Menjawab Syubhat Bagian III

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام علي رسوله الأمين وعلي آله وأصحابه ومن اهتدي بهداهم إلي يوم الدين, أما بعد :

Pujian bagi Allah Ta’ala tak lupa kami haturkan, berkat limpahan nikmat-Nya, artikel ke-III dari Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at jilid 2 dapat kami hadirkan di hadapan pembaca sekalian. Sungguh amat meletihkan. Sebab ia diarahkan pada kelompok yang terkenal mau menang sendiri, tidak mau kalah dan malu mengakui kebenaran dari selain kelompoknya. Akan tetapi, seluruh keletihan dan kepayahan ini kami niatkan sebagai kebajikan di sisi-Nya, insyaAllah.

Ikhwah fillah, bagaikan gelombang, syubhat demi syubhat terus digelontorkan al-akh Sofyan Khalid dan kelompoknya demi melejitimasi tudingannya dan mengeluarkan Wahdah Islamiyah dari barisan Ahlus Sunnah. Tidak efektif menyeret satu syubhat, maka syubhat yang lain pun ditarik. Kendati tak nyambung dan terkesan serampangan. Begitu seterusnya. Ibarat pepatah mengatakan: Terlanjur basah, mending mandi sekalian. Olehnya, nampak sekali sikap takalluf dalam mengais alibi guna memuluskan hal itu. Sayangnya, syubhat-syubhat yang diketengahkan sebagian besar lahir lantaran kurang memahami isi artikel-artikel kami sebelumnya. Dan alhamdulillah para pembaca bisa menjadi saksi akan perkara ini. Karena mereka (pembaca) telah mendapat pencerahan positif berkenaan manhaj Ahlu Sunnah yang shahih dalam hal menyikapi orang lain, setelah menelaah artikel-artikel kami dengan pemahaman yang benar dan hati yang jujur. Dan kami yakin, sebagian syubhat al-akh Sofyan Khalid dan kelompoknya justru bisa jadi bumerang bagi mereka sendiri.

Dan nyatanya fenomena ke-kurangpahaman terhadap tulisan dan artikel tersebut telah begitu umum dan epidemik di kalangan kelompok ini. Padahal, kami telah singgung dan ingatkan dalam artikel kami sebelumnya sebuah kaidah masyhur di kalangan thullabul ilmi, “fahmu as-sual nishfu al-jawab”. Sebagai bukti, dapat kami utarakan sedikit contoh yang masih ada kaitannya dengan artikel-artikel kami.

Pertama: Pada tulisan Ust. Abdul Qodir, Lc kala menanggapi artikel kami Sisilah Pembelaan Jilid I bagian ke-1: Diantara orang yang menganggap tidak bolehnya menggunakan istilah salafiy atau atsariy adalah seorang yang melantik dan men-tazkiyah dirinya sebagai “Pengamat Dakwah”, ia dilahirkan dengan Muhammad Ihsan Zainuddin, dan Penulis majhul risalah “Silsilah Pembelaan Ulama dan Du’at”. Demikian pula jama’ah yang ia bela, yakni Wahdah Islamiyah juga berpandangan sama”.[1] Padahal dalam artikel kami tersebut jelas sekali tidak ada pengingkaran terhadap nisbat tersebut. Perhatikan bunyi pernyataan kami: “Perlu diperhatikan, kami tidak mengingkari secara mutlak kebolehan ber-intisab kepada manhaj salaf dengan memperindah nama kita melalui bubuhan kalimat as-salafy atau al-atsary di belakangnya, karena telah jelas perkataan ulama tentang hal ini. Yang kami ingkari adalah jika ternyata tidak ada korelasi antara intisab kita terhadap manhaj salaf dengan realita diri, baik dalam hal aqidah, ibadah, mu’amalah ataupun akhlaq. Sebab, ibroh terpenting adalah ketetapan kita terhadap manhaj yang shohih ini, dan bukan sekedar intisab (baca: pengakuan)”.[2]

Olehnya, kami pun menyanggahnya dalam artikel berikutnya: “Jelas sekali dalam kalimat di atas, bahwa kami –alhamdulillah– tidak pernah mengingkari intisab tersebut. Hanyasaja yang kami ingkari adalah, jika tenyata tidak ada korelasi antara nama dan yang dinamai. Dan inilah yang diisyaratkan oleh fatwa-fatwa para ulama Ahli Sunnah. Diantaranya fatwa Fadhilatus Syaikh al-Fauzan -hafidzahullah-: “Menggunakan nama As-Salafiyah –jika sesuai hakekatnya-, tak mengapa. Adapun jika hanya sekedar pengakuan, maka tidak … tidak boleh baginya memakai nama As-Salafiyah, sedang ia bukan di atas manhaj Salaf….”.[3]

Kedua: Tulisan Salafiyyun Muna saat menanggapi artikel kami “Hati-Hati Banyak Mengkritik. Dengan begitu semangat mereka nukilkan tulisan Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhailiy hafidzahullah, yang dalam edisi Indonesia-nya berjudul “Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, Bab Sikap Ahli Sunnah Tentang Menggunjing Ahli Bid’ah Agar Umat Selamat Dari Pengaruh Mereka”.[4]

Padahal Tulisan Fadhilatus Syaikh al-Allamah Dr. Ibrahim ar-Ruhaily membahas masalah kritik secara umum, dan kebolehan akan hal tersebut. Makanya lantaran tidak nyambung antara tulisan kami dengan nukilan tulisan Fadhilatus Syaikh, maka kami hanya katakan pada artikel kami setelahnya: “Semoga Allah memberi hidayah pada situs www.cahayasalaf.co.cc milik “salafiyyun” Muna, (situs yang hanya mengumpulkan ma habba wa dabba dari tulisan-tulisan kelompok “salafy” yang berserakan di dunia maya) yang berusaha menjawab artikel kami ini dengan hanya mengutip terjemahan tulisan Dr. Ibrahim ar-Ruhaili. Akan tetapi, sebagaimana perkataan pepatah, jauh panggang dari api, atau sederhananya, tidak ada sangkutan antara yang membantah dan yang dibantah sama sekali. Dalam artikel kami tidak ada larangan untuk memberi kritik, namun yang menjadi sorotan kami adalah perkara “berlebihan” dalam kritik, hilangnya sikap wara’, serta penegasan akan besarnya kedudukan harga diri seorang muslim dalam syari’at Islam agar kita tidak serampangan dalam memberi kritik. Olehnya kami tidak berselera menjawab, sebab tidak ada yang perlu untuk dijawab. Ala kulli hal, kami ucapkan jazakumullahu khairan atas tanggapan dan kesedian antum menelaah artikel kami, semoga bermanfaat dan dapat membuka mata hati kita. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Kezaliman itu diharamkan dalam segala keadaan, tidak halal seseorang menzalimi orang lain, kendati ia seorang kafir !!”. (Majmu’ al-Fatawa, XIX/44). [5]

Ketiga: Lihat pula bantahan “Salafiyyun” Muna dalam artikel mereka “Fenomena Wahdah dan Ketimpangan Dalam Memahami Nasehat, Bag. I”[6], kala membahas masalah penamaan dan sejarah salafy, sungguh tidak nyambung dan jauh dari bahasan apa yang dibantah. Jika mereka mau membaca dengan seksama, utamanya catatan kaki artikel kami, “Fenomena “salafy” dan Manhaj Mengkritik Terhadap Orang Lain”, akan nampak bagi mereka tidak adanya pengingkaran akan hal tersebut. Demikian pula akan jelas maksud dari penggunaan tanda petik (“…”) pada kata salafy. Dan hal ini telah kami lakukan berulang-ulang dalam artikel-artikel setelahnya agar pembaca tidak salah paham lalu mengeneralisasi hal itu dan menyangka bahwa demikianlah Manhaj Salaf secara umum. Padahal, sekali lagi, Manhaj Salaf terlalu mulia untuk dikotori oleh perlakuan oknum yang menisbatkan diri padanya lalu ingin tampil beda di hadapan umat ini.

Olehnya, kami hanya ingatkan pada para penulis bahtahan-bantahan tersebut, syukran atas masukan antum, namun tolong dibaca sekali lagi artikel kami, utamanya catatan-catatan kakinya, agar tidak asbun (asal bunyi) dan antum tidak manghambur-hamburkan energi memaksa diri pada sesuatu yang antum tidak pahami dengan baik. Wallahul Muwaffaq.

Pembaca budiman, perlu pula kami sampaikan bahwa jawaban-jawaban kami ini insyaAllah sedikit-pun tidak mengandung tendensi pribadi dan kepentingan duniawi lainnya. Hanyasaja ia merupakan implementasi sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada dua orang sahabat yang bergegas pergi kala menyaksikan beliau bersama seorang wanita:

تَعَالَيَا ، إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَىٍّ

Artinya: “Kemarilah kalian berdua, sesungguhnya dia adalah Shofiyah binti Huyay”.[7]

Berikut ini, beberapa syubhat yang dilontarkan al-akh Sofyan Khalid dan kelompoknya, diantaranya:

Bahwa WI Tidak Bisa Memahami Hikmah dan Memetik Pelajaran dari Konsep al-Hajr kepada Pelaku Kesesatan.

Tanggapan :

Ikhwah sekalian, tuduhan di atas sebenarnya tidak terlontar jika al-akh Sofyan Khalid cs mau menelaah Silsilah Artikel kami dengan seksama dan teliti, lalu mencerna dan memahami dengan baik. Sebab begitu benderang keterangan sikap dan posisi kami dalam konsep al-hajr. Atau, boleh jadi ia memahaminya dengan baik, namun hawa nafsu berkeras ingin menebar talbis kepada umat tentang da’wah WI. Kendati melalui jalur fitnah, bahwa WI tidak bisa memahami hikmah dan memetik pelajaran dari konsep al-hajr terhadap pelaku kesesatan !? wallahu musta’an.

Cermati kembali Silsilah Pembelaan kami. Sangat jelas dipaparkan, konsep hajr dan boikot kepada pelaku kesesatan berkaitan erat dengan hikmah dan mashlahat. Perhatikan pernyataan kami:

“Dan masih banyak lagi aqwal para ulama rabbani berkenaan dengan sikap hajr terhadap pelaku maksiat dan ahli bid’ah, yang pada inti atau kesimpulannya adalah: Penerapan kaidah dan praktek hajr tersebut harus muraat (memperhatikan) mashlahat dan mudharat yang bakal ditimbulkan. Dan bukan berarti bahwa sikap hajr terhadap ahli bid’ah itu tidak berlaku sama sekali. Akan tetapi, sebagaimana penjelasan para ulama rabbani di atas, harus sesuai dengan kaidah mashlahat dan mudharat.[8]

Celakanya, pernyataan yang jelas tertuang dalam Silsilah Pembelaan kami, oleh al-akh Sofyan Khalid disimpulkan bahwa kami tidak bisa memahami hikmah dan memetik pelajaran dari konsep al-hajr kepada pelaku kesesatan. Mungkin ini adalah sebagian bukti, memang mereka itu tidak memahami apa yang dibaca. Atau tendensi pribadi yang justru menyeretnya hingga begitu takalluf mengendus kesalahan saudaranya, alih-alih menyanggah bantahan-bantahan kami dalam masalah Muwazanah, pembelaan terhadap tokoh kaum muslimin, partisipasi dalam pemilu dan juga masalah tudingan hizbiyah. Justru dia lebih menambah “dosa” dengan melemparkan tuduhan-tuduhan yang tidak kami miliki. Olehnya, kami sarankan kepada penulis untuk kembali membaca dengan baik lalu berupaya memahami apa yang kami tulis. Hal ini agar tidak lahir sikap serampangan dalam menarik kesimpulan, hingga memicu lahirnya tudingan zalim dan keji.

Adapun perkataan kami yang dinukil oleh sang penulis Jawaban Ilmiyah (al-akh Sofyan Khalid): “Seandainya pun benar, bahwa mereka yang dituding oleh kelompok “salafy” itu sebagai ahli bid’ah (secara hakiki), maka apakah penerapan konsep hajr (boikot dan memutuskan hubungan) terhadap mereka dimana kita tidak boleh duduk-duduk bersama mereka, tidak berbicara, tidak menjawab salam dan sebagainya, pantas untuk diaplikasikan pada zaman kita sekarang ini, dengan dalih perbuatan dan perkataan salaf terdahulu seperti yang ditampilkan oleh al-akh Sofyan Khalid di atas??”.

Maka kami katakan: Penyataan ini adalah inti dari fatwa para ulama rabbani kontemporer yang banyak menghiasi Silsilah Pembelaan kami. Perhatikan bunyi fatwa-fatwa tersebut :

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albanirahimahullah– pernah ditanya tentang cara bermu’amalah dengan para penyelisih manhaj salaf, dimana ada kelompok yang terlalu memudah-mudahkan sementarara di sisi lain ada yang terlalu berlebihan dengan dalih perbuatan salaf juga menunjukkan demikian. Beliau –rahimahullah– kemudian menjawab:

“Pendapat saya, –wallahu a’lam-, bahwa perkataan salaf (yang keras terhadap ahli bid’ah) berlaku pada jaww salafi (kondisi masyarakat yang didominasi pengikut manhaj salaf); yaitu kondisi yang penuh dengan keimanan yang kuat dan ittiba’ yang benar kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat. Masalah ini sama persis dengan masalah muqatha’ah -pemutusan hubungan atau boikot- seorang muslim terhadap muslim yang lain dalam rangka mendidik dan memberi pelajaran kepadanya. Ini merupakan sunnah yang diketahui umum. Namun yang menjadi keyakinan saya, -dan saya sering sekali ditanya mengenai hal ini- bahwa zaman kita tidak sesuai untuk diterapkan muqatha’ah. Zaman kita ini tidak cocok untuk memutuskan hubungan dengan para ahli bid’ah. Sebab konsekwensinya -yakni hajr ahli bid’ah itu- berarti engkau akan tinggal di puncak gunung dan engkau jauh dari masyarakat. Hal ini dikarenakan tatkala engkau meng-hajr masyarakat –karena kefasikan atau kebid’ahan mereka- tidaklah hal ini memberi pengaruh (positif) sebagaimana pengaruh yang timbul di zaman salaf yang mengucapkan kalimat-kalimat (keras terhadap ahli bid’ah) tersebut”.[9]

Syaikh al-Albani rahimahullah- menambahkan: “Secara umum, pada zaman ini aku sama sekali tidak menasehatkan untuk menggunakan metode penerapan hajr sebagai solusi, karena mudharatnya lebih banyak dari manfaatnya….. Apakah engkau mengharapkan seorang sahabat yang tidak memiliki aib? Apakah engkau menginginkan kayu gaharu mengeluarkan wangi harum tanpa disertai asap? Kami berharap sekiranya saudara-saudara kita sesama muslim tersebut sama seperti kita dalam masalah tauhid. Itu saja. Hanya sama dalam tauhid saja, sehingga kalian bisa bersama mereka. Sebab, mereka tidak ridha untuk bersama kita, bahkan dalam masalah aqidah. Mereka mengatakan bahwa menghidupkan khilaf-khilaf hanya mencerai berai barisan dan seterusnya. Mereka, dari saudara-saudara kita tersebut terpecahlah sebuah jama’ah atau merekalah yang memisahkan diri dari jama’ah –wallahu a’lam-, “[10].

Berkata Fadhilatus Syaikh al-Allamah Muhammad bin Sholih al-Utsaiminrahimahullah-: “Namun pada zaman sekarang ini, kebanyakan pelaku kemaksiatan jika di-hajr maka semakin sombong dan menjadi-jadi dalam kemaksiatan mereka, semakin jauh dari ahli ilmu, serta semakin menjauhkan (orang lain) dari ahli ilmu, sehingga penerapan hajr tidak memberikan faedah bagi mereka, dan juga bagi selain mereka, jika demikian keadaannya, maka kita katakan bahwa hajr adalah obat yang digunakan apabila menghasilkan kesembuhan. Namun jika tidak mendatangkan atau justru membinasakan, maka ia tidak digunakan”.[11]

Inilah fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah– dan Syaikh Muhamad bin Sholih al-Utsaimin –rahimahullah– terkait dengan perkataan kami yang dinukil oleh al-akh Sofyan Kholid. Untuk lebih sempurnanya, silahkan ruju’ Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at jilid I, lalu saksikan kelihaian al-akh Sofyan Khalid dan kelompoknya dalam mentalbis suatu perkataan, dimana ia hanya menukil sebagian yang sesuai dengan “selera”nya, lalu menanggalkan bagian-bagian terpenting lainnya.

Belum lagi jika kita cermati kaedah fiqhiyah yang berbunyi, “al-Hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman” [hukum beredar bersama ada atau tidaknya ‘illah (sebab)], maka demikian pula dengan konsep hajr dan boikot ini. Hukumnya terkait erat dengan keberadaan illah-nya, yakni mashlahat yang rajih, dan bukan asal tampil beda.

Nah, melalui penjelasan ini pada prinsipnya kami sepakat dengan al-akh Sofyan dan kelompoknya, bahwa hukum hajr dan boikot tergantung pada wujudnya mashlahat dan mudharat. Pertanyaannya adalah, apakah menentukan maslahat dan mudharat dalam konsep hajr dan boikot bukan masalah ijtihadi ??.

Duhai Sofyan Khalid, apakah hal ini begitu pelik untuk antum pahami?! Atau antum sebenarnya paham namun hawa nafsu untuk menebarkan talbis bagi umat tentang dakwah kami begitu menguasai ?!

Dan perlu pembaca sekalian tahu, dalam aplikasi hukum ini-pun kami tidak serampangan. Tidak semua jama’ah yang memiliki penyimpangan dan kesesatan kami tawarkan ta’awun kepada mereka. Alhamdulillah, kami tetap berupaya agar tidak keluar dari koridor syar’i dalam berta’awun. Adapun sanggahan tentang “ta’awun” kami dengan pelaku bid’ah, yakni dengan mengundang mereka dalam seminar dan selainnya, maka kami akan bahas pada tempatnya insyaAllah.

Al-akh Sofyan Kholid berkata:

Menempatkan Fatwa Ulama Bukan Pada Tempatnya

Tanggapan :

Sekali lagi kami tegaskan, bahwa tuduhan demi tuduhan yang dihembuskan al-akh Sofyan Khalid dan kelompoknya ini berangkat dari ketidakpahaman. Sekiranya fatwa Samahatus Syaikh al-Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang kami nukil ditelaah dengan seksama lalu dipahami asbabul wurud nasehat tersebut, kami yakin tidak akan lahir tuduhan ini. Hanyasaja, dengan bekal pemahaman yang keliru plus sikap tergesa-gesa dalam menjatuhkan vonis atas saudaranya, maka terciptalah “dosa” baru tersebut.

Ketahuilah ikhwah sekalian, nasehat Fadhilatus Syaikh Abdulllah bin Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang kami paparkan[12], bertolak dari sebuah realita memiriskan yang terjadi di negeri Saudi Arabiyah. Yakni fenomena perpecahan, tajrih [celaan] serta menguntit kesalahan-kesalahan antar sesama ulama dan du’at Ahlu Sunnah. Perkara menyedihkan itu terjadi pada masa hayat beliau. Dan ini terlukis dalam paparan nasehat beliau kepada kita. Perhatikan ucapan beliau :

“Di masa ini telah tersebar banyak orang yang dikenal dengan ilmu dan dakwah kepada kebaikan terjatuh dalam pencelaan terhadap harkat dan kehormatan banyak saudara-saudara mereka –yaitu para da’i yang sudah dikenal-. Mereka juga mencela kehormatan para penuntut ilmu, para du’at dan para khatib. Mereka melakukan demikian secara sembunyi-sembunyi di majelis-majelis mereka. Dan terkadang merekam pembicaraan tersebut dalam kaset-kaset yang disebarkan di tengah-tengah masyarakat. Terkadang pula mereka melakukannya secara terang-terangan pada pengajian-pengajian umum di masjid-masjid”.

Dari sini, maka pertanyaan kami kepada al-akh Sofyan Khalid dan kelompoknya, bukankah peristiwa yang terjadi di negeri Saudi Arabiyah, yang kemudian disoroti oleh fadhilatus Syaikh Abdullah bin Bazrahimahullah– adalah fenomena kelompok “salafy” dengan para ulama dan du’at Ahlus Sunnah seperti Syaikh Dr. Salman al-Audah, Syaikh Dr. Safar al-Hawali dan yang lainnya? Jika bukan, lalu fenomena apa yang disoroti oleh beliau hingga keluar penyataan tersebut di atas? Apakah antum akan menuduh bahwa Syaikh berbicara sesuatu yang tidak ada waqi’-nya?!

Disamping itu pula, bukankah fatwa ini adalah isyarat bagi ke”Ahlus unnah”an para masyaikh dan du’at tersebut? Perhatikan kalimat yang kami garisbawahi di atas. Kelompok manakah gerangan yang memiliki karakter dan sikap tersebut ?! Dan dari “madrasah” mana mereka dikeluarkan?! Dan bukankah fenomena yang terjadi di negeri kita yang tercinta ini, hanyalah miniatur dan imbas dari fenomena di Saudi Arabiyah ?? Setiap kita, kami, antum dan pembaca sekalian pasti punya jawaban yang sama.

Lebih lucu lagi, tuduhan keji di atas dijustifikasi dengan fatwa al-Allamah Syaikh Shalih al-Fauzanhafidhahullah– yang di tujukan kepada para penyelisih manhaj salaf yang mulia. Duhai Sofyan, bukankah hal ini ibarat pepatah “Lain Gatal Lain Yang Digaruk”?! Olehnya, perhatikan wahai pembaca sekalian, bagaimana kelihaian kaum ini dalam mentalbis tuduhan-tuduhannya terhadap lembaga dakwah Ahlus Sunah WI kepada umat, Allahu musta’an.

Al-akh Sofyan Kholid mengatakan :

Syubhat usang ini masih terus dihembuskan oleh WI, demi menjaga kesetiaan anggota-anggotanya. Mereka men-talbis dan menggambarkan bahwa yang di-tahdzir oleh ahlus sunnah adalah sesama “ahlus sunnah” (WI). Padahal mereka (WI) tahu bahwa asatidzah salafiyin tidak menggolongkan mereka sebagai ahlus sunnah disebabkan penyimpangan-penyimpangan dari manhaj ahlus sunnah.

Tanggapan :

1. Sebagaimana telah kami singgung dalam artikel-artikel sebelumnya, bahwa al-akh Sofyan Khalid dan kelompoknya begitu percaya diri (baca: maghruur) menjustifikasi diri mereka sebagai penentu hukum akan ke-ahlusunnahan dan tidaknya seseorang atau jama’ah Ahlu Sunnah selain kelompoknya. Maunya mereka, setiap pribadi atau jama’ah (Ahlu Sunnah) di tanah air ini harus datang sungkeman di hadapan mereka agar mendapat lejitimasi resmi sebagai Ahlu Sunnah. Olehnya siapa saja yang tidak sejalan dengan fikrah mereka, otomatis dicap sebagai penyelisih dan bukan Ahlu Sunnah. Makanya jangan heran kalau kelompok ini kemudian mengeluarkan daftar nama-nama asatidzah Ahlu Sunnah versi mereka yang mesti menimba ilmu “hanya” kepada mereka, sekaligus dalam waktu yang sama menerbitkan pula daftar nama-nama asatidzah (Ahlu Sunnah) yang telah mereka keluarkan dari barisan Ahlu Sunnah disertai tahdziran untuk tidak mengambil ilmu dari mereka, wailallahil musytaka. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah mengingatkan akan hal ini: “Semoga Allah merahmati seorang yang tahu kadar dirinya”. Yah, semoga Allah merahmati orang yang tahu diri, dan tidak tergesa menempatkan diri mereka sebagai “mufti” penentu apakah seseorang itu Ahlu Sunnah atau tidak. Dan tidak mengklaim dirinya sebagai pemegang tunggal lisensi Ahlu Sunnah itu.

2. Alhamdulillah, sejak dulu –puluhan tahun lalu- WI tidak pernah ambil peduli terhadap segala penilaian (tudingan) yang dilontarkan oleh kelompok “salafy” tersebut. Alasannya, Jika ukuran ke-ahlusunnah-an seseorang memakai timbangan mereka, sungguh akan lahir banyak ketimpangan dan kezaliman. Sebab demikianlah adanya. Bahwa timbangan yang mereka gunakan adalah timbangan subyektif yang memakai standar ganda. Silahkan pembaca sekalian menyimak penjelasan kami akan hal ini dalam Silsilah Pembelaan kami, utamanya artikel “Fenomena “Salafy” dan Manhaj Mengkritik Terhadap Orang lain”. Dan pertanyaannya pula, Siapa yang kemudian mendudukkan serta menunjuk antum dan kelompok antum sebagai penentu Ahlu Sunnah atau tidaknya seseorang atau jama’ah (Ahlu Sunnah) lain??

3. Fatwa dan nasehat Syaikh Abdullah bin Baz –rahimahullah– di atas memberi isyarat bahwa dakwah WI dan selainnya (dari gerakan Ahlu Sunnah) yang merupakan “seteru” kelompok “salafy” adalah dakwah Ahlus Sunnah, Insya Allah. Sebab asbabul wurud nasehat tersebut adalah kerisauan beliau terhadap fenomena hajr, permusuhan, menguntit kesalahan dan tahdzir antara kelompok “salafy” dengan para ulama dan du’at Ahlu Sunnah lainnya. Dan kami tegaskan kembali, fenomena yang terjadi di negeri ini dan negeri-negeri lainnya merupakan imbas dari fenomena di Saudi Arabiyah. Beliau sendiri menyatakan, bahwa fenomena yang terjadi itu adalah fenomena “permusuhan” antar sesama Ahlus Sunnah. Perhatikan ucapan beliau: “Metode ini memecahkan persatuan kaum muslimin dan merobek barisan mereka. Padahal kaum muslimin sangat membutuhkan persatuan dan menjauhi perceraiberaian dan perpecahan. Demikian pula begitu banyak isu-isu yang tersebar diantara mereka. Terlebih lagi, para da’i yang dicela termasuk kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dikenal memerangi bid’ah dan khurafat, menghadang orang-orang yang menyeru kepada bid’ah dan khurafat, serta mengungkap dan membongkar rencana-rencana jahat serta makar mereka”[13].

4. Pernyataan al-akh Sofyan Khalid di atas, juga merupakan pengelabuan bagi umat. Bahwa ke-ahlussunnah-an WI hanyalah pengakuan pribadi tanpa sokongan dalil dan termasuk kategori “tazkiyah an-nufus” yang tercela, sebagaimana yang di-isyaratkan oleh sebuah syair :

كل يدعي وصلا بليلي وليلي لا تقرّ لهم بذاك

Artinya : “Semua orang mengaku punya hubungan dengan si Laila, akan tetapi si Laila tidak mengakui hubungan tersebut”.

Padahal, hampir seluruh syubhat mereka telah kami sanggah dengan dalil dan hujjah ilmiyah serta fatwa-fatwa ulama mu’tabar, walillahil hamd. Disamping itu, ia merupakan tudingan keji bahwa WI mengajarkan tahazzub kepada kader-kadernya, dan terkesan menyembunyikan kebenaran. Dan hal ini pula telah kami sanggah secara ilmiyah pada Silsilah Pembelaan sebelumnya. Silahkan pembaca sekalian merujuk pada Silsilah kami, lalu menilai siapa yang begitu getol menjaga kesetiaan kader-kadernya, apakah WI atau kelompok “salafy”. Dan alhamdulillah, sejak munculnya artikel-artikel al-akh Sofyan Khalid di situs www.almakassari.com, kami tidak pernah mencegat siapapun dari kader WI untuk menelaah dan menyimaknya. Tokh karena mereka tahu siapa yang berada di atas Manhaj yang Shahih dalam perkara ini. Akan tetapi, yang kami khawatirkan justru sebaliknya. Kelompok Sofyan-lah yang mencegat dan mentahdzir kader-kadernya untuk membuka situs kami, yakni www.alinshof.com, dengan dalih syubhat. Sebab kami yakin jika kader-kader mereka membaca dengan seksama dan dengan hati yang jujur, insya Allah akan mendapat hidayah dan pencerahan, bagaimana Manhaj yang shahih dalam hal menyikapi pribadi atau jama’ah selain kelompok mereka.[14]

Al-akh Sofyan Kholid mengatakan :

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- menerangkan bahwa sebuah jama’ah ataupun seorang yang menjadi anggota jama’ah tersebut dapat digolongkan ke dalam 72 golongan ahlul bid’ah, jika menyimpang dalam permasalahan dakwah, berbeda dengan “fatwa” salah seorang Ustadz WI, bahwa yang boleh dikatakan sebagai ahlul bid’ah, jika penyimpangannya pada masalah aqidah.

Tanggapan :

1. Pembaca budiman, seandainya al-akh Sofyan Khalid mau sedikit bersabar dan menelaah perkataan para ulama yang lain dan tidak hanya bersandar pada satu pendapat lalu membangun manhaj di atasnya, sungguh hal itu lebih selamat bagi agama dan harga dirinya. Padahal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah– berkata:

و البدعة التى يعدّ بها الرجل من أهل الأهواء ما اشتهر عند أهل العلم بالسنة مخالفتها للكتاب والسنة كبدعة الخوارج والروافض والقدرية والمرجئة

Artinya :”Dan bid’ah yang seseorang digolongkan sebagai ahlul ahwa’ adalah [bid’ah] yang masyhur di kalangan ulama sunah penyelisihannya terhadap al-Qur’an dan Sunnah seperti bid’ah Khawarij, Rawafidh, Qodariyah, dan Murji’ah”.[15]

Juga pernyataan Muhadditsul Ashr asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah-: Kami berharap sekiranya saudara-saudara kita sesama muslim tersebut sama seperti kita dalam masalah tauhid. Itu saja. Hanya sama dalam tauhid saja, sehingga kalian bisa bersama mereka. Sebab, mereka tidak ridha untuk bersama kita, bahkan dalam masalah aqidah”.[16]

Perlu diketahui, kebanyakan bid’ah yang mengeluarkan kelompok-kelompok di atas dari lingkup Ahlu Sunnah adalah bid’ah dalam masalah Aqidah. Dan realita sejarah menceritakan kepada kita, bahwa sebagian besar firqoh ataupun individu tertentu divonis sesat dan menyesatkan oleh ulama-ulama Ahlu Sunnah lantaran terjerembab pada penyimpangan dalam masalah aqidah. Hal ini disebabkan beberapa hal :

  • Kebanyakan dalil dalam masalah aqidah, datang kepada kita secara qoth’i at-tsubut dan qoth’i ad-dilalah, hingga tidak menyisakan ruang untuk khilaf yang ditolerir. Dan ia berbeda dengan masalah-masalah lainnya
  • Sebagian besar penyimpangan dalam masalah Aqidah lebih berat kejahatannya dari pada penyimpangan dalam masalah lainnya.[17]
  • Sebagian besar masalah aqidah tidak terbuka padanya pintu ijtihad, dan hal ini berbeda dengan masalah lainnya.

2. Pada prinsipnya kami sepakat dengan fatwa Syaikh Shalih al-Fauzanhafidhahullah-, karena fatwa beliau merupakan Vonis Muthlaq kepada mukhalif. Yakni vonis terhadap perbuatan ataupun perkataan dan bukan vonis mu’ayyan. Dan hal ini banyak dikandung oleh nash-nash syar’i dari al-Qur’an dan as-Sunnah, misalnya sabda Nabi kita shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ

Artinya : Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah terjatuh dalam perbuatan syirik.[18]

Atau hampir serupa dengan perkataan para ulama :

ومن قال : القرآن مخلوق ، فهو كافر

Artinya: “Barang siapa yang mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk maka dia telah kafir”.

Akan tetapi jika ada individu yang terjatuh dalam penyelisihan tersebut, tidak serta merta kita bidikkan kepadanya tabdi’ mu’ayyan. Masih ada koridor-koridor yang harus dilalui. Bahkan orang yang terjatuh dalam penyimpangan pada masalah aqidah-pun tidak serampangan lantas dikeluarkan dari manhaj Ahlu Sunnah oleh para ulama kita. Dan contoh akan hal ini sangat banyak berserakan dalam karya-karya mereka.

Al-akh Sofyan Kholid mengatakan :

Jika seperti itu keadaannya, maka mengarahkan fatwa Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah- kepada asatidzah ahlus sunnah salafiyin adalah salah alamat, kalau tidak mau disebut kedustaan, sebab yang diperingatkan di sini adalah kelompok-kelompok yang menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah, bukan sesama “Ahlus Sunnah”.

Tanggapan :

Pertama: Sekali lagi, alinea yang digoreskan al-akh Sofyan Khalid di atas berangkat dari ke-kurangmengertian-nya terhadap artikel kami. Sungguh, sekiranya dia membaca nasehat Syaikh Bin Baz –rahimahullah- dengan cermat, lalu mencari tahu asbabul wurud nasehat tersebut, niscaya tidak akan terbit tuduhan keji itu kepada kami. Padahal sebuah kaidah fiqhiyah menyatakan:

الحكم علي شيء فرع عن تصوره

Artinya: “Hukum atas sesuatu merupakan cabang (bagian) dari pemahaman (akan hukum) itu”.

Kedua: Jika keadaannya seperti yang kami gambarkan, berdasarkan sebab keluarnya fatwa Syaikh tersebut, maka mengarahkan fatwa dan nasehat itu kepada tokoh dan asatidzah kelompok “salafiy” sangat tepat dan bukan merupakan kedustaan, bahkan ia adalah kebenaran. Bahkan seandainya kami bidikan nasehat Syaikh Bin Baz –rahimahullah- di bawah ini-pun kepada kelompok ini, maka adalah merupakan suatu kebenaran, perhatikan bunyi nasehat beliau:

“Nasehatku kepada saudara-saudaraku yang melakukan ghibah terhadap para da’i dan mencederai kehormatan mereka, agar bertaubat kepada Allah dari perkara-perkara yang telah ditulis oleh tangan-tangan mereka, atau yang dilafazkan oleh lisan mereka yang menyebabkan rusaknya hati sebagian para pemuda, memenuhi hati mereka dengan hasad dan dengki, serta menyibukkan mereka hingga tidak menuntut ilmu yang bermanfaat. Hendaknya mereka bertaubat dari model dakwah mereka yang dipenuhi oleh qila wa qaala (katanya…katanya…), bertaubat dari nukilan perkataan dari fulan dan fulan, mencari-cari perkara yang dianggap merupakan kesalahan orang lain dan berusaha menjerat kesalahan-kesalahan tersebut.[19]

Duh, pembaca mulia, sebuah nasehat yang begitu benderang secerah matahari di siang bolong, yang kemudian berusaha dihijabi oleh al-akh Sofyan Khalid dengan selembar syubhat. Padahal, hingga shigar thullabul ilmi-pun tahu, kepada siapa nasehat ini diarahkan. Dan kelompok mana yang sifat dan perangainya persis sama dengan apa yang dikemukakan oleh Fadhilatus Syaikh di atas.

Ketiga: Dari sini kami makin “kagum” dengan kelihaian al-akh Sofyan Khalid dan kelompoknya dalam mentalbis. Jika ditilik dari sub temanya, para pembaca dapat dipastikan akan tertipu. Namun jika dicermati isi-nya, ternyata hanya sebuah kesimpulan yang dibangun di atas ketidakpahaman terhadap artikel kami. Makanya sangat layak bagi kami menpersembahkan pada al-akh Sofyan Khalid sebuah sya’ir masyhur yang berbunyi:

وَكَمْ مِنْ عَائِبٍ قَوْلًا صَحِيحًا … وَآفَتُهُ مِنَ الْفَهْمِ السَّقِيمِ

Artinya: “Berapa banyak orang mencela perkataan yang benar, padahal cacatnya (sumbernya) berasal pemahaman yang salah”.

Keempat: Kami tidak tahu pasti motivasi dibalik semangat yang bergitu besar dari al-akh Sofyan Khalid dan kelompoknya untuk mengemilinasi lembaga dakwah WI dari barisan Ahlus Sunah. Semoga hal itu lahir dari ghirah terhadap agama dan bukan lantaran tendensi pribadi atau kepentingan dunia lainnya. Namun yang kami maklumi adalah jika sekiranya vonis tersebut mentah, mereka seakan menelan ludah sendiri. Meleburkan bangunan tahdzir yang selama bertahun-tahun mereka bangun bata perbata. Lalu wajib atas mereka bertaubat secara nasional di mimbar-mimbar, di situs-situs internet dan sebagainya.

Berkata al-akh Sofyan Khalid :

Masalah Penyebutan Nama Tokoh dan Kelompok dalam Menasihati

Tanggapan :

1. Alhamdulillah, kami tidak melihat ada hal serius dalam masalah ini, yang berkonsekwensi celaan bagi artikel kami. Hal ini disebabkan beberapa faktor :

· Redaksi kami dalam artikel di atas adalah redaksi menukil fatwa dari Samahatus Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Bazrahimahullah-, bukan menjelaskan secara rinci tentang masalah penyebutan nama tokoh dan kelompok dalam menasihati. Pengingkaran yang kami lakukan kepada Sofyan Khalid dalam footnote tidak berarti kami melarang secara mutlak penyebutan nama tokoh atau kelompok dalam menasehati.

· Tidak menyebutkan nama kala memberi nasehat adalah hukum asal. Dan bolehnya menyebut nama ketika menasehati atau mentahdzir terkait erat dengan maslahat. Syaikh Bin Baz –rahimahullah- mengatakan :

وإنكار المنكر: يكون مِنْ دون ذِكْر الفاعل، فيُنْكر الزنا، ويُنْكر الخمر، ويُنْكر الربا، مِنْ دون ذِكْر مَنْ فَعَلَهُ، ويكفي إنكار المعاصي والتحذير منها، من غير أن يُذْكر أن فلانًا يفعلها، لا حاكم ولا غير حاكم

Artinya: ”Mengingkari kemungkaran dilakukan dengan tanpa menyebut (nama) pelakunya. Olehnya, zina, minum khamer dan riba diingkari, tanpa harus menyebut pelakunya dan cukup dengan mengingkari maksiat itu serta mentahdzir manusia darinya, tanpa menyebutkan bahwa si fulan yang melakukannya, baik dia seorang hakim [pemerintah pent.] ataupun bukan”.[20]

Olehnya, menurut kami, sebenarnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam artikel kami. Seperti jika kita ditanya tentang hukum memakan daging babi. Apabila jawab kita tegas bahwa daging babi hukumnya haram, maka jawaban itu benar. Sebab itu adalah hukum asal. Padahal dalam hal ini masih ada pula rinciannya. Yakni, daging babi boleh untuk dimakan apabila dalam keadaan darurat sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an.

· Demikian pula, tidak menyebut nama ketika memberi nasehat bahkan tadzir merupakan sunah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan juga sunah para ulama salaf kita. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ما بال أقوام يشترطون شروطا ليست في كتاب الله

Artinya: “Mengapa ada kaum yang menentukan syarat menyelisihi kitab Allah?”[21]

Juga nasehat Fadhilatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- di atas: “Di masa ini telah tersebar banyak orang yang dikenal dengan ilmu dan dakwah kepada kebaikan terjatuh dalam pencelaan terhadap harkat dan kehormatan banyak saudara-saudara mereka –yaitu para da’i yang sudah dikenal-. Mereka juga mencela kehormatan para penuntut ilmu, para du’at dan para khatib. Mereka melakukan demikian secara sembunyi-sembunyi di majelis-majelis mereka. Dan terkadang merekam pembicaraan tersebut dalam kaset-kaset yang disebarkan di tengah-tengah masyarakat. Terkadang pula mereka melakukannya secara terang-terangan pada pengajian-pengajian umum di masjid-masjid”.

Demikian pula “nasehat” Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad –hafidhahullahkepada tokoh-tokoh kelompok “salafiy”:

وقد شارك التلميذ الجارح ثلاثة : اثنان في مكة والمدينة, وهما من تلاميذي في الجامعة الاسلامية بالمدينة, أولهما تخرج عام 1384 – 1385هـ, والثاني عام 1391- 1392 هـ, وأما الثالث ففي أقصى جنوب البلاد, وقد وصف الثاني والثالث من يوزع الرسالة بأنه مبتدع, وهو تبديع بالجملة والعموم, ولا أدري هل علموا أو لم يعلموا أنه وزعها علماء وطلبة علم لم يوصف بالبدعة

Artinya: “Dan turut andil bersama murid pencela tiga orang; dua orang dari ketiganya ada yang tinggal di Mekkah dan di Madinah. Keduanya termasuk murid-muridku (juga) di Universitas Islam Madinah. Yang pertama lulus tahun 1384-1385 H, dan yang kedua lulus tahun 1391-1392 H. Sedangkan yang ketiga berdomisili di ujung selatan negeri ini [Saudi Arabiyah, pent.], dua orang dari mereka [yakni orang kedua dan ketiga] mengatakan bahwa yang menyebarkan risalah [Rifqon Ahlas Sunah bi Ahlis Sunah] sebagai mubtadi’ [ahlul bid’ah], dan ini adalah tabdi’ secara global dan umum. Dan saya tidak tahu apakah mereka mengetahui atau tidak bahwa yang menyebarkan risalah tersebut adalah para Ulama dan Penuntut ilmu yang tidak disifatkan dengan bid’ah”.[22]

Perhatikan untaian “nasehat” di atas. Fadhilatus Syaikh tidak menyebutkan nama-nama orang yang di”nasehati“. Sebab kenyataannya ada maslahat untuk itu. Yaitu agar kaum ini tidak mungkir dari nasehat tersebut. Demikian pula, kemungkinan beliau [Fadhilatus Syaikh] memiliki pandangan lain, yakni tokoh-tokoh yang disebutkan sifat-sifatnya di atas sudah begitu masyhur di perhelatan da’wah ini.

Berkata al-akh Sofyan khalid :

Merupakan kedustaan atas nama ulama, jika fatwa Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah– diarahkan kepada Ahlus Sunnah yang men-tahdzir kelompok-kelompok yang menyimpang sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas. Demikian pula termasuk kedustaan atas nama Ulama, jika mengambil kesimpulan dari satu fatwa, tanpa melihat fatwa lainnya, sebagaimana yang mereka katakan sendiri,“Dan kami mengatakan, bahwa diantara bentuk dusta –atas nama ulama- adalah mengambil sebagian fatwa dan pendapatnya lalu mencampakkan yang lainnya, demi memberi kesan bahwa sang ulama berfatwa sesuai yang dikehendaki oleh sang penukil.”

Tanggapan

  1. Sebenarnya, dari paparan di atas syubhat al-akh Sofyan Khalid ini telah mentah. Akan tetapi demi tambahan faidah, serta lebih mematangkan pemahaman akan jawaban kami, maka kami katakan bahwa asbabul wurud dan latar belakang nasehat Fadhilatus Syaikh ini adalah realita dan fenomena tahdzir serta hajr sesama ulama dan duat ahlu sunah yang terjadi di sekeliling beliau, yang dimotori oleh pendahulu-pendahulu kelompok “salafy”. Olehnya, bukan merupakan kedustaan atas nama ulama jika kami bidikan nasehat dan fatwa ini kepada kelompok “salafy” yang datang kemudian dan melakukan hal yang sama dengan pendahulu mereka yang mendapat terguran dari nasehat Fadhilatus Syaikh tersebut.
  2. Jika keadaan yang sebenarnya seperti telah kami jelaskan di atas, bahwa pengingkaran kami terhadap penyebutan nama ketika menasehati, bukan berarti pengharaman secara mutlak dari kami, maka hal itu juga bukan termasuk kedustaan atas nama ulama.
  3. Jusru yang paling mungkin dapat dikatakan sebagai kedustaan atas nama ulama [kesalahpahaman lebih tepatnya], apabila salah dalam memahami fatwa-fatwa mereka, disebabkan buta terhadap asbabul wurud dari nasehat dan fatwa tersebut, lalu tergesa menarik kesimpulan darinya. Olehnya, fa’tabiruu ya ulil abshaar.

Terakhir, sebagai penutup dari artikel ini, kami ketengahkan sebuah hadits dari shahabat Abu Mas’ud radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya dari apa-apa yang didapati manusia (hari ini) berupa perkataan nabi-nabi terdahulu (adalah), jika kamu tidak lagi merasa malu, maka kerjakan apa saja yang engkau kehendaki”.[23]

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah atas Nabi besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarga, para sahabat dan segenap pengikutnya hingga hari kiamat kelak. Dan akhir dari seruan kami, segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Bersambung insya Allah…


[1]. Lihat: Terlarangkah Memakai Nisbah as-Salafiy dan al-Atsariy?, oleh Ust. Abdul Qodir, Lc, www.almakassary.com.

[2] . Lihat: Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at Jilid I bagian ke-1, www.alinshof.com

[3]. Lihat: Siapa Bilang Nisbat pada as-Salafiy dan al-Atsariy Terlarang?, Team al-Inshof, www.alinshof.com.

[4] . Lihat: Bolehnya Mengkritik Dari Suatu Penyimpangan, www.cahayasalaf.co.cc.

[5] . Lihat: catatan kaki Silsilah Pembelaan para Ulama dan Du’at Bagian ke-V, Team alinshof, www.alinshof.com

[6] . Kami mohon maaf kepada pembaca sekalian, sebab belum dapat menghadirkan sanggahan terhadap syubhat-syubhat “Salafiyyun” Muna ini, dikarenakan keterbatasan waktu dan tenaga serta vokus kami untuk menyelesaikan Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at. InsyaAllah, jika Allah berkenan memberi kelapangan, kami akan sanggah satu persatu secara ilmiyah dan dengan hujjah yang jelas.

[7] . Yakni, sebagai bentuk preventif menutup pintu-pintu fitnah, agar jangan sampai orang-orang menaruh sangka buruk terhadap saudara muslimnya. Dan hal ini-pun telah diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam hadits di atas. Beliau tidak ingin ada dalam hati para sahabatnya sebarang sangkaan yang dapat memunculkan fitnah di kemudian hari, kendati beliau yakni bahwa para sahabatnya tidak mungkin menaruh sangkaan buruk terhadap beliau. Akan tetapi, beliau sadar, bahwa setan memiliki makar dan tipu daya yang senantiasa menghembuskan angin fitnah dan syubhat dalam hati anak adam.

[8] . Lihat: Silsilah pembelaan kami jilid pertama

[9] . Silsilah al-Huda wa an-Nuur, kaset no. 511. Memang benar, engkau akan tinggal di puncak-puncak gunung atau di atas menara gading, wahai Sofyan. Hingga apapun yang terjadi di lapangan, dan apa yang dilakukan oleh para pengikut-pengikut kelompok ini berupa sikap dan perangai memalukan yang justru mencoreng wajah manhaj salaf yang mulia, luput dari perhatian para asatidzah “salafy”. Wallahul Musta’an.

[10] . Silsilah al-Huda wa An-Nuur, kaset no. 666; tanggal 7 Sya’ban 1413 H. Yah, apakah ada di belahan bumi ini seorang sahabat yang bebas dari kesalahan?? Pembaca budiman, makanya jangan heran kalau kelompok ini, mulai dari para masyaikh hingga shigar thullabil ilmi-nya begitu rentan bertikai, saling meng-hajr dan mentahdzir. Sebab demikianlah kenyataannya, bahwa mereka mengharapkan teman dan pendamping yang ideal dan bebas dari kesalahan. Olehnya, jika orang yang semula begitu dekat lalu terjatuh dalam kesalahan, ditambah dengan masalah pribadi lainnya, segera dihajr dan ditahdzir, seakan tidak ada lagi kebaikan yang ada pada dirinya. Dan bukti akan hal ini begitu amat sangat banyak, hingga thullabul ilmi shigar pun mengetahuinya.

[11] . Majmuu’ Fataawa Ibnu Utsaimin, Juz III/11-12, soal no. 382. Dan hal ini menunjukkan akan fiqh seseorang terhadap dakwah. Bukan asal mencomot fatwa yang kemudian ditanzil (diaplikasikan) kendati tidak sesuai dengan tampat dan kondisinya. Yang penting fatwa dari ulama panutan, lalu tidak mau tahu apakah cocok dan sesuai pada tempatnya atau tidak. Wallahul Musta’an.

[12]. Silahkan antum baca dengan seksama di silsilah pembelaan kami yang pertama.

[13]. Lihat: Sisilah Pembelaan kami jilid I.

[14]. Sebagai tambahan informasi berkaitan dengan semangat kelompok “salafy” menjaga dan memprotek anggota-anggotanya, keterangan yang termuat dalam situs http://tukpencarialhaq.wordpress.com/buku-tamu/, situs “salafy” yang paling beringas mengendus dan mengeluarkan cemohan-cemohan tidak beradab terhadap para du’at dan Lembaga-Lembaga Dakwah Ahlu Sunnah:

Pertanyaan: “Bagaimana tentang subhat mereka yang menyatakan, “bahwa mereka Salafy, kenapa tidak mau menghadiri dauroh di Surabaya yang mendatangkan Syaikh Ali Hasan?”, itu syubhat yang sering mereka lontarkan kepada kita.

Jawaban Ustadz Muhammad: “Pernah ditanyakan tentang hal ini kepada Syaikh Yahya Al Hajuri tentang masalah Ali Hasan Abdul Hamid yang datang ke Surabaya. Ditanyakan “bagaimana Syaikh, ada suatu majlis yang didatangi Ali Hasan dan sebagainya, dari Urdun dan yang hadir di sana campur, ada ahlus sunnah ada ahlul bid’ah, ada berbagai macam kelompok, sururi dan sebagainya. apakah dibenarkan kami tidak datang kesana, karena tidak mau ketemu dengan mereka, dengan ahlil bid’ah ini?”. Kata Syaikh:Ada mereka disana? Wallahi saya berpendapat bahwa bukan saja boleh, tidak perlu kamu duduk disana untuk hadir di majlis seperti itu. Kamu bisa hadiri majlis-majlis lain dari para Ulama dan kamu bisa membaca kitab para Ulama, kamu bisa mendengarkan kasetnya, dengan berbagai macam cara daripada kamu duduk dengan ahlil bid’ah.” Sampai seperti itu, dan beliau terheran-heran dengan Ali Hasan Abdul Hamid. Wallahu Ta’ala a’lam.

Juga masih dalam situs yang sama: “Mengenai Abdul Hakim Abdat antum bisa kunjungi di Abdul hakim Abdat “Pakar Hadits” Indonesia. Mengenai buku-buku mereka, maka tinggalkan buku-bukunya, masih banyak buku-buku yang telah ditulis atau diterjemahkan dan diterbitkan oleh Salafiyyin. Adapun tentang mereka telah kami tampilkan bukti-bukti atas keduanya (Ust. Hakim dan Ust. Yazid Jawwaz), bagi yang mengatakan bahwa tuduhan atas mereka adalah dusta, kami persilahkan untuk membuktikannya”.

Masih dalam situs yang sama: “Iya, mengenai abu qotadah simak di Man huwa (Siapakah dia) Abu Qotadah? . Tinggalkan abu qotadah dan kawan-kawannya yang mereka ini terkait dengan Surury Turotsi (Simak artikel kami tentang bahaya Sururiyyah dan Ihya’ Ut Turots). Ana nasehatkan belajarlah kepada Ustadz Muhammad Umar As Sewed, Ustadz Ja’far Shalih, Ustadz Dzulqarnain Makassar, Ustadz Abu Karimah Asykary, Ustadz Luqman Ba’abduh, Ustadz Abdurrahman Lombok, Ustadz Usamah Faishal Mahri, Ustadz Dzul Akmal, dan masih banyak lagi lainnya”.

Dan masih banyak lagi pembaca budiman, namun karena keterbatasan halaman, kami cukupkan dua nukilan saja. Untuk lebih lengkapnya, silahkan simak Silsilah Pembelaan Para Ulama dan Du’at Jilid I bag. Ke-VII.

[15]. Majmu’ul Fatawa 35/414 program maktabah syamilah

[16]. Silsilah al-Huda wa An-Nuur, kaset no. 666; tanggal 7 Sya’ban 1413 H

[17]. Lihat: Manahilul ‘Irfan, az-Zarqoni, Dirasah wat Taqwim: Dr. Khalid as-Sabt, I/273, dengan sedikit perubahan dari penerjemah.

[18]. HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan yang lainnya.

[19]. Silahkan merujuk kepada Silsilah Pembelaan kami Jilid I.

[20]. Al-Ma’lum Min Wajibil Alaqoh Bainal Hakimi Wal Mahkum hal. 22

[21]. HR. al-Bukhari.

[22]. Lihat: al-Hattsu ‘alal Ittiba’, Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hal 70-71.

[23] . HR. Bukhari (3483, 3484)

13 thoughts on “SILSILAH PEMBELAAN PARA ULAMA DAN DU’AT JILID 2”
  1. Memang betul, sering saudara-saudara kita di "salafy" kadangkala tidak lagi mempersoalkan isi bantahan, tapi yang menjadi ukuran adalah adanya bantahan. jadi kalau suda ada ustadnya yang bantah mereka sudah berpuas diri, lalu mengatakan diamana-mana, ah, itu sudah ada bantahan ilmiyahnya….met buat alishof.

  2. Alhamdulillah, kami salut sama team al-Inshof. artikel-artikel yang dikemukakan begitu ilmiyah dan memuaskan rasa penasaran kami di daerah tentang manhaj yang benar dalam menyikapi orang lain…terus membela kehormatan kaum muslimin…Allahu Akbar.

  3. Alhamdulillah setelah membaca Al Inshof…
    Astagfirullah wanaudzubillahiminasyaitanirrajim setelah membaca tukpencarialhaq. Alhamdulillah penyebaran Islam diIndonesia dahulu kala tdklah ditegakkan dengan metode dakwah atau manhaj seperti yg berserakan di situs tukpencarialhaq sehingga Islam hadir ditengah2 kita….coba kalo dulunya disebar dengan manhaj demikian…entah apa jadinya kita semua.

    Jazakumullahkhairan buat Team AlInshof, mudah2an Allah Jalla wa a'la senantiasa meridhoi dan melindungi serta menolong perjuangan antum semua….

    Wassalam.

    Andi, Perth WA

  4. Alhamdulillah, kalu begitu sama-sama salah paham ji, jadi sekarang harus dibaca dengan baik dan seksama, spaya tidak salahpaham lg.

  5. alhamdulillah dengan ijin AllAh SWT ana sekarang udah paham sepenuhnya dengan fenomena yang terjadi sekarang di kalangan salafi, dan ana udah paham bagaimana harus menyikapi itu smuan jazakumullah khairan buat team al-inshof dng penjelasannya yang begitu ilmiah.

  6. Ana termasuk orang yang pernah belajar pada kedua kelompok ini, walaupun pada salah satunya hanya dalam tempo yang singkat..
    Semoga Allah memberikan balasan yang baik kepada semua Asatidzah baik yang di WI maupun "Salafy", dan mengampuni kesalahan dan dosa2 mereka…
    Sungguh…, untaian nasehat dalam artikel ini sangat jelas dan bagi yang menelaahnya dengan baik akan mendapatkan manfaat utamanya dalam memahami manhaj salaf.. -biidznillah-.
    Oh ya.. salah satu pertanyaan dalam artikel ini sangat menarik,
    "Siapa yang kemudian mendudukkan serta menunjuk antum dan kelompok antum sebagai penentu Ahlu Sunnah atau tidaknya seseorang atau jama’ah (Ahlu Sunnah) lain??

    So.. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua dalam memahami islam dan istiqomah di dalamnya..

  7. Allahu Akbar…Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu…
    Teruntai ungkapan terimakasih yg tulus di lisan ini tuk kru al inshof atas setiap goresan penjelasan yg benar-benar ilmiyah ini..
    ia bagai semburat cahaya mentari yg mengusir kelam dan gelapnya kejahilan, memutus rantai2 dengki yg membelenggu jiwa dan hati….

    sungguh ummat ina tak kan dpt meraih izzahnya sebelum mereka menjadi seperti apa yg di ilustrasikan oleh Baginda RAsulullah : "bagai satu tubuh" atau laksana " sebuah bangunan yang setiap bagiannya saling menunjang dan menguatkan"

  8. Subhanallah…subhanallah…
    Tulisan yg sangat bagus,ilmiyah,penuh hikmah, sangat banyak faedah yg diambil.
    Terus terang ana sering mendengarkan kajian ustadz Dzulqarnain, bahkan juga hadir dan bertanya banyak hal, ana mengagumi keilmuan beliau.
    Tapi dalam masalah ini ana sependapat dengan al inshof dan ustadz dzulqarnain tetap seorang ahlussunnah yg bisa benar bisa salah.
    Ana melihat al inshof dan Ustd. dzulqarnain berada diatas aqidah dan manhaj yg sama.
    Jazakumullahkhairan katsir untuk Team AlInshof, uhibbukum fillah

  9. Untuk saudara-saudari kami para "salafiyyin", ana uhibbukum fillah.
    Marilah kita saling ta'awun dan bersatu di atas manhaj yang shahih mengusung da'wah ahlussunnah wal jama'ah….Subhanallah
    Demi Allah…kami merindukan untuk saling bersama2 menguatkan dan merapatkan shaf demi terwujudnya kejayaan Islam di kemudian hari walaupun jasad ini tak sempat menikmatinya…

  10. MasyaAllah…
    ana setuju dengan komentar akh 'abdullah.Untuk setiap person kita tdk boleh taqlid buta…ana jg kagum dengan ke-Ilmiyahan beliau dan ilmu beliau yang luas…Begitupula asatidz2 yang lain yang tidak perlu kami sebutkan namanya satu per satu.Krn asatidz yang mengusung da'wah Ahlussunnah saat ini Alhamdulillah sangat banyak.Kami mencintai mereka karena Allah. Semoga Allah menjaga mereka.u/ team al inshof,jazaakumullahu khayran atas setiap artikelnya.ana kagum dengan bahasa2 indah yang antum tampilkan. Semoga ini adalah salah 1 bentuk hikmah kita dalam bingkai tnaashuh.
    Uhibbukum fillah

Tinggalkan Komentar

By admin