ah fulaniyah”.[49]
Pembaca budiman, siapakah gerangan yang disinggung oleh nasehat Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah dalam risalah beliau diatas?? Dan siapakah gerangan sang pembawa bid’ah mungkarah yang disindir oleh Syaikh yang mulis?? Siapakah gerangan yang menyibukan diri dengan imtihanun nas [menguji manusia] dengan tokoh tertentu, yang kemudian mendirikan tembok al-wala’ wal baro’ di atasnya ??.
Inilah nasehat ulama Ahlus Sunah, buat kelompok “unik” ini sekaligus nasehat bagi seluruh kaum muslimin. Semoga mereka tidak mungkir terhadap wasiat-wasiat emas tersebut, atau bahkan menganulir sang pemberi nasehat dari barisan Ahlus Sunnah dikarenakan menyelisihi “kebijaksanaan” metode tajrih dan tabdi’ yang mereka “imani”. wallahul musta’an.
Sebagai penutup, berkaitan dengan nasehat Sofyan pada akhir artikel, maka kami ucapkan jazakumullahu khairan. Akan tetapi satu hal yang juga merupakan nasehat dari kami bagi antum dan kelompok “salafy” secara umum, sebuah kalimat berharga dari al-Allamah Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, namun mengandung pecutan pedih bagi para pencela, pengumpat dan pengrusak kehormatan orang lain. Beliau tegas menyatakan:
“ومن العجب أن الإنسان يهون عليه التحفظ والإحتراز من أكل الحرام والظلم والزنا والسرقة وشرب الخمر ومن النظر المحرم وغيرذلك ويصعب عليه التحفظ من حركة لسانه حتى يرى الرجل يشار إليه بالدين والزهد والعبادة وهو يتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقى لها بال يزل بالكلمة الواحدة بين المشرق والمغرب وكم ترى من رجل متورع عن الفواحش والظلم ولسانه ثغري في أعراض الأحياء والأموات ولا يبالي ما يقول”.
“Yang mengherankan, manusia itu mudah baginya menjaga diri dari makanan haram, berlaku zalim, berzina, mencuri, minum minuman keras, memandang perkara haran dan selainnya, akan tetapi amat sulit baginya menjaga gerakan lisannya, hingga kita saksikan seseorang yang dikenal akan agama, sikap zuhud dan ibadahnya, akan tetapi ia (sering) berkata-kata dengan kalimat yang mendatangkan murka Allah Ta’ala yang ia tidak menaruh perhatian padanya, akan tetapi menjauhkan ia lantaran satu kalimat tersebut antara timur dan barat. Betapa banyak engkau saksikan seorang yang begitu wara’ (menjaga diri) dari perbuatan keji dan zalim, namun lisannya panjang dalam (mencela) kehormatan dan harga diri orang baik yang masih hidup maupun yeng telah mati, serta tidak ambil peduli terhadap apa yang ia ucapkan”.[50]
Yah, betapa banyak kita saksikan seseorang itu begitu mudah baginya menjaga perkara-perkara sunnah dalam dirinya, berupa pakaian setengah betis, memanjangkan janggut, menjaga diri dari maksiat dan kabair, menjauhkan diri dari perkara-perkara khilaf berupa foto-foto makhluk hidup, dan selainnya [walaupun tentu saja memerhatikan seluruh hal-hal tersebut adalah bagian kebaikan dan keutamaan], akan tetapi begitu sulit baginya mengekang lidahnya dari menuding, menghujat, dan merusak harga diri orang lain utamanya para ulama dan du’at.
Karenanya sekali lagi, perkara foto makhluk hidup yang disinggung oleh Sofyan, kami akui sebagai perkara khilaf yang lebih utama ditinggalkan. Namun untuk satu tujuan dan mashlahat maka ia dibolehkan sesuai kadar hajat kebutuhan. Akan tetapi, perkara ghibah, tuding dan merusak kehormatan kaum muslimin apalagi para auliyaullah [wali-wali Allah], maka ia merupakan perkara Ijma’ (konsensus) para ulama akan keharamannya.
Semoga paparan nasehat ini menjadi pelajaran bagi kita semua, terutama bagi mereka yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah Ta’ala dalam keadaan hati bersih tanpa ada sebarang rasa iri, dengki dan permusuhan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas Nabi kita Muhammad shallalahu alaihi wasallam. Dan akhir dari seruan kami, segala puji bagi Allah. Bersambung InsyaAllah….
[1] . HR. At-Tirmidzi, no. 1931, dan beliau menyatakan Hasan. Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini Shahih.
[2] . HR. Bukhari dan Muslim.
[3] . Lihat keterangan Fadhilatus Syaikh al-Allamah Muhsin al-Abbad tentang perkara menguji manusia pada akhir artikel ini.
[4] . Lihat: Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman, Bagian II, Tuduhan ketiga.
Ada beberapa catatan kami terhadap pernyataan Ustadz “salafy” ini:
Pertama: Menetapkan satu manhaj baru yang diingkari dan dicegat oleh para ulama Ahlu Sunnah, yakni Imtihanun Naas (menguji manusia) dengan kelompok dan jama’ahnya. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: “Tidak boleh seorang pun menguji manusia dengannya (mazhab, kelompok, dan selainnya. pent),[4] dan tidak boleh pula memberi wala lantaran nama-nama ini, serta menanamkan permusuhan karenanya. Sebab makhluk yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara mereka, dari golongan mana pun ia berasal“. (Lihat: al-Intiqo’, hal: 35). Olehnya, lantaran manhaj ini-lah, hingga tidak jarang kelompok ini bertanya pada orang lain: “Apakah Anda Salafiy?”, atau “Bagaimana pendapat antum tentang Syaikh Fulan?”. Jika jawaban sesuai dengan selera mereka maka ia diterima sebagai ahlu sunnah. Namun jika tidak, akan dicap sebagai Ahli Bid’ah, atau pendukung Ahli Bid’ah lalu diterapkan padanya segala hukum bermuamalah dengan Ahli Bid’ah, yakni tidak boleh duduk bersamanya, tidak boleh menjawab salamnya, dan lain sebagainya.
Kedua: Menetapkan kebenaran ini hanya pada diri dan kelompoknya hingga orang lain atau kelompok lain harus ditimbang dengan diri dan kelompoknya.
Ketiga: menetapkan sikap Hizbiyyah dan ta’assub tercela melalui proses pemilah-milahan guru dan hanya membatasi pengambilan ilmu hanya pada kelompok, Syaikh dan asatidzahnya. Dan perlu pembaca ketahui, maksud pemilahan guru di sini, bukan guru atau Syaikh yang telah nyata dan jelas menyeru dan meyakini ajaran bid’ah tercela dalam Islam. Akan tetapi, Syaikh atau guru yang mereka tuding sebagai Ahli Bid’ah lantaran tidak sejalan dengan selera kelompok “salafy”.
Keempat: Adanya pengakuan yang sangat jelas dari sang Ustadz, bahwa mereka memang doyan melakukan pemilahan ulama dan hanya mengambil ilmu dari para ulama dan masyaikh mereka saja, di samping pekerjaan mengerik-ngerik aib dan kesalahan-kesalahan kaum muslimin. Yang tentunya sudah pasti jumhur kaum muslimin yang jumlahnya tidak terhitung akan menganggap bahwa perbuatan ini merupakan bentuk fanatisme (ta’asshub hizbiyyah), kendati secara sepihak dibantah oleh sang Ustadz, bahkan menyalahkan persepsi kaum muslimin yang begitu banyak tersebut. Wallahul musta’an.
[5] . Perlu pembaca sekalian tahu, bahwa Sofyan Khalid bukanlah orang pertama yang melontarkan tuduhan dan tudingan keji terhadap gerakan dakwah Ahlu Sunnah WI. Sudah banyak pendahulu-pendahulunya. Dan hal itu pun telah berlangsung selama puluhan tahun. Artinya sudah lama sekali. Akan tetapi, dalam rentan masa yang panjang itu, para asatidzah WI tidak ambil peduli dengan sikap dan perlakuan kelompok “salafy” ini, lantaran beberapa faktor, diantaranya, (1). Pekerjaan dakwah yang lebih bermanfaat bagi umat begitu menumpuk hingga tak ada waktu untuk mempersoalkan tudingan dan cercaan kelompok “salafy”. (2). Perasaan bahwa kelompok “salafy” masih saudara, apalagi dengan slogan mereka yang dihembuskan sebagai pengusung dakwah Ahlu Sunnah. (3). Tidak adanya manfaat bagi umat untuk bantah membantah dalam persoalan yang sebenarnya hanya dibangun atas dasar kedustaan dan tendensi pribadi. (4). Kesadaran akan kondisi kelompok “salafy” ini yang memiliki kebiasaan senang debat kusir yang tak ada habisnya. Olehnya para asatidzah sangat tahu, bahwa jika dikeluarkan satu bantahan bagi mereka, maka akan keluar lebih dari sepuluh bantahan. Karenanya, sudah tentu akan menguras energi dan waktu yang sebenarnya lebih pentas dialokasikan pada dakwah dan tarbiyah. Akan tetapi, lantaran kelakuan dan kezaliman kelompok ini, terlebih setelah keluarkan artikel Sofyan Khalid, maka kami sebagai team al-Inshof termotivasi untuk menjawab dan menjelaskan pada umat bahwa apa yang dihembuskan oleh kelompok kecil “salafy” ini adalah kedustaan dan kezaliman!?.
[6] . Ma’alim as-Sunan, IV/125.
[7] . Lihat: al-Mufradaat, hal. 494.
[8] . Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, hal. 111.
[9] . Lihat: Fiqhu an-Nashihah, hal. 2.
[10] . al-Farqu Bain an-Nasihah wa at-Ta’yir, hal. 7. al-Maktabah as-Syamilah..
[11] . Jami’ al-Ulum wal Hikam, hal. 156.
[12] . Lihat al-Farq Baina an-Nashihah wa at-Ta’yir, hal. 11.
[13] . Ibid.
[14] . Lihat: Raudhatul Uqala’, hal. 196.
[15] . Lihat: al-Akhlak wa as-Siyar, hal. 44.
[16] . Video muhadharahnya ada pada kami, kami akan posting jika diperlukan.
[17] . http://www.islamgold.com/view.php?gid=2&rid=145
[18] . Lihat: Jawaban Ilmiyah, footnote no. 8. Kendati akh Sofyan beberapa kali menegaskan bahwa bukan haknya untuk menyesatkan, akan tetapi hak para ulama dan para asatidzah yang mendalam ilmunya, tapi permasalahannya juga terkait dengan persetujuan antum terhadap vonis tersebut, nah setujukah antum dengan vonis tersebut ??
[19] . Lihat Jawaban Ilmiyah.
[20] . Lihat: Jawaban Ilmiyah, Footnote no. 22.
[21] . al-Akhlak wa as-Siyar, hal. 44.
[22] . Lihat: al-Hilyah, Abu Nu’aim, VI/368.
[23] . al-Adab al-Syar’iyyah, I/186.
[24] . Pembaca budiman, justru yang banyak menyebar syubhat dan menyerang orang lain demi menjaga kesetiaan pengikut-pengikutnya adalah kelompok “salafy”. Makanya jangan heran kalau mereka melarang duduk dan membaca keterangan-keterangan berupa ilmu dari selain kelompok mereka. Membatasi pengambilan ilmu hanya pada beberapa ustadz yang mereka rekomendasikan, serta menudiang bahwa seluruh yang datang dari luar kelompoknya berupa ilmu dan bayyinah sebagai syubhat, ma’adzallah.
Makanya tidak heran jika buku Ust. Abdul Qadir tentang “Memang beda Salafiyah dan Hizbiyah”, itu lahir untuk tujuan tersebut di atas. Perhatikan penyataan jujur dari sang penulis buku tersebut, bahwa bukunya dipicu oleh kenyataan bahwa sebagian ikhwah “salafy” setelah membaca buku “Beda Salaf dan Salafy”, tidak sudi lagi ikut kajian kelompok “salafy”…“. Olehnya untuk menjaga mereka konsisten sebagai pengikut kelompok “salafy”, maka lahirlah buku tersebut. Allahul musta’an.
[25] . Mudah-mudahan Allah Ta’ala berkenan memberi kami kelapangan waktu untuk mempelajari serta menanggapi fatwa Syaikh Rabiy’ tersebut.
[26] . Sebagai koreksi bagi tulisan kami yang lalu, yang benar adalah “as-Sind” dan bukan “as-Sanad”.
[27] Tentunya disertai keyakinan bahwa hukum asalnya adalah haram, karena dia bagian dari demokrasi
[28] . Majmu’ al-Fatawa, XXXV/414.
[29]. Lihat: Mauqif Ahlis Sunnah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, I/122. Kendati dalam masalah vonis tetap tidak melupakan proses terpenuhinya syarat dan hilangnya penghalang, dan yang terpenting adalah arahan ulama Rabbani terkhusus masalah al-hukm ‘alal mu’ayyan, bisa jadi ada seorang tokoh yang terjatuh dalam kesalahan fatal dalam hal aqidah ataupun yang lainnya, akan tetapi tidak ada tabdi’ muayyan yang dilayangkan oleh para ulama, wallahu a’lam.
[30] . Tamhid, VII/119, menukil dari Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Ahwa’ wa al-Bida’, II/553.
[31] . Majmu’ al-Fatawa, XXVIII/206, dinukil dari Mauqif Ahlis Sunah, II/206.
[32] . Mauqif Ahlis Sunah, I/554.
[33] . Hajr Mubtadi’, hal. 45.
[34] . Silsilah al-Huda wa an-Nuur, kaset no. 511.
[35] . Fadhilatus Syaikh Prof. Dr. IIbrohim ar-Ruhaili hafidhahullah menjelaskan dengan gamblang tentang hal ini di dalam bukunya, Mauqif Ahlis Sunah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, 2/529-585.
[36] . HR. Muslim.
[37] . Lihat: Syarh Shahih Muslim, I/62, Program al-Maktabah as-Syamilah.
[39] . Syarh Shahih Muslim, I/62, Program al-Maktabah al-Syamilah.
[40] . Lihat: ar-Ruduud, h. 401-402. [buku ini adalah kumpulan karya Syaikh al-‘Allamah Bakr Abu Zaid rahimahullah yang terdiri dari ar-Raddu ‘alal Mukhaalif, Tashniif an-Naas, Hukmul Intima’, dll.
[41] . Perlu kami ingatkan, bahwa buku Rifqan ahlas sunnah li ahlis sunnah adalah karya beliau pasca terbitnya buku Madaarikun Nadhor karya Abdul Malik alJaza-iri yang mana beliau menulis muqoaddimah dalam buku tersebut.
[42]. Beliau adalah Ahmad bin Yahya bin Muhammad an-Najmi rahimahullah.
[43] . ad-Difa’ ‘an Ahlil Ittiba’, hal. 446
[44] . Beliau adalah ‘Ubaid bin Abdillah bin Sulaiman al-Jabiri hafizhahullah.
[45] . Kami miliki audionya, insya Allah kami akan posting jika diperlukan.
[46] . Risalah kecil ini terbit untuk merespon tahdziran tokoh “salafi” terhadap risalah beliau yang berharga Rifqon Ahlas Sunnah Li Ahlis Sunnah
[47]. Al-Hattsu ‘Alal Ittiba’ 58
[48] . Al-Hattsu ‘alal Ittiba’, hal. 63
[49] . Al-Hattsu ‘ala al-Ittiba’, hal. 64
[50] . Al-Jawabul Kafiy Liman Saala an ad-Dawaai asy-Syafi, hal 111. al-Maktabah al-Syamilah, vol. 3.3.
Subhanallah, penjelasan yang sangat ilmiyah dan menghilangkan rasa dahaga bagi segenap ikhwah dakwah ahlu sunnah yang selama ini terlalu disibukkan dengan syubuhat2 kelompok "salafy" ini. Di daerah, konsentrasi dakwah kami tercerai berai lantaran urusan ini. satu sisi kami berjuang menegakkan dakwah dan memberantas berbagai penyimpangan akidah, namun di sisi lain kami lebih di sibukkan lagi melakukan klarifikasi di tengah-tengah masyarakan yang mulai goyah dan terpengaruh dengan hasutan kelompok "salafy" ini. Kami mohon kepada ALlah memberi mereka petunjuk ke jalan yang lurus. bersatu dalam menegakkan kalimat Allah diatas manhaj salafussalih hingga cahaya agama ini dapat dinikmati oleh segenap kaum muslimin…amin. khusus buat team al-Inshof, syukarn jazilan. Hanya Allah Ta'ala yang dapat membalas kebaikan antum sekalian…
ini tulisan masyaAllah mumtaz lis syarifil ula…..
1. 'afwan,ana dapat info bahwa syaikh Bakr ternyata tidak ridho jk risalahnya tentang tulisan syaikh rabi' disebarkan.tp kenapa al inshof menyebar risalah tsb?
2. banyak kalangan yg protes krn al inshof menggunakan penyebutan "salafy" krn makna salafy itu luas dan syar'i shg bs membuat orang awwam yang tdk paham justru men-generalkan org2 yang mengaku salafy semuanya keras dan org2 justru akan lari serta phobi dg salafy.seperti jg yang terjdi pd kluarga ana pribadi.semestinya al inshof obyektif dalam hal ini meng-kritik apa yang diperbuat oleh seseorang tanpa hrs menyebutkan jamaahnya.krn kita juga mengaku salafy.kecuali kalau tidak?kalau seperti ini mafsadatnya justru bisa2 menjadi lebih besar.mau membuat org lain inshof tp justru menjadikan perpecahan dan perdebatan yang lebih hebat. bagaimana tanggapan al inshof ttg hal ini.tolong tanggapan atas komentar ana ini dibalas melalui email ana, almuharrikah@gmail.com,karena ana tdk yakin,komen ini akan diposting.syukron wa jazaakumullahu khoiran.semoga semua dr kita bisa inshof dalam mnyikapi semua masalah.
Syukran atas tanggapan antum. Alhamdulillah, sejak awal sudah kami tegaskan bahwa segala komentar yang ilmiyah dan membangun akan kami muat insyaAllah Ta'ala. Untuk pertanyaan antum di atas, maka kami jawab:
1. Pertama, Risalah Syaikh Bakar Abu Zaid -rahimahullah- tersebut telah tersebar luas pada masa hayat beliau, di Saudi Arabiyah dan sekitarnya, baik melalui buku-buku maupun internet. Dan sepanjang pengetahuan kami, wallahu a'lam, tidak ada penolakan dan keberatan beliau akan hal ini. Seandainya ada, sudah tentu beliau akan menyampaikan secara resmi dan terbuka untuk diketahui oleh publik. Makanya, Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman al-Jibrin pun menyinggungnya kala mengomentari kelompok ini dalam fatwa beliau pada sesi tanya jawab, lalu fatwa tersebut disebarluaskan, dan tidak ada yang menyanggah fatwa beliau tersebut dari kalangan ulama. Kedua, kalau seandainya benar bahwa Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah tidak ridha risalahnya disebarkan, maka mengapa bantahan risalah beliau justru disebarluaskan oleh kelompok yang merasa keberatan, yakni berupa buku berjudul "al-Haddu al-Fashil Baina al-Haqqi wal Bathil" [dalam buku inilah kami temukan keterangan bahwa beliau tidak ridha risalahnya disebarkan, wallahu a'lam], tulisan Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhali yang merupakan sasaran nasehat dari risalah Syaikh Bakr Abu Zaid. Dimana buku tersebut sengaja di tulis untuk menyanggah "al-Khitab al-Dzahabi"nya Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah. Olehnya, secara logika sederhana, justru yang ikut andil menyebarkan "al-Khitab al-Dzahabi"nya Syaikh Bakar Abu Zaid tersebut adalah kelompok "salafy" kendati tidak secara langsung. Sebab, munculnya sebuah bantahan sudah pasti akan menyebutkan sesuatu yang dibantah dan memancing orang-orang untuk megetahui apa yang dibantah itu. Merupakan sesuatu yang aneh, "al-Khitab al-Dzahabi" dinyatakan tidak boleh disebarkan, sementara bantahannya boleh !? Atau minimal, jika demikain keadaanya [al-khitab al-Dzahabi tersebut benar tidak beliau ridhai untuk disebarkan], maka merupakan sesuatu yang disepakati, bahwa telah terjadi perbedaan persepsi (perselisihan) antara Fadhilatus Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah dengan Syakih Rabi' al-Madkhali berkenaan dengan masalah Sayyid Qutub rahimahullah. Demikian pula yang menguatkan persepsi kami akan sikap "keras" beliau terhadap kelompok ini adalah buku fenomenal beliau yang berjudul "Tashnifun Naas baina ad-Dhonni wal Yaqin", yang dengan sharahah (jelas) menyebut kelompok ini dan tegas menyatakan sikap beliau terhadap mereka, yang kemudian dibantah dan dikomentari dengan sangat keras pula oleh Syaikh Rabi' al-Madkhali dan Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i rahimahullah [lihat tulisan Ust. Abdul Qadir, Memang Beda Salafiyah dan Hizbiyah], yang merasa keberatan dengan sikap beliau tersebut.
2. Masalah penyebutan "salafy", maka alasan akan hal ini telah kami telah singgung berulang kali dalam silsilah kami, juga dalam artikel "salafy" dan manhaj mengkritik [silahkan disimak]. Bahwasanya, tidak ada nama yang mereka (kelompok ini) ridhai melainkan nama tersebut, olehnya kami gunakan untuk tujuan ta'rif (identifikasi) dan sengaja kami gunakan tanda petik (" "), untuk membedakan dengan manhaj salaf yang direkomendasikan, sebab kami yakin bahwa tidak semua gerakan dakwah salafy berperangai seperti mereka. Sejak awal kami juga sebenarnya khawatir jangan sampai artikel-artikel al-inshof dipahami secara general untuk seluruh gerakan dakwa salaf, olehnya kami ulangi, catatan kaki tentang alasan penyebutan ini kami sampaikan berulang-ulang. Namun sekali lagi,kami tidak menemukan nama melainkan nama yang telah mereka ridhai tersebut, dan kami tidak ingin menzalimi mereka dalam hal ini. Jika ada usulan nama, dengan syarat mereka ridhai, kami welcome aja. sekali lagi syukran atas komen-nya dan semoga mendapat pencerahan melalui artikel-artikel kami.
buat almuharrikhah: mestinya kita balik bertanya mana pernyataan syaikh Bakr Abu ZAid yang mengatakan beliau tidak ridha dgrisalahnya disebarkan? mana pernyataannya? kapan dikatakan? apakah benar tersambung sanadnya ke beliau? dan apakah bisa dipertanggungjawabkan?
Subhanallah, maju terus kru Al-Inshof, perjuangkan kehormatan para 'ulama dan du'at yang terdzholimi oleh lisan-lisan tajam tak berprikemanusiaan. Ana yakin segala yang antum goreskan di web ini berangkat dari niat yang ikhlash semata2 mengharap ridho Allah Jalla Jalaluhu, serta tetap beradab dalam penyampaiannya berdasarkan tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, sehingga segala sesuatu yang terdapat dari tulisan2 antum yang mungkin untuk sebagian orang sedikit mengganjal di hati, insyaa Allah antum memiliki hujjah yang kuat yang senantiasa mampu antum sampaikan secara santun dan bijak sehingga -kami pun berharap semoga- membekas dihati mereka dengan hikmah. Barokallahu Fiykum, Minal Akhukum Fillah -Imam Auliya-
sudah jelas dan tutas, semoga yang masih mempunyai syubhat bisa tercerahkan.
Tabe, numpang ambil sandal…hehe
Sebagai tambahan info bagi team al-inshof, buku al-Haddu al-Fashil baina al-Haqqi wa al-Bathil ditulis oleh Syaikh Rabi' setahun setelah keluarnya al-Khitob al-Dzahabi. Hal ini dipicu oleh surat balasan dari Syaikh Rabi' yang merasa "tidak enak" terhadap risalah Syaikh Bakr tersebut, dan beliau (Syaikh Rabi') meminta agar Syaikh Bakr mencabut risalahnya tersebut dan menyampaikan kepada publik akan hal itu. Namun lantaran setahun lamanya ditunggu, dan Syaikh Bakr tidak mencabut penyataannya juga tidak menampakkan ketidakridhoan beliau terhadap tersebarnya risalah tersebut [sebab memang demikianlah keadaannya dan beliau yakin apa yang beliau tilis itu benar dan haq], maka keluarlah buku bantahan terhadap al-Khitob al-Dzahabi tersebut, yakni al-Haddul Fashil baina al-Haq wa al-Bathil. Jadi dari keterangan ini, kami pribadi ragu akan keabsahan nukilan bahwa beliau tidak ridho jika risalahnya disebarkan. Wallahu a'lam, mohon dikritik kalau salah. tabe…
ditunggu gebrakan selanjutnya dr jawaban2 al inshof yg mumtaz… masyaAllah. (smg Allah mengikhlaskan kalian menjauhkan dr sikap ghurur dan ujub) kami tunggu dalam versi buku setelah rampungnya tulisan tahap pertama. mengingat banyaknya ikhwah yang membutuhkannya dan kami2 yg jauh di daerah … klo pasarnya jelas insyaAllah…
Iya neh, kapan al-Inshof lahir dalam bentuk buku??
sepakat mas rafli pasya
berabarlah kalian wahai team alinshof, jawablah sebagaimana qiblati menjawab dg kata2 berikut ini:
ucapan az-Zamakhsyari agaknya cocok buat teman-teman yang salah faham tersebut
وَكَمْ مِنْ عَائِبٍ قَوْلاً صَحِيْحًا*** وَآفَتُهُ مِنَ اْلفَهْمِ السَّقِيْمِ
"Berapa banyak orang yang mencela perkataan yang benar, (ternyata) sumber penyakitnya adalah pemahaman yang sakit."
Seandainya mereka faham perkataan tentu tidak perlu ada tenaga dan pikiran yang terbuang sia-sia bahkan membawa cela tersebut.
masya Allah, tak perlu repot lagi bedebat tinggal di copy paste print sebar…wAlhamdulillah
aku koq terlambat dpat situs ini.
tapi alhamdulillah ditunjukkan Allah.
semula aku fikir knpa WI tdak mmbntah tduhan2 mreka yng bertebran di dunia maya…
aku orang yg baru blajar, ketika membaca tduhan2 mreka, aku ingin skali mmbantahx bahwa apa yg mreka tduhkan adlh kdustaan tpi aku tak px ilmu. pertama kali baca klu g slah thun 2007 fatwa ksesatan WI olh syekh Robi', sempat heran jga, soalx kalau baca fatwa2 ulama mestix kan pertanyaanx di cantumkan, sampai hari ini koq tdak..
aneh bin ajaib…
assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh, tim alinshof.
jarang di up-date lagi?
padahal masih banyak masalah manhaj yang menunggu untuk dicerahkan kepada umat.
juga akhlak, juga akidah dan fatwa.
ayo, dong. jalan terus. istiqamah dengan amal kebaikan.
sedikit tapi kontinyu, lebih baik daripada banyak tapi sepintas.
Allahu akbar!
Al Inshof masih tidur???
Hayya, qumuuuu!!!
Assalamu 'alaikum..afwan ana baru nih..
karena slogan kita adalah "indahnya pertengahan" maka kerja dakwah juga haruslah seperti itu, pertengahan sesuai Sunnah Rasulullah..Thoyib! Keep istiqomah
Iya neh,, bgm kbr al inshof?? udah jarang up date….hiks