Menjawab Syubhat Bagian VI

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام علي رسوله الأمين وعلي آله وأصحابه الطاهرين ومن اهتدي بهداهم إلي يوم الدين, أما بعد :

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmus shalihat, salah satu musim kebaikan telah berlalu dari kaum muslimin, menghadap Allah ta’ala membawa seluruh amal kebaikan dan keburukan kita dalam satu bulan penuh, secercah harapan terbit seiring perginya bulan yang mulia ini, semoga Allah menerima amal kebaikan kita dan berkenan untuk melipat gandakan pahalanya serta mengampuni segala kelalaian dan dosa yang kita perbuat di masa lalu. Tidak lupa pula kami ucapkan tahni’ah bagi segenap kaum muslimin: “Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Shalihal A’mal” selamat hari raya ‘Idul Fitri 1431 H, tentunya diiringi permohonan ma’af yang sebesar-besar kepada seluruh kaum muslimin atas segala keteledoran, kesalahan, kekasaran, celaan, ataupun hinaan -sengaja maupun tidak disengaja- yang pernah menghiasi artikel-artikel kami.

Ikhwah yang dirahmati oleh Allah, adalah merupakan hal yang aksiomatik bagi para pegiat dakwah, bahwa segala aktifitas dakwah dan kegiatan keagamaan mereka berada di bawah sorotan kelompok “salafi”, jika rutinitas dakwah mereka selaras dengan kebenaran, “seirama” dengan kaedah syariat yang mulia ini, maka lisan mereka “berpuasa” dan bibir mereka diam seribu bahasa, namun jika ditemukan tiga atau dua atau bahkan satu aktifitas -diantara selaksa aktifitas- yang menurut pemahaman mereka cacat syar’i, maka serentak lisan mereka mengkritik, menuduh bahkan tidak jarang pula memvonis, seakan pemahaman mereka ma’shum[1] [jauh dari kesalahan] dan pendapat yang mereka rajihkan niscaya kebenarannya, ironisnya, jika kritikan tersebut berangkat dari vonis prematur, bahwa kita adalah ahlul bid’ah.

وعين الرضا عن كل عيب كليلة كما أنّ عين السخط تبدي المساويا

Artinya : Dan [pandangan] mata cinta akan menutupi segala keburukan, sebagaimana [pandangan] mata benci akan menampakan [kebaikan] menjadi keburukan.

Atau……

بغضك للشيء يعمي ويصم

Artinya: Kebencianmu kepada sesuatu menjadikanmu buta [tidak melihat kebaikan] dan tuli [tidak mendengar kebaikan].[2]

Buah yang dikhawatirkan …..

الجاهل في كلامه على الأشخاص والطوائف والمقالات بمنزلة الذباب الذي لايقع إلاّ على العقير و لايقع على الصحيح, والعاقل يزن الأمور جميعا هذاوهذا

Artinya: Seorang yang bodoh ketika mengkritik person atau kelompok atau perkataan ibarat seekor lalat yang hanya hinggap di luka [tempat kotor pent.] dan meninggalkan yang sehat [tempat bersih pent.], seorang berakal akan menimbang segala sesuatunya, baik yang ini ataupun yang ini[3]

Pembaca yang budiman, sebagaimana yang kami tegaskan dalam Silsilah Pembelaan kami yang terdahulu, bahwa platform dakwah kami adalah at-Ta’aawun dan at-Tanaashuh, maknanya adalah saling bahu membahu dalam menegakkan kebenaran, mengutamakan sikap asah asih dan asuh dalam ketaqwaan, dan tidak lupa untuk saling menasehati apabila terjadi penyimpangan dan kesalahan [terutama kesalahan-kesalahan yang tidak bisa ditolerir dalam syariat agama yang mulia ini]. Berangkat dari platform di atas maka kami membuka pintu selebar-lebarnya untuk berta’awun dengan seluruh kaum muslimin demi terealisasinya kebaikan dan kemaslahatan, dan demi meminimalisir keburukan dan kerusakan atau bahkan menganulirnya dengan tetap menjadikan syariat sebagai takaran. Dan mungkin perlu kami tegaskan sekali lagi bahwa ormas bukanlah belenggu yang memasung simpul al-wala wal bara’ dengan kaum muslimin yang lain dan bukan pula batu sandungan untuk menguji ke-ahlus sunnah-an seseorang, ormas adalah bagian dari umat dan bukan satu-satunya umat, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-:

وأما رأس الحزب فإنه رأس الطائفة التى تتحزب أى تصير حزبا فإن كانوا مجتمعين على ماأمر الله به ورسوله من غير زيادة ولا نقصان فهم مؤمنون لهم ما لهم وعليهم ما عليهم وإن كانوا قد زادوا فى ذلك ونقصوا مثل التعصب لمن دخل فى حزبهم بالحق والباطل والأعراض عمن لم يدخل فى حزبهم سواء كان على الحق والباطل فهذا من التفرق الذى ذمه الله تعالى ورسوله فإن الله ورسوله أمرا بالجماعة والائتلاف ونهيا عن التفرقة والاختلاف وأمرا بالتعاون على البر والتقوى ونهيا عن التعاون على الإثم والعدوان

Artinya: Adapun pemimpin hizb [golongan] maka dia adalah tokoh suatu kelompok yang dihimpun [maksudnya menjadi golongan independent], jika mereka berkumpul di atas perintah Allah dan Rasulnya tanpa menambah ataupun mengurangi maka mereka termasuk golongan orang mukmin, bagi mereka hak mereka dan atas mereka kewajiban mereka, dan jika mereka telah menambah [dari yang diperintahkan Allah dan RasulNya] dan mengurangi [yang diperintahkan Allah dan RasulNya] contohnya seperti ta’as-shub [fanatik buta] dengan yang bergabung kepada golongannya meskipun mereka memiliki kebenaran dan kebatilan, dan menjauhi orang yang tidak bergabung dengan kelompoknya baik dalam kebenaran ataupun dalam kebatilan, maka ini adalah bagian dari tafarruq [pecah belah] yang dicela oleh Allah dan RasulNya, sesungguhnya Allah dan Rasulnya memerintahkan untuk hidup berjamaah dan menegakkan persatuan, dan juga memerintahkan untuk berta’awun dalam kebaikan dan ketaqwaan dan melarang untuk berta’awun dalam dosa dan permusuhan.[4]

Pembaca yang dimuliakan Allah, platform yang kami goretkan di atas bukanlah hanya slogan belaka, akan tetapi sebuah tekad yang terbingkai syariat dan telah, sedang dan akan kami terjemahkan ke dalam seluruh aktifitas kami, bumi pertiwi menjadi saksi, dan kritikan yang datang menyerang menjadi bukti bahwa kami telah berupaya menerjemahkan sebagian tekad yang membuncah di dada tersebut ke dalam aplikasi nyata, kendatipun kami juga sadar bahwa:

رضى الناس شيء لا يدرك

Artinya: Keridhoan [seluruh] manusia kepada kita adalah hal yang mustahil untuk kita dapatkan.

Ikhwah yang dirahmati oleh Allah, sifat at-Ta’awun dan at-Tanaashuh merupakan dua pilar pokok dalam berinteraksi dengan sesama kaum muslimin, saling bekerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaaan sehingga tegaklah maslahat di tengah kaum muslimin, dan saling menasehati dalam kebenaran ketika diantara kita terjatuh ke dalam lembah penyimpangan sehingga tersebarlah al-haq dan terangkatlah keburukan dan kerusakan, dan sungguh telah kami nukilkan fatwa-fatwa para ulama terkait hal ini di Silsilah Pembelaaan kami yang lalu, akan tetapi demi untuk menyempurnakan faedah, maka akan menukil beberapa dalil dan fatwa tambahan:

v Dalil Dari al-Qur-an

1. Firman Allah: Dan tolong menolonglah kalian dalam mengerjakan kebaikan dan ketaqwaan, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.[5]

2. Firman Allah: dan berpegang teguhlah kalian dengan tali agama Allah dan janganlah kalian bercerai berai.[6]

Kaum muslimin terbagi menjadi tiga (3) kelompok berdasarkan ayat ini[7]:

1. Kelompok yang hanya mengutamakan I’tishom bihablillah [berpegang teguh dengan al-Qur-an dan Sunnah] saja, tanpa memiliki perhatian dengan bagian kedua dari ayat ini, yaitu larangan bercerai berai. Yah benar.. aqidah mereka lurus, manhaj mereka baik, namun sangat disayang mereka kurang “bermudaarah” dengan para penyelisih mereka, mudah mengkritik bahkan tidak jarang pula disertai vonis, seakan slogan mereka adalah “in lam takun ma’ana fa anta ‘aduwwun lana” [jika kamu tidak bersama kami maka kamu adalah musuh kami].

2. Kelompok yang hanya bertegang teguh dengan bagian yang kedua dari ayat ini, mereka ingin menyatukan umat akan tetapi tidak ada sikap tanaashuh [terutama] penyimpangan dalam bidang aqidah, bahkan diantara slogan mereka adalah apapun aqidahnya yang penting bersatu untuk membendung musuh-musuh islam, biasanya slogan mereka adalah “nata’awan fimattafaqnaa wa ya‘dzur ba’dhuna ba’dho fimakhtalafna” [saling bekerjasama dalam hal yang kita sepakati dan saling memberikan udzur atas segala yang kita perselisihkan].

3. Kelompok yang menggabungkan substansi ayat tersebut secara kaffah, berupaya untuk berpegang teguh dengan kitab dan sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah dalam seluruh aspek agama, dan juga berupaya untuk merealisasikan persatuan umat di atas manhaj dan aqidah yang benar, dan berusaha untuk berinteraksi dan berta’awun dengan kaum muslimin seraya menanamkan pemahaman agama yang benar kepada mereka. Duhai alangkah indahnya bila kita mampu mengkolaborasikan kedua hal tersebut, yah memang berat!!, namun lebih berat lagi bila menanggung “aksi” dari dua kelompok di atas, jika kita berhadapan dengan kelompok pertama, maka telunjuk mereka menuding lalu lisan mereka berteriak lantang: kalian adalah ikhwanii kukh [tulen], dan jika kita berhadapan dengan kelompok yang kedua, maka jari mereka menunjuk seraya berseru: kalian adalah wahhabii ekstrem, Alhamdulillahi ‘ala kulli hal.

v Fatwa-Fatwa Para Ulama

1. Fatwa Samahatus Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz –rahimahullah-.

Pertanyaan: Wahai Syaikh yang mulia, jadi yang mengatakan bahwa jamaah islam ini adalah bagian dari kelompok yang menyeru kepada neraka dan yang diperintahkan oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam– untuk ditinggalkan, mereka salah dalam memahami perkataan anda??

Jawaban:Yang menyeru kepada al-Qur-an dan Sunnah tidak tergolong dalam kelompok yang sesat, akan tetapi tergolong dalam al-Firqoh an-Najiyah yang sebutkan oleh Rasulullah dalam haditsnya:”Kaum yahudi berpecah belah menjadi 71 golongan, kaum nasrani berpecah belah menjadi 72 golongan, dan akan berpecah umatku menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu, bertanya para sahabat: siapa mereka wahai Rosulullah???, Rasulullah menjawab:[mereka adalah] yang mengikuti aku dan para sahabatku, dan dalam riwayat yang lain: al-Jamaah.

Maknanya: al-Firqoh an-Najiyah adalah jamaah yang istiqomah [konsisten] di atas jalan Rasulullah dan para sahabatnya, berupa men-tauhid-kan Allah, dan mentaati perintahnya serta menjauhi larangannya, dan konsisten di atas jalan tersebut baik dalam perkataan, amalan, maupun aqidah, maka mereka adalah ahlul haq dan para penyeru kepada hidayah meskipun berbeda negeri….

Beliau menegaskan: kesimpulannya, kriteria [al-Firqoh an-Najiyah] adalah konsistensi mereka di atas kebenaran, jika ada seorang manusia atau suatu jamaah yang menyeru kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, dan menyeru kepada tauhid, dan mengikuti syariatnya maka merekalah yang dimaksud dengan jamaah, dan merekalah yang dimaksud dengan al-Firqoh an-Najiyah. Adapun yang menyeru kepada selain kitab Allah dan sunnah Rasulullah, maka mereka tidak masuk dalam kriteria al-Jamaah, bahkan mereka adalah kelompok yang binasa, sesungguhnya al-Firqoh an-Najiyah adalah penyeru kepada al-Qur-an dan as-Sunnah, kendati mereka ada di jamaah ini atau di jamaah ini yang penting tujuan dan aqidah mereka satu, maka tidak penting masalah penamaan, ini jamaah Ansharus sunnah dan ini jamaah Ikhwanul Muslimin, dan ini jamaah begini. Yang terpenting adalah aqidah dan amalan mereka [sesuai dengan al-Qur-an dan as-Sunnah], jika mereka konsisten di atas kebenaran dan tauhid serta ikhlas di dalamnya lalu berupaya mengikuti Nabi baik perkataan, perbuatan serta aqidah, maka [masalah] penamaan tidak berbahaya….

Beliau juga menegaskan:”dan maksudnya adalah hendaknya kita saling ta’awun [tolong menolong] dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan berupaya untuk menyelesaikan masalah kita dengan ilmu dan hikmah serta metode yang baik, siapa saja diantara jamaah ini yang terjatuh dalam kesalahan atau siapa saja selain dari mereka dalam hal aqidah, atau yang terkait dengan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah ataupun yang diharamkan, maka mereka dinasehati dengan dalil-dalil syar’i dengan penuh kelembutan, hikmah serta metode yang baik, sehingga mereka kembali kepada kebenaran dan menerimanya, dan agar mereka tidak lari dari kebenaran tersebut, inilah kewajiban ahlul islam [yaitu] hendaknya berta’awun dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan saling menasehati diantara mereka, dan hendaknya tidak lemah sehingga para musuh mengeroyok mereka.[8]

2. Fatwa Samahatus Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin –rahimahullah-.

Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin –rahimahullah- dalam sebuah kasetnya: bahwa sikap yang benar terhadap jamaah dakwah adalah berta’awun dengannya, dan hendaknya kita menjadi para du’at kepada kebenaran dan saling bersatu, karena manusia yang paling berhak untuk berta’awun dan bersatu adalah para du’at, maka kewajiban kita terhadap jamaah dakwah adalah berta’awun dengan mereka.[9]

Pembaca yang dirahmati Allah, itulah sekelumit tambahan dari fatwa-fatwa para ulama kita, dan sungguh tersirat dengan jelas dalam fatwa tersebut wasiat untuk saling berta’awun dengan kaum muslimin dan jamaah-jamaah dakwah yang menjamur di medan dakwah, jika kita telisik dengan seksama kumpulan fatwa di atas dan juga fatwa-fatwa yang kami nukil dalam silsilah pembelaan kami yang sebelumnya, maka kita akan bisa memetik sebuah dhabith syar’i [ketentuan syar’i] dalam berta’awun, yaitu hendaknya berta’awun dalam hal kebaikan dan ketaqwaan. Yah benar, ini adalah dhabith [ketentuan] umum dalam berta’awun dengan seluruh kaum muslimin dan jamaah-jamaah islam, adapun untuk berta’awun dengan mubtadi’ atau orang fasiq atau bahkan orang kafir maka ada satu dhabith lagi yang perlu untuk kita perhatikan, yaitu tegaknya maslahat, ringkasnya untuk berta’awun dengan al-mukhalif [ahlul bid’ah, orang yang fasiq atau bahkan orang kafir minimal ada dua dhabith [ketentuan]: pertama: berta’awun dalam kebaikan dan ketaqwaan, kedua: tegaknya maslahat, berkata Ibnu Taimiyah –rahimahullah-:

فإذا تعذر إقامة الواجبات من العلم والجهاد وغير ذلك إلا بمن فيه بدعة مضرتها دون مضرة ترك ذلك الواجب كان تحصيل مصلحة الواجب مع مفسدة مرجوحة معه خيرا من العكس ولهذا كان الكلام فى هذه المسائل فيه تفصيل

Artinya: Jika terhalang penegakan kewajiban-kewajiban berupa ilmu, jihad dan selainnya melainkan dengan bantuan seseorang yang pada dirinya ada bid’ah, dimana mudharatnya tidak sampai seperti mudharat meninggalkan kewajiban-kewajiban tersebut, dan pencapaian mashlahat itu wajib bersama dengan kerusakan yang marjuh (tidak dianggap), maka itu lebih baik dari pada sebaliknya. Olehnya pembahasan masalah ini terdapat perincian padanya“.[10]

Berkata Ibnu Qoyyim –rahimahullah-:

أن المشركين وأهل البدع والفجور والبغاة والظلمة إذا طلبوا أمرا يعظمون فيه حرمة من حرمات الله تعالى أجيبوا إليه وأعطوه وأعينوا عليه وإن منعوا غيره فيعاونون على ما فيه تعظيم حرمات الله تعالى لا على كفرهم وبغيهم ويمنعون مما سوى ذلك فكل من التمس المعاونة على محبوب لله تعالى مرض له أجيب إلى ذلك كائنا من كان ما لم يترتب على إعانته على ذلك المحبوب مبغوض لله أعظم منه

Artinya:[dan diantara faedah yang bisa dipetik dari peristiwa Perjanjian Hudaibiyah] adalah: bahwa jika ada kaum musyrik, ahlul bid’ah ataupun orang yang suka berbuat keji dan dhalim yang mengajak kepada perkara untuk mengagungkan salah satu syiar diantara syiar-syiar Allah, maka penuhilah dan tolonglah dia meskipun mereka melarang [syiar-syiar yang lain], maka kita membantu mereka dalam hal pengagungan syiar Allah, bukan untuk [menolong] kekufurannya dan kedhalimannya, dan barang siapa yang mengajak untuk bekerja sama dalam hal yang dicintai oleh Allah dan diridhoiNya, maka [seyogyanya] dipenuhi, siapapun dia, sepanjang kerjasama [tersebut] tidak membawa kepada hal yang dibenci Allah lebih besar.[11]

Ikhwah fillah, mungkin kita bersepakat bahwa maslahat yang menjadi ‘illah [faktor] yang menjadi mubarrir [legitimasi] ta’awun kita dengan para mukhalif berderajat dan bertingkat-tingkat, maka alangkah baiknya apabila kami membahas mengenai hal ini.

  • Berta’awun dalam rangka menghadapi musuh yang lebih besar

Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah- dimintai fatwa dalam sebuah kesempatan:

Pertanyaan: Telah terbentuk di Sudan Front Islam yang bergabung di dalamnya banyak jamaah pergerakan dan kelompok sufiyah dan barisan salafiyah, kemudian terjun dalam dunia politik dalam rangka membendung arus pemikiran komunisme dan gerakan westernisasi [pembaratan], bolehkah kami mengetahui pendapat syaikh yang mulia terkait dengan gerakan ini yang menggabungkan berbagai arus pemikiran???

Jawaban: adalah hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa tolong menolong dengan sesama kaum muslimin untuk membendung pemikiran destruktif [merusak], seruan-seruan menyesatkan, kristenisasi, gerakan komunisme, dan pemikiran Ibahii [semuanya boleh] merupakan salah satu kewajiban terbesar dan salah satu jenis jihad yang mulia, berdasarkan firman Allah –subhanahu wa ta’ala-:

Dan tolong menolonglah kalian dalam mengerjakan kebaikan dan ketaqwaan, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.[12]………

Beliau menegaskan: dan masih banyak lagi ayat dan hadits yang serupa, maka kami berdoa kepada Allah semoga memberikan taufiq kepada front tersebut agar mampu memenangkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan dan menghinakan para penyerunya, dan tidak lupa saya memberikan nasehat kepada front tersebut untuk membersihkan shaf mereka dari hal-hal yang menyelisihi agama Allah dan saling memberikan nasehat dengan mengajak untuk beristiqomah dan komitmen dengan syariat Allah…..[13]

Pembaca yang budiman, fatwa yang keluar dari lisan bijak di atas adalah bukti adanya perincian dalam berta’awun dengan orang yang menyelisihi kita baik ahlul bid’ah ataupun selain mereka, maka demi untuk membendung pemikiran-pemikiran yang sangat menyimpang seperti Syiah, Ahmadiyah, Islam Jamaah, ataupun aliran destruktif semacam Liberalisme, Sekulerisme, Terorisme dan lain sebagainya, apatah lagi bila berhadapan dengan ancaman kristenisasi, sangat diperlukan bagi umat islam untuk merapatkan shafnya, saling tolong menolong untuk berkonfrontasi dengan gerakan-gerakan di atas, dengan tidak mengabaikan semangat untuk membersihkan shaf dari penyimpangan dengan saling menasehati penuh hikmah dalam ketaqwaan.

Setelah pembahasan ini, maka “keluhan” akh Sofyan Kholid terkait duduknya asatidzah kami dengan tokoh Ikhwanul Muslimun adalah dalam rangka membedah Fitnah Terorisme termasuk dalam kategori hal ini, yaitu menghadapi mafsadat [kerusakan] yang lebih besar yang berpotensi mengancam kelangsungan dakwah ini. Mungkin ikhwah “salafiyun” akan mengatakan: Bukankah ada para asatidzah “salafiyin” yang bisa diajak berpanel untuk membahas masalah tersebut??, maka kembalikan pertanyaan tersebut kepada mereka: Berkenankah para asatidzah “salafiyin” duduk berpanel dengan para asatidzah kami???.

  • Berta’awun Dalam Rangka Menghadirkan Kemaslahatan Umum

Yaitu tolong menolong untuk memberikan bantuan kepada kaum muslimin yang membutuhkan, mengirimkan bantuan makanan dan pakaian kepada korban bencana alam dan musibah lainnya, mengirimkan bantuan untuk saudara-saudara kita di palestina dan negeri-negeri yang lainnya, apatah lagi jika yang memiliki akses kuat ke tempat-tempat bencana dan memiliki lembaga yang berdedikasi dalam hal tersebut memang orang-orang yang memiliki penyimpangan dalam agamanya, dan tidak ada lembaga ahlus sunnah yang bisa menjadi andalan dalam bidang ini sehingga kita bisa bergandengan tangan untuk menyalurkan bantuan kita kepada kaum muslimin yang tertimpa musibah.

Adapun dalil tentang hal ini, maka semua dalil-dalil umum tentang perintah untuk berta’awun bisa dijadikan landasan, contohnya firman Allah:“Dan tolong menolonglah kalian dalam mengerjakan kebaikan dan ketaqwaan, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.[14]

  • Berta’awun Dalam Bidang Yang Menjadi Spesialisasi Para Penyelisih Kita

Mungkin inilah masalah yang terpelik, sehingga menimbulkan polemik diantara sesama ahlus sunah. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa bab [masalah] ini adalah cabang dari bab ar-Riwayatu ‘Anil Mubtadi’ [mengambil riwayat dari ahlul bid’ah]. Sebagian ulama kita merajihkan pendapat yang mengatakan bahwa yang ditolak riwayatnya adalah perawi yang mengingkari sesuatu yang mutawatir dalam agama ini, maka barang siapa [yang penyelewengannya] belum sampai pada derajat ini, apalagi jika perawi tersebut memiliki dhabth [kemampuan ilmiyah seperti hafalan dan lain sebagainya] yang mumpuni disamping sifat wara’nya dan taqwanya, maka riwayatnya diterima[15], ini adalah pendapat Ibnu Hajar al-‘Asqolani, syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Muhammad Bakhit al-Muthi’ii dan Syaikh Abdul Karim al-Khudhoir. Apatah lagi jika kita meriwayatkan ilmu [menjadikan mereka narasumber] dalam masalah yang tidak berhubungan dengan bid’ahnya.

Berkata Ibnu Sholah –rahimahullah-, ketika membantah orang yang melarang mengambil riwayat dari ahlul bid’ah secara mutlak:”pendapat ini menyelisihi kebiasaan yang tersebar di kalangan ulama hadist, sesungguhnya buku mereka penuh dengan riwayat dari ahlul bid’ah”.[16]

Berkata Ali bin al-Madinii –rahimahullah-:

لو تركت أهل البصرة لحال القدر ولو تركت أهل الكوفة لذلك الرأي يعنى التشيع خربت الكتب

Artinya: Jika seandainya kita meninggalkan riwayat-riwayat [hadits] dari penduduk Bashrah karena bid’ah qodariyah-nya, dan juga meninggalkan riwayat-riwayat [hadits] dari penduduk Kufah disebabkan pemikiran Syi’ahnya [yang berkembang di sana] maka niscaya akan rusak buku-buku hadits.[17]

al-Imam Bukhari –rahimahullah– meriwayatkan hadits di dalam kitab Shahihnya dari seorang rawi yang bernama Imran Bin Hatthan, siapakah gerangan dia??, berkata al-Mubarrid –rahimahullah-: Dia adalah gembong Qo’adiyah [salah satu sekte khawarij], berkata Ibnu Hajar : Dia seorang penyeru kepada bid’ahnya.[18]

Jikalau memang ini yang ditaqrir bahkan yang beredar di kalangan ulama salaf kita, yang mana dominasi ahlus sunnah pada saat itu lebih kuat, maka bagaimana pula dengan zaman kita saat ini?? Yang mana ahlul bid’ah lebih “superior” dibandingkan ahlul sunnah??.

Contoh ta’awun kami dalam masalah ini adalah kerjasama kami dengan NU dalam pembahasan tentang Ru’yatul Hilal, kerjasama kami dengan DEPAG dalam hal ru’yatul hilal untuk menetapkan awal bulan ramadhan dan ‘Idul Fitri, kerjasama kami dengan MUI dalam menegakan dakwah islam, kerjasama kami dengan Muhammadiyah dalam masalah ilmu tentang Hisab, dan kerjasama sebagian kader kami dengan majalah Qiblati dalam masalah Fajar Shodiq dan contoh-contoh yang lainnya.

Perhatian: Jika kelompok “salafi” memvonis seluruh lembaga yang kami sebutkan di atas sebagai ahlul bid’ah, maka ta’awun kami dengan mereka masuk dalam kategori yang kami jelaskan di atas, namun jika kelompok “salafi” tidak memvonis mereka sebagai ahlu bid’ah, maka ta’awun kami dengan mereka adalah ta’awun dengan sesama ahlus sunnah, Alhamdulillah.

Adapun “keluhan” akh Sofyan Khalid kepada kami terkait Dr Qasim Mathor MA, ketahuilah wahai saudaraku, bahwa duduknya para astidzah kami dengannya bukan dalam rangka untuk berta’awun, akan tetapi untuk bermunadharah [berdebat] dan untuk menghancurkan pemikiran yang saat itu sedang berkembang di tengah masyarakat, yaitu pemikiran kufur tentang pluralisme dan liberalisme. Sebagaimana yang kita ketahui [pada waktu itu] bahwa kedua pemikiran tersebut tengah merebak di tengah kaum muslimin bak jamur di musim hujan, terbit buku-buku tentang pemikiran ini di pasaran, seminarpun marak diadakan demi mengukuhkan madzhab tersebut, maka tergeraklah hasrat para usatidzah kami untuk menyumbang saham dalam rangka membendung arus pemikiran kotor ini, maka diadakanlah debat ilmiyah di UIN, meski para ustadz kami tidak bisa memenangkan debat tersebut secara mutlak di akhir acara, namun kami juga tidak berhak divonis kalah, para asatidzah kami berupaya menjelaskan dan mematahkan syubhat-syubhat yang ditebarkan, bangkit pula para asatidzah dan ikhwah yang lain –yang menjadi pendengar- untuk membantu, ironisnya, kelompok “salafi” bukannya turut menyingsingkan lengan baju demi mengkritik Qasim Mathor, namun justru kami yang kena tulahnya, bahkan hal ini merupakan bukti [menurut mereka] bahwa kami menyelisihi manhaj salaf dan merupakan salah satu indikasi bahwa kami adalah ahlul bid’ah!!. Allah musta’an.

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- mengatakan:

فكل من لم يناظر أهل الإلحاد والبدع مناظرة تقطع دابرهم؛ لم يكن أعطى الإسلام حقه، ولا وفَّى بموجَب العلم والإيمان، ولا حصل بكلامه شفاء الصدور، وطمأنينة النفوس

Artinya: Dan semua yang belum mendebat ahlul ilhad [orang kafir] dan ahlul bid’ah dengan debat yang mematahkan kekuatan mereka, maka belum memberikan untuk islam sesuai haknya, dan belum pula melaksanakan konsekwensi ilmu dan iman, dan perkataannya belum menentramkan dada, serta menenangkan hati.[19]

Syaikh Muhammad bin Sholih al’Utsaimin pernah ditanya tentang hukum debat:

Redaksi pertanyaan: apa hukum mengadakan debat antar agama, sebagaimana yang dilakukan Syaikh Ahmad Dedat dengan pendeta Nasrani??

Jawaban: Debat antara kaum muslimin dan orang kafir hukumnya wajib jika ada hajat [kebutuhan] untuk melakukannya….. kemudian beliau menyebutkan dalil dan syarat-syarat untuk bermunadharah.[20]

Jika kita menilik manhaj ulama salaf dalam menghadapi ahlul bid’ah secara umum, maka kita akan dapatkan bahwa sebagian mereka menggunakan metode debat untuk membabat syubhat para ahlul bid’ah, dan tentunya metode ini memiliki dhawabith [ketentuan-ketentuan] syar’i. Adapun manhaj yang kedua adalah dengan membantah mereka melalui tulisan dan buku tanpa menggunakan metode debat, dan metode yang kedua lebih masyhur dibandingkan metode yang pertama, Allahu a’lam.

Adapun keluhan akh Sofyan Khalid bahwa duduknya kami dengan ahlul bid’ah berpotensi untuk menjadikan umat tertipu dengan kesesatan ahlul bid’ah tersebut, dan bahwa hal itu akan menjadikan kaum muslimin terkelabui sehingga akan menjadikan ahlul bid’ah tersebut sebagai rujukan dalam masalah agama, maka kami jawab:

v Pembahasan akh Sofyan Khalid adalah benar, namun perlu sedikit rincian, mungkin kita perlu untuk meneliti dahulu munasabah [momentum] dari pertemuan tersebut, jika dalam rangka untuk bermunadharah dan berdebat serta demi menjelaskan kepada umat syubhat-syubhat mereka yang memang meresahkan kaum muslimin serta diekspos di seluruh negeri baik dalam bentuk buku ataupun dalam bentuk yang lain, maka akan hilanglah dugaan tersebut, apalagi ada qudwah dari sebagian nabi dan ulama kita yang berdebat dengan para penyelisih dakwah. Contohnya: Nabi Musa berdebat dengan Firaun, Nabi Ibrahim berdebat dengan kaumnya, Abdullah bin Abbas mendebat khawarij, Ja’far as-Shodiq berdebat dengan seorang Rafidhah[21], Imam Ahmad berdebat dengan Ibn Abi Du’ad, adapun contoh dari tokoh-tokoh kontemporer diantaranya syaikh Ahmad Deedat dan Zakir Naik berdebat dengan para pendeta, Syaikh DR. Utsman bin Muhammad al-Khomiis berdebat dengan rafidhah dan lain-lain.

v Jika kita meneliti fenomena di negeri kita yang tercinta, maka kita akan mengetahui bahwa pada jaman ini telah terjadi pergeseran nilai yang luar biasa, contoh segarnya adalah tokoh yang menjadi referensi umat islam mayoritasnya adalah tokoh yang memiliki penyimpangan dalam agamanya, bagaimana tidak??, hal ini disebabkan kaum muslimin secara umum menilai kwalitas keilmuan berdasarkan gelar akademik yang disandang seseorang tanpa menelisik kwalitas keilmuan dan manhaj yang dititi oleh tokoh tersebut, berangkat dari hal inilah banyak muncul para muta’aalim [orang yang sok tahu] yang kemudian dikukuhkan sebagai narasumber dalam agama, ironisnya lagi, hampir seluruh perguruan tinggi yang menjadi pusat pengkaderan tokoh-tokoh tersebut terkontaminasi dengan ilmu kalam, liberalisme dan hal-hal lain yang dijejalkan oleh para orentalis ke dalam tubuh kaum muslimin, tentunya ini merupakan ancaman yang luar biasa bagi umat, nah disinilah peran para asatidzah ahlus sunnah untuk “menandingi” tokoh-tokoh tersebut, berupaya untuk mengubah persepsi salah dari kaum muslimin di atas, dan bisa jadi –untuk jaman sekarang- berdebatnya asatidzah ahlus sunnah yang memiliki kapasitas ilmu mumpuni dengan para tokoh yang memiliki penyimpangan tersebut akan justru menyibak tabir syubhat yang mereka tebarkan serta membuka mata kaum muslimin bahwa kwalitas ilmu bukan diukur dengan gelar akademik semata, lihainya seseorang membolak-balikkan kata, mahirnya beretorika, akan tetapi juga ditilik dari tingginya ilmu seseorang dan kevalidan sumber ilmu tersebut, yaitu alqur’an dan sunnah dengan pemahaman salaful ummah, serta implementasi nyata dari ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari, wallahu a’lam.

Ikhwah yang dirahmati Allah, inilah klarifikasi dari kami terkait aktifitas ta’aawun kami dengan kaum muslimin, semoga bisa menjadi penyegar dari dahaga dan penetralisir buruknya dugaan. Wa shallallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala alihi wa ashaabihi ajma’iin.

Pdf Version



[1]. Berbeda antara manhaj salaf dengan orang yang berintisab kepada manhaj salaf, manhaj salaf adalah manhaj ma’shum, sangat berbeda dengan orang yang berintisab kepada manhaj tersebut.

[2] . Redaksi asli dari pepatah di atas adalah :

حبك للشيء يعمي و يصم

Artinya: Rasa cintamu kepada sesuatu menjadikan kamu buta [tidak melihat keburukannya] dan tuli [tidak mendengar keburukannya]

Kami yang merubah redaksinya, karena buah yang bisa dipetik dari kedua sifat tersebut sama persis, wallahu A’lam.

[3].Minhajus sunnah 6/150

[4]. Majmu-ul Fatawa 11/92 versi Maktabah Syamilah

[5]. Al-Maidah ayat 2

[6]. Ali Imran ayat 103

[7]. Sebagaimana dijelaskan oleh Fadhilatus Syaikh prof Dr Ibrahim ar-Ruhaili –hafidhohullah- dalam sebuah muhadharahnya di Malang, dan pernah dimuat di majalah Qiblati, dan redaksi kalimat yang ada dalam artikel ini dari team alinshof.

[8] . http://www.binbaz.org.sa/mat/1931

[9] . Kaset liqo-us syaikhain Ibnu al-Utsaimin wa Rabi’ kaset kedua side B

[10] . Lihat: Majmu’ al-Fatawa, 28/212 versi almaktabah as-syamilah

[11] . Zaadul Ma’ad 3/267 versi almaktabah as-syamilah

[12]. Al-Maidah ayat 2

[14]. Al-Maidah ayat 2

[15] . Lihat al-Hadits ad-Dhoif wa Hukmu Ihtijaji Bihi karya Syaikh Abdul Karim al-Khudhoir hal. 166

[16] . ‘Ulumul Hadits karya Ibnu Sholah hal. 104 menukil dari al-Hadits ad-Dhoif wa Hukmu Ihtijaji Bihi karya Syaikh Abdul Karim al-Khudhoir

[17] . Lihat al-Kifayah Fi Ilmir Riwayah 1/129 versi Maktabah Syamilah

[18]. Lihat al-Hadits ad-Dhoif wa Hukmu Ihtijaji Bihi karya Syaikh Abdul Karim al-Khudhoir hal. 164

[19] . Majmu’ul Fatawa 20/164-165

[20] . Lihat as-Shahwah al-islamiyah Dhawabith wa Taujihat hal 160-161

[21] . Kami memiliki kitabnya, kitab tersebut ditahqiq oleh Dr Ali as-Syibl.

One thought on “SILSILAH PEMBELAAN PARA ULAMA DAN DU’AT JILID 2”
  1. alhamdulillaah semakin jelas bagi anaa bawah Ormas Wahdah Islamiyah salah satu lembaga dakwah salaf murni hari ini dan masa yg akan datang, insya Alloh. terus jelaskan kepada umat akan bahaya pengikut hawa nafsu yg suka membid'ahkan tanpa ilmu, semoga Alloh mengampuni mereka, amien.

Tinggalkan Komentar

By admin