Menjawab Syubhat Bagian V
Tulisan Kedua
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام علي رسوله الأمين وعلي آله وأصحابه الطاهرين ومن اهتدي بهداهم إلي يوم الدين, أما بعد :
Ikhwah yang dirahmati Allah, artikel ini adalah lanjutan dari Silsilah Pembelaan yang sebelumnya, yang mengupas tentang sikap kami kepada jamaah Ikhwanul Muslimin, goretan ini merupakan bukti bahwa sikap yang kami ambil terkait jamaah ini bukanlah bermuara pada nafsu belaka, namun tegak di atas taujih para ulama kita serta sikap hati-hati terhadap kehormatan kaum muslimin, semoga goretan ini bisa menjadi penetralisir bagi buruknya sangkaan dan jeleknya dugaan, selamat menyimak.
· Fatwa Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah-.
1. Seseorang berkata kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin al–Albani –rahimahullah-, redaksinya:”Wahai syaikh, dalam masalah yang berkaitan dengan jamaah hizbiyah saya sudah menyimak jawaban anda secara terperinci dan jelas, ada sebagian penuntut ilmu yang mengatakan, tentang Ikhwanul Muslimin misalnya, jamaah ini manhajnya keluar dari ahlus sunnah wal jamaah dan termasuk kelompok yang binasa, adapun personalmya maka mereka divonis sesuai dengan haknya, dan saya telah menyimak fatwa anda bahwa manhaj mereka sebagian masuk dalam kelompok yang binasa dan sebagian yang lain masuk dalam manhaj ahlus sunnah wal jamaah, maka mereka [Ikhwanul muslimin] dalam hal manhaj masuk dalam kategori ahlus sunnah wal jamaah, adapun secara personal maka mereka divonis sesuai dengan penyelisihannya.
Beliau menjawab: Memang benar begitu[1]……
2. Syaikh Abul Hasan al-Ma’aribii –hafidhahullah– mengadakan jilsah dengan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –raimahullah–, lalu terjadilah dialog antara beliau dengan Syaikh, beliau [Abul Hasan] mengatakan:”Jadi sekarang telah jelas bagi kami wahai syaikh, dan juga bagi para ikhwah yang menghadiri pertemuan pertama yang dihadiri para penutut ilmu senior [mereka memahami bahwa syaikh memvonis IM keluar dari barisan ahlus sunnah pada pertemuan pertama pent.], sehingga kemudian para ikhwah bertanya-tanya “kami belum pernah mendapatkan syaikh berfatwa bahwa kelompok-kelompok yang menyelisihi kita masuk dalam kategori 72 golongan yang binasa, namun yang kami dapatkan adalah Syaikh mengkritik dan mentahdzir [memperingatkan] kesalahan-kesalahan mereka tanpa memvonis mereka [sebagai ahlul bid’ah pent.], nah sekarang sangat jelas bagi kami bahwa anda mentaqyid bahwa perbuatan ini [yang dipertanyakan pada saat itu berupa penyimpangan IM] yang menyimpang dari jalan ahlus sunnah, dan ini tidak berarti bahwa mereka telah keluar dari barisan ahlus sunnah.
Syaikh menjawab: inilah yang kami yakini, saya sangat yakin bahwa saya tidak mengatakan bahwa mereka [IM] termasuk kelompok sesat, karena saya sangat sering ditanya tentang hal ini, saya tidak yakin pada pertemuan itu saya mengatakan perkataan itu [memvonis bahwa IM keluar dari barisan ahlus sunnah], dan pada waktu itu saya sangat berhasrat untuk mendengarkan kaset [yang merekam muhadharah syaikh pada waktu itu], sehingga jika memang telah terjadi suatu kesalahan meskipun hanya kesalahan secara lafadz saja maka kami siap untuk taraju’ [bertaubat] darinya…
Beliau juga menegaskan:”oleh karena itu, saya secara pribadi tidak merestui bagi seorangpun untuk menggolongkan mereka [IM] kepada kelompok sesat.[2]
Pembaca yang budiman, sengaja kami angkat fatwa beliau ini, agar bisa menjadi pembanding bagi fatwa yang dinukil oleh akh Sofyan Kholid dari Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah-, dan agar bisa menjadi bahan pertimbangan untuk mentarjih sikap yang benar kepada jamaah ini, apatah lagi sungguh sangat besar indikasinya bahwa fatwa yang kami nukil ini adalah klarifikasi dari fatwa yang dinukil akh Sofyan Khalid.
· Fatwa Fadhilatus Syaikh Abul Hasan al-Ma’aribii al-Mishri –hafidhahullah-.
Dalam sebuah kaset acara tanya jawab berjudul “al-As-ilah al-Indunisiyah” beliau mengatakan:”Ikhwanul Muslimin adalah salah satu kelompok ahlus sunah, akan tetapi kemudian masuk ke dalamnya arus pemikiran yang lain [yang menyelisihi ahlus sunah], maka hukum asalnya mereka adalah ahlus sunnah, kemudian kita vonis setiap personalnya sesuai dengan haknya, jika muncul dari salah satu personalnya hal-hal yang menyelisihi sunnah maka divonis sesuai dengan penyelisihannya“.
Dan jangan pernah pula menutup mata kepada petuah para ulama kita ketika mereka ditanya tentang jamaah-jamaah islam:
أقلوا عليهم لا أبا لأبيكم من اللوم أو سدوا المكان الذي سدوا
Artinya: Minimalisirlah celaan kepada mereka, atau tutupilah celah yang mereka tinggalkan.[3]
Ikhwah yang dirahmati oleh Allah, inilah secuil dokumentasi kami berupa fatwa-fatwa ulama rabbani terkait dengan pandangan mereka terhadap jamaah-jamaah islam yang tumbuh di tengah medah dakwah, semoga bisa menjadi pembanding bagi fatwa-fatwa yang dinukil akh Sofyan Khalid, dan ini juga berarti bahwa pandangan kami tentang jamaah kaum muslimin [khususnya Ikhwanul Muslimin] berpijak pada fatawa para ulama rabbani dan bukan berasal dari akal-akalan kami semata.[4]
Ikhwah fillah, adapun tentang Fatwa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz –rahimahullah– di Thaif [kira-kira dua tahun sebelum Syaikh wafat] yang disebutkan oleh akh Sofyan Kholid, maka dengan penuh kerendahan hati lisan kami mengatakan:
ý Kami [salah seorang team alinshof] telah menanyakan fatwa tersebut kepada Fadhilatus Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin hafidzahullah (seorang ulama terpandang di Saudi Arabiyah, murid Fadhilatus Syaikh Abdulllah bin Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selama 15 tahun, juga murid Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, sekaligus keluarga dekat dan murid al-Allamah Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah, dan kini menjadi salah seorang asisten Mufti al-Aam kerajaan Saudi Arabiyah Fadhilatus Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, beliau penulis banyak kitab diantaranya: Tas-hil al-Aqidah al-Islamiyah, Dhawabith at-Takfir al-Mu’ayyan, Syarh Umdah al-Fiqh, Majmu’ ar-Rasaail al-Fiqh, al-Iqna’ lil Hafidz Ibn Al-Mundzir, Majmu’ al-Qashash wa Ahkbar min Shahih as-Sunnah wa al-Atsar, Qashash Islam as-Shahabah, al-Yahuud, dan selainnya), beliau mengatakan:”ini bukan sikap [Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz] yang masyhur terhadap jamaah-jamaah islam”.
Dan jika kita telisik fatwa-fatwa yang kami nukil di atas, maka kita akan menemukan cukup banyak fatwa dari fadhilatus syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz –rahimahullah-, baik dalam kapasitasnya sebagai ketua umum Komisi Fatwa Saudi Arabiyah maupun dari pribadi beliau, sedangkan fatwa beliau di Thaif dalam suatu munasabah tertentu, maka ada kemungkinan munculnya dhuruf [keadaan] tertentu yang “memaksa” beliau berfatwa begitu, bukankah akh Sofyan Khalid mengatakan:” padahal saya yakin mereka [WI] paham bahwa para ulama memberikan jawaban sesuai pertanyaan dan melihat kondisi orang yang bertanya, sehingga tidak bisa mengambil kesimpulan dari satu fatwa ulama, tanpa melihat fatwa-fatwa yang lainnya.
Meskipun demikian, kami tidak menutup mata terhadap kritikan-kritikan para ulama yang ditudingkan kepada jamaah-jamaah [Ikhwanul Muslimin secara khusus], namun tersirat dari sebagian fatwa para ulama kita semangat untuk menasehati mereka dengan lembut dan hikmah, taujih untuk saling berta’awun dengan mereka, semangat untuk meruntuhkan belenggu hizbiyah sehingga kita semua menjadi satu jamaah di bawah naungan satu aqidah yang benar.
ý Taruhlah sebagian ulama telah mengumandangkan rujuk mereka dari mentazkiyah jamaah Ikhwanul Muslimin sebagaimana yang dinukil oleh akh Sofyan Kholid, lalu bagaimana dengan sebagian ulama yang belum menyatakan dengan sharahah rujuk mereka??.
ý Jika kita mencermati silsilah fatwa para ulama terhadap jamaah Ikhwanul Muslimin, maka mungkin kita bisa mendapatkan dua faktor tambahan yang memantik berubahnya fatwa para ulama kita selain yang disebutkan akh Sofyan[bahwa para ulama memberikan jawaban sesuai pertanyaan dan melihat kondisi orang yang bertanya], kedua hal tersebut adalah:
A. Para ulama kita belum menyingkap hakikat dari jamaah tersebut kecuali di belakang hari, sehingga mereka kemudian merubah fatwa terhadap jamaah ini.
Menurut kami faktor ini sangat lemah, pasalnya usia jamaah tersebut hampir sebanding dengan usia para ulama kita, bahkan sebagian ulama kita memiliki hubungan dengan tokoh jamaah tersebut[Ikhwanul Muslimin], hal ini sebagaimana disebutkan oleh syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah-:”Dan dahulu aku [kalimat tidak jelas] pernah mengadakan surat menyurat dengan al-Ustadz Hasan al-Banna –rahimahullah-, dan mungkin sebagian dari kalian [yang hadir di tempat itu] masih ingat tentang terbitnya Majalah Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang diterbitkan oleh jamaah Ikhwanul Muslimin tentunya, pada saat itu Syaikh Sayyid Sabiq mulai menerbitkan makalahnya tentang Fiqih Sunah secara berseri di majalah tersebut, yang dikemudian hari makalah tersebut dicetak menjadi buku sehingga bermanfaat bagi kaum muslimin.
Ketika makalah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq terbit secara berseri dan kemudian dicetak menjadi buku, maka saya mulai menelaahnya dan ketika makalah tersebut akan naik cetak, saya mendapatkan beberapa kesalahan dalam makalah tersebut, maka kemudian saya bersurat kepada majalah Ikhwanul Muslimin dengan menyertakan kritikan-kritikan terhadap makalah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq dan meminta kepada pihak majalah untuk menerbitkan kritikan tersebut ternyata mereka terbitkan, dan tidak cukup sampai disitu, ternyata Syaikh Hasan al-Banna -rahimahullah- menulis surat dukungan kepadaku, akan tetapi sungguh sangat disayangkan ternyata surat tersebut telah hilang dariku, saya tidak tahu dimana keberadaannya [sekarang].
Kemudian kita sering membahas tentang Hasan al-Banna –rahimahullah-, maka saya katakan di hadapan para saudaraku, dan juga saudara kami para salafiyin dan di hadapan kaum muslimin, jika seandainya Syaikh Hasan al-Banna tidak memiliki keutamaan kecuali mengeluarkan para pemuda islam dari gedung-gedung bioskop dan kafe-kafe, lalu mengumpulkan mereka di atas dakwah islam, sekali lagi, seandainya beliau tidak memiliki keutamaan kecuali hal itu, maka itu sudah cukup sebagai keutamaan, dan ini saya katakan dengan penuh keyakinan bukan dalam rangka bermujamalah [basabasi] ataupun bermudahanah [menjilat].[5]
Dan tentunya masih sangat segar dalam benak kita, tentang syafaat dari Fadhilatus Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz –rahimahullah- atas Sayyid Quthb –rahimahullah-, agar Presiden Jamal Abdun Nashir membatalkan eksekusi hukuman gantung atas Sayyid.
Dua realita sejarah yang terpahat di tiang-tiang waktu ini tentunya tidak akan bisa terhapus, dan ini merupakan dalil otentik akan “keharmonisan” para ulama kita dengan tokoh jamaah Ikwanul Muslimin, dan ini mengukuhkan suatu keyakinan bahwa para ulama kita telah mengerti dan memahami manhaj dakwah yang dibangun oleh generasi awal tokoh Ikhwanul Muslimin, sebab jika tidak, maka ini sama dengan menuding bahwa para ulama kita berfatwa tanpa ilmu.
B. Kemungkinan pemicu yang lain, bahwa jamaah Ikhwanul Muslimin yang eksis saat ini telah menyeleweng dari khittah dakwah yang dibangun oleh pendirinya, dan inilah mungkin yang diisyaratkan oleh Syaikh Abul Hasan al-Ma’aribii –hafidhahullah- dalam fatwanya di atas:” Ikhwanul Muslimin adalah salah satu kelompok ahlus sunah, akan tetapi kemudian masuk ke dalamnya arus pemikiran yang lain [yang menyelisihi ahlus sunah], maka hukum asalnya mereka adalah ahlus sunnah, kemudian kita vonis setiap personalnya sesuai dengan haknya, jika muncul dari salah satu personalnya hal-hal yang menyelisihi sunnah maka divonis sesuai dengan penyelisihannya”, Wallahu ta’ala a’lam.
Adapun tudingan akh Sofyan Khalid bahwa kami berpegang dengan fatwa mujmal [global] dari para ulama, maka kami katakan bahwa sebagian fatwa yang antum nukil dari para ulama juga mujmal, ambillah contoh fatwa fadhilatus Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utaimin dan fadhilatus Syaikh Bakr Abu Zaid –rahimahumallah-, kedua fatwa tersebut juga sangat mujmal [global].
- Ikhwah yang dirahmati oleh Allah, setelah jaulah yang cukup melelahkan ini, yang diiringi pergulatan seru dengan fatwa-fatwa para ulama kita, maka saatnya kami mengumandangkan sikap terhadap jamaah ini, bahwa kami mendukung manhaj mereka yang sesuai dengan manhaj salaf, dan mengingkari manhaj mereka yang menyelisihi manhaj salaf, adapun secara personal maka hukum asalnya mereka adalah ahlus sunnah, kecuali yang menampakkan penyelisihan terhadap manhaj ahlus, maka kami memvonisnya sesuai dengan penyimpangan mereka[6], sungguh besar harapan kami, yaitu harapan agar pandangan ini bisa mengakomodir seluruh perkataan para ulama kita, sehingga kami tidak terjerembab ke dalam tuduhan yang dibidikan:”Berdusta atas Nama Ulama demi Membela Kelompok Bid’ah Ikhwanul Muslimin”.
Pembaca yang budiman, mungkin akan terbetik dalam benak mereka [kelompok “salafi”] sebuah ungkapan:”Duhai alangkah besarnya pembelaan kalian kepada IM, dan alangkah besarnya permusuhan kalian kepada para “salafiyyun”, tasyabahat quluubuhum!!!, maka dengan lisan kelu kami mengatakan:
v Menurut kami, inilah yang diwejangkan oleh para ulama kita kepada segenap kaum muslimin, mereka mentaujih kita untuk saling ta’awun [kerjasama] dalam kebaikan dan saling tanaashuh [mensehati] apabila diantara kita terjatuh ke dalam penyimpangan, dan fatwa-fatwa menghiasi lembaran-lembaran silsilah ini adalah salah satu buktinya.
v Menurut kami, hal ini adalah konsekwensi dari manhaj al-wala wal bara’, berupaya untuk menegakan sikap al-wala’ [loyal] yang sempurna kepada kaum muslimin dan para ulamanya, dan menegakkan sikap al-bara’ [benci] yang sempurna kepada orang kafir, adapun kepada kaum muslimin yang terjatuh ke dalam kesalahan ataupun bid’ah [selama belum mengeluarkannya dari barisan ahlus sunnah] maka kita tegakkan kepadanya sikap al-wala sepadan dengan keimanannya dan sikap al-bara’ setimpal dengan penyimpangannya, adapun sikap hajr [boikot] dan tahdzir maka dipraktekkan selaras dengan tegaknya maslahat.
v Menurut kami, pembelaan dan dukungan kami bukan hanya kepada jamaah Ikhwanul Muslimin saja, akan tetapi kepada seluruh kaum muslimin, terkhusus yang menjadikan al-Qur-an dan as-Sunnah sebagai pedoman, dan ini nampak dengan jelas pada nama ormas kami Wahdah Islamiyah [Persatuan Islam], bagi kami ormas bukanlah “pagar” yang mengungkung al-wala wal bara’ kita, prinsip kami ta’awun [bekerja sama] di atas kebenaran dan tanaashuh [saling menasehati] dalam kebaikan serta mencoba mengatasi problematika keumatan [misalnya bid’ah dan syirik] dengan cara yang lembut dan bijak, dan kami berupaya sekuat tenaga untuk menyatukan umat dalam satu aqidah yang benar.
v Menurut kami, biasnya silaturrahmi antara kami dengan kelompok “salafi”[7] bukanlah aksi dari kami, akan tetapi hal ini hanyalah reaksi yang dipantik oleh aksi-aksi negatif asatidzah ataupun kader kelompok “salafi”, mereka mentahdzir, mencela, menghajr, mempengaruhi kader-kader, memvonis kami, bahkan mencoba membenturkan kami dengan pemerintah. Dan aksi-aksi ini tidak hanya terjadi di negeri tercinta ini, akan tetapi juga terjadi di Universitas Islam di al-Madinah al-Munawwarah, sebagian mahasiswa “salafi” yang bermukim di sana [kendati mereka ditahdzir juga tentang masalah Ihya-ut Turots] mempengaruhi para mahasiswa baru agar berhati-hati terhadap kami, menyebarkan “kesesatan” kami secara sirriyah kepada mereka dan lain sebagainya. Inilah aksi-aksi kalian kepada kami, sebab jika tidak demikian, apakah adil menurut akal kalian, jika kami membela jamaah-jamaah yang berkumpul di dalamnya kebenaran dan kebatilan dan berupaya mencarikan selaksa udzur bagi mereka, lalu justru kami “memusuhi” jamaah yang lebih dekat dengan kami pada sisi manhaj maupun aqidahnya???, Jawabanya tentu: kalla.
Dan sungguh merupakan fenomena yang mengiris hati kami, ketika melihat pemuda-pemuda islam yang mulai tumbuh ghirahnya terhadap agama ini di dada mereka, lalu mereka mulai aktif dalam pembinaan kami, akan tetapi sejurus kemudian mereka termakan oleh syubhat yang ditebarkan kelompok “salafi”, maka merekapun meninggalkan kami diiringi celaan-celaan, duhai alangkah indahnya seandainya kelompok “salafi” bisa konsisten dalam membina mereka, akan tetapi ternyata pembinaanpun terputus [khususnya di daerah], maka pemuda-pemuda itupun dilanda penyakit futur, mereka kemudian terputus dari ilmu dan tidak aktif dalam kegiatan dakwah, anehnya sifat “menjarh” orang lain masih saja mendarah daging dalam tubuh mereka, khawatirnya jika mereka diperingatkan, maka lisan dhalim mereka serentak mengatakan:”futurku ini lebih mulia dari pada dakwah yang kalian tegakkan, karena saya hanya ahlul maksiyat sedangkan kalian adalah ahlul bid’ah”[8], Allahu Musta’an.
Sebelum kami akhiri goretan ini, maka lisan tulus kami menasehatkan secercah wasiat kepada saudara-saudara kami yang bergabung dengan jamaah Ikhwanul muslimin ataupun jamaah-jamaah islam yang lain, mengingatkan mereka bahwa fatwa yang kami kumpulkan ini adalah bukti kecintaan para ulama kepada kaum muslimin secara umum dan kepada para duat pengusung kebangkitan umat secara khusus, dan sejatinya fatwa-fatwa ini bisa membawa kita untuk bermuhasabah, untuk kembali ke dalam “pelukan” al-Qur-an dan Sunnah dengan pemahaman salaful ummah dalam setiap langkah kita, berpegang teguh dengan kebenaran di manapun kita berada, dan untuk lebih merakyat dengan kaum muslimin secara umum, serta ber-wala kepada mereka selaras dengan keimanan dan ketakwaan mereka, dan seyogyanya wejangan ini tidak menjadikan kita buta dengan penyimpangan-penyimpangan kita dan tenggelam di atasnya.
Pembaca yang budiman, inilah sedikit goretan tentang pandangan dan sikap kami terhadap jamaah Ikhwanul Muslimin yang didukung oleh fatwa-fatwa para ulama yang mu’tabarin, semoga bisa menjadikan kita lebih berhati-hati dalam memvonis jamaah-jamaah islam, dan akhir seruan kami segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, bersambung insya Allah.
Dengar File Audio :
1. SYAIKH ABUL HASAN AL-MA’ARIBI.mp3
2. Syaikh Albani dengan hasan al-Banna.rm
3. SYAIKH ALBANI.mp3
[1]. Silahkan mendownload muhadharah ini di bagian lain dari tulisan ini.
[2]. Silahkan download fatwa beliau ini di bagian lain dari silsilah ini
[3] . Perkataan Fadhilatus Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dan Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, lihat Majalah al-Hikmah edisi 19 Jumadits tsani tahun 1420 hal 15, lihat pula di as-Shahwah al-islamiyah dhawabith wa taujihat
[4]. Sejatinya kumpulan fatawa di atas sudah cukup untuk membantah tudingan akh Sofyan Kholid terkait butanya kami terhadap bentuk ta’awun syar’i hakiki, akan tetapi melihat adanya perincian-perincian terkait hal ini yang akan kami bahas, maka kami akan membantah syubhat tersebut pada silsilah pembelaan kami berikutnya insya Allah.
[5] . http://www.islamgold.com/view.php?gid=7&rid=148 atau Silahkan download di sisi lain dari artikel ini.
[6]. Sikap inilah yang kami tanamkan kepada kader-kader kami, yaitu mengingkari manhaj jamaah Ikhwanul Muslimin, terkhusus yang menyimpang dari kebenaran, kendati kami cukup berhati-hati dalam masalah vonis dan tidak serampangan mengumbarnya. Dan sebuah kejadian yang cukup menggelikan, sebagaimana yang terjadi dalam artikel akh Sofyan Kholid, dia bersemangat menuding kami bermajlis dengan ahlil bid’ah hingga mendatangkan contoh sebagai bukti untuk tudingannya, dan ketika kami peringatkan bahwa dia berpotensi untuk terjatuh ke dalam vonis secara ta’yiin terhadap tokoh Ikhwanul Muslimin tersebut [kami ingatkan apakah dia telah menegakkan hujjah dan menghilangkan penghalang], eh ternyata dia kebakaran kumis, kelabakan untuk mencari alibi, ironisnya dia justru menuding kami tidak bisa membedakan antara vonis muthlaq dan vonis mu’ayyan.
[7]. Sebagaimana yang dituduhkan akh Sofyan Khalid dalam artikelnya “Mengapa Saya Keluar Dari WI”, bahwa kami [WI] membangun manhaj al-wala’ wal bara’ di atas asas organisasi bukan di atas asas iman dan taqwa, buktinya [menurut akh Sofyan] kebencian WI kepada asatidzah “salafi”, semoga setelah pembahasan ini kita semua bisa berkaca dan bermuhasabah.
[8] . Kami tidak menutup mata dari pendapat para ulama, bahwa hukum asalnya bid’ah lebih buruk dari ma’shiyat, namun kalimat di atas hanya keluar dari lisan maghrur