Menjawab Syubhat Bagian II

Segala puji bagi Allah Ta’ala, shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas qudwah kita, Nabi besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarga, para shahabat dan segenap pengikutnya hingga hari kiamat kelak.

Ikhwah fillah, alhamdulillah, ternyata di tengah tumpukan tugas dakwah, taklim, dan kesibukan lainnya, rampung pula “jawaban syubuhat” Silsilah Pembelaan II ini hingga dapat segera kami persembahkan di hadapan pembaca sekalian kendati agak telat. Kajian kali ini (baca: jawaban syubhat) berkaitan dengan pernyataan Sofyan Khalid, bahwa WI membela tokoh-tokoh sesat yang karenanya pantas dieliminasi dari shaf Ahlu Sunnah. Semoga paparan ini memberi pencerahan bagi kita hakikat persoalan sebenarnya, hingga nampak sifat inshof dalam diri sebagai bagian dari seruan syari’at. Oh ya, tidak lupa kami haturkan permohonan maaf atas keterlambatan ini. Sebab yang namanya pekerjaan manusia, ia tidak lepas dari sifat-sifat manusia itu sendiri. Penuh kekurangan dan keterbatasan.

Pada edisi ini, secara khusus kami mohon ma’af ke hadapan pembaca, sebab barangkali bahasannya agak terbuka, dan terselip sedikit ibarat “keras”. Hal ini kami lakukan karena melihat adanya mashlahat padanya. Karena hakikat persoalannya, seperti pernyataan Imam Ibnul Wazir rahimahullah: “Sesungguhnya obat untuk melembutkan tabi’at keras adalah memukulkannya dengan besi dingin”.[1] Atau sebagaimana perkataan Imam al-Baghawi rahimahullah: “Pengobatan terakhir adalah dengan kay [yakni, dengan menempelkan besi panas di tempat sakit]”.[2]

Pembaca budiman, sebetulnya syubhat membela tokoh dan kelompok menyimpang sudah disinggung Sofyan Khalid dalam artikelnya “Mengapa Saya Keluar Dari Wahdah Islamiyah”. Dan kami pun telah menyanggah kendati belum memadai. Olehnya, dalam edisi ini akan dikupas tentang sikap kami terhadap tokoh-tokoh yang di”sesat”kan oleh Sofyan dalam “Jawaban Ilmiyah”-nya. Sebab ternyata, setelah ditelisik lebih jauh dapat disimpulkan, tokoh-tokoh inilah yang menjadi simpul al-wala’ wa al-bara’ bagi dunia Islam dewasa ini. Sikap kaum muslimin terhadap tokoh-tokoh inilah yang kemudian menjadi salah satu standar ke”salafi”an seseorang. Artinya, tokoh-tokoh “sesat” ini telah menjelma sebagai batu ujian bagi keahlussunahan seseorang. Siapa yang “berbaikan” dan tidak serampangan mentahdzir mereka, akan dituding sebagai pembela tokoh sesat, dan pantas disejajarkan. Sebaliknya, yang berani mengeluarkan tahdzir atas mereka (baca: merusak harga diri dan kehormatan), maka dia-lah Ahlu Sunnah plus “salafy” sejati!?

Jujur, sebenarnya manhaj macam inilah yang banyak disorot para ulama Ahlus Sunah. Dulu hingga hari ini. Karya-karya mereka sarat akan kritik atas metode tersebut. Berikut kami nukil sebagian pernyataan mereka sebagai bukti ucapan kami.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

وليس لأحد أن ينصب للأمة شخصا يدعو الى طريقته ويوالي ويعادي عليها غير النبى ولا ينصب لهم كلاما يوالي عليه يعادي غير كلام الله ورسوله وما اجتمعت عليه الأمة بل هذا من فعل أهل البدع الذين ينصبون لهم شخصا أو كلاما يفرقون به بين الأمة يوالون به على ذلك الكلام أو تلك النسبة ويعادون

“Tidak diperkenankan bagi seseorang mengangkat seorang tokoh untuk umat, lalu mengajak kepada thariqah-nya [manhaj] dan membangun manhaj al-wala’ wal bara’ di atasnya selain perkataan Allah dan Rasulnya serta Ijma’ umat. Bahkan ini merupakan perbuatan ahlul bid’ah, yang “memaksa” umat kepada [pendapat] seseorang atau perkataan yang memecah belah umat, kemudian membangun di atas perkataan ataupun nisbah tersebut manhaj al-wala’ wal bara’.[3]

Beliau rahimahullah menyatakan pula: Demikian pula memecah belah umat dan menguji mereka (imtihanun naas) pada apa yang tidak diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, seperti jika dikatakan pada seseorang: Engkau Syakiiliy atau Qarfandiy; sungguh semua ini adalah nama-nama batil yang tidak pernah Allah Ta’ala turunkan ilmunya”.[4]

Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan :

الدعاء بدعوى الجاهلية والتعزي بعزائهم كالدعاء إلى القبائل والعصبية لها وللأنساب ومثله التعصب للمذاهب والطرائق والمشايخ وتفضيل بعضها على بعض بالهوى والعصبية وكونه منتسبا إليه فيدعو إلى ذلك ويوالي عليه ويعادي عليه ويزن الناس به كل هذا من دعوى الجاهلية

“Menyeru dengan panggilan (seruan) jahiliyah, seperti menyeru kepada kabilah dan fanatisme dan [juga] menyeru kepada nasab, termasuk diantaranya ta’asshub kepada mazhab, kelompok, masyaikh dan mengutamakan sebagian di atas sebagian lainnya berdasarkan hawa nafsu dan ta’asshub, dan keadaannya ber-intisab kepadanya kemudian menyeru orang, memberi wala’ padanya serta mengarahkan bara’ (permusuhan) atasnya pula, serta menakar manusia dengannya (apa yang ada pada dirinya), maka semua ini termasuk dalam kategori seruan jahiliyyah“.[5]

Perhatikan pula teguran Fadhilatus Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad hafidzahullah terhadap manhaj ini dalam buku beliau “al-Hattsu ‘Alal Ittiba'”. Tegas beliau menyatakan, bahwa metode model ini adalah manhaj bid’ah yang mungkar:

و من البدع المنكرة ما حدث في هذا الزمان من امتحان بعض من أهل السنَّة بعضا بأشخاص، سواء كان الباعث على الامتحان الجفاء في شخص يُمتحن به، أو كان الباعث عليه الإطراء لشخص آخر

“Diantara bentuk bid’ah yang mungkar, apa yang terjadi di zaman ini berupa menguji sebagian ahlus sunnah dengan tokoh tertentu, baik disebabkan karena kebencian terhadap orang yang diuji dengannya, ataupun faktor kecintaan [yang berlebih-lebihan] kepada tokoh tertentu.[6]

Beliau hafidzahullah juga menyatakan: “Seandainya menguji manusia dengan seseorang [baca: tokoh] diperbolehkan di zaman ini, guna mengetahui siapa yang ahlus sunah atau selainnya, maka yang paling berhak melakukan hal itu adalah Syaikhul Islam dan mufti ad- dunya serta Imam ahlus sunah di zamannya, Syaikh kami Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah.[7]

Hingga pada perkataannya: “Dan diantaranya [bid’ah yang mungkar] adalah terjadinya tahdzir menghadiri durus [pelajaran-pelajaran] seseorang, lantaran orang tersebut tidak mencela si fulan yang Fulani atau jama’ah fulaniyah.[8]

Al-Allamah Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan :

لا يجوز أن يُنصَب شخص للأمة يُدعى إلى طريقته، ويُوالي ويُعادى عليها، سوى نبينا ورسولنا محمد صلى الله عليه وسلم؛ فمن نصب سواه على ذلك فهو ضال مبتدع.

“Dilarang mengangkat seorang tokoh bagi umat, dan diajak kepada thariqah-nya, lalu menegakkan loyalitas serta permusuhan di atasnya, kecuali nabi kita Muhammad shallalahu alaihi wasallam, maka barangsiapa yang mengangkat tokoh selain beliau [dan menjadi ukuran al-wala wal bara] maka dia adalah seorang yang sesat dan ahlul bid’ah“.[9]

Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Inilah keadaan kebanyakan jama’ah-jama’ah dan partai Islam dewasa ini. Yaitu mereka melantik tokoh-tokoh sebagai pemimpin mereka, lalu mencintai orang yang dekat dengan mereka [tokoh tersebut] dan memusuhi musuh mereka [tokoh], disamping tunduk pada fatwa-fatwa mereka tanpa meruju’ pada al-Qur’an dan sunnah, dan tanpa bertanya perihal dalil fatwa-fatwa tersebut”.[10]

Dari pernyataan para ulama di atas, muncul banyak pertanyaan. Siapa gerangan penyimpul buhul al-wala’ wal bara’ ber-asas pada tokoh tertentu? Siapa gerangan yang serampangan menjatuhkan vonis sesat atas kaum muslimin hanya lantaran tidak tegas [baca: tahdzir] atas tokoh tertentu? Siapa yang begitu getol memvonis sesat hanya lantaran ta’awun dengan kelompok-kelompok tertentu? Siapa yang biasa menguji manusia dengan tokoh-tokoh tertentu? Siapa gerangan yang mendepak seseorang dari barisan Ahlus Sunah lantaran menukil perkataan tokoh tertentu? Dan siapa gerangan yang begitu mudah menvonis orang-orang yang tidak mengikuti fatwa-fatwa tokoh mereka terutama dalam hal menuduh dan mencela? Pembaca sekalian, bagaimana kelompok “salafy” akan menta’wil nukilan perkataan-perkataan ini seperti takwil mereka terhadap pernyataan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah agar tuduhan-tuduhan itu tidak berebutan menampar wajah mereka?[11]

Adapun sikap kami terhadap kaum muslimin dan tokoh-tokohnya secara khusus, utamanya yang jatuh dalam penyimpangan, disamping jasa dan andil dalam perjuangan da’wah Islam, alhamdulillah seperti sikap para ulama Ahlu Sunnah, diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau pernah mengatakan :

وليعلم أن المؤمن تجب موالاته وإن ظلمك واعتدى عليك والكافر تجب معاداته وإن أعطاك وأحسن إليك فإن الله سبحانه بعث الرسل وأنزل الكتب ليكون الدين كله لله فيكون الحب لأوليائه والبغض لأعدائه والاكرام لأوليائه والإهانة لأعدائه والثواب لأوليائه والعقاب لأعدائه

“Hendaklah diketahui, bahwa seorang mukmin wajib engkau cintai, meskipun berbuat zhalim atasmu. Orang kafir harus engkau benci, kendati menghadiahkan sesuatu dan berbuat baik padamu. Karena sesungguhnya Allah -Ta’ala- mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab agar agama ini seluruhnya hanya diikhlaskan untuk Allah Ta’ala, sehingga kecintaan itu kepada wali-wali-Nya dan kebencian atas musuh-musuh-Nya”.

Beliau juga berkata: “Jika berkumpul pada diri seseorang kebaikan dan keburukan, ketaatan dan ma’siyat, sunah dan bid’ah, maka dia berhak mendapatkan al-wala’ [loyalitas] sesuai kebaikannya, dan berhak mendapatkan al-bara’ [permusuhan] sesuai keburukannya, maka berkumpul pada satu orang konsekwensi sikap pemuliaaan dan penghinaan”.[12]

Juga pernyataan beliau rahimahullah: “Adapun pujian dan celaan, cinta dan benci, loyalitas dan permusuhan, maka harus dibangun atas landasan kitab Allah Ta’ala. Siapa saja yang mukmin, wajib diberikan al-wala’ apapun jenisnya, dan siapa saja yang kafir, maka wajib diarahkan permusuhan apapun jenis”.[13]

Beliau juga mengatakan di halaman yang sama: “Barang siapa berkumpul padanya iman dan kekejian, maka diberi al-wala’ sesuai keimanannya, dan diarahkan kebencian sesuai dengan kekejiannya, tidak keluar dari iman secara keseluruhan hanya dikarenakan dosa dan maksiat.

Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan:

فإذا قلنا : إنه لا يخرج من الإيمان فهل نحبه على سبيل الإطلاق ؟؟ نقول : لا هذا ولا هذا, نحبه بما معه من الإيمان ونكرهه بما معه من المعاصي.

“Jika kita katakan, sesungguhnya dia tidak keluar dari iman, maka apakah kita mencintainya secara mutlak? kita katakan: Bukan ini ataupun itu, kita mencintai sesuai kadar keimanannya, dan kita membencinya menurut kadar maksiatnya”.[14]

Fadhilatus Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidhahullah mengatakan:

القسم الثالث : من يُحَبُ من وجهٍ ويُبغَضُ منْ وجهٍ: فتجتمعُ فيه المحبةُ والعداوةُ وهمْ عصاةُ المؤمنينَ . يُحَبونَ لِمَا فيهمْ منْ الإيمانِ ويُبْغَضونَ لما فيهم منْ المعصيةِ التي هي دونَ الكفرِ والشركِ.

“Bagian ke-3: Seseorang yang berhak dicintai di satu sisi dan berhak dibenci pada sisi lain, hingga berkumpul padanya kecintaan dan permusuhan. Mereka itu adalah kaum mukmin yang berbuat maksiat. Mereka, dicintai atas kadar keimanannya dan dibenci sesuai kadar maksiyat selain dosa kufur dan syirik”.[15]

Demikian pernyataan para ulama Ahlus Sunah, berkaitan dengan manhaj al-wala wal bara. Setiap muslim wajib mengokohkan pijakannya atas manhaj ini. Disamping tidak menampik mentah-mentah, dengan asumsi bahwa ia membawa angin segar bagi para pengusung manhaj al-muwazanah?![16]. Olehnya, kami ulangi, manhaj kami terhadap kaum muslimin, khususnya tokoh-tokoh yang terjatuh dalam kesalahan, adalah sebagaimana sikap para ulama di atas. Yakni, menetapkan al-wala dan al-bara’ sesuai kadar dan ukuran semestinya. Memberi loyalitas menurut kadar iman dan kebaikan seseorang serta menempatkan kebencian sejalan dengan kadar penyimpangan dan bid’ahnya.

Uniknya kelompok “salafy” memiliki manhaj sendiri dalam urusan al-wala’ wal bara’. Yakni al-wala sempurna atau al-bara’ sempurna pula. Dengan kata lain, memberi cinta seutuhnya atau mengarahkan permusuhan seutuhnya [khususnya terhadap sesama du’at]. Kenyataannya, jika mereka mencintai seseorang, maka pujian untuknya membumbung tinggi menghiasi angkasa. Namun jika sebaliknya, kendati pernah mendapat tempat terpuji di sisi mereka, atau telah divonis sesat, maka celaan, tudingan dan julukan buruk yang kental aroma permusuhan begitu amat tercium. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا

“Cintailah orang yang engkau cintai seadanya, bisa jadi suatu saat ia akan menjadi musuhmu. Dan bencilah orang yang kamu benci seadanya pula, bisa jadi suatu saat dia akan menjadi orang yang kamu cintai”.[17]

Demikianlah, sementara lisan mereka fasih menukil perkataan para ulama tentang manhaj [baca: al-wala’ wal bara’]. Namun pada sisi aplikasinya, hasilnya –maaf- jauh panggang dari api. Indikasi yang amat nyata, penolakan serampangan terhadap manhaj al-muwazanah dan menudingnya sebagai manhaj bid’ah. Bahkan, mereka menegakkan pilar-pilar loyalitas dan permusuhan di atas sikap terhadap manhaj ini. Disamping memancang dinding permusuhan terhadap organisasi-organisasi Islam yang jatuh dalam kesalahan. Makanya, tatkala kaum muslimin di belahan dunia bangkit menggerakkan solidaritas terhadap kaum muslimin di Palestina, mereka justru sibuk menyoal akidah dan manhaj mereka. Padahal saat itu mereka meregang nyawa di ujung moncong senjata zionis, kehormatan kaum muslimah dipertaruhkan, dan bayi-bayi tak berdosa bersimbah darah di atas trotoar berdebu, di sudut-sudut jalan kota Palestina..!? Adapun aroma perpecahan dan permusuhan yang sengaja dihembuskan dalam barisan du’at Ahlus Sunah sebagai implikasi rusaknya pengejawantahan manhaj ini, maka haddits walaa haraj, bumi pertiwi menjadi saksi bisu. Bahwa perpecahan dan perselisihan banyak dibidani dan dipraktekkan oleh tangan-tangan kelompok ini, wallahul musta’an.

Jika dikatakan: bukankan diantara konsekwensi kecintaan kepada sesama muslim adalah menasehati, menyeru kepada yang ma’ruf serta mencegahnya dari kemungkaran?

Maka kami jawab, ucapan ini benar. Namun ia bukan alasan untuk mencela, menuduh dan memvonis orang yang menyelisihi kita. Sebab realita membuktikan, ternyata yang terjadi bukan lagi saling menasehati antarsesama, tapi ia telah menjelma menjadi tajassus [menguntit kesalahan], tashayyudul zallaat [mengendus kesalahan], tasyhiirul zallaat [menyebarkan kesalahan], lalu diakhiri palu vonis, bahwa fulan atau jama’ah fulaniyah bukan lagi termasuk dalam jajaran Ahlu Sunnah. Celakanya, tak jarang sikap ini dibarengi perasaan puas dan gembira atas kesalahan yang dilakukan saudara muslimnya, lalu menjadi alasan mengerek bendera permusuhan.

Sofyan Khalid mengatakan :

Adapun perkataan WI bahwa asatidzah salafiyin “men-tahdzir umat dari ulama dan kelompok selain mereka”, maka saya katakan, “Kalau yang Anda maksudkan dengan “ulama” adalah Sayid Quthub, Salman al-‘Audah, ‘Aidh al-Qarni, Safar al-Hawali dan yang semisal mereka diantara idola-idola kalian, maka ketahuilah, kami bukan yang pertama men-tahdzir para “ulama” (menurut versi WI) tersebut, bahkan kami hanyalah menyampaikan nasihat dan peringatan Ulama Sunnah tentang bahaya pemikiran dan manhaj “ulama” yang kalian maksudkan.

Tanggapan :

Tokoh-tokoh “sesat” versi kelompok “salafy” yang diuraikan di atas, bukan nama-nama asing bagi dunia dakwah Islam. Dan lantaran WI memiliki sikap lebih toleran terhadap mereka, maka lahirlah tahdzir dan tuduhan dari kelompok “salafy” bahwa WI membela Ahlul Bid’ah, atau bermesraan dengan tokoh sesat!? Karena demikianlah adanya. Bahwa ulama-ulama yang namanya kami garis bawahi itu telah menjadi batu ujian bagi ke-salafiy-an seseorang. Hingga menjadi sebuah kaidah, bahwa “salafi” sejati itu ditentukan oleh keberaniannya mentahdzir (baca: mencela) tokoh-tokoh ini. Dan tidak boleh ada sebarang toleransi bagi mereka. Olehnya, kendati seseorang memiliki aqidah yang lurus, jauh dari penyimpangan dan bid’ah, namun “lembek” terhadap tokoh-tokoh ini, maka –oleh kelompok “salafy”- otomatis tercap di dahi mereka sebagai Surury, Quthby, Ikhwany Banna-iy dan selainnya.

Makanya, dalam poin ini kami ketengahkan nukilan pernyataan para ulama Ahlu Sunnah tentang mereka, agar kita mendapat bashirah akan sikap para ulama terhadap tokoh-tokoh di atas. Kami yakin, sebagian besar ikhwah-ikhwah “salafy” tidak mengetahui dengan pasti sikap para ulama Ahlu Sunnah, melainkan hanya sebatas apa yang dicekoki oleh ustadz-ustadz mereka berupa “penyimpangan” dan segala keburukan yang ada pada mereka. Sayangnya, jika mereka ingin konfirmasi banding antara informasi yang dibeberkan para asatidzah-nya dengan sumber-sumber lain yang lebih valid, segera mereka memasang perangkap tahdzir, bahwa seluruh informasi-informasi tersebut adalah syubhat yang harus dijauhi.

Khusus tiga nama terakhir, yakni al-Allamah Syaikh Dr. Salman bin Fahd al-Audah, Syaikh Dr. Safar al-Hawali dan Syaikh Dr. ‘Aid al-Qarny, maka penjelasan kami tentang mereka sudah lebih dari cukup pada artikel-artikel sebelumnya, yakni dalam Silsilah Pembelaan kami terhadap para Ulama dan Du’at jilid I. Karenanya, mungkin kami lebih fokus pada pernyataan ulama terhadap al-Ustadz Sayyid Quthub rahimahullah, disamping keterangan tambahan terkait ketiga ulama tersebut. Maka dengan memohon taufiq dari Allah Ta’ala kami katakan :

  • Perkataan para ulama terkait pribadi al-Ustadz Sayyid Quthb rahimahullah.

Syaikh Muhadditsul ‘Ashr Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah mengatakan dalam sesi tanya jawab seputar manhaj Sayyid Quthb tentang al-Qur-an:

“Kami -wahai saudaraku- telah sering membahas masalah ini. Bahwa Sayyid Quthub bukan seorang ulama, tapi beliau seorang sastrawan dan penulis, dan dia tidak mahir dalam mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan aqidah islamiyah, terkhusus ‘aqidah salafiyah. Karena itu, tidak patut bagi kita untuk sering membahas seputar ungkapan-ungkapannya, karena bukan seorang ulama dengan ma’na yang kita inginkan, yaitu ulama al-qur’an dan sunnah di atas pemahaman salafus sholih.

Dalam banyak ungkapannya, ia sering menggunakan ungkapan insya’ dan balaghah, dan bukan dengan ungkapan ilmiyah, khususnya ungkapan-ungkapan salafiyah, tidak masuk dalam bab ini secara mutlak.

Dan kami tidak segan mengingkari ungkapan-ungkapan dan tasybiih seperti ini. Vonis minimal terhadap kalimat seperti ini, bahwa dia tidak memaksudkan al-Qur’an adalah firman Allah secara hakikat, sebagaimana manhaj Ahlus Sunnah, atau dia adalah firman Allah secara majaz sebagaimana perkataan mu’tazilah adalah perkataan syi’rii.

Akan tetapi saya tidak berpendapat untuk membahas panjang lebar terhadap perkataan seperti itu, kecuali menjelaskan, bahwa perkataan tersebut tidak sesuai syariat, dan tidak mewakili Aqidah sang penulis tentang al-Quran, apakah dia firman Allah secara hakikat atau tidak? Ini yang saya yakini.

Beliau rahimahullah juga menyatakan: “Sayyid Quthub seorang penulis, dan sangat bersemangat untuk islam yang dia pahami. Namun dia bukan seorang ulama, dan bukunya [al-‘adalah al-ijtima’yah] adalah karya perdananya. Kala menulisnya, beliau adalah sastrawan tulen. Baru setelah hidup di penjara, dia banyak berkembang, dan menulis banyak buku seakan-akan dia seorang salafi. Akan tetapi saya yakin penjara bisa membina sebagian jiwa, dan membangkitkan sebagian jiwa yang terdalam dan kemudian menulis, ya’ni cukup temanya yang berbunyi “Laa ilaha illallah manhajul hayah”.

Beliau juga mengatakan: “Akan tetapi jika dia tidak bisa membedakan tauhid Uluhiyah dan Rububiyah, hal ini tidak berarti dia tidak memahami hakikat tauhid Rububiyah dan Uluhiyah, lalu dijadikan kedua dalam satu bagian. Ini menunjukan bahwa dia bukan seorang Faqih, dan bukan seorang alim. Demikian pula menunjukan ketidakmahirannya dalam mengungkapkan ma’na-ma’na syar’ii yang datang dari al-Qur’an dan sunnah. Sebab memang dikarenakan dia bukan seorang alim.

Syaikh al-Albani rahimahullah juga menjawab sebuah pertanyaan tentang apakah boleh membantah Sayyid Quthub, dan mengatakan :

نعم يُرد عليه، ولكن بهدوء وليس بحماس..يُرد عليه، وهذا واجب.. ليس الرد على المخطئ محصوراً بشخص أو أشخاص.. كل من أخطأ في توجيه الإسلام بمفاهيم مبتدَعة، وحديثة ولا أصول لها في الكتاب ولا في السنة، ولا في سلفنا الصالح، والأئمة الأربعة المتبَعين؛ فهذا ينبغي أن يُرد عليه.. لكن هذا لا يعني أن نعاديه.. وأن ننسى أن له شيئاً من الحسنات !! يكفي أنه رجل مسلم، ورجل كاتب إسلامي- على حسب مفهومه للإسلام كما قلتُ أولاً-، وأنه قُتل في سبيل دعوته للإسلام، والذين قتلوه هم أعداء الإسلام..

“Ya, dia harus dibantah, akan tetapi dibantah dengan tenang bukan dengan serampangan, dan ini wajib. Membantah kesalahan tidak terkhusus kepada individu tertentu, namun semua yang terjatuh dalam kesalahan ketika menjelaskan Islam sesuai dengan pemahaman ahlul bid’ah atau yang tidak ada dasarnya dalam kitab, sunnah dan salafus sholih, dan ulama madzhab yang empat, maka yang seperti ini harus disanggah. Akan tetapi bukan berarti kita memusuhinya dan melupakan kebaikannya. Cukuplah dia seorang muslim, dan penulis islam –menurut perspektif yang dia pahami dari islam- dan bahwa dia terbunuh di jalan dakwah, disamping yang membunuhnya adalah musuh-musuh Islam”.[18]

Fadhilatus Syaikh al-Allamah al-Faqih Syaikh Abdullah bin Abdirrahman al-Jibrin –rahimahullah- kibarul ulama terpandang di Saudi Arabiyah mengatakan :

ثم أقول إن سيد قطب وحسن البنا من علماء المسلمين ومن أهل الدعوة وقد نصر الله بهما وهدى بدعوتهما خلقا كثيراً ولهما جهود لا تنكر ولأجل ذلك شفع الشيخ عبد العزيز بن باز في سيد قطب عندما قرر عليه القتل وتلطف في الشفاعة فلم يقبل شفاعته الرئيس جمال ـ عليه من الله ما يستـحق ـ ولما قتل كل منهما أطلق على كل واحد أنه شهيد لأنه قتل ظلما ، وشهد بذلك الخاص والعام ونشر ذلك في الصحف والكتب بدون إنكار ثم تلقى العلماء كتبهم، ونفع الله بهما ولم يطعن أحد فيهما منذ أكثر من عشرين.

“Kemudian saya katakan, sesungguhnya Sayyid Quthub dan Hasan al-Banna adalah ulama kaum muslimin dan termasuk du’at. Sungguh Allah telah memberikan pertolongan dan hidayah-Nya kepada orang banyak lewat perantara keduanya. Mereka berdua memiliki juhud [usaha] yang besar. Karenanya, Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz meminta syafaat kepada presiden Jamal terkait vonis hukuman mati bagi Sayyid Quthb ketika diputuskan hukuman mati atasnya, namun tidak dikabulkan. Ketika mereka berdua [Sayyid Quthub dan Hasan al-Banna] terbunuh, maka manusia menggelari mereka sebagai as-Syahid, lantaran keduanya terbunuh secara dhalim. Dan semua orang sepakat [dengan gelar tersebut] baik orang umum ataupun yang khusus, bahkan tersebar di koran dan majalah. Dan hal ini berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada yang mengingkari. Manusia banyak mengambil manfaat dari keduanya, dan tidak ada yang mencela mereka berdua sejak dua puluh tahun yang lalu.[19]

  • Pernyataan para ulama terkait karya-karya al-Ustadz Sayyid Quthub rahimahullah.

Samahatus Syaikh Mufti ad-Dunya Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menyatakan saat menjawab pertanyaan tentang buku-buku al-Maududi, Sayyid Quthub, Abu Hasan an-Nadawi :

كلها كتب مفيدة ، كتب هؤلاء الثلاث (غير واضح) كلها كتب مفيدة فيها خير كثير ولا تخلو من بعض الأغلاط كل يؤخذ (غير واضح) من قوله ويترك ، ليسوا معصومين ، وطالب العلم إذا تأملها عرف مافيها من الأخطاء ومافيها من الحق (غير واضح) وهم رحمهم الله قد اجتهدوا في الخير ودعوا إلى الخير وصبروا على المشقة في ذلك

“Semuanya adalah buku-buku bermanfaat. Buku-buku mereka bertiga [kalimat tidak jelas] semuanya bermanfaat, di dalamnya banyak tersimpan kebaikan meskipun tidak luput dari kesalahan. Semua orang [kalimat tidak jelas] diterima atau ditolak perkataannya, mereka tidak ma’shum. Seorang penuntut Ilmu jika membaca buku-buku tersebut dengan cermat, maka akan mengetahui kesalahan-kesalahan dalam buku tersebut sebagaimana akan mengetahui kebenaran-kebenaran [kalimat yang tidak jelas], mereka –rahimahumullah- telah ber-ijtihad dalam kebaikan dan berdakwah kepada kebaikan serta bersabar dalam menghadapi kesusahan di dalamnya”.[20]

As-Syaikh Muhadditsul ‘Ashr Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah mengatakan :

ثم إن في كلام سيد قطب رحمه الله وفي بعض تصانيفه مما يشعر الباحث أنه كان قد أصابه شيء من التـحمس الزائد للإسلام في سبيل توضيـحه للناس ، ولعل عذره في ذلك أنه كان يكتب بلغة أدبية ، ففي بعض المسائل الفقهية كحديثه عن حق العمال في كتابه : ( العدالة الاجتماعية ) أخذ يكتب بالتوحيد وبعبارات قوية تـحيي في نفوس المؤمنين الثقة بدينهم وإيمانهم ، فهو من هذه الخلفية في الواقع قد جدد دعوة الإسلام في قلوب الشباب وإن كنا نلمس أحياناً أن له بعض الكلمات تدل على أنه لم يساعده وقته على أن يـحرر فكره من بعض المسائل التي كان يكتب حولها أو يتـحدث فيها

“Sungguh dalam perkataan Sayyid Quthub dan pada sebagian karangannya, ada yang mengisyaratkan bahwa dia disetir semangat luar biasa pada Islam ketika menjelaskannya kepada manusia. Dan mungkin udzurnya adalah lantaran dia menulis dengan bahasa sastra, dalam beberapa masalah seperti pembahasannya tentang hak pekerja dalam bukunya [al-‘Adalah al-Ijtima’iyah] dia mulai menulis tentang tauhid dengan bahasa yang sangat kuat hingga menghidupkan dalam jiwa kaum muslimin kepercayaan kepada agamanya. Dan dari sini, secara realita dia telah mentajdid [memperbaharui] dakwah Islam dalam dada pemuda-pemuda, kendati kami mendapatkan sebagian ungkapan yang menunjukan, bahwa waktunya sangat sempit untuk menganalisa [kembali] pendapat-pendapatnya pada sebagian masalah yang dia tulis atau dia jelaskan.[21]

Fatwa Fadhilatus Syaikh Abdul Aziz Aalu Syaikh hafidzahullah –Mufti ‘Aam Saudi Arabiyah- dalam sebuah sesi Tanya jawab tentang Fi Dhilalil Qur-an karya Sayyid Quthub :

والكتاب له أسلوب عالٍ في السياق ، أسلوب عال ، هذا الأسلوب الذي كتب به السيد كتابه قد يظن بعض الناس بادئ بدء من بعض العبارات أن فيها شركاً أو أن فيها قدحاً في الأنبياء أو أن وأن ..، ولو أعاد النظر في العبارة لوجدها أسلوبا أدبيا راقيا عاليا لكن لا يفهم هذا الأسلوب إلا من تمرس في قراءة كتابه ، والكتاب [كلمة غير واضحة] لا يخلو من ملاحظات كغيره لا يخلو من ملاحظات ولا يخلو من أخطاء لكن في الجملة أن الكاتب كتبه منطلق غيرة وحمية للإسلام ، والرجل هو صاحب تربية وعلوم ثقافية عامة وما حصل منه من هذا التفسير يعتبر شيئا كثير فيؤخذ منه بعض المقاطع النافعة والمواقف الجيدة والأشياء التي أخطأ فيها يعلى [كلمة غير واضحة] عذره قلة العلم وأنه ليس من أهل التفسير لكنه صاحب ثقافة عامة وعباراته أحياناً يفهم منها البعض خطأ لأن أسلوبه فوق أسلوب من يقرأه.

“Dan buku ini [Fii Dhilal al-Qur’an] mengandung gramatika bahasa dan nilai satra yang tinggi serta metodologi yang tinggi pula. Karena metodologi inilah, maka sebagian manusia menyangka, bahwa pada sebagian redaksi kalimat ada yang mengandung kesyirikan atau celaan untuk para nabi dan lainnya. Seandainya mau menilik kembali redaksi kalimat-kalimat tersebut, niscaya dia akan mendapatkan bahwa kalimat tersebut mengandung nilai sastra tinggi. Namun tidak akan memahami dengan baik kalimat-kalimat tersebut kecuali orang yang terbiasa membaca kitab itu. Dan kitab tersebut [kalimat tidak jelas] tidak lepas dari kesalahan-kesalahan sebagaimana kitab yang lain. Akan tetapi, secara global pemicu penulisan kitab tersebut adalah semangat membela Islam. Dan penulis adalah orang yang memiliki perhatian terhadap tarbiyah [pembinaan] dan memiliki wawasan umum. Karyanya ini [Fii Dlilal al-Qur’an] merupakan warisan yang besar, maka diterima darinya sebagian hal yang membawa manfaat, adapun kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya, hendaknya ditinggalkan [kalimat yang tidak jelas]. Udzurnya adalah minimnya ilmu dan dia bukan termasuk ahli tafsir. Tapi dia memiliki wawasan umum, dan sebagian ungkapannya terkadang disalahpahami, karena gramatika bahasanya melampaui gramatika yang membaca karyanya”.[22]

Dan jangan lupa pula, al-Khithab ad-Dzahabi tulisan Fadhilatus Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaid rahimahullah yang telah kami terjemahkan dan posting di situs ini.[23] Dengan jiwa ksatria dan tanpa peduli celaan orang-orang yang suka mencela, beliau membela kehormatan Sayyid Quthub rahimahullah, serta menepis tudingan keji yang sengaja dibidikkan padanya. Dan al-Khitab inilah yang kemudian membuat kelompok salafy uring-uringan, lantaran padanya terkandung ungkapan dan kalimat-kalimat pedas atas kelancangan mereka yang doyan mendiskreditkan Sayyid Quthub, hingga spontan lahir sanggahan yang tak kalah pedas dari kelompok ini. Bahkan, segera tersebar di situs-situs mereka keraguan akan keontentikan sumber risalah tersebut dari beliau. Hingga sampai pada penyataan bahwa beliau (Syaikh Bakr) tidak ridha jika al-Khitabnya itu disebarluaskan!? Bagi kami ada beberapa perkara yang perlu dicermati:

· al-Khithab ad-Dzahabi telah tersebar luas ke seantero jagad sejak Syaikh Bakr Abu Zaid masih hidup. Dan sepanjang pengetahuan kami –wallahu a’lam– tidak ada pernyataan resmi dari sang empu-nya risalah tentang bara’ah (berlepas diri) dan ketidakridhaannya terhadap al-Khithab tersebut.

· Gramatika bahasa arab yang menghiasi al-Khithab Ad-Dzahabi adalah gramatika kualitas tinggi. Tentunya, hal ini mengisyaratkan bahwa sang penulis adalah seorang mumpuni dalam dalam hal bahasa arab dan gramatikanya. Dan untuk abad terakhir ini, kami yakin bukan suatu hal yang berlebihan jika semua pandangan mata mengarah kepada satu sosok, yaitu Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah.

· Adanya isyarat dari fadhilatus Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah terkait keberadaan khithab tersebut. Beliau mengatakan dalam sebuah sesi Tanya jawab :

وقد قرأتُ ما كتبه الشيخ ربيع المدخلي في الرد على سيد قطب ورأيته جعل العناوين لما ليس بحقيقة ، فرد عليه الشيخ بكر أبو زيد ـ حفظه الله-.

“Sungguh saya telah membaca apa yang ditulis oleh Syaikh Rabi’ al-Madkhalii terkait bantahannya terhadap Sayyid Quthb, dan saya dapatkan dia membawa beberapa tema tidak sesuai dengan hakikatnya. Makanya, Syaikh Bakr Abu Zaid -hafidhahullah- pun membantahnya”.[24]

· Hadirnya buku al-Haddul Fashil Bainal Haqqi Wal Bathil karya Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhalii –hafidhahullah-, yang merupakan bantahan terhadap Syaikh Bakr Abu zaid, juga menjadi bukti keotentikan al-Khitab tersebut. Dan bahwasanya buku ini lahir setahun setelah keluarnya al-Khitab al-Dzahabi, saat tidak adanya respon dari Syaikh Bakr Abu Zaid terhadap surat yang dikirim oleh Syaikh Rabi’ kepadanya yang menyatakan keberatan dan meminta untuk klarifikasi serta menariknya kembali.

· Terbitnya buku “Fikr Sayyid Quthb rahimahullah Baina Ra’yain”, karya Sa’ad al-Hushain hafidhahullah. Di dalamnya penulis buku kecil (kutaib) ini mencoba memberi analisa ilmiyah seputar perselisihan antara Syaikh Bakr Abu Zaid dan Syaikh Rabi’ Bin Hadi al-Madkhaliy. Lalu kemudian kemudian diakhiri dengan pujian atas kedua syaikh tersebut. Buah yang bisa dipetik dari buku ini, bahwa pembelaan Syaikh Bakr Abu Zaid terhadap –kehormatan- al-Ustadz Sayyid Quthb tidaklah mengeluarkan beliau (Syaikh Bakr) dari lingkaran Ahlus Sunnah. Dan ini berbeda dengan sikap kelompok “salafiy”, yang tegas menyatakan bahwa Syaikh Bakr Abu Zaid bahkan Syaikh Abdullah bin Abdirrahman al-Jibrin –rahimahumallah– telah keluar dari lingkaran Ahlus Sunnah. Buktinya, Syaikh Yahya bin Ali al-Hajuuri [penerus Syaikh Muqbil bin Hadiy rahimahullah di Dammaj, Yaman] bahkan memvonis Syaikh Bakr Abu Zaid dengan label “Quthbiy”!? juga Syaikh Abdullah bin Abdirrahman al-Jibrin dengan label “Ikhwaniy'”!?[25], Wailallahil Musytaka.

Pembaca budiman, ini hanya sebagian perkataan para ulama Ahlus Sunnah tentang al-Ustadz Sayyid Quthb rahimahullah. Tidak ada perselisihan, bahwa pendapat yang kami nukil ini berasal dari para ulama panutan, bahkan mercusuar bagi dakwah Ahlus Sunnah. Duhai, merekalah contoh dan qudwah kita dalam beragama dan bermanhaj. Sebab mereka adalah pewaris para nabi. Satu hal yang menjadi perhatian, bahwa dari penyataan mereka tersebut, tersirat kekuatan takwa dan wara’, serta penghormatan terhadap jasa para tokoh Islam. Mereka tidak menutup mata dari kebaikan-kebaikan yang ada pada manusia, kendati terjerembab dalam jurang kekeliruan. Namun tentunya tegak di atas nasehat dan peringatan bagi umat terhadap ketergelinciran mereka tersebut.

Dari nukilan pernyataan di atas, lahir pertanyaan bagi kelompok “salafiy”. Salahkah bila para asatidzah WI menyatakan bahwa Sayyid Quthub termasuk salah seorang tokoh Islam dan penggerak semangat dakwah di Mesir dan dunia Islam secara umum, kendati terjatuh dalam kesalahan lantaran kapasitasnya sebagai manusia? Bukankah ini merupakan inti nukilan perkataan para ulama Ahlus Sunnah di atas? Atas dasar apakah lisan zalim mereka mengatakan, bahwa para astidzah WI membela tokoh sesat? Lalu mengapa tuduhan yang sama tidak mereka ketengahkan secara sharahah terhadap para ulama qudwah kami tersebut? Bukankah sebagian ulama di atas bahkan memuji al-Ustadz Sayyid Quthb rahimahullah melebihi pujian sebagian asatidzah WI?? Ajiibuu ayyuhal ikhwah!

Dan sebagai tambahan, sikap kami terhadap Sayyid Qutb ini sama dengan sikap terhadap Syaikh Hasan al-Banna’ rahimahumallah. Dan hal ini-pun telah dilakukan oleh Muhadditsul ‘Ashr Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, kala beliau memuji Syaikh Hasan al-Banna’: “… kemudian kita selalu membicarakan tentang Hasan al-Banna, maka saya katakan di hadapan saudara-saudaraku sekalian, saudara-saudara salafiyyin, dan di hadapan seluruh kaum muslimin, seandainya Syaikh Hasan al-Banna tidak memiliki jasa dan keutamaan terhadap para pemuda muslim selain bahwa beliau menjadi sebab yang mengeluarkan mereka dari tempat-tempat hiburan, bioskop dan kafe-kafe melalaikan, lalu mengumpulkan dan mengajak mereka di atas dakwah yang satu, yakni dakwah Islam, -seandainya beliau tidak memiliki lagi keutamaan kecuali hanya perkara ini-, maka ia sudah cukup sebagai satu keutamaan dan kemuliaan. Ini saya katakan bersumber dari sebuah keyakinan, dan bukan untuk mencari muka dan tidak pula sekadar basa-basi”.[26]

Dalam artikel ini, sengaja kami tidak nukil pernyataan ulama tentang Hasan al-Banna, lantaran Sofyan Khalid tidak menyebutkannya secara khusus dalam artikelnya. Olehnya, kami-pun mencukupkan dengan sedikit isyarat agar pembaca sekalian mendapat tambahan faidah akan sikap kami terhadap para tokoh yang telah berjasa terhadap perjuangan Islam kendati pada sisi lain mereka terjerembab dalam kekeliruan.

Dan perlu kami tegaskan di hadapan pembaca sekalian, pembelaan kami terhadap Sayyid Quthub hanyalah pembelaan terhadap kehormatan beliau dan menepis tuduhan tidak benar yang dinisbatkan kepadanya, sebagaimana yang dilakukan para ulama di atas. Dan ini merupakan manhaj para ulama Ahlus Sunnah, alhamdulillah. Perhatikan sikap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah kala membela harga diri al-Hallaj dan menafikan perkataan-perkataan batil yang dinisbatkan padanya. Dan semua kita tentu mengenal siapa al-Hallaj tersebut. Beliau rahimahullah berkata: “Perkataan ini –wallahu a’lam- apakah ia shahih dari al-Hallaj atau tidak? sungguh dalam sanad (tersebut) ada orang orang (rawi) yang tidak diketahui keadaannya. Aku telah menyaksikan banyak sekali yang dinisbatkan pada al-Hallaj, baik dalam buku-buku, perkataan serta risalah, merupakan kedustaan atasnya, tidak ada keraguan padanya…”.[27]. Subhanallah, inilah sikap inshof Ibnu Taimiyah yang tetap memberikan hak bagi al-Hallaj. Kendati beliau tahu, bahwa al-Hallaj berhak mendapat berbagai celaan terkait keyakinan dan ajarannya yang sampai pada derajat kufur (ajaran Wihdatul Wujud). Namun sekali lagi, lantaran tuduhan dan celaan terhadap beliau telah keluar dari koridor sikap adil dan kejujuran, maka beliau pun menjelaskan kebenaran tersebut.

Demikian pula pengingkaran al-Hafidz adz-Dzahabi rahimahullah terhadap Yahya bin ‘Ammar al-Sijistaniy, lantaran melampaui batas dalam mencela (baca: Ahli Bid’ah): “Sungguh ia terlampau keras terhadap Ahli Bid’ah dan Jahmiyah, hingga menyebabkan beliau melampaui jalan (manhaj) salaf, padahal Allah Ta’ala menjadikan segala sesuatu menurut ukurannya. Namun diakui beliau memiliki kemuliaan yang mengagungkan di Harat, pengikut serta para pendukung”.[28]

Dan kami berlepas diri dari penyimpangan Sayyid Quthub –jika memang benar nisbat kesalahan tersebut pada beliau- berupa celaan terhadap Nabi Musa dan para sahabat, atau kesalahan lainnya. Disamping kami tetap berhusnud dzon terhadapnya, jika memang zahir dari ungkapan-ungkapan beliau berindikasi kepada makna tersebut, boleh jadi –dan ini pula yang dikatakan oleh para ulama yang membela beliau- hal itu disebabkan oleh gaya bahasa beliau yang tinggi disamping kemampuan kita yang terbatas dalam mencerna ungkapan-ungkapan tersebut. Demikian pula, merupakan sebuah tanaqudhaat (pertentangan) yang jauh dari akal sehat, bahwa di satu sisi beliau mempersembahkan nyawanya dalam rangka membela agama dan aqidah, namun di sisi lain beliau sengaja membatalkan keislaman dan aqidahnya melalui celaan terhadap nabi Allah dan para sahabat!?[29]

Demikian pula, pembelaan kami terhadap Sayyid Quthub bukan berarti mengangkatnya sebagai panutan utama, menjadikan buku-bukunya referensi utama dalam kajian-kajian ilmiah, meletakkan fatwa-fatwanya sebagai ukuran kebenaran dalam aqidah, ibadah, muamalah, adab ataupun manhaj, serta menguji manusia dengannya pula, kallaa (sekali-kali tidak)…!! Sikap kami terhadap beliau sama dengan sikap kami terhadap buku-buku karya Imam al-Ghozali, as-Suyuthi, Ibnu HHHpHHajar, an-Nawawi, al-Juwaini, dan sebagainya rahimahumullah. Apa yang sesuai kebenaran, kami ikuti. Adapun jika tidak, maka kami tidak segan meninggalkan. Makanya, dalam Dewan Syariah WI, yang dikemukakan adalah fatwa-fatwa ulama kibar, jika ada naazilah di hadapan kami. Bukan buku-buku karya Sayyid Quthub rahimahullah. Prinsip kami untuk Sayyid Quthb adalah “‘alaihi akhto-uhu wa lana hasanaatuhu wa ghafarallahu lana wa lahu” (atasnya kesalahan–kesalahannya dan bagi kami kebaikan yang dia tinggalkan dan semoga Allah mengampuni kami dan mengampuninya ).

  • Teruntuk al-Allamah Syaikh Dr. Salman bin Fahd al-Audah, Fadhilatus Syaikh Dr. Safar bin Abdirrahman al-Hawali, Dr. Aidh bin Abdillah al-Qarnihafidhahumullah-.

Ikhwah fillah, berkaitan dengan pernyataan dan tazkiyah para ulama untuk tokoh-tokoh yang kami sebutkan di atas, silahkan simak pada artikel-artikel Silsilah kami sebelumnya, dan telah lebih dari cukup insyaAllah.

Tokoh-tokoh ini mulai masyhur dalam dua dekade terakhir ini. Persisnya sejak meletus perang teluk babak pertama tahun 1991 M. Ketiga Ulama tersebut mengeluarkan pernyataan yang berseberangan dengan sikap para Masyayaikh kibar di Saudi Arabiyah terkait terbitnya fatwa kebolehan ber-isti’anah [meminta bantuan] kepada kaum kuffar untuk menggempur Negara Iraq. Mereka cenderung vokal terhadap fatwa tersebut, hingga sebagian masyarakat terpengaruh dengan ceramah-ceramah mereka, lalu kemudian berakhir dengan dicebloskannya mereka ke dalam penjara demi tercapainya maslahat dan lenyapnya mudharat. Celakanya, persoalan khilaf (perbedaan) pendapat yang masing-masing tegak di atas hujjah dan dalil, justru oleh kelompok “salafiy” dijadikan sebagai dalih mentahdzir, bahkan mendepak mereka dari lingkup Ahlus Sunah plus label-an khawarij. Padahal sekali lagi, persoalannya hanya berkisar pada perbedaan pendapat, apakah boleh ber-isti’anah dengan kaum kuffar atau tidak. Itu saja. Yang aneh, justru para ulama yang menjadi seteru ketiga tokoh tersebut, sedikit-pun tidak menaruh permusuhan, bahkan menghormati pendapat mereka, namun mereka yang berada “di luar wilayah khilaf” yang entah datang dari mana tiba-tiba ribut dan gencar menyerang ketiga tokoh tersebut. Makanya, para ulama pun bingung dan serba salah. Satu sisi berusaha menegakkan hujjah guna menguatkan argumen mereka, dan di sisi lain bekerja ekstra menenangkan (baca: meredam) gejolak kelompok yang tiba-tiba muncul dan arogan menyerang dengan tuduhan dan celaan.

Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, kebenaran dan keikhlasan niat pun tersibak. Memang ternyata permasalahan yang terjadi murni merupakan khilaf ilmiyah yang dibangun atas dalil dan hujjah. Bukan sebagaimana tudingan kelompok “salafiy” yang begitu getol mendiskreditkan mereka, bahwa mereka dapat menumbuhkan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah!? Buktinya, semakin hari hubungan mereka dengan pemerintah, para ulama dan masyarakat semakin erat dan baik. Aktivitas dakwah dan kajian-kajian ilmiyah telah lama mereka jalankan kembali tanpa sebarang penghalang.[30] Bahkan, beberapa bulan lalu al-Allamah Syaikh Dr. Salman bin Fahd al-Audah dianugerahi kehormatan oleh pemerintah untuk menyampaikan muhadharah ‘aam (ceramah umum) di Universitas Islam Madinah al-Munawwarah yang merupakan mercusuar dakwah Ahlus Sunah di dunia Islam.[31] Dan perlu pembaca sekalian tahu, bahwa birokrasi pemerintah untuk dapat memberi ceramah umum di Universitas Islam Madinah tersebut begitu amat sulit dan ketat, hingga tidak sembarang ulama bisa memberi muhadharah di sana. Dan ini juga merupakan bukti akan kukuhnya jalinan kerjasama antara pemerintah dan para ulama yang dituduh sebagai khawarij oleh Sofyan dan kelompoknya.

Ketahuilah, masalah yang terjadi antara ketiga tokoh ini dengan para masyaikh merupakan masalah yang amat pelik. Wajar jika terjadi perselisihan di antara mereka. Sebab, ia berkaitan erat dengan serangan atas sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim. Ditambah negara yang dimintai bantuan oleh kerajaan Saudi Arabiyah notabene adalah negara kafir yang senantiasa mengendus kesempatan menghancurkan kaum muslimin. Kenyataan ini berpotensi jatuhnya banyak korban jiwa dari kalangan muslim, bahkan dari kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Olehnya, dalam hal seperti ini berlaku ungkapan yang masyhur: “Pendapat kami benar akan tetapi berpotensi untuk salah, dan pendapat orang yang menyelisihi kami salah akan tetapi berpotensi untuk benar“.

Sekali lagi, ini merupakan perbedaan ijtihad yang kesalahan padanya akan terampuni, sebagaimana dinyatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :

ولا ريب أن الخطأ فى دقيق العلم مغفور للأمة وإن كان ذلك في المسائل العلمية ولولا ذلك لهلك أكثر فضلاء الأمة وإذا كان الله يغفر لمن جهل تحريم الخمر لكونه نشأ بأرض جهل مع كونه لم يطلب العلم فالفاضل المجتهد فى طلب العلم بحسب ما أدركه في زمانه ومكانه إذا كان مقصوده متابعة الرسول بحسب إمكانه هو أحق بأن يتقبل الله حسناته ويثيبه على اجتهاداته ولا يؤاخذه بما أخطأ.

“Tidak diragukan, bahwa kesalahan dalam masalah ilmu yang pelik terampuni bagi ummat, kendati dalam masalah ilmiyah. Jika tidak demikian, niscaya akan binasa sebagian besar orang yang mulia. Jika Allah mengampuni bagi orang yang jahil tentang keharaman khamer, karena dia berkembang di daerah kebodohan padahal dia belum menuntut ilmu, maka orang mulia yang ber-ijtihad dalam mencari ilmu sesuai yang dia dapatkan di zaman dan di tempatnya, jika tujuannya mengikuti Rasul sesuai kemampuannya, maka dia berhak diterima kebaikannya oleh Allah dan diberi pahala atas ijtihad-nya serta tidak menghukum kesalahannya.[32]

Editor artikel Sofyan Khalid, yakni Ust. Abdul Qadir mengatakan dalam footnote no. 9:

Ketika salafiyyun men-tahdzir Sayyid Quthb, maka orang-orang WI marah dan berang serta memberikan pembelaan. Namun ketika Sayyid Quthb mencela Nabi Musa, dan sebagian sahabat, maka tak ada suara pembelaan dari mereka. Inikah ashobiyyah yang tercela??! Jawabnya, terserah pembaca.

Tanggapan :

Pertama: Perkataan editor bahwa orang-orang WI marah dan berang ketika “Salafiyun” men-tahdzir Sayyid Quthub adalah ungkapan berlebihan khas “salafiy”. Dan ini merupakan satu bukti pernyataan kami pada edisi I Silsilah pembelaan Jilid II, tentang kebiasaan mereka mendramatisir masalah. Padahal, yang kami ingkari dari mereka adalah vonis serampangan atas kehormatan kami dan yang lainnya, bahwa kami telah keluar dari Ahlus Sunah lantaran beberapa sebab diantaranya, sikap inshof kepada al-Ustadz Sayyid Quthub dan tokoh lainnya.

Kedua: Klaim bahwa al-Ustadz Sayyid Quthub mencela Nabi Musa alaihis salam perlu ditinjau ulang. Sebab kesimpulan ini, oleh Ust. Abdul Qadir hanya merupakan jiplakan dari kesimpulan kajian Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhaliy terhadap buku-buku al-Ustadz Sayyid Quthub. Akan tetapi, kesimpulan ini tidak lantas di-amini begitu saja tanpa mengkaji ulang pijakan hujjah yang digunakan. Sebab ia merupakan masalah khathirah yang berkaitan dengan akidah dan keislaman seseorang. Makanya lahir pengingkaran terhadap kesimpulan tersebut dari sebagian Ulama Ahlus Sunnah, diantaranya al-Allamah Syaikh Bakr Abu Zaid, al-Allamah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin rahimahumallah, demikian pula al-Allamah Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidhahullah, dan selain mereka. wallahu a’lam.

Ketiga: Pembaca budiman, jika menilik pernyataan Ust. Abdul Qadir di atas, maka pada hakikatnya ada satu kesimpulan yang hendak disamarkan, yakni tidak adanya kecemburuan WI terhadap kehormatan para Nabi dan Rasul alaihimus salam. Hal ini disebabkan sikap inshof WI terhadap al-Ustadz Sayyid Quthub. Dan ini tentunya kedustaan atas kami. Dan kami berlepas diri dari sikap demikian. Disamping memandang –berdasar qarinah berupa sikap dan buku-buku beliau (Sayyid Quthb) dalam membela Islam dan aqidah- bahwa jika memang benar beliau terjatuh dalam kekeliruan tersebut, maka ia tidak dibangun di atas kesengajaan.

Keempat: Dari sini, maka kami akan ajukan satu pertanyaan kepada sang editor Ust. Abdul Qadir, jika seandainya kesalahan yang sama, atau bahkan lebih fatal terjadi pada ulama panutan “salafiy”, maka bagaimana sikap antum? Apakah antum akan menyikapinya sebagaimana sikap antum terhadap Sayyid Quthub?

Pembaca budiman, sungguh amat sangat berat kami ungkapkan di hadapan pembaca akan hal ini. Sebab bukan manhaj kami mencari-cari kegelinciran ulama dan du’at. Namun untuk satu mashlahat, utamanya bagi ikhwah-ikhwah yang telah teracuni akal dan hati mereka oleh dogma-dogma bahwa kelompoknya-lah yang paling Ahlu Sunnah, paling benar, paling lurus manhaj-nya dan paling-paling yang lain, maka kami akan paparkan sedikit –insyaAllah hanya sedikit- kekeliruan yang sama diperbuat oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhaliy, yakni kesalahan dalam masalah akidah, namun terkesan didiamkan oleh kelompok “salafiy”. Hanyasaja, jika kesalahan yang sama dibuat oleh selain kalangan mereka, serentak mereka bangkit dan mengumbar kesalahan-kesalahan tersebut di hadapan penduduk bumi ini. Disamping agar menjadi bahan renungan bagi kita, bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan bebas dari kesalahan, hingga kita dapat menegakkan timbangan adil dan inshof…

· Perkataan tidak pantas dari Syaikh Rabi’ al-Madkhaliy untuk Allah Ta’ala.

1. Dalam kaset muhadharahnya yang berjudul “al-Jalsah ats-Tsalitsah Minal Mukhayyam ar-Rabi’i side A, ketika menyifati syaikh Bin Baz –rahimahullah-, dan ditanya tentang Syaikh bin Baz, apakah Syaikh Bin baz tidak mengetahui waqi’ [realita], Syaikh Rabi’ menjawab:

الشيخ يفقه الواقع, لكن لا يفقه الواقع كله مثل الله

Syaikh Bin Baz memahami waqi’, akan tetapi tidak memahami waqi’ [realita] semuanya seperti Allah“.

Pertanyaannya, pantaskah kita mengatakan ungkapan seperti ini pada hak Allah Ta’ala? Kami yakin, seorang penuntut ilmu yang memahami hakikat pengagungan kepada Allah Ta’ala tidak akan mengucapkan perkataan seperti ini. Apalagi seorang ulama.

2. Dalam kaset-nya “Marhaban Ya Tholibal ‘Ilmi I“, side A, beliau menyatakan :

الآن الذي لا يناطح الحكام عميل!! ليه ربنا ما يناطح الحكام ؟؟ ولماذا كان رسول الله ما كان يناطح هذه المناطحات ؟؟ أ هؤلاء أهدى من الله؟؟ وأهدى من رسول الله صلى الله عليه وسلم؟؟

“Sekarang yang tidak memberontak kepada pemerintah adalah pengangguran, kenapa Rabb kita tidak memberontak kepada para pemerintah ?!, dan kenapa Rasulullah tidak memberontak kepada para pemerintah?! Apakah mereka lebih benar daripada Allah??, dan apakah mereka lebih benar daripada Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam??.

Pertanyaannya, bolehkah kita menyifati Allah dan Rasul-Nya dengan sifat-sifat di atas?

  • Perkataan tidak layak Syaikh Rabi al-Madkhaliy kepada Nabi

` Dalam kaset “al-Ilm wad Difa’ ‘an Syaikh Jamilir Rahman side A”, beliau membantah orang yang ekstrim terhadap Fiqhul Waqi’, hingga kemudian menjadikan para pemuda Islam menuduh Ulama Kibar tidak memahami Waqiul Ummah [realita umat]. Beliau membantah mereka dengan baik. Akan tetapi ada sebagian kalimat tidak layak diarahkan kepada Nabi Sulaiman alaihis salam, diantaranya:

طير عرف الواقع, ونبي الله ما عرف الواقع, هل يصير الطير أفضل من نبي الله سليمان

“Burung mengetahui waqi’, sedangkan Nabi Sulaiman tidak mengetahui Waqi’, apakah burung lebih mulia daripada nabi Sulaiman??”.

Beliau juga mengatakan pada kaset yang sama :

شف, العصفور عرف الواقع أكثر منه, هل ينقصه ؟؟

“Coba perhatikan!! Seekor burung mengetahui realita lebih banyak darinya [nabi Sulaiman alaihis salam-], apakah ini mengurangi kemuliannya??

Dalam risalahnya yang berjudul “I’anatu Abil Hasan” hal. 9, beliau seakan menyanggah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dimana risalah tersebut ditujukan untuk membantah Syaikh Abu Hasan al-Ma’aribi, yang berpendapat bolehnya memenuhi undangan seorang hizbii atau mubtadi’ –jika ada maslahat syar’i-, dan beliau (Abul Hasan) berhujjah dengan hadits tentang pemenuhan Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap undangan seorang wanita Yahudi. Lalu Syaikh Rabi’ menyanggah pendapat ini seraya mengatakan: “Ya benar, Nabi memenuhi undangannya, karena Allah menghalalkan makanan ahlul kitab, akan tetapi kemudian lihatlah yang dilakukan wanita Yahudi yang keji kepada Nabi, dan terkadang ahlul bid’ah dan sesat melakukan hal yang lebih parah dari hal itu kepada ahlus sunnah”.

Perhatikan poin yang kami garisbawahi. Seakan merupakan istidrak pada perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Seolah-olah Syaikh Rabi’ mengatakan, bahwa tidaklah wanita Yahudi tersebut mampu melakukan perbuatan keji atas Nabi shallallahu alaihi wasallam melainkan lantaran Nabi memenuhi undangan Wanita Yahudi tadi. Jadi, sikap yang benar adalah tidak usah memenuhi undangan wanita Yahudi tersebut, karena dia akan mendatangkan bahaya bagi beliau, wallahu a’lam.

  • Celaan Syaikh Rabi’ al-Madkhaliy terhadap para sahabat –radhiallahu anhum-.
  1. Syaikh Rabi’ berkata tentang Khalid bin al-Walid radhiallahu anhu dalam kaset ceramahnya “al-Ilm wa ad-Difa’ ‘an as-Syaikh Jamil” side A:

(خالد يصلح للقيادة، ما يصلح للسياسة، وأحيانًا يلخبط)

“Khalid pantas untuk memegang kepemimpinan. Namun tidak layak mengurus masalah politik. Dan terkadang ia bertindak serampangan“.

Untuk perkataan beliau “Dan terkadang ia bertindak serampangan“, alhamdulillah, beliau telah menyatakan taubatnya dan ruju’. Akan tetapi pernyataannya bahwa Khalid bin al-Walid tidak pantas mengurus masalah politik, belum ada pernyataan ruju’. Bahkan zahir ucapan beliau dalam risalahnya “al-Karr ‘ala al-Khiyanah wa al-Makr“, hal. 5, bahwa beliau belum ruju’. Sebab padanya beliau hanya menyebutkan kemampuan Khalid dalam hal memimpin dan tidak menyinggung sedikit pun kesanggupan beliau dalam hal pengaturan politik syar’iyyah.

  1. Perkataan Syaikh Rabi’ dalam kaset yang sama, “al-Ilm wa ad-Difa’ ‘an as-Syaikh Jamil“, side B:

كان عبدالله وأبي بن كعب وزيد بن ثابت وابن مسعود، وغيرهم وغيرهم، من فقهاء الصحابة وعلمائهم؛ ما يصلحون للسياسة، معاوية ما هو عالم،….. ويصلح أن يحكم الدنيا كلها، وأثبت جدارته وكفاءته، المغيرة بن شعبة مستعد يلعب بالشعوب على إصبعه دهاءً، ما يدخل في مأزق؛ إلا ويخرج منه، عمرو بن العاص أدهى منه…) اهـ .

“Adalah Abdullah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud dan selain mereka, termasuk dalam jajaran fuqaha’ dan ulama sahabat. Akan tetapi mereka tidak layak untuk urusan politik (Islam), (juga) Mu’awiyah, ia bukanlah seorang yang ‘alim … dan ia pantas untuk mengatur dunia seluruhnya, dan telah tetap kelayakan dan kemampuannya. Al-Mughirah bin Syu’bah di atas jarinya telah siap memainkan rakyat melalui kecerdikannya. Tidaklah beliau masuk dalam kesempitan, melainkan pasti ia sanggup keluar darinya. Sedangkan Amr bin al-Ash lebih cerdik dari beliau…”.

Dari pernyataan beliau ini maka dapat kami katakan:

Pertama, ini merupakan pernyataan mutlak dari Syaikh Rabi’ tanpa ada muqayyad-nya, yakni para sahabat yang beliau sebutkan satu persatu namanya dan selain mereka (tanpa ada batas), bahwa mereka tidak layak dan tidak pantas untuk urusan politik Islam. Wallahu a’lam, sepanjang pengetahuan kami tidak ada ulama salaf sebelum beliau yang mengetengahkan pernyataan semisal ini.

Kedua, ungkapan bahwa Mu’awiyah bukan seorang yang alim membutuhkan dalil dan hujjah. Jika tidak, sungguh ia telah menyelisihi hakikat sebenarnya sebagaimana yang dinyatakan oleh para sahabat sendiri. Imam Bukhari rahimahullah mengetengahkan sanadnya sampai pada Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata: “Mu’awiyah pernah mengerjakan shalat witir satu raka’at setelah isya’, sementara di sisinya ada maula Ibnu Abbas. Lalu ia (sang maula) datang menemui Ibnu Abbas dan bertanya (perihal tersebut). Maka beliau berkata: “Biarkan ia, sesungguhnya ia telah menemani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”.[33]

Dalam sanad yang lain, juga dari Ibnu Abi Mulaikah: Ibnu Abbas radhiallahu anhuma pernah ditanya: “Apakah anda punya komentar tentang Amirul Mukminin Mu’awiyah, sungguh ia tidak mengerjakan witir melainkan hanya satu raka’at“. Maka beliau (Ibnu Abbas) menjawab: “Sesungguhnya ia seorang yang faqih”[34], dan hal ini dikuatkan pula oleh atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya dari jalan yang sama dengan sanad yang shahih dari Ayub as-Sakhtiyani bahwa Ibnu Abbas mengatakan:”Sesungguhnya Amirul Mu’minin seorang yang ‘alim, yaitu Amirul Mu’minin Mu’awiyah bin Abi Sufyan.[35]

Ini merupakan persaksian habrul ummah dan turjumanul Qur’an, Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, bahwa Mu’awiyah radhiallahu anhu seorang yang alim dan faqih. Dimana beliau mengetahui sunnah-sunnah yang tidak diketahui oleh selainnya. Dan hal ini tentunya tidak terwujud melainkan setelah mengorbankan waktu dan tenaga dalam mengkaji fiqh serta mulazamah Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Ketiga, pernyataan bahwa Al-Mughirah bin Syu’bah di atas jarinya telah siap memainkan rakyat melalui kecerdikannya. Tidaklah beliau masuk dalam kesempitan, melainkan pasti ia sanggup keluar darinya”. Apakah ungkapan ini layak diarahkan pada hak seorang sahabat yang mulia?! Apakah ini merupakan uslub para ulama salaf terdahulu kala menyebut tentang al-Mughirah bin Syu’bah?!. Kalau memang benar ada, maka sungguh kata “ad-Daha‘”, yakni cerdik mengandung makna pujian dan celaan. Olehnya, mengapa tidak kemudian kita arahkan makna ad-Daha’ (cerdik) pada makna terpuji, misalnya dengan mengatakan bahwa beliau menggunakan kecerdikannya untuk menolong agama Allah dan selainnya?! Sebab, ibarat dan ungkapan yang Syaikh Rabi’ ketengahkan ini, siapa pun yang membaca akan lahir padanya sangka buruk terhadap sahabat yang mulia ini.

Keempat, kalimat “Sedangkan Amr bin al-Ash lebih cerdik dari beliau…”, jika makna cerdik pada hak al-Mughirah bin Syu’bah bisa mengarah pada pengertian celaan, maka sungguh pada diri Amr bin al-Ash bisa lebih buruk lagi. Wallahul musta’an.

Pembaca budiman, sebenarnya masih banyak yang ingin kami singkap di sini. Namun lantaran kebutuhan dan halaman artikel terbatas, maka kami cukupkan pernyataan-pernyataan beliau yang mengarah pada celaan terhadap para sahabat.

  • Tafsir Syaikh Rabi’ terhadap kalimat Laa Ilaha Illallah yang keliru

Dalam kaset “Munadharah ‘an Afganistan side A“, beliau mengatakan :

لا إله إلاّ الله, اشرحها له, دخّل فيها الحاكمية دخل فيها الولاء والبراء, وأوّل ما يدخل فيها : لا معبود إلاّ الله.

“[Kalimat] Laa ilaha Illallah, jelaskan kepadanya ma’nanya, masukkan ke dalamnya hakimiyah, masukkan ke dalamnya al-wala’ wal bara’, dan hal yang pertama masuk dalam ma’nanya adalah : tidak ada yang disembah kecuali Allah”.

Ini merupakan makna yang salah. Adapun makna yang benar adalah Laa Ma’buda bihaqqin illallah atau tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah.

  • Mengeluarkan orang yang meninggalkan jihad yang hukumnya Fardhu ‘Ain dari Ahlus Sunnah

Syaikh Rabi’ –hafidhahullah- mengatakan dalam bukunya “Ahlul Hadits Hum Tha’ifah Al-Manshurah Annaajiyah” hal. 133 :

وإذا كان في مجتمع تعينت فيه الفرقة الناجية المنصورة، وقد رفعت راية الجهاد، فلم يشارك في هذا الجهاد بمال ولا مقال ينفع المجاهدين، ولم يرفع رأساً بآيات الجهاد ولا بقول رسول الله : (( جاهدوا المشركين بأموالكم وأنفسكم وألسنتكم ؛ فهذا لا يمكن أن يقال : إن صحيح العقيدة نقي السريرة

“Apabila dalam sebuah masyarakat yang banyak ahlus sunahnya, dan telah ditegakkan bendera jihad [yang hukumnya fardhu ain] lalu ada yang tidak berpartisipasi dalam jihad ini baik dengan harta atau perkataan yang bermanfaat bagi mujahidin, dan tidak mengangkat kepalanya untuk ayat jihad, ataupun sabda Rasulullah : “jihadilah kaum musyrikin dengan harta, jiwa, dan lisan kalian”, maka tidak mungkin dia memiliki aqidah yang benar dan kesucian hati“.

Masih pada halaman yang sama, beliau juga menyatakan: “Dan tidak boleh menganggap mereka masuk dalam barisan al-firqoh an-najiyah sama sekali, kecuali jika kita hidup di alam khayalan”.

Padahal, yang benar dalam masalah ini adalah adanya tafshil [perincian]. Jika meninggalkan jihad yang hukumnya fardhu ‘ain dengan istihlal [menghalalkan hal itu], sementara dia mengetahui hukumnya, atau meninggalkan karena mendustakan dan melecehkan urusan jihad, maka ini hukumnya kufur. Adapun jika meninggalkan jihad yang hukumnya fardhu ain lantaran syahwat, atau karena lemahnya iman dan lainnya, maka ini termasuk dosa besar dan tidak mengeluarkan seseorang dari agama Islam, bahkan tidak mengeluarkan seseorang dari cakupan Ahlus Sunnah wal Jamaah, wallahu a’lam.

Kutipan-kutipan di atas hanya secuil contoh dari kekeliruan Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafidhahullah yang berserakan dalam kaset-kaset ceramah dan pada sebagian bukunya. Yang mengherankan, kesalahan seperti ini bisa luput dari sorotan situs yang paling beringas mengkritik dan mengumbar celaan, yakni “as-Sahab” dan saudara kandungnya “Tuk Pencari al-Haq”. Sebab, biasanya, kedua situs inilah yang paling semangat mengerik setiap kesalahan para ulama dan du’at Ahlu Sunnah lalu membeberkan di hadapan khalayak penduduk bumi, agar dinikmati dan disaksikan. Duhai, apakah ini termasuk ashobiyah yang tercela?! Terserah pembaca yang menilai..!

Dan tak lupa kami selipkan sebuah pertanyaan, khusus untuk sang editor guna menggugah kecemburuannya kepada agama yang mulia ini, madza antum qo-iluun ‘an Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali?? Bukankah kesalahan di atas termasuk kesalahan dalam hal aqidah? Apakah sikap antum terhadap beliau sama seperti sikap terhadap al-Ustadz Sayyid Quthub? Atau antum akan mencarikan beliau udzur dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa yang rentan jatuh dalam kesalahan? Atau, antum akan memajang tazkiyah para ulama untuk beliau, yang menurut Sofyan Khalid adalah salah satu ciri khas hizbiyah dan diamini oleh antum sendiri?! Kalau demikian, mengapa sikap yang sama tidak antum aplikasikan dalam menyikapi kesalahan al-Ustadz Sayyid Quthub dan para ulama yang antum tuding sesat?

Mungkin saja antum dan “salafiy” lainnya akan mengatakan, bahwa sebagian penyimpangan di atas muhtamal atau sabqul lisan [kesalahan yang tidak disengaja]. Maka kami katakan:

1. Benar, sebagian penyimpangan di atas sifatnya muhtamal atau sabqul lisan. Dan ia-pun terjadi pada selain Syaikh Rabi’ al-Madkhaliy. Dan jika kita menerima alasan muhtamal dan sabqul lisan dari Syaikh Rabi’, maka mengapa tidak kita terapkan pada selain beliau? Kenyataannya –dan ini pula yang dipraktekkan oleh Syaikh Rabi’ kala membongkar “penyimpangan” al-Ustadz Sayyid Quthub- jika kesalahan terjadi pada kelompok “salafiy”, segera dicarikan beragam takwil dan tafsir agar kesalahan tersebut tidak menjadikan pelakunya keluar dari Ahlu Sunnah. Namun jika kesalahan yang sama lahir pada diri selain kelompok mereka, segera ditelan mentah-mentah tanpa memberi alasan dan udzur padanya. Dan ini sangat jelas merupakan manhaj zalim, serta keluar dari koridor muwazanah dan inshof. Dan perlu kami tegaskan agar pembaca tidak salah persepsi, bahwa sikap kami terhadap kesalahan Syaikh Rabi’ tersebut sama dengan sikap kami terhadap kekeliruan al-Ustadz Sayyid Quthub dan ulama serta du’at Ahlu Sunnah lainnya, walhamdulillah.

  1. Kalau demikian keadaannya, maka kami katakan bahwa sebagian kesalahan yang mereka bantah dari asatidzah WI juga sifatnya muhtamal. Jadi apakah halal bagi antum dan haram bagi kami untuk melakukan hal itu? Sungguh, jika manhaj telah rusak, maka segala yang lahir dari manhaj tersebut akan rusak dan busuk pula.

Sofyan Khalid mengatakan :

Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah telah menulis sebuah buku yang menjelaskan bahwa membantah seorang yang menyimpang adalah termasuk pokok Islam, bukanlah perbuatan memusuhi sesama muslim dan mengacuhkan sekulerisme. Buku tersebut beliau beri judul, “Ar-Raddu ‘alal Mukhalif min Ushulil Islam” (membantah orang yang menyimpang termasuk pokok Islam).

Tanggapan :

1. Istidlal [pengambilan dalil] kelompok “salafiy” melalui perkataan al-Allamah Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah perlu ditinjau ulang. Bukankah mereka telah memvonis Syaikh Bakr Abu Zaid sebagai Quthby?, artinya, menurut kelompok “salafiy”, beliau telah keluar dari khittah manhaj salaf? Bukankah menukil perkataan ahlul bid’ah [yang telah keluar dari manhaj salaf] sama artinya men-tarwij [menjajakan] manhaj ahlul bid’ah, yang ber-implikasi syubhat bagi umat ini?

2. Label Quthby untuk al-Allamah Syaikh Bakr Abu Zaid dari kelompok “salafiy” menujukkan ketidaksepahaman manhaj beliau dengan kelompok “salafiy”, terkhusus dalam hal jarh wat ta’dil. Seandainya beliau sepakat dengan kelompok ini dalam hal tersebut, niscaya tidak akan ada cap dan label buruk bagi beliau.

3. Kalau mau jujur, sebenarnya banyak perkataan al-Allamh Syaikh Bakr Abu Zaid yang justru mengarah pada hidung kelompok “salafiy”, utamanya dalam masalah vonis dan celaan terhadap ulama dan tokoh Islam yang mereka klaim sebagai ar-Raddu ‘Alal Mukhalif [Membantah orang menyimpang], contohnya perkataan beliau :

وفي عصرنا الحاضر يأخذ الدور في هذه الفتنة دورته في مسلاخ من المنتسبين إلى السنة متلفّعين بمرط ينسبنه إلى السلفية – ظلما لها – فنصبوا أنفسهم لرمي الدعاة بالتهم الفاجرة, المبنية على الحجج الواهية, واشتغلوا بضلالة التصنيف.

“Di zaman sekarang, yang mengambil peran besar dalam penyebaran fitnah ini (fitnatut tashnif) adalah sebagian orang yang menisbatkan diri kepada sunnah dan nenutupi dirinya dengan jubah salafiyah –sebagai bentuk kedhaliman terhadap manhaj tersebut– lalu mereka mencela para du’at dengan tuduhan-tuduhan keji, berdasarkan hujjah yang lemah, dan menyibukkan diri dengan kesesatan tashnif (menggolong-golongkan manusia).[36]

Atau perkataan beliau rahimahullah dalam buku yang sama: “Namun, ini adalah cobaan dan fitnah yang Allah Ta’ala memelihara dari keburukannya ketika fitnah itu muncul pada zaman kita ini. Fenomena menghasut yang dilakukan oleh orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada as-Sunnah dan mengaku sebagai penolongnya. Mereka mengambil jalan mengelompokkan manusia dan mencela sebagai agama dan kebiasaan. Lalu berkomplot memusuhi saudara-saudara mereka dari kalangan Ahlus Sunnah, menyerang para pemimpin mereka, menyematkan sifat-sifat tercela pada mereka, dan memberi julukan-julukan hina dan keji. Hingga mencapai satu keadaan, dimana mereka berbicara tentang saudara-saudara mereka yang seakidah, dan bersama memegangi as-Sunnah dan atsar, bahwa “mereka itu lebih berbahaya daripada kaum Yahudi dan Nashrani”, dan “si Fulan itu adalah orang zindiq”. Mereka pura-pura buta terhadap kaum yang menyerang negeri-negeri kaum muslimin dan menjajah wilayah mereka, orang-orang kafir, musyrik, zindiq dan atheis, orang-orang yang membuka jalan-jalan kerusakan dan orang-orang yang mengirim hasutan, penyakit syahwat dan syubhat di setiap pagi dan petang, yang dapat mengakibatkan umat ini menjadi kafir dan fasik serta melahirkan generasi baru yang lepas dari agama dan akhlak[37].

4. Silahkan baca pula dalam buku beliau “ar-Roddu ‘Ala al-Mukholif Min Ushulil Islam”, dimana beliau meletakan kriteria dan adab dalam pelaksanaan ar-Raddu ‘ala al-Mukhalif. Dan diantara adab tersebut adalah :

المردود عليه بين الوصف والتعيين: الأصل هو الستر والعمل على دفع دواعي الفرقة والوحشة وعدم الموافقة, فالرد ينصب على علي المقالة المخالفة المذمومة لا على قائلها

“Yang dibantah antara perbuatan dan individu: Hukum asal adalah menutupi aib dan berusaha untuk menjauhi pemicu perpecahan dan perselisihan, maka bantahan di arahkan kepada perkataan yang menyelisihi bukan kepada yang mengatakan”.[38]

Sofyan Khalid mengatakan :

Sehingga keluarlah ucapan sebagian mereka yang sangat keji, “Sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat antara kami dan kalian, yang ada hanya beda pendapatan “.

Tanggapan :

1. Kami tidak tahu –wallahu a’lam-, jika ternyata lahir kalimat tersebut. Dan jika ternyata benar adanya, kami yakin, bahwa ia hanya sebatas gurauan dan plesetan kata. Dan tidak ada indikasinya pada manhaj dan akidah, yang karenanya pengucapnya harus dikeluarkan dari barisan Ahlu Sunnah.

  1. Namun jika kelompok “salafiy” ngeyel, bahwa kalimat “keji” tersebut merupakan ucapan serius, maka kami katakan, barangkali ungkapan ini punya asbabul wurud, yaitu dari kelompok “salafiy” sendiri. Perhatikan ucapan tokoh mereka dari Makassar : “Kalau mengaku boleh saja mereka mengaku, dan perlu saya beritahu, pengakuannya kalau mereka mengatakan salafy itu ujung-ujungnya adalah duit“. Juga pernyataannya pada tempat lain: “Na’am, kemudian mendatangkan ulama-ulama dari Saudi, tapi kalau berbicara di kaset membicarakan pemerintahan Saudi dengan pembicaraan yang sangat keji dan tidak pantas. Kalau ada duit bicaranya bagus, tapi kalau tidak ada duit bicaranya mencela dan menjelekkan“.

Simak pula perkataan tokoh mereka di Balikpapan: Disusul oleh Ainur Rofiq, Ainur Rofiq ini orang yang tahunya pokoknya terima bantuan darimana saja pokoknya kaya, yang penting fulusnya banyak, bil fulus kullu syai’in tembus, ya khan ??!! dengan fulus semuanya tembus, bil fulus mulus, weeh.. dari mana-mana sumbangan itu, ambil sana-sini“.[39]

Inilah sebagian perkataan-perkataan tidak ilmiyah asatidzah “salafiyin” ketika mentahdzir du’at Ahlus Sunah, sehingga dengan perkataan tersebut, muncul stigma buruk di tengah medan dakwah, “Sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat antara kami dan kalian, yang ada hanya beda pendapatan”. Olehnya, bukan kesalahan WI jika kemudian muncul stigma tersebut. Akan tetapi stigma tersebut merupakan dhohir perkataan asatidzah “salafiyin” sendiri.

3. Setelah nukilan ini, kami ajukan satu pertanyaan untuk Sofyan Khalid, mana yang lebih keji perkataan “Sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat antara kami dan kalian, yang ada hanya beda pendapatan” ataukah tudingan dari asatidzah “salafiyin” yang kami nukil di atas? Cermatilah, perkataan asatidzah “salafiyin” di atas, seakan berangkat dari hasil telisik terhadap hati-hati astidzah yang dicela, sehingga mereka begitu berani memasuki wilayah niat-niat orang lain, guna mencela ke-ikhlasan para asatidzah tersebut dalam menegakkan dakwah Ahli Sunnah . Allahu Musta’an.

Demikian paparan ilmiah ini, semoga menjadi pengingat bagi kita sekalian, betapa tinggi dan mulianya sikap inshof terutama pada diri para ulama dan du’at yang berjasa bagi perjuangan Islam. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas qudwah kita, nabi besar Muhammad, keluarga, sahabat dan segenap pengikutnya hingga akhi zaman kelak. Dan akhir dari seruan kami, segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Bersambung insya Allah.


[1] . Lihat: al-‘Awashim Wa al-Qawashim, I/224.

[2] . Lihat: Syarh as- Sunnah, VI/120, al-Maktabah asy-Syamilah.

[3] . Majmu’ al-Fatawa, XX/164

[4] . Majmu’ al-Fatawa, III/451-453. Program al-Maktabah al-Syamilah

[5] .Zaad al-Ma’ad, II/428. al-Maktabah al-Syamilah

[6]. al-Hattsu ‘ala al-Ittiba’, hal. 58.

[7] . al-Hattsu ‘ala al-Ittiba’, hal. 59.

[8] . al-Hattsu ‘ala al-Ittiba’, hal. 64.

[9] . Hukmul Intima’ Ila al-Firaq Wa al-Ahzab Wa al-Jama’at Islamiyah, hal. 96.

[10] . Hukmul Intima’ Ila al-Firaq Wa al-Ahzab Wa al-Jama’at Islamiyah, hal. 97.

[11] . Simak takwil mereka terhadap perkataan Syaikh al-Utsaimin dalam artikel Ust. Abdul Qadir yang berjudul, “Siapa Bilang Nisbah pada as-Salafiy dan al-Atsariy terlarang?”.

[12] . Majmu’ul Fatawa, XXVIII/209

[13] . Majmu’ul Fatawa, XXVIII/208

[14] . Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, II/647

[15] . al-Wala’ wa al-Bara’ fil Islam, hal 13, Program al-Maktabah al-Syamilah

[16] . Hal ini sebagaimana terjadi pada Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, dimana beliau mengingkari perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah berkaitan dengan manhaj al-wala wal bara’ yang berbunyi:

“إن المسلم يُحَبُّ ويُبْغَض ويُمْدَحُ ويذمّ على حسب ما فيه من خير وشر، وطاعة ومعصية، وسنة وبدعة”

Sesungguhnya seorang muslim itu dicintai dan dibenci, dipuji dan dicela sesuai dengan kebaikan dan keburukan, ketaatan dan maksiat serta sunnah dan bid’ah, yang ada pada dirinya”.

Lalu Syaikh Robi’ mengatakan “ini adalah kaedah Ikhwanul Muslimin!?”. Kala diingatkan bahwa yang mengatakan hal ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, serentak beliau mengatakan “Semoga Allah mengampuni Ibnu Taimiyah, dia telah membuka pintu untuk manhaj muwazanah !!??”, atau kalimat yang semakna dengan ini. (Lihat: ad-Difa’ ‘an Ahlil Ittiba’, Syaikh Abul Hasan al-Ma’ribiy, II/195).

[17] . HR Tirmidzi, Ibnu Abi Syaibah, at-Thabrani dan dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.

[19] . http://www.islamgold.com/view.php?gid=7&rid=109

[20] . Silahkan simak di : http://www.islamgold.com/view.php?gid=7&rid=161

[21] . Lihat: Hayatul Albani Wa Aatsaruhu Wa Tsana-A ‘Ulama Alaihi, jilid I.

[22]. http://www.islamgold.com/view.php?gid=7&rid=155. Ini adalah fatwa beliau dalam sebuah sesi Tanya Jawab pada tanggal 24-6-1426 H bertepatan 2-8-2005 M

[23] . Lihat artikel di situs ini: “Nasehat Berharga Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid terhadap Syaikh Rabi’ bin Hadiy al-Madkhaliy tentang Sayyid Quthb”.

[24] . http://www.islamgold.com/view.php?gid=7&rid=109

[25] .Lihat: al-Anba’ bi Ru’uusi Ahlil Ahwa’. Pembaca budiman, makanya jangan heran jika lisan mereka begitu tajam terhadap kehormatan kaum muslimin. Jangankan kaum muslimin yang biasa-biasa saja, kehormatan para kibarul Ulama terpandang pun tidak selamat dari sayatan lisan mereka. Perhatikan ungkapan celaan tokoh-tokoh mereka terhadap Kibarul Ulama: Tentang Syaikh bin Baz: “(Dia) mencela salafiyah dengan celaan yang keji“. Tentang Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani: “Kesalafian kami lebih kuat daripada kesalafiannya“. Tentang Syaikh Abdullah bin Abdirrahman al-Jibrin: “Mubtadi’ (Ahli Bid’ah). Tentang Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy [pengarang Minhajul Muslim, Aisirut Tafaasir & pengajar di Masjid Nabawi]: “Tabliighi“. Tentang Syaikh Ibnu Qu’uud [Anggota Hai’ah Kibaril Ulama]: “Ikhwani Banna’iy (pengikut Hasan al-Banna’)“. Tentang Syaikh Nashr bin Abdil Karim al-‘Aql: “Tokoh Sururi“. Tentang Syaikh Muhammad Mukhtar as-Syinqithii [Anggota Hai’ah Kibaril Ulama]: “Shuufi“. Tentang Syaikh Su’ud Syuraim [Imam Masjidil Haram Makkah]: “Sururiy“. (Lihat: ad-Difa’ ‘an Ahlil Ittiba’, hal. 460-461 dan al-Anba’ bi Ru’uusi Ahlil Ahwa’, penulis buku ini adalah as-Syaikh Abul Hasan al-Ma’ribiy, seorang ulama yang pernah menjadi orang dekat sekaligus kepercayaan Syaikh Rabi’ bin Hadiy al-Madkhaliy, yang kemudian keluar dari jama’ah beliau, lalu terjadi polemik ilmiyah antara keduanya seputar manhaj. Wallahul musta’an).

[26] . http://www.islamgold.com/view.php?gid=7&rid=116

[27] . Lihat: al-Istiqamah, I/119.

[28] . Lihat: Siyar al-A’lam an-Nubala’, XII/481.

[29] . Pembaca budiman, sebagai penguat keterangan kami, perhatikan persaksian sipir penjara yang kemudian mendapat hidayah Allah lantaran menyaksikan akhlak dan tsabat (kekokohan) aqidah Sayyid Quthub kala berkata: “Telunjuk yang sentiasa mempersaksikan keesaan Allah dalam setiap shalatnya, menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukan atau menyerah terhadap kezaliman”. Juga ucapan beliau kala menolak tanda tangan penyataan bahwa ia bersalah dan tunduk pada kezaliman: Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan akhirat yang abadi. Saat dikabarkan akan dekatnya waktu eksekusi beliau berkata: “Selamat datang kematian di Jalan Allah… Sungguh Allah Maha Besar!”. (Lihat: al-‘Aaiduna Ilallah, Muhammad bin Abdul Aziz al-Musnid, II/4. al-Maktabah al-Syamilah).

[30] . Saat Fadhilatus Syaikh Dr. Safar al-Hawaliy terserang stroke, maka salah seorang amir menyatakan secara resmi, bahwa pemerintah yang akan menanggung segala apa yang beliau butuhkan untuk pengobatan beliau. Demikian pula, tatkala Syaikh Dr. Aidh al-Qarni akan menyatakan pensiun dari muhadharah-muhadharah di stasiun televisi, maka berjubel surat dan pernyataan-pernyataan dari masyarakat yang menyatakan keberatan, dan lain sebagainya.

[31] . InsyaAllah akan kami posting video ceramah beliau agar faidah yang terkandung padanya dapat dinikmati oleh segenap kaum muslimin.

[32] .Majmu-ul Fatawa, XX/165.

[33] . Fath al-Bari, VII/103-104, no. 3764. Program al-Maktabah al-Syamilah.

[34] . Ibid, no. 3765.

[35]. At-Thabaqat 1/126 dan Tarikh 59/165

[36] . Lihat: ar-Ruduud, h. 401-402. [buku ini adalah kumpulan karya Syaikh al-‘Allamah Bakr Abu Zaid rahimahullah yang terdiri dari ar-Raddu ‘alal Mukhaalif, Tashniif an-Naas, Hukmul Intima’, dll.

[37] . ar-Rudud h. 410

[38] . ar-Rudud, h. 63.

[39] . Kami punya audionya, dan akan diposting jika diperlukan.

19 thoughts on “SILSILAH PEMBELAAN PARA ULAMA DAN DU’AT JILID 2”
  1. Afwan, sekedar nasehat buat kawan-kawan "salafiy", buka hati dan akal sehat dan jangan mau terkungkung dengan dogma dan doktrin!! baca dan cermati segala masukan yang datang dari luar… sebab kebenaran berasal dari mana saja, dan ia adalah barang hilang dari kita (kaum muslimin) dan kitalah yang lebih pantas untuk mengambilnya. Dan ketahuilah, setiap kita akan mempertanggungjawabkan sendiri-sendiri amal dan perbuatan kita di hadapan ALlah kelak, bukan ustadz-ustadz kita, atau masyaikh kita. Tapi sekali lagi, kita sendiri. Jadi mengapa menggantungkan keselamatan kita pada mereka?? sebab mereka juga manusia, dan manusia tidak ada yang maksum selain Nabi shallallahu alaihi wasallam…olehnya sekali lagi, mari buka hati nurani dan akal sehat, dan jadilah orang yang dewasa dalam beragama. Semoga bermanfaat dan menjadi pelajaran bagi kita. Amin…

  2. Kehancuran bagaimana lagi yang bakal didapat umat ini jika kehormatan ulamanya diinjak-injak?? teruslah membela kehormatan ulama dan du'at dari lisan-lisan beracun tak berprikemausiaan…

  3. Subhanallah, kalau kehormatan ulama sudah tidak dipandang lagi, maka pada siapa lagi umat ini bergantung?? sedih dan merinding membaca celaan-celaan tokoh "salafiy" terhadap ulama-ulama Ahlu Sunnah, hik…

  4. ya ikhwan .. ulama ahlussunnah itu g sdikit,mk jngn trlalu mudh menyalahkn atw membenarkn tnpa tabayyun..
    alhamdulillah tlah ada seorang ukhti kt yg tlh kmbali "inshof" stlh mmbca artikel tntng tarbiyah. dan trnyata sebb ksalafhmnx adh syubhat yg mungkn dia sndiri tdk fahami dg baik… semangat

  5. alhamdulillah, penjelasan yg mencerahkan. baru2 ini ana disms tman disuruh buka http://nasihatuntukwahdah.wordpress.com stelah ana buka memang ternyata isinya seputar syubhat basi, dan mengkaji buku nasehat ilmia untuk wahdah karya ust.zul ..alhamdulillah sebagian besar telah syubhat mereka telah terjawab di al-inshof

  6. sekedar info, ada di facebook tulisan Abu Abdillah al Makassari yang berjudul Nasehat untuk Wahdah, yang kemudian secara terang-terangan mengatakan wahdah itu sesat menyesatkan. tlg dijawab, sebab "ustadz" ini lulusan UMI jurusan Akuntansi, agamanya pun ditulis pada biodatanya di facebook "Islam Salafy", wallahu a'lam, emang ada agama Islam Salafy ya? tlg ditanggapi oleh team al-Inshof. syukran.

  7. @Anonim: Syukron atas kunjungan dan informasinya. Jawaban kami adalah, bahwa semua syubhat yg dlontarkan sebagian besar telah terjawab pada tulisan-tulisan kami sebelumnya..shg kami sarankan kpd setiap pembaca utk kembali membuka tulisan2 kami terdahulu agar mendapatkan pencerahan secara ilmiyah.

  8. Iya, kalau ikhwah sekalian membaca dan menelaah seluruh edisi-edisi al-Inshof, insyaAllah seluruh (baca sebagian besarrr) syubhat yang dilontarkan saudara-saudara "salafy" kita udah dijawab dengan ilmiyah. alhamdulillah.

  9. Wah bantahan almakassari.com sudah pula muncul. Tapi sedikit kesannya agak sopan karena sudah banyak menggunakan kata "wahai saudaraku" meski kata hizbiyyun masih mereka panahkan….ternyata sikap inshof itu memang langka meski telah diberi berbagai hujjah….tapi insyaAllah saya harapkan agar team alinshaf hafizahullah tetap semangat untuk meluruskan syubhat-syubhat mereka.

    Andi, Perth

  10. Syukron. Ana tertarik dengan buku Ar ruduud karya Syaikh al-'Allamah Bakr Abu Zaid. Yang terjemahan Indonesia bisa ana dapatkan dimana ya?

  11. Alhamdulillah, banyak ilmu yg bisa diambil dari tulisan ini. Ana tertarik dengan buku karangan Syaikh al-'Allamah Bakr Abu Zaid, yaitu ar Ruduud. Kira2 ana bisa menemukan buku (terjemahan Indonesia)ini dimana ya?

    Jazakallahu khair

  12. Afwan, Untuk Buku Ar Ruduud, kami (Team al-inshof) belum mengetahui terjemahnnya. Buku tersebut adalah Kumpulan Kutaib (buku kecil) dari Syaikh yang kemudian dibukukan.

  13. SIANG PASTI BERGANTI MALAM, USIA MUDA BERANJAK TUA,BILA KEBENARAN TELAH DATANG MAKA KEBATHILAN AKAN HILANG…TEAM AL-INSHOF UHIBBUKUM FILLAH…

  14. Masya Allah, semoga mereka kembali kepada jalan yang lurus. Banyak Ikhwan dan akhawat yang tersyubhat, semoga mereka bisa mengambil pelajaran dan diberi Taufik dan Hidayah oleh-NYa..

Tinggalkan Komentar

By admin