Menjawab Syubhat Bagian V
Bagian I
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام علي رسوله الأمين وعلي آله وأصحابه الطاهرين ومن اهتدي بهداهم إلي يوم الدين, أما بعد :
Ikhwah yang dirahmati Allah, pada edisi kali ini tinta pena kami akan meng-goretkan pandangan dan sikap kami terhadap jamaah Ikhwanul Muslimin.[1] Tidak lupa, pada silsilah ini insya Allah kami akan menukil beberapa fatwa dari para ulama Ahlus Sunnah. Fatwa-fatwa tersebut khususnya yang terkait dengan kelompok di atas.
Akan tetapi, sebelum kami melanjutkan goretan ini, kami berharap kepada ikhwah “salafi” untuk bisa bersikap lebih tenang dan menelaah paparan ini dengan kepala dingin. Tujuannya, untuk tidak menimbulkan kesalahpahaman yang bermuara kepada kesalahan dalam memetik kesimpulan. Dan jangan lupa pula, untuk tetap memposisikan kami sebagai saudara seiman yang selalu merujuk kepada manhaj Salaf.
Secara garis besar, pandangan kami kepada kelompok ini, bahwa Ikhwanul Muslimin adalah gerakan dakwah komtemporer yang mengajak untuk rujuk kepada Kitab dan Sunnah, berupaya untuk menegakan syariat Islam, dan berdiri tegak menentang sekularisme dan liberalisme, di Mesir secara khusus dan dunia Islam secara umum.[2] Kendati demikian, kami tidak menutup mata terhadap kritikan-kritikan yang dituai oleh jamaah ini dari para ulama, baik itu terkait manhaj atau aqidah.
Sungguh tidak bisa dipungkiri, gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin adalah estafet dari dakwah tajdid yang dibidani oleh para Ulama Najd secara umum dan gerakan dakwah yang diusung oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridho –rahimahumullah jami’– secara khusus. Meskipun kemurnian format dakwah yang digagas oleh Hasan al-Banna ini tidaklah semurni pendahulunya. Akan tetapi, asas yang dibangun oleh Hasan al-Banna dalam gerakan dakwahnya tetap merujuk kepada Al-Qur-an dan Sunnah. Hal ini sebagaimana ditaqrir oleh beliau dalam beberapa perkataannya:[3]
1. Dan apabila anda bertanya: apa pokok-pokok manhaj [Ikhwanul Muslimin] ini secara teori? Maka saya akan menjawab dengan lantang: ushulnya [pokok-pokoknya] adalah yang dibawa oleh Al-Qur’an.
2. Dan jika anda bertanya: apa wasa-ilnya [sarana] dan langkah-langkah amaliyahnya? Maka saya katakan dengan lantang: sarana dan langkah-langkah amaliyahnya adalah yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad yang agung, dan tidak akan menjadi baik akhir dari umat ini kecuali menapaki jejak yang ditinggalkan oleh generasi awal dari umat ini.[4]
3. Perkataan beliau tentang jamaah Ikhwanul Muslimin: Jamaah Ikhwanul Muslimin dakwatun [dakwah] salafiyah, dan thoriqotun [metode] sunniyah, dan hakikatnya shufiyah.[5]
Pembaca yang dirahmati Allah, itulah segelintir perkataan Hasan al-Banna –rahimahullah– yang mewakili hasratnya untuk membangun gerakan dakwah berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah demi membendung gerakan sekulerisme dan liberalisme warisan kolonial penjajah yang telah meracuni pemikiran sebagian negeri kaum muslimin.
Namun jika kita telisik pada tataran prakteknya, maka tersingkaplah sebuah hakikat bahwa sesungguhnya beliau menyelisihi manhaj al-Qur’an dan Sunnah dalam beberapa sisi. Realita inilah yang membangkitkan aksi tahdzir [memberi peringatan] sebagian dari tokoh kaum muslimin yang kemudian merembet pada ranah vonis sesat kepada beliau secara pribadi maupun jamaahnya.
Namun di sisi lain ada sebagian dari tokoh kaum muslimin yang menyikapi beliau [Hasan al-Banna] dan jamaahnya dengan kacamata inshof dan penuh kehati-hatian. Mereka mencoba untuk menganalisa dan merinci sikap yang benar terhadap beliau maupun jamaahnya. Dua arus inilah yang kelak bertemu di tengah samudera dakwah yang berakibat lahirnya gelombang permusuhan dan “perpecahan.” Dan masing-masing pihak mengklaim memiliki pijakan-pijakan dalil yang “merajihkan” sikap yang mereka tempuh terhadap al-Ustadz Hasan al-Banna dan jamaahnya.
Kami termasuk yang lebih setuju kepada sikap kelompok kedua, yaitu sikap berupaya menganalisis masalah ini dengan penuh kehati-hatian dan memilih sikap yang paling inshof sebisa mungkin. Sebab, selain karena masalah ini berkaitan langsung dengan kehormatan kaum muslimin, juga karena kami menemukan fatwa-fatwa para ulama yang menguatkan sikap ini.
Berikut ini kami sebutkan beberapa mubarrir yang menjustifikasi sikap yang kami tempuh :
- Yang pertama kali ingin kami tegaskan adalah bahwa sikap yang kami tempuh di atas berangkat dari pembelaan para ulama terhadap beberapa tokoh dari jamaah ini, dan hal ini telah kami bahas di Silsilah Pembelaan kami yang lalu, silahkan merujuk.
- Sikap kami di atas juga dibangun di atas fatwa-fatwa para ulama tentang jamaah ini, dan kami akan sebutkan berapa fatwa ulama tersebut, di antaranya:
· Fatwa Lajnah Da-imah tentang jamaah-jamaah islam, di antaranya:
1. Pertanyaan:
Di dunia Islam dewasa ini banyak muncul kelompok-kelompok dan aliran shufi. Sebagai contoh di
Jawaban:
Alhamdulillah, was sholatu was salamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi, amma ba’du:
Jamaah Islam yang paling dekat kepada kebenaran dan paling semangat dalam mempraktekkannya adalah Ahlus Sunnah, mereka adalah Ahlul Hadits. Kemudian Anshorus Sunnah al-Muhammadiyah. Kemudian Ikhwanul Muslimin, dan secara global semua kelompok ini memiliki kesalahan dan kebenaran, maka wajib atasmu untuk berta’awun dalam hal kebenaran dengan mereka, dan menghindari kesalahan kelompok-kelompok tersebut dengan saling menasehati dan ta’awun [kerjasama] atas kebaikan dan ketakwaan. Wabillahit taufiq wa shallallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wasallam.[6]
2.Pertanyaan:
Jamaah dan kelompok yang ada sekarang, yang aku maksudkan adalah Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, dan jamaah Ansharus Sunnah al-Muhammadiyah, Jam’yah Syar’iyah, as-Salafiyiin, dan Jamaah yang disebut at-Takfir wal Hijrah. Semua jamaah ini ada di Mesir. Pertanyaanku: apa sikap seorang muslim darinya? Apakah jamaah ini yang dimaksudkan dalam hadits Hudzifah bin Yaman: Jauhilah semua kelompok tersebut, meskipun kamu harus memakan akar pokon, sampai datang kepadamu kematian, dan kamu tetap berpegang teguh kepada kebenaran, hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim –rahimahullah-.
Jawaban:
Semua dari kelompok ini memiliki kebenaran dan kebatilan, dan sebagian kelompok lebih dekat dengan kebenaran, dan lebih bermanfaat dari kelompok yang lain. Maka wajib bagimu untuk berta’awun dalam kebenaran dengan semua kelompok ini, dan memberikan nasehat dalam hal yang kamu anggap salah, dan jauhi apa yang meragukan kepada yamg tidak meragukan, wabillahit taufiq.[7]
3.Pertanyaan:
Pada zaman ini banyak muncul jamaah dan kelompok, dan semua jamaah ini mengklaim bahwa mereka masuk dalam kategori al-Firqoh an-Najiyah, dan kami tidak mengetahui dari jamaah tersebut yang benar-benar berada dalam kebenaran sehingga kami bisa bergabung di dalamnya. Maka kami harapkan dari yang mulia sekalian untuk menunjukkan jamaah yang paling baik, sehingga kami bisa bergabung dengan yang benar, kami harapkan jawabannya disertai dengan dalil.
Jawaban:
Semua dari jamaah ini masuk dalam kategori al-Firqoh an-Najiyah, kecuali jamaah yang melakukan kekufuran yang mengeluarkannya dari ushulul iman, dan jamaah tersebut bertingkat-tingkat [kedekatannya dengan al-Firqoh an-Najiyah] sesuai dengan kedekatan dan pengamalan mereka atas kebenaran, dan [bertingkat-tingkat pula sesuai dengan] kesalahan mereka dalam memahami dalil dan kesalahan dalam mengamalkannya. Jamaah yang terdekat dengan kebenaran adalah yang terbenar pemahamannya dan pengamalannya [terhadap dalil], maka pahamilah sudut pandang pendapat mereka, dan ikutilah yang terdekat dengan kebenaran…..[8]
· Fatwa Fadhilatus Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz –rahimahullah-.
1. Pertanyaan:
Telah beredar pertanyaan di benak para pemuda Islam tentang hukum berintisab kepada jamaah-jamaah Islam, dan beriltizam dengan manhaj salah satu jamaah dan meninggalkan jamaah yang lainnya.
Jawaban:
“Beriltizam [berpegang teguh] dengan kebenaran dan al-Qur’an serta sabda-sabda Rosulullah adalah kewajiban setiap muslim, dan tidak beriltizam dengan jamaah manapun, tidak dengan Ikhwanul Muslimin, tidak pula dengan Anshorus Sunnah al-Muhammadiyah dan juga tidak beiltizam dengan kelompok manapun, akan tetapi harus beriltizam dengan kebenaran.
Jika berintisab [bergabung] kepada Ansharus Sunnah al-Muhammadiyah dan menolongnya dalam kebenaran, atau berintisab kepada Ikhwanul Muslimun dan menolongnya dalam kebenaran pula, tanpa berlebihan ataupun memudah-mudahkan; maka tidak apa-apa. Adapun beriltizam dengan perkataan mereka dan tidak keluar sedikitpun darinya, maka ini tidak boleh, dan wajib baginya untuk mengikuti kebenaran di manapun dia berada.
Jika memang kebenaran ada bersama Ikhwanul Muslimin maka diikuti, dan jika memang kebenaran ada bersama Anshorus Sunnah al-Muhammadiyah maka diikuti pula, dan jika memang kebenaran ada bersama jamaah yang lain maka diikuti pula. Maka hendaknya kita senantiasa mengikuti kebenaran di mana saja berada, dan membantu jamaah yang lain di atas kebenaran. Adapun beriltizam dengan manhaj tertentu dan tidak keluar darinya meskipun batil dan salah, maka ini adalah suatu kemungkaran dan [sikap] ini dilarang. A
2.Pertanyaan:
Apakah keberadaan jamaah-jamaah islam dan perannya terhadap pembinaan pemuda Islam adalah merupakan hal positif pada zaman ini?
Jawaban:
Keberadaan jamaah Islam ini ada kebaikannya bagi kaum muslimin, akan tetapi diharapkan [jamaah-jamaah] berupaya untuk menjelaskan kebenaran beserta dalilnya, dan tidak menegakkan permusuhan antara satu dengan yang lainnya; dan berupaya untuk saling berta’awun antara sesama jamaah, dan saling mencintai antara satu dengan yang lainnya, dan saling menasehati dan saling menyebarkan kebaikan-kebaikannya, dan berusaha untuk meninggalkan hal-hal yang bisa meretakkan keharmonisan antara satu jamaah dengan yang lainnya, dan tidak masalah tersebarnya jamaah-jamaah apabila mengajak kepada al-Qur-an dan Sunnah.[10]
3. Pertanyaan:
Apa nasehat anda bagi para pemuda yang ada dalam tubuh jamaah-jamaah ini?
Jawaban:
Berupaya untuk mengikuti jalan kebenaran dan konsisten di atasnya, dan berupaya untuk bertanya kepada para ulama dalam setiap masalah-masalah mereka, dan saling bekerja sama dengan jamaah yang lainnya demi mewujudkan kemaslahatan bagi kaum muslimin [dan tegak] di atas dalil-dalil syar’i, dan hendaknya [saling menasehati] dengan meninggalkan [metode] kekerasan dan saling mengejek, akan tetapi [menasehati] dengan kalimat yang baik dan cara yang baik pula, dan menjadikan salaf sholih sebagai panutan mereka, dan kebenaran sebagai dalil mereka. Dan hendaknya memberi perhatian kepada aqidah yang shohih yang diwariskan Nabi dan para sahabatnya.[11]
· Fatwa Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin –rahimahullah-.
1.Pertanyaan:
Kita perhatikan di zaman ini banyak yang membicarakan tentang jamaah-jamaah islamiyah yang berdakwah di jalan Allah –subhanahu wata’ala-, seperti Jamaah Tabligh, Ikwanul Muslimin, dan Salafiyah. Maka jamaah yang mana yang bisa kami ikuti? Dan apa sikap seorang muslim terhadap banyaknya jamaah?
Jawaban:
Demi Allah, sikapku adalah aku melihat hal ini adalah fenomena yang menyedihkan, dan khawatir akan memadamkan Shahwah Islamiyah [kebangkitan Islam] ini. Karena manusia jika berpecah belah maka akan berakhir sebagaimana difirmankan Allah –subhanahu ta’ala–: “Dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu gentar dan hilang kekuatan kalian“.[12]
Jika kaum muslimin berpecah belah dan berbantah-bantahan, mereka akan gagal dan merugi, lalu hilang kekuatan mereka dan niscaya mereka tidak akan memiliki kemuliaan. Sedangkan musuh-musuh Islam –baik yang mengaku-aku Islam, ataupun yang memusuhi Islam secara dhahir maupun batin- sangat gembira dengan perpecahan ini. Bahkan mereka yang menyulut apinya, datang ke kelompok ini dan mengatakan: kelompok ini memiliki [kesalahan] begini, dan kelompok ini memiliki [kesalahan] begini. Mereka memasukan permusuhan dan kebencian ke dalam barisan para pegiat dakwah di jalan Allah.
Maka kewajiban kita adalah berupaya menghadapi tipu daya para musuh-musuh Islam tersebut. Hendaknya kita menjadi umat yang satu, saling berkumpul antara yang satu dengan yang lain, saling mengambil manfaat antara yang satu dengan yang lain, dan hendaknya kita menjadi satu da’i [tubuh]. Dan cara untuk menggapai tujuan itu adalah berkumpulnya para pemimpin yang memiliki pengaruh di antara mereka di setiap negeri, lalu mengkaji keadaan [problematika umat] dan bersepakat di atas satu planning untuk dikerjakan secara bersama. Meskipun [mereka] berbeda manhajnya dalam berdakwah di jalan Allah, maka tidaklah terlalu penting. Yang penting, kita menjadi satu saudara di atas kebenaran dan saling mencintai.[13]
2. Pertanyaan:
Apakah bergabung dengan kelompok Ikhwanul Muslimin atau Jamaah Tabligh di negeri ini [Saudi] adalah hal yang benar atau hal yang salah?
Jawaban:
Menurut pendapatku, hal ini adalah suatu kesalahan, yang selayak kita lakukan adalah tidak memecah-belah umat, ini Ikhwani, ini Tablighi, ini Salafi. Yang kita harapkan adalah bersatunya umat ini di bawah satu panji, yaitu Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan wajib bagi setiap manusia untuk mengamalkan hukum-hukumnya, selaras dengan Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-[14].
3. Pertanyaan:
Apa sikap kita terhadap orang yang mengajak bergabung dengan jamaah Ikhwanul Muslimin dan Jamaah Tabligh dengan dalam rangka untuk menegakkan ukhuwah dan mencintai karena Allah?
Jawaban:
Jika ada yang mengajak untuk bergabung dengan dua jamaah ini dalam rangka untuk mewujudkan ukhuwah dan saling mencintai karena Allah, sesungguhnya niat ini sangat baik. Yang saya maksud adalah ajakan untuk saling mencintai antara kaum muslimin karena Allah. Adapun hanya mengajak kepada satu kelompok dan [memusuhi] kelompok yang lain, maka ini tidak benar. Saya melihat, hendaknya kedua kelompok ini meleburkan diri menjadi satu kelompok sehingga tidak berpecah- belah.[15]
Bersambung Insya Allah.
[1]. Hal ini disebabkan karena fokus konflik kami [WI & kelompok “salafi”] adalah tentang Ikhwanul Muslimin (IM). Akh Sofyan menuding kami berta’awun [bermajlis] dengan ahlul bid’ah. Dia menyebutkan beberapa bukti dari tudingan tersebut, berupa bermajlisnya kami dengan tokoh yang dia klaim IM. Kami disini tidak dalam kapasitas membahas Jamaah Tabligh dan Hizbut Tahrir.
[2]. al-Mausu’ah al-Muyassarah Fil Adyan wal Madzahib wal Ahzab al-Mu’aashirah, jilid 1, hal. 198.
[3]. Sebagaimana kaedah yang beredar “almuslim ‘ala syuruthihi” [seorang muslim terikat dengan syaratnya]. Maka kita ambil syarat dari al-Ustadz Hasan al-Banna dalam membangun Ikhwanul Muslimin, lalu kita upayakan untuk menimbang syarat-ayarat tersebut dengan realitanya. Jika realita yang kita lihat selaras dengan syarat tersebut, maka kita terima. Sebaliknya, jika tidak sesuai, maka kita kritik dan nasehati, dengan lemah lembut dan hikmah.
Hal ini juga terjadi pada ulama salaf kita. Betapa banyak dari mereka mensyaratkan ke-shahih-an dalam buku yang mereka tulis. Ambillah sebagai contoh: al-Imam al-Bukhari, al-Imam Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim dengan Mustadrok-nya, al-Imam an-Nawawi dalam Arba’in dan Riyadhus Sholihinnya. Semua ulama ini mensyaratkan ke-shahih-an dalam buku-buku mereka.
Namun setelah ditahqiq [teliti], hanya al-Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang menepati syarat tersebut. Adapun yang lainnya, tidak sempurna dalam menepati syarat tersebut, bahkan ditemukan hadits-hadits maudhu’ [palsu] dalam sebagian kitab mereka.
Akan tetapi, dan ini harus segera digarisbawahi, para ulama kita tidak serta merta mengangkat telunjuk seraya mengucapkan: mereka adalah pendusta.
[4] . Majmu-ur Rosa-il al-Imam as-Syahid, hal 90, dan ucapan beliau yang terakhir adalah iqtibas [kutipan] dari perkataan Imam Malik –Rahimahullah-.
[5] . Sangat jelas dari ucapan beliau di atas semangat untuk menapaki jejak al-Qur’an dan Sunnah. Adapun ucapan beliau: “hakikatnya sufiyah,” maka perlu untuk diklarifikasi maknanya.
Sebagaimana yang kita ketahui, shufiyah adalah salah satu keompok yang menyimpang dalam Islam. Tentu penyebabnya adalah penyelisihan kelompok ini terhadap manhaj Ahlus Sunnah dalam banyak hal yang di antaranya adalah penyimpangan pada masalah tauhid.
Akan tetapi kami menilai Syaikh Hasan al-Banna –rahimahullah– bukan termasuk orang yang menyimpang dalam masalah ini, terkhusus tauhid uluhiyah. Hal ini sangat jelas dari perkataan-perkataan beliau: “Dan karamah adalah sesuatu yang tsabit [tetap] bagi para wali dengan syarat-syarat syar’iyah, dengan keyakinan bahwa mereka tidak mampu menghadirkan manfaat dan mudharat bagi mereka sendiri, ketika mereka hidup maupun ketika sudah mati; apalagi menghadirkan manfaat dan mudharat kepada orang lain. . . . akan tetapi, meminta pertolongan dari orang yang sudah mati [siapapun mereka] dan seruan kepada mereka [mayat] dan memohon dipenuhinya hajat dari mereka, dari dekat maupun jauh; dan bernadzar untuk mereka, dan membangun kuburan mereka dan menutupnya lalu memberi lampu di atasnya . . . dan semua hal yang serupa dengan itu berupa hal-hal yang bid’ah adalah termasuk dosa-dosa besar dan wajib untuk memeranginya” [majmu-ur rosa-il imam as-syahid, hal. 356]
Penting diketahui pula, bahwa “sufi” yang beliau maksudkan bukanlah tasawwuf yang menyandarkan agamanya kepada ilham, kasyf, mimpi dan sejenisnya. Hal ini sebagaimana terukir dalam perkataan beliau: “Sesungguhnya bagi iman dan ibadah yang benar serta mujahadah cahaya dan halawah [kenikmatan] yang dihunjamkan oleh Allah ke dalam dada orang-orang yang Allah kehendaki dari hambanya. Akan tetapi, ilham, khawatir [hal-hal yang terdetik dalam hati], kasyf, dan mimpi bukanlah termasuk bagian dari dalil hukum syar’i, dan tidak dianggap. Kecuali dengan syarat tidak menyelisihi dengan hukum-hukum agama dan nash-nash-nya [Majmu-ur Rosa-il, hal. 356].
Walaupun sangat disayangkan, mursyid IM yang ketiga [Umar Tilmisani] kemudian mentaqrir kebalikannya. Mungkin yang dimaksudkan oleh Hasan al-Banna dengan kalimatnya “hakikatnya shufiyah” adalah pada sisi keuletan serta semangat yang tinggi dalam beribadah. Dan sebagaimana yang tercantum di dalam siroh beliau, bahwa dia adalah salah satu pengikut dari aliran tasawuf Hashofiyah. Tentu hal ini memberikan pengaruh signifikan pada sisi ibadah beliau. Dan meskipun beliau juga terjatuh kepada kebid’ahan dalam masalah ini, terutama dalam masalah dzikir. Kitab beliau al-ma’tsurat adalah saksinya. Sebagaimana juga beliau terjatuh dalam masalah Asma’ wa Sifat, beliau mengikut pada paham tafwidh, Rahimahullah wa ghafara lahu wa li jami’i aimmatil muslimin wa ammatihim.
[6] . Fatawa Lajnah Da-imah, 2/237, Darul ‘Ashimah, soal pertama no: 6250, ditanda tangani oleh Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Ghudayyan, Abdurrazzaq Afifi, dan ketua Lajnah Da-imah Abdul ‘Aziz bin Baz.
[7] . Fatawa Lajnah Da-imah, 2/238, Darul ‘Ashimah, soal ke empat no: 6280, ditandatangani oleh Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin ghudayyan, Abdurrazzaq Afifi, dan ketua Lajnah Da-imah Abdul ‘Aziz bin Baz.
[8] . Fatawa Lajnah Da-imah, fatwa No: 7122, ditandatangani oleh Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin ghudayyan, Abdurrazzaq Afifi, dan ketua Lajnah Da-imah Abdul ‘Aziz bin Baz.
[9] . http://www.ibnbaz.org.sa/mat/1953
[10] . http://www.binbaz.org.sa/mat/1785
[12] . al-Anfal 46
[13] . as-Shahwah al-Islamiyah Dhawabith Wa Taujihat 133
[14] . as-Shahwah al-Islamiyah Dhawabith Wa Taujihat 134
[15] . as-Shahwah al-Islamiyah Dhawabith Wa Taujihat 134-135
lanjutkan perjuangan………