Menjawab Syubhat Bagian VII

Bagian II

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام علي رسوله الأمين وعلي آله وأصحابه الطاهرين ومن اهتدي بهداهم إلي يوم الدين, أما بعد :

Ikhwah yang dirahmati Allah, sebagai muqaddimah dari artikel ini, kami dari team alinshof mengucapkan “Selamat Hari Raya Idul Adha 1431, Taqabbalallahu Minna Wa Minum Shalihal A’mal”, dan tidak lupa kami menyelipkan sedikit nasehat kepada para ikhwah sekalian untuk senantiasa berupaya menapaktilasi sirah yang harum semerbak dari Nabi Ibrahim –alaihis salam-, sirah yang penuh dengan dakwah kepada tauhid, sarat dengan pembelaan kepada aqidah yang benar, serta upaya yang luar biasa untuk memberangus kesyirikan, disamping ketabahan beliau dalam menjalani ujian dari Allah –subhanahu wata’ala- dan sikap tawakkal yang kokoh kepada-Nya, semoga kita diberikan taufiq agar mampu menjadikan Nabi Ibrahim –alaihis salam- sebagai qudwah, wallahu muwaffiq ila aqwamit thariq.

Kritikan Yang Kedua: Terjatuh Ke Dalam Tabdi’ Muayyan

Ikhwah yang dirahmati Allah, sebongkah batu lagi dapat kami singkirkan dari dada kami, sebelum akhirnya kami mampu menggoretkan pena ini untuk mengangkat kritikan ini sebagai tema, semoga goretan sederhana ini tidak membangkitkan “adrenalin” kaum ini sehingga menjadikan mereka gelap mata, sehingga masih tetap menganggap kami sebagai saudara seiman dan seaqidah.

Jika kita menelisik dengan seksama aktifitas al-jarh wat ta’dil yang digeluti kaum ini, maka niscaya kita akan mendapatkan apa yang kami kritiki ini, sebenarnya kritikan yang kami usung kali ini adalah buah dari kritikan yang pernah kami jelaskan pada artikel yang lalu, yaitu al-Ghuluw Fit Tabdi’, kaum ini tidak mentolerir seorang-pun untuk menyelisihi “kebijakan” mereka dalam masalah al-jarh wat ta’dil, seakan lisan mereka mengatakan “Barang siapa yang tidak mentabdi’ individu atau kelompok yang sudah kami vonis sebagai mubtadi’ maka dia adalah mubtadi'”[1], seakan vonis bid’ah yang mereka yang mereka bidikkan kepada kelompok dan individu ma’shum, dan lebih ironis lagi, jika lisan mereka mengatakan “Barangsiapa yang memiliki hubungan atau berta’awun dengan individu dan kelompok yang telah kami jatuhkan vonis bid’ah maka dia adalah mubtadi’ pula”[2], wallahu musta’an.

Berangkat dari “kaedah” yang kami sebutkan di atas, mengalirlah vonis tabdi’ dari kaum ini kepada para penyelisih mereka dalam masalah al-jarh wat ta’dil, kendati penyelisih tersebut adalah para ulama, bahkan sebagian dari tokoh kaum ini terjerembab pada tabdi’ mu’ayyan kepada para ulama yang menyelisihi mereka, atau minimal mereka melontarkan perkataan buruk untuk menjatuhkan kredibelitas para ulama ahlus sunnah.

Perhatikanlah vonis yang dibidikkan oleh sebagian tokoh dari kaum ini kepada para ulama dan tokoh ahlus sunnah di bawah ini:

a) Fadhilatus Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman al-Jibrin: Hizbiy ma’a Ikhwanil Muslimin[3]

b) Fadhilatus Syaikh Abdullah al-Muthlaq: Ikhwani

c) Fadhilatus Syaikh Bakr Abu Zaid: Quthbi

d) Fadilatus Syaikh Muhammad bin Qu’ud: Ikhwani Bannaa-i

e) Fadhilatus Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki: Ikwani

f) Fadhilatus Syaikh Sholih bin Ghanim Sadlan: Minas salafiyah al-judud [masuk dalam barisan salafi yang masih ingusan]

g) Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid: Sururi[4]

h) Fadhilatus Syaikh Muhammad Mukhtar asy-Syinqithi [staf pengajar di masjid Nabawi dan anggota Hai’ah kibar ulama]: Shufi

i) Fadhilatus Syaikh Nashir bin Abdulkarim al-Aql: Salah satu tokoh Sururi

j) Fadhilatus Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza-iriy : Tablighi

k) Syaikh Su’ud Syuraim [Imam Masjid Haram Makkah al-Mukarramah]: Sururi[5]

Inilah beberapa vonis muayyan yang keluar dari lisan sebagian tokoh kaum ini yang dibidikkan kepada ulama dan tokoh ahlus sunnah wal jamaah, namun ini belumlah seberapa ayyuhal ikhwah, sebab ternyata celaan tokoh kaum ini merembet kepada kehormatan para ulama kibar, perhatikan beberapa perkataan ini:

A. Perkataan yang disandarkan kepada Syaikh Rabi bin hadi al-Madkhali yang ditujukan kepada Fadhilatus Syaikh Abdul Aziz Bin Baz –rahimahullah: Syaikh bin Baz telah mencela salafiyah dengan celaan yang keras.[6]

B. Perkataan yang disandarkan kepada Syaikh Rabi’ pula untuk Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah-: Kesalafian kami lebih kokoh daripada kesalafiannya.

C. Perkataan salah satu tokoh kaum ini yang dibidikkan kepada Fadhilatus Syaikh Shalih al-Fauzan –hafidhahullah-: Nishfu Nishfu [setengah salafi setengahnya bukan salafi].[7]

D. Perkataan Syaikh Falih al-Harbi tentang Fadhilatus Syaikh Bakr Abu Zaid –rahimahullah-: Dia dikenal dengan manhajnya yang menyeleweng dari kebenaran, dan dia tidak berada diatas manhaj ahlus sunnah wal jamaah.[8]

Ikhwah yang dirahmati oleh Allah, nama-nama yang kami sebutkan diatas adalah para ulama yang kokoh dalam menapaki manhaj ahlus sunnah wal jamaah insya Allah, namun kendati demikian mereka tidak luput dari celaan kaum ini, dan masih banyak tokoh dan duat bermanhaj ahlus sunnah yang tidak terlepas pula dari jarh mereka, sebutlah misalnya Fadhilatus Syaikh Abul Hasan al-Ma’ribi, Fadhilatus Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari, Fadhilatus Syaikh Salim bin Id al-Hilali, Fadhilatus Syaikh Masyhur Hasan Salman, Fadhilatus Syaikh al-Maghrawii, Fadhilatus Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini, Fadhilatus Syaikh Muhammad Musa Alu Nashir, Fadhilatus Syaikh Shalih al-Abuud [mantan Mudir Jami’ah Islamiyah][9] dan lain lain, adapun celaan dan tabdi’ muayyan kepada Fadilatus Syaikh Safar al-Hawali, Fadhilatus Syaikh Salman al-Audah, Fadhilatus Syaikh Abdur Rahman Abdul Khaliq, Fadhilatus Syaikh Nashir Umar, maka haddits wala haraj.

Jika kita menilik penyebab dari jarh yang dibidikkan kepada para ulama dan duat di atas, maka kita akan mendapatkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan “mengalirnya” jarh diatas yang kemudian menodai kehormatan para ulama kita adalah fenomena tidak sepakatnya sebagian ulama dan duat tersebut dalam masalah al-jarh wat ta’dil dengan kaum ini dan mereka terkesan bersikap lembek kepada tokoh islam yang telah divonis sebagai ahlil bid’ah. Ambillah sebagai contoh, vonis yang dibidikkan kepada Fadhilatus Syaikh Bakr Abu Zaid dan Fadilatus Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman al-Jibrin –rahimahumallahu-, faktor mencolok yang menyebabkan terbitnya vonis di atas adalah pembelaan kepada “musuh bebuyutan” kaum ini, yaitu Sayyid Quthub dan Hasan al-Banna[10], demikian pula tahdzir untuk Abul Hasan al-Ma’aribii dan para Masyaikh yang menebarkan dakwah ahlus sunnah di Markaz al-Albani Yordania, salah satu penyebabnya adalah dukungan mereka kepada tokoh islam yang telah divonis oleh kaum ini sebagai ahlul bid’ah, perhatikan perkataan dari Fadilatus Syaikh Salim al-Hilali –hafidhahullah- berikut ini:

“Dan sungguh aku telah mendengar, dan aku bersaksi dengan nama Allah atas apa yang aku dengar, dan aku menjadikan laknat Allah atas orang yang berdusta, dan aku siap untuk bermubahalah –untuk kalimat yang aku dengar ini- di Hijir Ka’bah, aku mendengar Syaikh Rabi’ mengatakan kepada Syaikh Ali Hasan al-Halabi –dan aku pada saat itu berada di rumah Syaikh Rabi’ dengan Syaikh Ali-: Jika kamu dan Abul Hasan al-Ma’aribi tidak menjatuhkan [baca menjarh] al-Maghrawi, maka aku akan menjatuhkan [menjarh] kalian berdua juga, dan Syaikh Salim al-Hilali mengulangi sekali lagi perkataannya: aku bersumpah atas nama Allah, dan menjadikan laknat Allah atas orang yang berdusta[11]. Memang, Syaikh Rabi’ memungkiri perkataan tersebut ketika dikonfirmasi oleh salah seorang muridnya, namun pasalnya, beranikah Syaikh Salim al-Hilali bersumpah atas nama Allah bahkan siap untuk bermubahalah di Hijr Ka’bah atas perkataan yang beliau riwayatkan dari Fadhilatus Syaikh Rabi’ di atas, jika beliau tidak mendengarkan perkataan tersebut??. Duh pembaca yang budiman.. Siapakah gerangan diantara kedua tokoh tersebut yang lebih diterima perkataannya??.

Simak pula fatwa dari Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi –rahimahullah- di bawah ini:

Pertanyaan: Bolehkah kami menyimak kaset-kaset muhadharah Syaikh Usamah al-Qausi??

Jawaban: Aku dahulu pernah menta’dil Usamah al-Qausi bahwa dia adalah seorang salafi, namun akhir-akhir ini aku mendengar bahwa dia mendukung Abul Hasan al-Ma’aribii, jika memang benar demikian maka tidak usah disimak kaset-kasetnya.[12]

Perhatikan pula fatwa dari Syaikh Falih al-Harbii berikut ini:

Pertanyaan: Akhirakhir ini kami mendengar bahwa anda telah mentahdzir masyaikh yang berada di markas al-Albani dan Syaikh Usamah Qausii serta Syaikh Khalid al-Anbari dan yang lainnya, benarkah berita tersebut?? Dan bagaimana inti permasalahan yang sebenarnya??

Jawaban: Berita tersebut benar, masalahnya adalah sebenarnya –manhaj- mereka serupa dengan Abul Hasan al-Ma’aribii dalam menyelisihi manhaj ahlus sunnah, dan menegakkan al-Wala’ wal Bara’ di atasnya, mereka memuji ahlul bid’ah dan membelanya, kemudian mencela ahlus sunnah dan melabeli mereka dengan julukan yang buruk.[13]

Inilah secuil bukti bahwa salah satu faktor pemicu jatuhnya vonis tabdi’ kepada para ulama dan duat di perhelatan dakwah ini yang getol direbakkan oleh kaum ini adalah karena mereka bersikap lembek kepada tokoh-tokoh islam –bahkan sebagian dari mereka adalah tokoh ahlus sunnah- yang telah divonis bid’ah dan sesat oleh kaum ini, bahkan mungkin justru memuji dan mendukung tokoh-tokoh tersebut.

Ikhwah yang dirahmati Allah, menjatuhkan vonis [tabdi’] mutlak kepada perbuatan, perkataan dan aqidah seseorang adalah perkara tauqifiyah sebagaimana yang kami jelaskan di bagian pertama dari silsilah ini, namun vonis mu’ayyan [menjatuhkan vonis kepada personal yang jatuh dalam kesalahan] maka hal ini adalah perkara ijtihadi, disamping disebabkan “kaedah” yang masyhur di kalangan ulama ahlus sunnah bahwa tergelincirnya seseorang dalam perkataan dan perbuatan tidak berkonsekwensi pada jatuhnya vonis mu’ayyan terhadap orang tersebut, kecuali telah sempurna syarat [untuk menghukum mu’ayyan] dan telah terangkat penghalang, namun hal ini juga berkaitan erat dengan kualitas ketakwaan dan kewara’an seseorang, semakin tinggi kualitas taqwa seseorang maka akan semakin berhati-hati dalam menjatuhkan vonis mu’ayyan. Namun nampaknya kaum ini sangat bernafsu untuk menjadikan vonis-vonis mereka kepada individu tertentu sebagai takaran bagi kesalafian seseorang, bahkan menjadi batu sandungan bagi kredibelitas para ulama dan duat, kendati seseorang telah menghiasi dirinya dengan aqidah yang benar, dan menapaki manhaj ahlus sunnah wal jamaah, namun jika berselisih paham dengan kaum ini dalam hal jarh wat ta’dil, maka hampir bisa dipastikan label Mumayyi’, Sururi, Quthbi, ‘Ur’uri, as-Sulaimani, al-Maghrawi ataupun label lainnya lebih layak dibidikkan untuknya, seakan vonis yang mereka jatuhkan terhadap individu [baca al-Hukm al-Mu’yyan] adalah ma’shum, dan seakan tidak ada hak bagi kita semua kecuali tunduk kepada vonis yang mereka jatuhkan, wallahu musta’an.

Pembaca yang dirahmati oleh Allah, adalah merupakan hal yang sangat memilukan, ketika lisan kaum ini berteriak lantang demi mengingkari para “hizbiyyin” dan “sururiyyin” yang menurut mereka telah mencela dan melecehkan para ulama rabbani, dan menudingkan tuduhan demi tuduhan kepada mereka, bahkan lisan mereka sangat fasih menukil perkataan-perkataan para ulama salaf terkait salah satu ciri ahlul bid’ah yaitu mencela ulama ahlus sunnah, sebagaimana perkataan Abu Hatim ar-Razi –rahimahullah-:

علامة أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر

Artinya: Tanda ahlul bid’ah adalah mencela ahlul atsar.[14]

Atau perkataan Ahmad bin Sinan –rahimahullah- :

ليس في الدنيا مبتدع إلاّ وهو يبغض أهل الحديث

Artinya: Tidak ada seorang ahlul bid’ahpun kecuali dia membenci ahlul hadits.[15]

Padahal jika kita menilik dengan seksama celaan para “hizbiyyin” dan “sururiyyin” kepada para ulama kibar ahlus sunnah, maka kita akan mendapatkan bahwa mayoritas substansi dari celaan tersebut adalah kritikan terkait “butanya” para ulama kibar terhadap fiqhul waqi’ –menurut mereka-[16], dan bukan vonis sebagai ahlul bid’ah. Dan mari kita bandingkan dengan “serangan” yang telah dilancarkan oleh kaum ini terhadap para ulama dan duat yang tersohor bermanhaj ahlus sunnah wal jamaah, namun disebabkan selisih pendapat dan perbedaan sikap terhadap personal-personal tertentu, ataupun perselisihan dalam masalah yang lain, lisan dhalim kaum ini tidak segan melabelkan vonis mubtadi’ kepada mereka, vonis yang tentunya lebih “keji” daripada yang dijatuhkan para “hizbiyyin” dan “sururiyyin”, Duh pembaca sekalian, siapakah sebenarnya yang lebih layak diselempangkan dipundaknya perkataan ulama diatas??.

Aktifitas jarh wat ta’dil yang direbakkan oleh kaum ini tidak berhenti di batas ini ayyuhal ikhwah, sebab sebagian tokoh kaum ini ternyata terjatuh ke dalam Tabdi’ al-Mujtama’at al-Muslimah [memvonis bid’ah masyarakat muslim], diantaranya seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkhali –hafidhahullah-: “Tidak ada seorang salafi-pun di kota Riyadh kecuali fulan bin fulan”[17], dan perkataan beliau yang lain: “Tidak ada di Hijaz salafiyun kecuali sedikit sekali”[18], dan juga perkataan Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali: “Tolong sebutkan tiga orang salafi di Universitas Imam Muhammad Su’ud ??!![19], bahkan –menurut Fadilatus Syaikh Abul Hasan al-Ma’aribi- dikhawatirkan Syaikh Rabi’ terjatuh kepada pemahaman takfir [vonis kafir], dan beliau menerbitkan satu buku khusus untuk membahas hal ini ini, yaitu “I’laamun Nakir ‘Ala Manhaji as-Syaikh Rabi’ Fit Takfir”[membeberkan manhaj Syaikh Rabi’ dalam mengkafirkan], silahkan merujuk dan menelaah buku ini. Jika Sayyid Quthb dilabeli dengan vonis Takfirii, karena beliau –menurut kaum ini- terjatuh pada Takfir al-Mujtama’at al-Muslimah, maka dikhawatirkan kaum ini terjatuh pada pemikiran yang hamper serupa, yaitu Tabdi’ al-Mujtama’at wal Jama’at al-Islamiyah, Allahu musta’an.

Pembaca yang dirahmati Allah, hari ini, nampaknya fenomena tabdi’ mua’ayyan telah merembet kepada kehormatan tokoh-tokoh kaum ini, ironisnya vonis-vonis tersebut muncul dari shaf mereka sendiri, dan hampir tidak ada seorang tokoh-pun yang selamat, Fadhilatus Syaikh Rabi’ bin Hadi telah dicap sebagai murji’ah[20], silahkan merujuk situs al-Majmu’ al-Badi’ Fi Raddi ‘Ala Madkhalir Rabi’, atau buku “Majmu’ur Rudud as-Syaikh Fauzi al-Atsari ‘Ala al-Murji’ah al-Judud”, adapun Fadhilatus Syaikh Falih al-Harbii, maka beliau dilabeli dengan Haddadii[21], demikian juga yang terjadi di “cabang” kaum ini di negeri Yaman, yaitu Fadhilatus Syaikh Yahya bin Ali al-hajuri, beliau-pun tidak luput dari jarh[22], Fadhilatus Syaikh Abdul Malik ar-Ramadhani –penulis buku Madarikun Nadhar-, ternyata tidak luput pula dari celaan[23], dan telah pecah perang dunia ketiga antara dua situs yang ditukangi oleh kaum ini, yaitu as-Sahab as-Salafiyah dan www.alathary.net, masing-masing kubu dari kaum ini mengumpulkan kaset-kaset muhadharah kubu yang lain, lalu menguntit kesalahan sejawat dan koleganya, kemudian menyebarkannya di situs masing-masing. Di lain pihak masing-masing kubu menganggap bahwa merekalah yang paling salafi, dan ngotot untuk menyalahkan pihak lawan, dan mereka-pun tidak lupa pula untuk membela tokoh-tokoh mereka. Ayyuhal Ikhwah, jika lisan mereka dengan mudah menjatuhkan vonis kepada para ulama dan duat sebagai penggagas “firqah” hizbiyah, ambillah sebagai contoh, vonis yang mereka jatuhkan kepada masyaikh berikut ini, Syaikh Adnan Ur’ur adalah penggagas kelompok Ur’uri, Syaikh Abul Hasan al-Ma’aribi adalah pendiri dari firqah as-Sulaimaniyah, Syaikh al-Maghrawi adalah pencetus kelompok Maghrawiyah, maka salahkah kami, jika menilik fenomena di tengah perhelatan dakwah dan memperhatikan realita terkini yang terjadi di tubuh kaum ini, maka kaum ini berpotensi pula terjatuh ke dalam tahazzub, tafarruq, dan ta’asshub, seakan telah berdiri kelompok Madkhalii, kelompok al-Harbii, dan kelompok al-Hajurii. Duhai..Sepertinya baru kemarin kaum ini begitu fasih mencela organisasi, ormas, parpol dan lain-lain serta mengharamkanya, karena merupakan wasilah menuju tahazzub dan ta’asshub, namun ternyata perjalanan waktu mengabarkan kepada kita bahwa ternyata kaum ini-pun berpotensi terjatuh ke dalamnya, Allahu musta’an.

Ayyuhal Ikhwah, fenomena yang kami goretkan ini, merupakan buah dari “menyempal” dari pemahaman para ulama kibar, sesungguhnya ulama kibar bukan hanya rujukan dalam masalah isti’anah bil kuffar[memohon bantuan kepada orang kafir], mereka juga bukan hanya referensi dalam masalah jihad fi sabilillah, namun para ulama kibar juga rujukan dalam masalah al-jarh wat ta’dil. Para ulama kita telah memberikan perhatian yang cukup terkait masalah ini, upaya yang luar biasa dari Fadhilatus Syaikh bin Baz –rahimahullah- untuk menyatukan seluruh komponen ummat, dan mewasiatkan untuk saling menegakkan pilar ta’awun dan tanaashuh antara sesama kaum muslimin, meskipun hal tersebut berkonsekwensi merebaknya perkataan miring yang dibidikkan kepada beliau, yakni perkataan “telah berkumpul di sekeliling bin Baz para hizbiyyin dan Quthbiyyin”[24], Fadhilatus Syaikh Bakr Abu Zaid –rahimahullah- meluangkan sedikit waktunya untuk menulis buku Tashniifun Nas Bainal Yaqini wad Dhann, dan terbitnya buku tersebut dibayar dengan sangat mahal oleh beliau, bagaimana tidak, celaan dan tahdzir bertubi-tubi menghujani beliau, dan menjadi sempurna eliminasi beliau dari barisan ulama ahlus sunnah –menurut sebagian tokoh kaum ini- pasca terbitnya al-Khithab ad-Dzahabi. Dan janganlah menutup mata wasiat tulus dari Fadilatus Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad –hafidhahullah- dalam risalah kecil, yang diberi judul Rifqan Ahlas Sunnah Bi Ahlis Sunnah, meskipun buku ini kecil ayyuhal ikhwah, namun merupakan duri di tenggorokan kaum ini, tokoh-tokoh kaum ini “panik” seperti orang yang kebakaran kumis, mereka menolak buku ini dan memvonis bahwa yang membagikannya adalah mubtadi’[25], beruntunglah, sang penulis buku ini adalah Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, Muhadditsul Madinah dan merupakan ulama senior di kota tersebut, sebab jika bukan, jika menilik dari rekam jejak dan “kebiasaan” kaum ini, maka bukan hanya penolakan yang beliau terima, namun juga hampir bisa dipastikan akan ada label-label buruk yang dicapkan kepada beliau, melihat gelagat penolakan kaum ini terhadap buku kecil diatas, maka beliau-pun meluncurkan buku baru untuk menegaskan “tahdzir” kepada manhaj kaum ini, terbitlah buku al-Hattsu ‘Alal Ittiba’. Fenomena di atas tidak luput pula dari sorotan Fadhilatus Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan –hafidhahullah-, dengan tegas beliau mentaqrir bahwa fenomena “al-jarh wat ta’dil” yang merebak di dunia islam dewasa ini lebih dekat kepada praktek ghibah dan namimah yang diharamkan oleh Allah –azza wa jalla-, simaklah fatwa di bawah ini:

Pertanyaan: Syaikh yang mulia, siapakah ulama ahli jarh wat ta’dil di zaman kita sekarang ini???

Jawaban: Demi Allah, kami tidak mengetahui seorangpun ulama al-jarh wat ta’dil yang hidup di zaman ini, ulama al-jarh wat ta’dil telah wafat, namun perkataan mereka tersimpan dalam kitab-kitab al-jarh wat ta’dil, dan –perlu diketahui- bahwa ilmu aljarh wat ta’dil digunakan di ilmu sanad dan dalam periwayatan hadits, dan al-jarh wat ta’dil bukan digunakan untuk mencela dan melecehkan manusia, fulan begini dan fulan begitu, adapun memuji sebagian manusia dan mencela sebagian yang lain adalah merupakan bagian dari ghibah dan namimah dan bukan bagian dari al-jarh wat ta’dil.[26]

Fatwa ini ayyuhal ikhwah adalah buah dari telaah Fadhilatus Syaikh terhadap fenomena merebaknya ilmu al-jarh wat ta’dil “palsu” yang terjadi di medan dakwah, di negeri Saudi Arabiyah secara khusus maupun negeri-negeri yang lainnya, yang kemudian berpotensi untuk mencabik-cabik dakwah ahlus sunnah.

Ikhwah yang dirahmati Allah, kami tidak memungkiri bahwa sebagian ulama diatas juga memiliki saham yang besar dalam membantah para penyelisih manhaj salaf dalam masalah aqidah maupun dalam masalah furu’, namun bahasa yang mereka gunakan sangat santun dan lembut, telaah-lah buku at-Tahdzir Min Ta’dhimil Atsar Ghairul Masyru’ah karya Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, buku ini merupakan bantahan kepada al-Ustadz Yusuf hasyim ar-Rifa’ii dan Dr Muhammad Sa’id al-Buthi, keistemewaan buku kecil ini ayyuhal ikhwah, disamping sarat dengan bantahan yang ilmiyah namun juga dihiasi dengan pemilihan kata yang tidak kasar, dan tengok pula buku beliau tentang ibadah hajji, yang merupakan bantahan buku If’al Wala Haraj karya Fadhilatus Syaikh Salman al-Audah, buku inipun dihiasi dengan pemilihan kalimat yang santun, demikian juga para ulama kibar yang lain ketika membantah para penyelisih manhaj salaf, maka mereka akan berhati-hati dalam memilih kata. Ambillah contoh ketika sebagian ulama kibar dimintai fatwa tentang Sayyid Quthub –rahimahullah-, maka mereka sangat berhati-hati dalam memilih kalimat, sebagian mereka mengatakan:“Sayyid Quthub bukanlah orang Alim, tapi dia adalah orang bodoh, dan dia dimaklumi [ma’dzur] karena kebodohannya”, ulama yang lain mengatakan:“bahwa Sayyid Quthub adalah seorang sasterawan dan penulis, dan tidak mahir dalam mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan aqidah islamiyah”, atau mengatakan:“Sayyid Quthub [dalam menulis] menggunakan uslub adabi dan bukan uslub ilmii”[27]. Kami mengerti bahwa fatwa-fatwa para ulama diatas bukanlah ta’dil mutlak untuk Sayyid Quthub, namun kami-pun tidak memahami bahwa fatwa-fatwa para ulama kibar diatas sebagai jarh mutlak untuk Sayyid Quthub, dan subtansi dari fatwa diatas –menurut yang kami pahami- adalah mencarikan udzur bagi Sayyid Quthub –rahimahullah- serta tidak mencela kehormatan beliau. Mari kita bandingkan dengan vonis yang dilontarkan kaum ini kepada beliau, salah satu tokoh kaum ini mengatakan:“kemungkinan besar niatnya [Sayyid Quthub] tidak baik, namun taruhlah niatnya baik, tapi dia tidak ma’dzur [tidak dimaklumi kesalahannya]”, dan memvonis Sayyid Quthub di tempat yang lain dengan mengatakan:“Rafidhii, Bathinii”, dan berkata pula:“Sayyid Quyhub adalah saudaranya al-Khumaini, dan Rafsanjanii…., dan dia merupakan kader Qum dan Najef, dan pokok pemikirannya sama dengan pokok pemikiran Rafidhah, dan bahkan agamanya satu”[28], inilah secuil perbandingan antara vonis para ulama kibar, yang dihiasi dengan kejelian dalam memilih kalimat, bahkan tersirat dari sebagian fatwa-fatwa mereka kalimat yang bermuara pada pemberian udzur untuk Sayyid Quthub –rahimahullah-, silahkan ikhwah sekalian membandingkan dengan fatwa-fatwa yang bersumber dari kaum ini, yang sarat dengan kata-kata keras dan kasar, bahkan tidak menutup kemungkinan mereka terjatuh dalam al-hukm ‘alal mu’ayyan.

Menanggapi Syubhat:

Pertama: Para “hizbiyyun” dan “Sururiyyun” adalah kaum yang senantiasa menggembar-gemborkan bahwa membeberkan kesalahan dan aib di khalayak ramai adalah bagian dari ghibah, lalu mengapa kalian melakukan hal tersebut kepada kami??

Tanggapan:

a) Bukankah kalian sendiri yang mengatakan:“Ketika penyimpangan-penyimpangan tersebut telah tersebar luas, bahkan sebagiannya tersebar melalui media internet dan lainnya, maka perlu untuk menyingkap penyimpangan-penyimpangan tersebut juga secara luas agar lebih merata penyampaiannya”.[29]

b) Kami telah bahas kajian tentang nasehat di artikel kami:”Silsilah Pembelaan Para Ulama Dan Du’at, Jilid 2, Bagian I”, silahkan merujuk.

Kedua: Para “Hizbiyyun” dan “Sururiyyun” adalah kaum yang berpihak pada konsep muwazanah, namun mengapa kalian tidak bermu’amalah dengan kami dengan konsep tersebut?? Bukankah ini adalah bagian dari tanaaqudhat??

Tanggapan:

a) Terkadang salah satu implementasi dari sifat hikmah dalam bermuamalah adalah ketika kita berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan yang dia yakini. Maka, bukankah hal lumrah, ketika antum alergi dengan manhaj muwazanah, bahkan mungkin membid’ahkan manhaj ini tanpa perincian, maka kami-pun bermu’amalah dengan antum sesuai dengan yang antum yakini??.

b) Kaum ini memiliki kebaikan yang sangat banyak, bahkan mereka lebih tersohor dengan kebaikan-kebaikan mereka, bahkan kami-pun menyisipkan sedikit kebaikan-kebaikan tersebut di sela-sela goretan kami.

c) Sebenarnya kami-pun telah mempraktekkan muwazanah kepada mereka lewat artikel-artikel kami, pasalnya, sepanjang yang kami ingat, belum pernah terlontar dari lisan kami vonis tabdi’ kepada kaum ini, yang kami beberkan dalam tulisan-tulisan kami adalah pengingkaran terhadap sikap ghuluw mereka, khususnya dalam mentabdi’.

Ketiga: Taruhlah yang kalian tuduhkan dalam tulisan ini adalah merupakan suatu kebenaran, namun kami tidak mentaqrir kesalahan ini, kami sangat mencintai ulama-ulama yang tervonis diatas, dan kami tidak sepakat dengan vonis-vonis yang dilakukan oleh sebagian ulama-ulama diatas, bukankah Allah telah berfirman:

و لا تزر وازرة وزر أخري

Artinya: Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.[30]

Tanggapan:

a) Kamipun dapat mengatakan, demikian halnya sikap kami terhadap Sayyid Quthub dan tokoh-tokoh yang lain, taruhlah penyimpangan-penyimpangan yang dinisbatkan kepada mereka benar adanya, namun kami tidak mentaqrir penyimpangan-penyimpangan tersebut, apakah antum dapatkan kami mencela para Nabi??, apakah antum dapatkan dalam aqidah kami manhaj wihdatul wujud?? Atau mencela sahabat Nabi Muhammad –shallalahu ‘alaihi wasallam-?? Atau mengkafirkan masyarakat islam??, atau mentaqrib antara sunnah dan syi’ah??? Bukankah Allah berfirman:

و لا تزر وازرة وزر أخري

Artinya: Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.

Ikhwah yang dirahmati Allah, inilah yang dapat kami paparkan dalam artikel kami kali ini, perlu untuk kami tegaskan, bahwa kritikan ini bukan datang dari kantong kami pribadi, kritikan ini bersumber dari tulisan Fadhilatus Syaikh Abul Hasan al-Ma’aribii dalam kitabnya “I’laamun Nakir ‘Ala Manhaji as-Syaikh Rabi’ Fit Takfir”[membeberkan manhaj Syaikh Rabi’ dalam mengkafirkan]. dan mungkin perlu kita ketahui, bahwa Fadhilatus Syaikh Abul Hasan al-Ma’aribii pernah menjadi bagian dari kaum, bahkan pernah mendapat pujian yang harum semerbak dari tokoh-tokohnya, diantaranya pujian dari Fadhilatus Syaikh Rabi’, buku yang kami sebutkan diatas berisi kritikan dari beliau kepada kaum ini, khususnya hal-hal yang beliau dapatkan dalam tubuh kaum ini, jika persaksian dan perkataan akh Sofyan Khalid dan mantan ketua cabang di Palopo diterima oleh kaum ini, maka tidak bolehkah kami menukil kritikan ini, apatah lagi Fadhilatus Syaikh datang dengan dalil dan bukti???.

وصلى الله علي محمد و علي آله و أصحابه و من اهتدي بهداهم الي يوم المعاد


[1] . Sesungguhnya kami tidak menolak secara mutlak kaedah di atas, sebab kami juga mentabdi’ firqah ataupun personal yang berhak untuk divonis demikian, terkhusus apabila para ulama kibar telah bersepakat untuk menjarh firqah dan personal tersebut, namun yang kami kritik dari kaedah di atas, apabila yang menjadi takaran vonis tabdi’ kepada firqah dan personal adalah vonis mereka, tanpa “melirik” kepada sikap dan pendapat ulama yang lain-nya, khususnya ulama yang lebih senior, lebih ironis lagi jika kemudian kaum ini menguji ke-ahlus sunnah-an seseorang dengan pro dan kontra-nya seseorang atas vonis mereka.

[2] . Kami telah membahas secara khusus hal yang berkaitan dengan at-Ta’aawun dalam Silsilah pembelaan yang ke VI, silahkan merujuk.

[3] . Syaikh Rabi’ berkata kepada Syaikh Abul Hasan al-Ma’aribi bahwa Syaikh Abdullah al-Jibrin Mubtadi’, demikian pula Syaikh Muhammad bin hadi al-Madkhali, sedangkan Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi menvonis beliau dengan Ikhwani, silahkan lihat ad-Difa’ ‘an Ahlil Ittiba’ hal. 460

[4] . Syaikh Mamduh bin Farhan al-Buhairi telah menulis artikel tentang Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid dengan tema “Syaikh al-Munajjid, Hakikat ynag Tersembunyi”, Lihat majalah Qiblati edisi 12 tahun ke 5, September 2010.

[5] . Lihat al-Anba’ bi Ru’uusi Ahlil Ahwa, ad-Difa’ Ahlil Ittiba’ karya Abul Hasan al-Ma’aribi 460-461, Syar’iyatu an-Nushu wal Zajar wat Tahdzir Min Du’atil Jahl karya Yahya bin Ali al-Hajuri, silahkan merujuk pula situs http://muslmnet.net/vb/showthread.php?p=1782155

[6] . Silahkan merujuk kitab Mudazakkirah Watsa-iq Jaliyah Allati Yata’amaa Anha Ad’iya’ as-Salafiyah, Hal. 6

[7] . ad-Difa’ Ahlil Ittiba’ karya Abul Hasan al-Ma’aribi lihat Hal. 460-461

[8] .Silahkan lihat http://alathary.net/vb2/showthread.php?t=1689

[9] . Lihat al-Majmu’ al-Badi’ Fi Raddi Ala SyanSyanatit Tamyi’ Buah karya Muhammad bin Ahmad as-Shumaili al-Jaza-irii, dan silahkan merujuk ke link: http://alathary.net/vb2/showthread.php?t=2122

[10] . Syaikh Bakr Abu Zaid menerbitkan surat khusus untuk Syaikh Rabi’ bin Hadi terkait Sayyid Quthub yang kemudian tersohor dengan nama al-Khithab ad-Dzahabi, adapun Syaikh Abdullah al-Jibrin memiliki pujian khusus untuk Sayyid Quthub dan Hasan al-Banna.

[11] . Silahkan merujuk ke situs ar-Raddul Badi’ ‘Ala Madkhalir Rabi’.

[12]. Silahkan merujuk link: http://www.muslm.net/vb/showthread.php?s=152dddfaa941091f9086cfc8c73c9536&t=153858&goto=nextnewest

[13]. Silahkan merujuk link: http://www.muslm.net/vb/showthread.php?s=152dddfaa941091f9086cfc8c73c9536&t=153858&goto=nextnewest

[14] . Syarh Ushulul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jamaah 1/169

[15] . Silahkan merujuk kitab Syaraf Ashabil Hadits hal. 136

[16] . Jika tuduhan ini benar, maka kami kumandangkan bara’ah [berlepas diri] dari sikap mencela para ulama ahlus sunnah wal jamaah, lebih khusus lagi ulama-ulama kibar yang bertanggung jawab di Lajnah Da’imah dan para ulama senior di Saudi Arabiyah, dan alhamdulillah kami tidak mentarbiyah para kader kami untuk membenci dan mencela mereka, bahkan buku-buku dan fatwa mereka menjadi rujukan dalam pembinaan kami.

[17] . Yang dimaksud adalah Fadilatus Syaikh Abdus Salam bin Barjas –rahimahullah-, silahkan merujuk kitab ad-Difa’ an Ahlil Ittiba’ 460

[18] . Idem

[19] . Idem

[20] . Vonis ini ayyuhal ikhwah bukan datang dari tokoh-tokoh islam yang selama ini ditabdi’ dan cela oleh kaum ini, seperti Fadhilatus Syaikh Safar, Fadhilatus Syaikh Salman, Fadhilatus Syaikh Abdur Rahman Abdul Khaliq, Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid dll, sebab jika vonis ini datang dari mereka maka hal ini adalah hal yang biasa, karena kita bisa berdalih bahwa vonis-vonis tersebut adalah Raddun Fi’l [respon] dari mereka, yang menjadikan vonis ini luar biasa adalah karena sumber dari vonis-vonis ini berasal dari kolega dan sejawat mereka, Allahu Musta’an.

[21] . Silahkan merujuk “Majmu’ur Rudud as-Syaikh Fauzi al-Atsari ‘Ala al-Murji’ah al-Judud” hal. 8

[22] . Silahkan membaca bagian pertama dari silsilah ini.

[23] . silahkan merujuk artikel “Aqwalul Ahlul Ilmi Fi Abdul Malik Ar-Ramadhanii”.

[25] . Silahkan dibuktikan di risalah al-Aqwal Fi Tahdziri Min Kitab Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah Li Abdil Muhsin al-Abbad.

[26] . Tanya jawab kajian kitab Syarhus Sunnah pada tanggal 14 Muharram 1427, di masjid Jami’ al-Amir Mut’ib

[27] . Mudazakkirah Watsa-iq Jaliyah Allati Yata’amaa Anha Ad’iya’ as-Salafiyah, hal. 40-60

[28] . Silahkan merujuk risalah I’laamun Nakir ‘Ala Manhaji as-Syaikh Rabi’ Fit Takfir

[29] . Mengapa Saya Keluar dari Wahdah Islamiyah? Muqaddimah

[30] . Surat al-Isra’ 15

Tinggalkan Komentar

By admin