Menjawab Syubhat Bagian VII

Bagian I

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام علي رسوله الأمين وعلي آله وأصحابه الطاهرين ومن اهتدي بهداهم إلي يوم الدين, أما بعد :

Ikhwah yang dirahmati Allah, sesungguhnya masalah tabdi’ [memvonis bid’ah] dan takfir [memvonis kafir] merupakan salah satu hukum syari, yang merupakan hak Allah semata, Ibnu Taimiyah –rahimahullah- mengatakan:

فإن الإيجاب و التحريم و الثواب و العقاب و التفسيق و التكفير هو إلى الله و رسوله ليس لأحد في هذا حكم

Artinya: Sesungguhnya menentukan [hukum] wajib dan [hukum] haram, pembahasan tentang pahala dan hukuman, dan memvonis fasik dan kafir merupakan urusan Allah dan Rasulnya semata, dan tidak diperkenankan seorangpun turut campur dalam hal ini.[1]

Adalah merupakan hal yang patut diketahui, bahwa salah satu diantara keistimewaan manhaj ahlus sunnah wal jamaah adalah pembahasan yang terperinci terkait klasifikasi menjatuhkan vonis kepada mukhalif [orang yang terjatuh dalam kesalahan], baik itu menjatuhkan vonis bid’ah ataupun vonis kafir kepada para pelanggar syariat yang mulia ini, para ulama kita secara umum membagi alhukm ‘alal mukhalif [memvonis orang yang jatuh kepada kesalahan] menjadi dua macam, yang pertama: al-Hukm al-Mutlak, yaitu memvonis perkataan, perbuatan atau aqidah seseorang yang melenceng dari koridor syar’i, yang kedua: al-Hukm ‘Alal Mu’ayyan, yaitu membidikkan vonis kepada individu yang terjatuh pada penyimpangan sebagai ahlil bid’ah ataupun vonis kafir. Dan seingat kami [team alinshof] penjelasan ilmiyah terkait hal di atas, kami pelajari di STIBA [Sekolah Tinggal Ilmu Islam Dan Bahasa Arab], yang merupakan akademi pengkaderan para duat di Wahdah Islamiyah.

Adapun “keluhan” akh Sofyan Khalid bahwa kami tidak bisa membedakan antara vonis mutlaq dan vonis mu’ayyan, dan dia membawakan Syahid [bukti] akan hal itu, maka kami katakan: bahwa keluhan tersebut tidak bisa diterima secara mutlak, pasalnya munculnya qorinah [indikator] yang menguatkan hal itu dan insya Allah kami jelaskan pada tempatnya, disamping itu benarnya teori ilmiyah yang kita yakini namun cacat dalam praktek pengejawantahan di lapangan karena tegaknya syubhat bukanlah kesalahan secara mutlak.

و الحدود تدرأ بالشبهات

Artinya: Dan hukum had bisa dianulir karena adanya syubhat

Ikhwah fillah, seorang ahlus sunnah [baca salafi] adalah orang yang paling mengerti tentang kebenaran, dan paling getol dalam menyebarkannya, dia juga sangat paham tentang kesesatan, dan senantiasa berupaya untuk menjauhinya, namun meski demikian, mereka adalah orang yang paling sayang kepada makhluq, khususnya terhadap sesama kaum muslimin, olehnya, sebuah ungkapan indah dari Syaikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- yang sempat tergoret dengan tinta emas dan senantiasa mendengung dalam gendang telinga kita:

أهل السنة هم أعلم الناس بالحق و أرحمهم بالخلق

Artinya: seorang ahlus sunnah adalah orang yang paling mengerti tentang al-haq [kebenaran] dan paling sayang terhadap manusia.

Dan lebih indah dari ungkapan bijak di atas, firman Allah –ta’ala-:

محمد رسول الله و الذين معه أشداء علي الكفار رحماء بينهم

Artinya: [Nabi] Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya sangat keras kepada orang kafir namun berkasih sayang terhadap sesama mereka.[2]

Pengejawantahan dari ayat dan ungkapan bijak dia atas, bisa kita nikmati dalam ilmu jarh wat ta’dil[3] [ilmu kritik dan memuji], oleh karena itu, ulama yang berdedikasi dalam disiplin ilmu ini [ilmu kritik dan memuji] terklasifikasi menjadi tiga, yang pertama: al-Mutasyaddidun [yang keras], kedua: al-Mutawassithun [yang pertengahan], ketiga: al-Mutasahilun [yang memudah-mudahkan]. Yang pertama adalah ulama yang keras dalam mengkritik, gemar memilih kalimat-kalimat yang pedas, dan mudah menjatuh vonis dengan sedikit kesalahan, serta pelit dalam memuji, contohnya adalah Syu’bah bin Hajjaj [wafat tahun 160 H], Yahya bin Ma’in [wafat tahun 233 H], Yahya bin Sa’id al-qotthon [wafat tahun 198 H] dan lain-lain. Adapun yang kedua, mereka adalah ulama yang pertengahan dalam memuji dan adil dalam mengkritik, contohnya adalah Sufyan at-Tsauri [wafat tahun 161 H], Abdur Rahman bin Mahdi [wafat tahun 198 H], Imam Ahmad [wafat tahun 241 H], Imam Bukhari [wafat tahun 256 H] dan lain-lain. Adapun yang ketiga adalah para ulama yang memudah-mudahkan dalam memuji dan tidak mudah mengkritik orang yang terjatuh dalam kesalahan, kendati kesalahan yang diperbuat cukup besar, contohnya adalah Ahmad bin Abdillah al-‘Ijli [wafat tahun 261], Ibnu Hibban [wafat tahun 354 H] dan lain-lain.

Jika kita menilik dengan seksama aktifitas jarh wat ta’dil [aktifitas mengkritik dan memuji] dari sebagian kelompok “salafi” di perhelatan dakwah, maka niscaya kita akan menemukan dua perkara besar yang menonjol dalam kelompok ini, perkara tersebut adalah:

Yang Pertama: al-Ghuluw Fit Tabdi’ [sikap berlebihan dalam memvonis bid’ah]

Ikhwah yang dirahmati Allah, sebongkah batu besar yang menindih dan menyesakkan dada kami [team alinshof] berhasil kami angkat sebelum menggoretkan kritikan ini, sehingga kami mampu menanggalkan sikap segan dan bisa menegakkan pena ini untuk menggoreskan huruf demi huruf seiring dengan membuncahnya harapan dari lubuk sanubari semoga goretan ini membawa manfaat bagi kami dan bagi seluruh kaum muslimin, dan semoga tulisan ini bukanlah deskripsi dari Syamatah [menampakkan kegembiraan ketika ada yang jatuh dalam kesalahan] yang tercela.

Ikhwah yang dirahmati Allah, yang kami maksudkan dengan kalimat al-Ghuluw Fit Tabdi’ adalah sikap berlebihan dalam memvonis bid’ah, ringan lisan dalam menjatuhkan hukum kepada para penyelisih mereka, meskipun sang penyelisih adalah sejawat dalam menuntut ilmu [satu almamater], bahkan mungkin pernah menjadi duet dalam memvonis orang lain, ditambah lagi kegemaran memilih kata-kata keras dalam memvonis, demen dengan kalimat yang kasar, dan gandrung dengan kalimat yang serem-serem untuk dilabelkan kepada sang penyelisih, kendati terkadang tidak setimpal dengan kesalahan dan kesesatan yang diperbuat sang tertuduh.[4]

Adapun bukti dari kritikan kami ini, sebagai muqaddimah maka mari kita tengok sejenak sirah da’wah yang pernah dilakoni al-ustadz Ja’far Umar Thalib ketika beliau masih didaulat sebagai panglima laskar jihad, beliau sangat keras dalam menyikapi para penyelisihnya, kasar dalam mentahdzir, dan buruk dalam melabelkan julukan. Kendati akhir dari perjalanan dakwah beliau adalah tereliminasinya dari barisan “salafiyun” ketika beliau terjerembab pada kesalahan dan mulai menampakkan sikap lembek kepada “hizbiyun” dan ahlul bid’ah, ironisnya.. “musibah” ini datang pasca terjadinya dua peristiwa luar biasa yang menimpa sang ustadz, yaitu Mubahalah yang beliau helat dengan salah satu da’i Jum’iyah Ihya-ut Turots, Syaikh Syarif Fuad Hazza dan musibah masuknya beliau ke dalam penjara, entahlah… kejadian mana diantara keduanya yang merubah manhaj al-ustadz???.

Ikhwah yang dirahmati Allah, jika kita ingin menambah bukti dari kritikan ini, maka simaklah salah satu corong dakwah mereka, yaitu blog Tuk Pencari al-haq, blog ini mengumpulkan dua jenis kekerasan sekaligus, Yang Pertama: kerap melontarkan kalimat kasar dalam mentahdzir, Yang Kedua: sangat keras dalam memvonis kendati sang terdakwa “hanya” terjatuh dalam kesalahan ringan. Adapun bukti segar terkait kritikan kami ini, maka sangatlah banyak berceceran di blog tersebut, namun sebagai sampel sederhana maka akan kami datangkan beberapa contoh, diantaranya ucapan pengasuh blog tersebut:

A. Ucapan kasar mereka untuk Syaikh Muhammad Hassan dan Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini –hafidhahumallah-: Perlu diperhatikan, Muhammad Hassan Al-Mishri dan Abu Ishaq Al-Huwaini adalah dua begundal yang telah di tahdzir oleh para ulama sunnah”[5]

B. Jarh “brutal” mereka untuk Syaikh Syarif Fuad Hazza: Ketika kami bersama bapak [ustdz Ja’far Umar Thalib] menentang pemikiran (Dajjal) Syarif Hazza cs (geng Ihya’ut Turots), apakah kami disebut mengkhianati Syarif cs?? .[6]

C. Julukan keras kepada salah seorang yang ber-intisab kepada as-Shofwa: yang dengan gigih dibela oleh centeng dananya yakni rajul yang bernama kunyah Abu Haidar As-Sundawi sembari berlagak pahlawan dalam mendebat Al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed hafidhahullah yang telah berupaya menjelaskan kepadanya tentang berbagai penyimpangan Al Sofwa. Ucapan diatas beri tema besar [ada “Dajjal” di yayasan as-Shofwa dan di majalah Qiblati].[7]

D. Kalimat keras untuk ustadz Abdurrahman at-Tamimi: Si Pendusta besar Nama lengkap dan Kunyahnya.[8]

E. Perkataan mereka untuk salah seorang kru majalah Qiblati: Walaupun setelah akh Abdul Ghafur menulis dengan mengungkapkan kecurangan dan kelicikan Agus Hasan di atas yang “tidak canggih” ini, dirinya harus menerima konsekwensi ancaman [secara langsung] pembunuhan dari salah seorang kru Qiblati [bagian Marketing dan Iklan] sekaligus informan Abu Salma, yakni Abu ‘Aliy!! Tampaknya, setelah kalah bukti dan hujjah akhirnya preman Sururi yang gerah dan marah.

Ikhwah yang dirahmati Allah, inilah sedikit fakta yang membuktikan kritikan kami di atas, namun bila para ikhwah sekalian menginginkan tambahan bukti, maka telaahlah juga buku ” Sebuah Tinjauan Syariat, Mereka Adalah Teroris ” salah satu maha karya al-ustadz Luqman Ba’abduh, buku ini memiliki nuansa ilmu yang luar biasa, sarat dengan faedah dan merupakan hujjah yang kuat di leher orang-orang yang salah dalam memahami jihad dan demen melakukan pemboman di negeri kaum muslimin. Namun buku ini tidak jarang menggunakan kata-kata kasar, dan kurang dihiasi sifat wara’ dalam melabelkan julukan, silahkan merujuk buku “Siapa Teroris Siapa khawarij??” karya Abduh Zulfidar Akaha halaman 47-50 edisi pertama[9].

Pembaca yang dirahmati Allah, jika kita menelisik dengan seksama buah dari manhaj ini [al-ghuluw fit tabdi’], niscaya akan membuat mata terbelalak penuh keterkejutan dan kening berkerut penuh keheranan, bahkan mungkin menyebabkan tegaknya bulu roma, bagaimana tidak?? Manhaj ini menebarkan aroma perpecahan dan pertikaian yang cukup tajam di perhelatan dakwah ahlus sunnah yang penuh berkah ini, alih-alih memisahkan antara ahlus sunah dengan ahlul bid’ah, membedakan pengibar tauhid dengan pengerek bendera kesyirikan, namun justru sang pengibar manhaj ini-lah yang saling memakan antara satu dengan yang lain dan saling menghizbikan antara sesama mereka. Duh, inikah buah manis dari manhaj yang mereka anggap benar?? Duhai.. seandainya mereka mengingat bahwa ahlus sunnah sejati pantang untuk berpecah??.

Bukti nyata dari buah ini ayyuhal ikhwah, ditampakkan oleh Allah –ta’ala- di depan hidung kita, agar menjadi pelajaran berharga bagi segenap kaum muslimin, bahwa sikap ghuluw [berlebih-lebihan] tidak akan menghadirkan kecuali keburukan. Ayyuhal ikhwah, mari kita alihkan sejenak pandangan kita ke negeri Yaman, sepeninggal Fadhilatus Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy –rahimahullah-, tumbuhlah bibit perseteruan dan pertikaian antara murid beliau, salah satu pemantiknya adalah al-Ghuluw Fit Tabdi’[10], Fadhilatus Syaikh Abul Hasan al-Ma’aribiy –hafidhahullah- mulai kembali kepada “fitrahnya”, beliau tidak menyetujui aktifitas al-Guluw fit Tabdi’, beliau menampakan pembelaan kepada tokoh-tokoh islam yang di vonis sebagai mubtadi’ oleh tokoh-tokoh kelompok “salafi”, dan beliau menta’dil “ahlul bid’ah” menurut versi kelompok “salafi”, seperti Fadhilatus Syaikh Abul Ishaq al-Huwainiy [tokoh islam dari mesir], Fadhilatus Syaikh Muhammad Hassan al-Mishriy [tokoh islam dari mesir], Fadhilatus Syaikh al-Maghrawiy [tokoh islam dari Maroko] dan menampakkan sikap inshof Ikhwanul Muslimin, dan beliau-pun mengkritik Syaikh Rabi’ dengan menulis buku yang berjudul “Tahdzirul Jami’ Min Akhta-i asy-Syaikh Rabi’ wa Uslubuhu as-Syani'” [memperingatkan semua orang dari kesalahan asy-Syaikh Rabi’ dan Manhajnya yang buruk] dan kitab “I’laamun Nakir ‘Ala Manhaji as-Syaikh Rabi’ Fit Takfir”[membeberkan manhaj Syaikh Rabi’ dalam mengkafirkan], sebagai bentuk kritikan sekaligus nasehat untuk Syaikh Rabi’ bin Hadi –hafidhahullah-, bahkan menurut Syaikh Abul Hasan al-Ma’aribiy dalam bukunya ““Tahdzirul Jami’ Min Akhta-i asy-Syaikh Rabi’ wa Uslubuhu as-Syani'”[11], beliau sempat menantang Syaikh Rabi’ untuk bermunadharah [berdebat] dan bermuhakamah [mengajukan permasalahan ke mahkamah] serta mengajak untuk bermubahalah [saling melaknat], namun menurut pengakuan beliau [Syaikh Abul Hasan] Syaikh Rabi’ mengacuhkan undangan ini, bahkan Muhadditsul Madinah Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad –hafidhahullah- pernah menjadi penengah dalam permasalahan ini, beliau menganjurkan untuk membawa permasalahan ini ke Lajnah Da-imah Lil Ifta’ [komite fatwa kerajaan Saudi Arabiyah], dan hal ini diamini oleh Syaikh Abul Hasan al-Ma’aribiy, namun sekali lagi Syaikh Rabi’ mengabaikan ajakan ishlah ini. Dan tentu perubahan sikap Syaikh Abul Hasan al-Ma’aribiy ini membangkitkan adrenalin para sejawat Fadhilatus Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhaliy, maka berduyun-duyunlah bantahan dan tahdziran datang menghampiri beliau dari seluruh penjuru dunia, mulai dari fadhilatus Syaikh Yahya bin ‘Ali al-Hajuriy, Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkhaliy, Fadhilatus Syaikh Ubaid al-Jabiri bahkan Syaikh Rabi’-pun bangkit untuk mentahdzir, dan polemik ini berlanjut menjadi perang tahdzir antara kedua belah pihak. Apakah pertikaian tersebut berhenti sampai di sini ayyuhal ikhwah??? Jawabnya: belum!!. Syaikh Abul Hasan menegaskan dalam kitabnya “”“Tahdzirul Jami’ Min Akhta-i asy-Syaikh Rabi’ wa Uslubuhu as-Syani'”[12], bahwa ketika beliau telah kelar menulis buku tersebut, menyala-lah api pertikaian antara Fadhilatus Syaikh Rabi’ bin Hadiy dengan Fadhilatus Syaikh Falih al-Harbiy, dan masing-masing pihak membidikkan label sesat kepada yang lainnya[13], bahkan sebuah situs didedikasikan khusus untuk membantah dan mentahdzir Syaikh Rabi’ bin Hadi dan nampaknya situs tersebut dimotori oleh Syaikh Falih al-Harbi, situs tersebut adalah al-Majmu’ al-Badi’ Fi Raddi ‘Ala al-Madkhalir Rabi, Allahu Musta’an.

Ikhwah yang dirahmati Allah, aroma pertikaian dan perpecahan masih tercium tajam, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushobiy mulai “menjarh” Syaikh Yahya bin Ali al-hajuri, bahkan menyifati beliau dengan al-kaddzab[14]. Syaikh Ubaid al-Jabiriy juga “tidak mau” ketinggalan, beliau mulai berbicara pahit tentang Syaikh Yahya bin Ali al-Hajuriy, beliau mengatakan: Namun yang ma’ruf pada asy-Syaikh Yahya –semoga Allah membimbingnya- bahwa dia akan menyerang siapa saja yang menyelisihinya dalam permasalahan-permasalah ijtihadiyah, mencercanya, membencinya, dan berbicara jelek tentangnya. Inilah metode orang yang tidak dikaruniai kelembutan dan hikmah, dan menyelisihi du’at al-haq yang berdakwah di atas bashirah (cahaya ilmu)[15], dan simak pula tahdziran beliau:”Orang ini [maksudnya Asy-Syaikh Yahya] telah mentahdzir Jami’ah Islamiyyah. Sebagian pengikutnya telah mengambil tahdziran tersebut darinya dan merekapun mentahdzir Jami’ah Islamiyyah. Sampai- sampai yang ada di wilayah Barat juga ikut mentahdzir. Orang ini seperti telah aku katakan bahwa lisannya lancang[16], dan jangan lupa pula bahwa beliau [Syaikh Ubaid al-Jabiriy] juga mencerca Syaikh Hasan bin Qasim ar-Roimiy[17] dan melarang kaum muslimin menghadiri ceramah beliau.[18]

Dan jangan menutup mata pula dari tahdziran asy-Syaikh Abu Abdis Salam Hasan bin Qasim ar-Roimiy yang dibidikkan kepada Syaikh Abdurrahman al-‘Adaniy dan saudaranya Syaikh Abdullah al-‘Adaniy, beliau mengatakan: bahwasanya keduanya itu hizbi, bahkan keduanya telah mengungguli para para hizbiyyin dari berbagai kelompok yang menyimpang yang ada di lapangan[19]. Di pihak lain, Syaikh Abdurrahman al-‘Adaniy membidikkan perkataan yang keras kepada Syaikh Yahya bin Ali al-Hajuriy[20], dan Syaikh Yahya al-Hajuri-pun membidikkan vonis hizbi terhadap Abdurrahman al-‘Adaniy, beliau mengatakan: Hendaknya ini ada dalam benak kalian, dan aku bersumpah dengan nama Allah, buat para pendengar di majlis ini dan siapa saja yang mendengar, seandainya para ulama dunia bersatu di atas pendapat bahwasannya Abdurrahman itu bukanlah hizbi, aku tidak akan menerima pendapat mereka tadi, karena tidak tetapnya persangkaan mereka tadi.[21]

Ikhwah yang dirahmati Allah, inilah secuil fenomena “perpecahan” yang ada di dalam tubuh mereka, apabila fenomena perpecahan dan pertikaian ini tumbuh berkembang di negeri Yaman dan Saudi Arabiyah, maka tentunya fenomena tersebut akan merebak pula di persada tercinta ini, ibarat sungai, jika hulunya keruh maka niscaya hilirnya-pun keruh pula, mana buktinya???.

Perpecahan dan pertikaian yang tidak kunjung reda antara al-Ustadz Ja’far Umar Thalib dengan para kolega dan sejawatnya, meledaknya Laskar Jihad menjadi kelompok dan kubu, masing-masing kelompok mengumandangkan sikap bara’ah [berlepas diri] dari kelompok yang lainnya, dan Ustadz Ja’far-pun menjadi bulan-bulanan tahdzir dari para aqran-nya maupun murid-muridnya, dan mungkin sebagian murid beliau enggan untuk memanggil beliau dengan panggilan al-ustadz, simaklah penuturan ini: “Hanya satu kata yang pantas kami ucapkan kepada antum:”Allahu yahdik!”. Berat rasanya bibir ini untuk mengucap, kelu dan pahit lidah ini melafadzkan “ustadz” kepada antum. Rasanya lebih pas jika sekarang kami menyebut antum dengan pak Ja’far. Lebih lancar bagi kami dan tentunya lebih sesuai sebutan tersebut untuk antum, bahkan sebait syair dihadiahkan kepada beliau:

DUHAI
Duhai…duhai… dan duhai…
Janganlah mendekat kepada kami (Salafiyyin)
Dengan bau busukmu yang menyengat
Kecuali…
Dirimu telah mandi, berkeramas, menggosok gigi, berpakaian bersih serta memakai wewangian (baca:bertaubat)
Itupun….
Engkau harus tahu diri…
Tempatmu di Shof paling belakang…
Siapapun dirimu
![22]

Sepeninggal Ustadz Ja’far, aroma perselisihan masih tetap tercium bahkan mungkin lebih tajam, terjadi perang tahdzir antara sesama eks anggota Laskar Jihad, dan aroma perseteruan ini tidak hanya tercium di kalangan para murid dan kader-kader saja, Namun para pemegang pucuk pimpinan-pun terjatuh di dalamnya, bahkan lebih dari itu, bola tahdzir-pun menggilinding di tengah-tengah para alumnus Dammaj ataupun alumnus negeri Yaman secara umum, dan peristiwa menegangkan ini berlangsung beberapa waktu sampai mereka mengadakan ishlah.

Namun yang amat disayangkan, bahwa perpecahan dan pertikaian ini tidak berhenti hanya sampai di sini, seakan perjalanan waktu menjadi saksi bagi musibah ini, dan menceritakannya kepada kita agar berhati-hati dengan manhaj al-ghuluw dalam semua aspek. Tinta hitam yang tergoret pada lembaran putih manhaj ahlus sunnah [baca salafi] karena musibah [perpecahan] yang lalu belumlah hilang, tiba-tiba genderang perang tahdzir ditabuh dengan penuh emosi, hembusan angin pertikaian menerpa kembali, Duh.. sampai kapankah musibah ini akan berhenti??.

Kedamaian yang nyaris melenakan terusik, dengan hadirnya sebuah buku berjudul “Penjelasan Yang Lurus Buat Pertanyaan Ahlus Sunnah Dari Indonesia Seputar Fitnah Yang Baru”, yang diterjemahkan oleh Abu Fairuz Abdurrahman al-Qudsi al-Indonesi dan Abu Abdirrahman Shiddiq al-Bughisi, buku kecil ini berisi kumpulan fatwa dari asy-Syaikh Abu Abdis Salam Hasan bin Qasim ar-Roimiy yang merespon fitnah hizbiyah yang direbakkan oleh Syaikh Abdurrahman al-‘Adani dan Syaikh Abdullah al-‘Adani, namun ternyata buku ini tidak hanya mentahdzir dan memvonis kedua orang tersebut, akan tetapi merembet kepada asatidzah alumnus Yaman yang ada di negeri ini, mereka adalah al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh, al-Ustadz Askari bin Jamaluddin dan al-Ustadz Muhammad Sarbini al-Makassari. Syaikh Abu Abdis Salam Hasan bin Qasim ar-Roimiy mentahdzir al-Ustadz Muhammad Sarbini al-Makassari, beliau mengatakan:”Dan berdasarkan ini maka orang itu tergolong dari anak-anak hizbiyah yang baru, yang harus kalian hindari dan kalian peringatkan orang-orang dari dia, hingga tidak menimpa kalian kudis kebid’ahan”[23], beliau juga mengatakan:”Sarbini telah menggabungkan antara kebodohan, hawa nafsu dan cercaan terhadap salah seorang dari ulama sunnah”.[24]

Adapun “jatah” tahdziran untuk al-Ustadz Askari bin Jamaluddin, maka beliau mengatakan:”Dia seperti orang yang terdahulu, maka janganlah kalian –semoga Allah memelihara kalian- memperbanyak kesibukan dengan ekor-ekor tadi………mereka dan orang yang sejenis mereka yang hatinya sakit itu cukup ditampari sambil jalan…….mereka itu tadi diikat oleh kebid’ahan, hizbiyah dan baku tolong dengan kaum yang mendhalimi diri mereka sendiri seperti kedua anak Mar’i dan para penolong mereka di sini dan di sana”.[25]

Fadhilatul Ustadz Luqman Ba’abduh tidak luput juga dari tahdziran, simak perkataan dibawah ini:”sekarang Sarbini bergabung dengan Luqman Ba’abduh membela hizbiyyah yang baru, mengangkat nama Abdurrahman al-‘Adnani”, dan juga perkataan:”pada fitnah ‘Adniyyah ini Luqman Ba’abduh, Muhammad Sarbini, Askari bin Jamaluddin di Indonesia menjadi tokoh utama pembela Abdurrahman al-Adnani”.[26]

Dan tidak lupa kami informasikan kepada ikhwah sekalian, bahwa terbitnya buku di atas [buku Penjelasan Yang Lurus Buat Pertanyaan Ahlus Sunnah Dari Indonesia] juga memiliki asbabul wurud, yaitu beredarnya buku “Kemana Kalian Akan Pergi Dengan Fitnah Ini??” Karya: al-ustadz Muhammad Sarbini al-Makassari, yang daftar isinya “sarat” tahdziran kepada Syaikh Yahya al-Hajuri, dan juga mentahdzir penerjemah dan asatidzah pengumpul fatwa dalam buku “Penjelasan Yang Lurus Buat Pertanyaan Ahlus Sunnah Dari Indonesia”, karena mereka terlibat dan menceburkan diri sampai basah kuyup dalam genangan fitnah yang terjadi di Dammaj, Yaman.

Ayyuhal Ikhwah, inilah sekilas potret perpecahan, pertikaian dan perang tahdzir yang menghiasi hari-hari mereka sampai hari ini, dan sekali lagi, bahwa fenomena perpecahan dan pertikaian yang kami beberkan dalam artikel ini “hanya” perpecahan intern sesama alumnus Dammaj secara khusus atau output negeri Yaman secara umum[27], jika kita menginginkan pembahasan ini merambah perpecahan yang dihasilkan oleh manhaj ini dari ujung timur sampai ujung barat negeri ini, dari “kutub” utara sampai “kutub” selatan bumi pertiwi ini, maka akan membutuhkan banyak lembaran kertas, padahal para asatidzah yang ditahdzir dan dicela adalah asatidzah yang meniti pemahaman ahlus sunnah insya Allah, bahkan sebagian dari mereka pernah menjadi kolega dan sejawat dalam berdakwah dan mentahdzir. Dan setelah pemaparan ini sangat patut bagi kita untuk bertanya kepada mereka, Duhai, dimanakah bukti pengejawantahan kalian terhadap ayat yang senantiasa dibidikkan kepada para “hizbiyin”??, yaitu firman Allah:

إنّ الذين فرّقوا دينهم و كانوا شيعا لست منهم في شيئ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memecahbelah agamanya dan mereka menjadi terpecah menjadi golongan-golongan, tidak sedikutpun tanggung jawabmu terhadap mereka.[28]

Dan tidakkah kalian khawatir akan terjerembab pada firman Allah –subhanahu wa ta’ala-??:

بأسهم بينهم شديد تحسبهم جميعا و قلوبهم شتّى

Artinya: Permusuhan antara sesama mereka hebat, kalian mengira bahwa mereka bersatu padahal hati mereka terpecah belah.[29]

Dan sebagai pamungkas, kami sajikan kepada ikhwah sekalian sebuah kisah, semoga kisah ini mentarbiyah kita untuk senantiasa waspada terhadap sikap al-ghuluw fit tabdi’, selamat menyimak.

Beberapa tahun yang lalu, seorang pemuda berhasrat mengkhithbah seorang akhwat, dan pemuda itulah yang mengisahkan kisahnya kepada kami.[30]

Dan ketika pemuda tersebut telah mendapatkan akhwat idamannya, maka dia-pun mulai bertanya tentang kwalitas agama sang akhwat, maka sang comblang-pun mulai memuji sisi agama akhwat tersebut, dan nampaknya pemuda tersebut juga tertarik dengan sang akhwat, sehingga dia memutuskan untuk menghelat acara yang lebih serius, yaitu nadhor!!.

Maka mahram sang akhwat mulai mengatur acara untuk mengadakan nadhor, sampai kemudian pada hari H-nya…

Ternyata pemuda tersebut seorang yang pemalu, maka mulailah dia bertanya kepada sang akhwat dengan sikap malu-malu tentang jumlah hafalan al-qur’an-nya dan bertanya pula tentang kriteria ikhwah idamannya.

Maka tibalah waktu sang akhwat untuk bertanya, maka terjadilah dialog dibawah ini:

Akhwat: Wahai akhi, engkau bermanhaj apa??.

Ikhwah: Ma’af, saya tidak paham pertanyaanmu.

Akhwat: Maksudnya bagaimana aqidahmu dan tawajjuhmu [arah pemikiran]???.

Ikhwah: Saya Bermanhaj ahlus sunnah wal jamaah Insya Allah.

Akhwat: Jawabanmu itu salah, engkau harus mengatakan saya seorang salafi [dan diapun mulai menyebut dalil-dalil tentang kebolehan menisbahkan diri kepada salafi], kemudian akhwat tersebut menimpali: siapakah masyaikh yang biasa engkau ikuti kajiannya??.

Ikhwah: Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Albani dan para ulama ahlus sunnah yang lainnya.

Akhwat: Jawabanmu terlalu global, para masyaikh tersebut menjadi rujukan seluruh kalangan sampai para hizbiyyun!![31], kemudian akhwat tersebut mengatakan: apakah engkau mengikuti kajian Syaikh Muhammad Husain Ya’kub, Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini dan Syaikh Muhammad Hassan??!.

Ikhwah: Benar, saya mengikuti kajian mereka.

Akhwat [menjawab dengan kemarahan]: Wahai akhi, engkau harus mengevaluasi manhajmu!!.

Ikhwah: Ada apa dengan Syaikh Muhammad Hassan?? Kenapa engkau begitu marah kepadaku??.

Akhwat: Vonis minimal untuk Muhammad Hassan adalah [dia seorang yang] fasiq!!

Ikhwah: Fasiq??!!

Akhwat: Ya benar, dia fasiq!!, kenapa engkau begitu terkejut??, tidakkah engkau melihat bahwa dia mencukur habis kumisnya?? Dan Imam Malik mengatakan tentang orang yang mencukur habis kumisnya:”mencukur habis kumis menurut kami adalah perbuatan orang fasik”. Ditambah lagi, dia telah divonis sebagai ahlul bid’ah oleh para ulama ahlus sunnah!!.

Akhirnya, majlis itu bubar dan akhwat tersebut menolak lamaran ikhwah tersebut karena manhajnya tidak murni [tidak salafi kukh].

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, kalimat inilah yang mungkin keluar dari lisan bijak para kibar ulama –semisal Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, Fadilatus Syaikh Sholih al-Fauzan, Fadhiltus Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh–, jika mereka mendengar kisah menyedihkan ini, yang penyebab utamanya adalah al-Ghuluw fit tabdi’, dan akhirnya, seuntai doa kami haturkan kepada Allah yang maha Rahman dan maha Rahim, semoga Allah menjaga seluruh kaum muslimin dari fitnah al-ghuluw dalam beragama, dan menganugerahkan keistiqomahan kepada seluruh kaum muslimin, wa akhiru da’wana anil Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin.


[1] . Majmu-ul Fatawa 5/544

[2] . Lihat surat al-Fath ayat 29

[3] . Ilmu ini sebenarnya lebih masyhur di kalangan Ulama Hadits, digunakan untuk menilai para perawi-perawi hadits, agar diterima riwayatnya atau ditolak, meskipun kemudian ilmu berkembang dan meluas, sehingga hampir semua disiplin Ilmu juga menggunakannya.

[4] . Maksudnya vonisnya sangat keras dan kasar, padahal sang pesakitan hanya jatuh dalam “kesesatan” yang ringan

[5] . http://tukpencarialhaq.wordpress.com/2010/09/20/software-bantahan-khusus-untuk-muhammad-hassan-al-mishri-dan-abu-ishaq-al-huwaini/

[6]. http://tukpencarialhaq.wordpress.com/2007/08/26/dakwah-antara-jamarto-yazid-jawaz-dan-aunur-rofiq/

[7]. http://tukpencarialhaq.wordpress.com/2009/12/25/ada-dajjal-di-yayasan-al-sofwa-majalah-qiblati/

[8] . http://tukpencarialhaq.wordpress.com/2008/03/19/si-pendusta-besar-nama-lengkap-dan-kunyahnya/

[9]. Buku ini memiliki keistimewaan dari sisi kesopanan dalam mengkritik, beretika dalam berkhilaf, kendati ada beberapa masalah ilmiyah yang kami tidak sepakat dengan penulis buku ini, diantaranya adalah melabelkan atau memastikan gelar as-Syahid kepada seseorang.

[10] . Ini menurut pengakuan Syaikh Abul Hasan al-Ma’aribiy, silahkan lihat di kumpulan buku-buku beliau, ad-Difa’ An Ahlil Ittiba’.

[11] . Silahkan merujuk ke buku ad-Difa’ ‘an Ahlil Ittiba’ jilid II, hal: 92-93

Perhatian: jumlah dan halaman dalam buku ini adalah inisiatif dari team alinshof, karena kami mencetak buku tersebut dari PDF tanpa halaman

[12] . Lihat ad-Difa’ ‘an Ahlil Ittiba’ jilid II hal 83, footnote: 1

[13] . Dan Syaikh Rabi’ “menghadiahkan” untuk Syaikh Falih al-Harbiy kaset khusus yang bertema “Nashihah Ukhawiyah Ila al-Akh Falih al-Harbiy”.

[14] . Lihat buku “kemana kalian akan pergi dengan fitnah ini??” Karya: al-ustadz Muhammad Sarbini al-Makassari

[15] . Lihat al-Ajwibah as-Sadidah ‘an As’ilati Ikhwanina Ahlis Sunnah Al-Indunisiyuun Haula al-Fitnah al-Jadidah , buah karya: asy-Syaikh Abu Abdis Salam Hasan bin Qasim ar-Roimiy, Edisi Indonesianya: Penjelasan Yang Lurus Buat Pertanyaan Ahlus Sunnah Dari Indonesia, alih bahasa: Abu Fairuz Abdurrahman al-Qudsi al-Indonesi dan Abu Abdirrahman Shiddiq al-Bughisi, Hal 6

[16] . Lihat buku “Kemana Kalian Akan Pergi Dengan Fitnah Ini??” Karya: al-ustadz Muhammad Sarbini al-Makassari

[17] . Pemegang dakwah salafiyah di Masjid as-Sunnah di propinsi Ta’iz ,Yaman

[18] . Lihat al-Ajwibah as-Sadidah ‘an As’ilati Ikhwanina Ahlis Sunnah Al-Indunisiyuun Haula al-Fitnah al-Jadidah , buah karya: asy-Syaikh Abu Abdis Salam Hasan bin Qasim ar-Roimiy, Edisi Indonesianya: Penjelasan Yang Lurus Buat Pertanyaan Ahlus Sunnah Dari Indonesia, alih bahasa: Abu Fairuz Abdurrahman al-Qudsi al-Indonesi dan Abu Abdirrahman Shiddiq al-Bughisi, Hal. 13

[19] . Lihat buku di atas hal. 40

[20] . Lihat buku di atas hal 43,44,45

[21] . Lihat an-Nushu wal Itab hal 3, menukil dari buku Lihat al-Ajwibah as-Sadidah ‘an As’ilati Ikhwanina Ahlis Sunnah Al-Indunisiyuun Haula al-Fitnah al-Jadidah , buah karya: asy-Syaikh Abu Abdis Salam Hasan bin Qasim ar-Roimiy, Edisi Indonesianya: Penjelasan Yang Lurus Buat Pertanyaan Ahlus Sunnah Dari Indonesia, alih bahasa: Abu Fairuz Abdurrahman al-Qudsi al-Indonesi dan Abu Abdirrahman Shiddiq al-Bughisi, Hal.49

[22] . Lihat Mengembalikan Tuduhan Membungkam Penantang, bagian pertama, silahkan merujuk ke blog: http://tukpencarialhaq.wordpress.com/2007/08/26/dakwah-antara-jamarto-yazid-jawaz-dan-aunur-rofiq/

[23] . Lihat buku Penjelasan Yang Lurus Buat Pertanyaan Ahlus Sunnah Dari Indonesia hal. 54

[24] . idem

[25] . Lihat buku Penjelasan Yang Lurus Buat Pertanyaan Ahlus Sunnah Dari Indonesia hal. 56

[26] .idem

[27] . Jika para ikhwah ingin tambahan bukti bagi fenomena “carut marut” dakwah “salafiyah”, maka silahkan merujuk ke buku-buku ini: Nasehat dan Wasiat Buat Salafiyyun Indonesia buah pena: Abu Turab Saif al-jawi al-Indonesi, Konspirasi dan Makar Terhadap Darul Hadits Dammaj buah pena: Abu Zakariya al-Indonesi, Kesepakatan Para Dakwah Salafiyah bahwa as-Syaikh Abdurarrahaman al’adaniy Sebagai Ulama Sunnah, disamping juga buku Penjelasan Yang Lurus Buat Pertanyaan Ahlus Sunnah Dari Indonesia, dan juga buku Kemana Kalian Akan Pergi Dengan Fitnah Ini?? Karya: al-ustadz Muhammad Sarbini al-Makassari

[28] . Surat al-An’am 159

[29] . Surat al-Hasyr 14

[30] .Silahkan merujuk: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=21526&goto=nextoldest

[31]. Seakan akhwat tersebut melecehkan para masyaikh diatas, makna tersirat dari kalimat ini bahwa orang yang duduk mengambil ilmu dari ulama diatas belum tentu salafi, karena berkumpul pula di sekeliling masyaikh tersebut para hizbiyyun, jika ingin lebih terjamin kesalafian seseorang harus mendengarkan kajian ulama tertentu, wallahu a’lam. Tentunya kalimat tersebut adalah kalimat yang kurang sopan untuk para ulama, kelompok “salafi” selalu menudingkan tuduhan bahwa para “hizbiyyin” senantiasa mencela para ulama, padahal mereka juga terjatuh dalam masalah ini, bahkan mungkin lebih parah, semoga Allah memudahkan kami untuk membahas masalah ini di artikel yang kedua.

Pdf Version

3 thoughts on “SILSILAH PEMBELAAN PARA ULAMA DAN DU’AT JILID 2”
  1. bismillah, alhmdulillah tulisan ini sangat bermanfaat sekali bagi kami dan juga bagi teman2 sesama ahlu sunnah, semakin menambah semangat utk menuntut ilmu dan berupaya utk berhati-hati dalam menilai org lain apalagi sesama ahlu sunnah,

Tinggalkan Komentar

By admin