Menjawab Syubhat Bagian VII (Bagian III)
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, atas segala limpahan nikmat dan taufiq-Nya kepada kami, sehingga kami bisa merampungkan artikel demi artikel di sela-sela kesibukan kami, Shalawat dan Salam kami haturkan kapada Nabi Muhammad –shallalahu ‘alaihi wa sallam-, keluarga, para sahabat, dan seluruh kaum muslimin yang berupaya menapaki jejak yang ditinggalkan oleh salaf sholeh sampai hari kiamat datang menjelang.
Ikhwah yang dirahmati oleh Allah, tanpa terasa genap satu tahun kami mengasuh situs ini, satu tahun bukanlah waktu yang pendek, dan semula kami tidak menyangka akan mampu bertahan sampai saat ini, maklumlah digagasnya situs ini adalah buah dari meletupnya “adrenalin” masa muda yang masih menggelora, sehingga tanpa perhitungan matang, kami menggoretkan artikel-artikel yang menghiasi situs ini demi untuk menanggapi “nasehat” dari Akh Sofyan Khalid, yang dieditori oleh al-Ustadz Abu Faizah Abdul Qadir Lc, dan dimuraja’ah oleh asatidzah yang lain. Mungkin perlu kami informasikan, bahwa awal berdirinya situs ini tidak direstui oleh para asatidzah kami, karena menurut mereka hal ini tidak mendatangkan maslahat yang nyata bagi dakwah, namun “kebandelan” kami mengabaikan nasehat tersebut, maka berdirilah situs ini dan eksis sampai saat ini, tentunya hal ini berkat rahmat dan taufiq dari Allah –subhanahu wa ta’ala-.
Pembaca yang dirahmati oleh Allah –subhanahu wa ta’ala-, adalah merupakan perkara aksiomatik, bahwa manhaj istidlal dari ahlus sunnah wal jamaah adalah merujuk kepada al-Qur-an dan as-Sunnah yang shahih, dan berupaya untuk beramal sesuai dengan tuntunannya, kendati demikian ahlus sunnah wal jamaah tidak memandang sebelah mata atsar-atsar dari para ulama salaf, dan berupaya untuk memahami agama ini sesuai dengan pemahaman mereka, namun dibutuhkan “fiqh” untuk memahami perkataan-perkataan para ulama salaf kita, sehingga menjadikan pendapat kita lebih dekat dengan kebenaran, dalam artikel ini kami akan membahas sedikit rambu-rambu terkait fiqh perkataan para ulama salaf:
v Berupaya untuk mengumpulkan seluruh atsar dan perkataan ulama salaf dalam satu masalah, sehingga kita dapat membandingkan perkataan-perkataan tersebut, sehingga dapat menarik kesimpulan akurat dari atsar-atsar tersebut, adapun mencukupkan diri dengan sebagian atsar para ulama, menjadikan atsar tersebut sebagai patokan manhaj ahlus sunnah wal jamaah, maka akan melahirkan pemahaman yang parsial.
v Ketika kita menelaah perkataan para ulama salaf dalam masalah tertentu, maka seyogyanya bagi kita untuk melihat perbedaan waktu, tempat dan keadaan perkataan tersebut dilafadzkan, ditambah lagi dengan pengejawantahan kaedah Jalbul Mashalih [merealisasikan maslahat] dan Daf’ul Mafasid [menganulir kerusakan] dalam membumikan atsar-atsar para ulama tersebut.
v Terkadang sebagian ulama salaf ber-mubalaghah [hiperbola] dalam mengucapkan perkataan dalam satu kesempatan tertentu, tanpa bermaksud memutlakkan perkataan tersebut.
Inilah segelintir rambu-rambu dalam memahami perkataan-perkataan para ulama salaf kita, yang diharapkan dengan rambu-rambu tersebut akan menjadikan pemahaman kita terhadap perkataan mereka lebih sempurna.
1. Perkataan al-Hasan al-Basri –rahimahullah- [wafat tahun 110 H] tentang ahlul bid’ah:
أهل البدع بمنزلة اليهود والنصاري
Artinya: Ahlul bid’ah sama derajatnya dengan orang Yahudi dan orang Nasrani.[1]
Atau perkataan al-Fudhail bin Iyadh –rahimahullah- [wafat tahun 187 H]:
آكل مع يهودي و نصراني و لا آكل مع مبتدع
Artinya: Aku [bersedia] makan dengan orang yahudi dan orang Nasrani, namun aku tidak [bersedia] makan dengan ahlul bid’ah.[2]
Ikhwah yang dirahmati Allah, perkataan diatas sangatlah akrab menyapa telinga para duat, pasalnya kalimat tersebut dinukil oleh sebagian kaum muslimin ketika mentahdzir orang yang dianggap ahlul bid’ah. Jika kita “lahap” kalimat di atas mentah-mentah, tanpa menelisik keadaan, zaman dan tempat dilafadzkannya kalimat tersebut, kemudian membidikkan kalimat tersebut kepada orang yang berselisih paham dengan kita, maka tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan, sebab kalimat di atas diucapkan di zaman keemasan ahlus sunnah, dan “keghurbahan” ahlul bid’ah, dan sangat mungkin kalimat tersebut diucapkan dalam kondisi tertentu, sehingga kita tidak bisa memahami perkataan di atas secara mutlak, bahkan bukanlah hal yang mustahil jika kalimat tersebut adalah salah satu bentuk mubalaghah yang diucapkan oleh para ulama kita, indikasinya adalah fatwa Syaikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- ketika ditanya tentang Rafidhah, beliau mengatakan:
كل من كان مؤمنا بما جاء به محمد صلي الله عليه وسلم وهو خير من كل من كفر به, وإن كان في المؤمن بذلك نوع من البدعة, سواء كانت بدعة الخوارج و الشيعة و المرجئة و القدرية أو غيرهم, فإن اليهود و النصاري كفار كفرا معلوما بالاضطرار من دين الاسلام, و المبتدع إذا كان يحسب أنه موافق للرسول صلي الله عليه وسلم لا مخالف له لم يكن كافرا به, و لو قدر أنه يكفر فليس كفره مثل من كفر من كذب الرسول.
Artinya: Dan setiap yang beriman dengan yang dibawa oleh Muhammad –shallallahu alaihi wasallam- maka dia lebih baik dari yang kafir kepadanya, kendati orang mukmin tersebut terkontaminasi dengan bid’ah, baik bid’ah Khawarij, Syiah, Murji’ah, Qadariyah, ataupun bid’ah yang lainnya, sesunguhnya orang Yahudi dan orang Nasrani adalah orang kafir dengan kekafiran yang nyata, adapun ahlul bid’ah jika dia menganggap dirinya selaras dengan yang dibawa oleh Rasulullah dan tidak menyelisihi beliau maka dia tidak kafir, atau taruhlah dia telah kafir, namun kekafirannya tidak sama derajatnya dengan kekafiran orang yang mendustakan Rasulullah.[3]
Fatwa emas Ibnu Taimiyah ini layak untuk “ditadabburi” oleh setiap da’i, agar tidak salah kaprah dalam menukil perkataan para ulama salaf, lalu memahaminya dengan pemahaman yang dangkal, kemudian dibidikkah kepada para du’at yang berselisih dengannya. Jika kita membandingkan perkataan para ulama diatas lalu menelaahnya dengan seksama, maka kita akan dapat mengambil kesimpulan bahwa perkataan al-Hasan al-Basri dan Fudhail bin Iyadh –rahimahumallah- diucapkan di zaman ahlus sunnah sangat kuat hegemoninya, sedangkan ahlul bid’ah sangat lemah kekuatannya, sehingga kalimat tersebut sangat sesuai momentnya dengan keadaan dan zaman mereka, di antara tujuannya adalah untuk mempersempit dan menutup perkembangan bid’ah di tengah masyarakat, menanamkan benih-benih kebencian masyarakat kepada ahlu bid’ah dan ahlu kalam, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk menjajakan bid’ahnya, dan tidak menutup kemungkinan kalimat tersebut merupakan sebagian mubalaghah para ulama kita, wallahu a’lam.
2. Perkataan Fudhail bin Iyadh –rahimahullah-, beliau mengatakan:
إذا علم الله من الرجل أنه مبغض لصاحب بدعة غفر له و إن قلّ عمله, و لايكن صاحب سنة يمالئ صاحب البدعة إلاّ نفاقا, ومن أعرض بوجهه عن صاحب بدعة ملأ الله قلبه إيمانا ومن انتهر صاحب بدعة آمن الله يوم الفزع الأكبر, و من أهان صاحب بدعة رفعه الله في الجنة مائة درجة.
Artinya: Apabila Allah mengetahui bahwa seseorang membenci ahlu bid’ah, maka akan diampuni dosanya meskipun sedikit amalannya, dan tidaklah seorang ahlu sunnah memaafkan seorang ahlul bid’ah kecuali karena kemunafikan, dan barang siapa yang memalingkan wajahnya dari ahlu bid’ah maka Allah akan memenuhi hatinya dengan keimanan, dan barang siapa yang membentak ahlu bid’ah maka Allah akan memberinya keamanan pada hari kiamat kelak, dan barang siapa yang menghinakan ahlu bid’ah maka Allah akan mengangkat derajatnya seratus derajat di surga.[4]
Kesimpulan yang bisa kita petik dari untaian atsar di atas adalah disyariatkan bagi kaum muslimin untuk menampakkan sikap permusuhan dengan ahli bid’ah, menegakkan kebencian dan menghinakan mereka, serta tidak memuji mereka, hal ini merupakan manhaj yang telah ditaqrir oleh para ulama kita dalam buku-buku aqidah. Namun pengejawantahan dari sikap ini tidaklah mutlak, akan tetapi dibumikan sesuai dengan zaman dan keadaan, adalah lisanul maqal dan lisanul hal Syaikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- yang menjelaskan tentang hal ini.
Ikhwah yang dirahmati, mari perhatikan sikap legowo Ibnu Taimiyah ketika menghadapi musuh-musuhnya, ya benar, beliau sangat getol dalam membantah syubhat-syubhat ahlul bid’ah, dan menbeberkan kerusakan istidlal mereka, namun pada saat yang sama beliau juga bermuamalah dengan mereka dengan welas asih, melapangkan dada demi memaafkan mereka bahkan memuji mereka di depan penguasa saat itu, oleh karenanya, bukanlah hal yang aneh jika beliau mengatakan:
وأئمة السنة والجماعة وأهل العلم والإيمان فيهم العلم والعدل والرحمة ، فيعلمون الحق الذي يكونون به موافقين للسنة ، سالمين من البدعة ويعدلون على من خرج منها ولو ظلمهم ، كما قال تَعالَى :((كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ولا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى)) ويرحمون الخلق، فيريدون لهم الخير والهدى والعلم، لا يقصدون الشر لهم ابتداء، بل إذا عاقبوهم، وبينوا خطأهم وجهلهم وظلمهم، كان قصدهم بذلك بيان الحق ورحمة الخلق
Artinya: Dan para imam ahlus sunnah wal jamaah, para ahli ilmu dan iman [para ulama], sesungguhnya pada diri mereka –ada- ilmu, sifat adil dan sifat sayang, maka mereka mengetahui al-haq yang dengannya mereka sesuai dengan as-sunnah, mereka selamat dari bid’ah dan bersikap adil terhadap orang melanggar sunnah kendati mendhalimi mereka, sebagaimana firman Allah –subhanahu wa ta’ala-: ((hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada tershadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil, berlaku adillah, karena sikap adil itu lebih dekat kepada taqwa)),dan merekapun bersikap lemah lembut kepada manusia, menginginkan bagi mereka kebaikan, petunjuk dan ilmu, dan tidak menginginkan keburukan bagi mereka, bahkan jika memberikan hukuman kepada mereka dan membeberkan kesalahan, kebodohan dan kedhaliman mereka, sesungguhnya tujuannya adalah untuk menjelaskan kebenaran dan sebagai bentuk kasih sayang bagi makhluq.[5]
Beliau juga mengatakan:
وأهل السنة يتبعون الحق من ربهم الذي جاء به الرسول ولا يكفرون من خالفهم فيه, بل هم أعلم بالحق و أرحم بالخلق
Artinya: Dan ahli sunnah –selalu- mengikuti kebenaran yang datang dari Allah –Azza wa Jalla- yang dibawa oleh Rasul-Nya, dan mereka tidak mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka, bahkan mereka adalah yang paling mengetahui tentang kebenaran dan yang paling welas asih kepada makhluq.[6]
Dan marilah kita menilik lisahul hal Syaikh Islam Ibnu Taimiyah ketika menghadapi musuh-musuh ahlus sunnah, yang senantiasa berupaya untuk menebarkan fitnah tentang manhaj beliau, bahkan memfatwakan tentang halalnya darah beliau. Sesungguhnya sirah beliau yang sangat harum dalam hal ini telah diabadikan oleh beratus-ratus buku[7], perhatikanlah ketika Syaikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- mendapat kesempatan untuk membalas perlakuan para musuhnya di zamannya, ketika Malik Nashir geram kepada para ahlul bid’ah di zamannya karena pengkhianatan mereka, lalu beliau hendak menjatuhkan hukuman atas mereka, maka sang Malik-pun mengundang Syaikh Islam ke istananya, sang raja-pun mengungkit kedhaliman yang dilakukan oleh mereka [para ahlu bid’ah] terhadap Ibnu Taimiyah, dan membuka lembaran fatwa mereka tentang halalnya darah Syaikh Islam Ibnu Taimiyah yang ditulis oleh tangan mereka, namun gerangan apa yang dilakukan oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah?? Apakah beliau bermuamalah dengan mereka sebagaimana yang fatwakan oleh para ulama di atas?? Jawabannya adalah tidak!!, Ibnu Taimiyah justru mengingatkan sang Malik tentang urgensi peran ulama bagi Negara, beliau memuji mereka, dan yang terpenting adalah beliau memaafkan apa yang telah diperbuat oleh mereka kepada beliau, sampai musuh bebuyutan beliau [Ibnu Makhluf] dengan penuh keheranan mengatakan:
ما رأينا أفتي من ابن تيمية سعينا في دمه فلما قدر علينا عفا عنا
Artinya: kami tidak melihat orang yang paling bermurah hati dari Ibnu Taimiyah, kami telah berupaya untuk menghalalkan darahnya, namun ketika dia mendapat kesempatan untuk membalas, dia justru memaafkan kami.[8]
Ibnu Qoyyim mengatakan tentang sikap Ibnu Taimiyah kepada mereka:
وما رأيته يدعو علي أحد منهم قط, و كان يدعو لهم
Artinya: Dan aku tidak pernah melihat Ibnu Taimiyah mendoakan kebinasaan atas mereka, namun justru beliau mendoakan kebaikan bagi mereka.[9]
Dan yang lebih mengesankan lagi, ketika Ibnu Makhluf meninggal dunia, maka bergegaslah Ibnu Qoyyim –rahimahullah- mengabarkan berita tersebut dengan gembira, namun Syaikh Islam justru membentak dan mengingkari beliau, lalu mengucapkan kalimat Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un, dan kemudian beliau bergegas pergi ke rumah keluarga Ibnu Makhluf demi menghibur mereka seraya mengatatan:“Aku adalah pengganti baginya [Ibnu Makhluf] untuk kalian, jika ada hajat yang kalian butuhkan, maka aku akan membantu kalian”.[10]
Dan ketika al-Bakri berbuat dhalim atas Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, maka berkerumunlah kaum muslimin demi untuk membela beliau, namun Ibnu Taimiyah melarang mereka untuk membalas perbuatan tersebut, bahkan ketika Sultan hendak menjatuhkan hukuman mati bagi al-Bakri[11], sekali lagi Ibnu Taimiyah tampil untuk memberikan Syafaat kepadanya agar mengurungkan hukuman tersebut maka dia-pun [al-Bakri] tidak dijatuhi hukuman tersebut dan hanya diasingkan.[12]
Dan bahkan mungkin lebih dramatis dari nukilan-nukilan di atas, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah terkesan memberikan udzur kepada para musuhnya, mari kita perhatikan ucapan beliau di bawah ini:
هذا الذي فعلوه قد يكونون مثابين عليه مأجورين فيه!!
Artinya: Semua yang telah mereka lakukan [kepadaku], boleh jadi mereka mendapatkan pahala atasnya.
Maka orang yang hendak membela beliau bertanya:
فتكون أنت علي الباطل وهم عل الحق؟؟؟
Artinya: Kalau begitu kamu yang bersalah dan mereka yang benar??
Maka beliau-pun menjawab dengan penuh kebijaksanaan:
ماالأمر كما تزعمون, فإنهم قد يكونون مجتهدين مخطئين ففعلوا ذلك باجتهادهم, والمجتهد المخطئ له أجر
Artinya: Masalahnya bukan sebagaimana yang kalian pahami, boleh jadi sebenarnya mereka telah berijtihad, namun salah dalam berijtihad, maka yang mereka lakukan didasarkan atas ijtihad, dan seorang yang berijtihad namun salah, maka baginya satu pahala.[13]
Subhanallah, kalimat inilah yang kira-kira akan menghiasi lisan kita ketika membaca akhlaq Syaikh Islam yang mulia di atas, akhlaq yang sangat langka untuk ditemukan ditengah perhelatan dakwah di zaman ini, padahal…sangat mungkin kita lebih membutuhkan akhlaq di atas di zaman ini, disebabkan karena suburnya bid’ah, dan hegemoni yang kuat dari ahli bid’ah serta kuatnya cengkeraman syubhat di zaman ini, ditambah lagi sebuah realita yang mengiris hati, yaitu realita bahwa kaum muslimin di zaman ini di bawah konspirasi kaum kafir. Perbedaan sikap Ibnu Taimiyah terhadap ahlu bid’ah dengan para ulama yang hidup pada zaman keemasan islam, tentunya disebabkan tegaknya faktor-faktor, mungkin salah satu faktor penyebabnya adalah perbedaan kondisi zaman dan keadaan, Syaikh Islam hidup pada abad ke 7 dan ke 8 Hijriyah [beliau lahir pada tahun 661 H dan wafat pada tahun 728 H], sejarah mencatat bahwa pada abad-abad tersebut hegemoni ahlu bid’ah menguat, dan ahlu sunnah menjadi terasing, bahkan sangat mungkin para ahlu bid’ah berpendapat bahwa merekalah sang ahlu sunnah sejati, dan berkeyakinan bahwa Ibnu Taimiyah beserta para muridnya adalah ahlu bid’ah yang harus diberangus, bahkan ada fenomena terpengaruhnya para umara dengan syubhat yang dilontarkan ahli bid’ah, sehingga mereka membela para ahli bid’ah dan mungkin turut andil dalam menyebarkan bid’ah tersebut, dan tentunya urusan bertambah genting dengan ekspansi militer dari pasukan tartar ke negeri-negeri islam. Fenomena di atas berbeda 180 derajat dengan zaman yang hidup di dalamnya al-Hasan al-Bashri, Imam Malik, al-Fudhail bin ‘Iyadh, Sufyan ats-Tsauri, dan yang lainnya –rahimahumullah jami’an-, zaman yang terhiasi dengan ilmu dan sunnah, bumi “disesaki” para ulama yang Rabbani, bahkan para khalifah dan umara-pun turut andil dalam memberi hukuman kepada ahli bid’ah, sejarah mencatat, bahwa Abdul Malik bin Marwan –rahimahullah- menyalib Ma’bad aj-Juhani [sang dedengkot qodariyah], Khalifah Hisyam bin Abdul Malik-pun menjatuhkan hukuman mati bagi Ghilah ad-Dimasyqii [tokoh kedua al-Qodariyah], al-Ja’d bin Dirham [guru dari Jahm bi Shafwan] terjengkang ditangan Amir Khalid al-Qisrii [namun menurut ad-Dzahabi kisah ini tidak valid].
Dan perkataan Ibnu taimiyah –rahimahullah- diatas merupakan “estafet” dari perkataan para ulama salaf kita, diantaranya perkataan Abu Qilabah Abdullah bin Zaid al-Jarmii, beliau mengatakan:
إذا بلغك عن أخيك شيئ تكرهه فالتمس له العذر جهدك, فإن لم تجد له عذرا فقل في نفسك لعل لأخي عذرا لا أعلم.
Artinya:”Jika telah sampai kepadamu tentang saudaramu hal yang tidak kamu sukai, maka carikanlah bagi mereka udzur, dan jika kamu tidak menemukan udzur baginya, maka katakan pada dirimu mungkin saudaraku memiliki udur yang aku tidak mengetahuinya”.[14]
Setelah penjelasan diatas, ada satu realita “ilmiyah” lagi yang mungkin layak untuk kita jadikan timbangan dalam menyikapi ahli bid’ah, sebagaimana kita ketahui bahwa bid’ah bertingkat-tingkat sebagaimana kemaksiyatan bertingkat-tingkat pula, ada bid’ah mukaffirah [yang berkonsekwensi pada kekafiran] dan bid’ah mufassiqah [bid’ah yang berkonsekwensi pada kefasikan], tentunya realita ilmiyah ini berkonsekwensi pada perbedaan dalam mengambil sikap terhadap mereka, berkata Fadhilatus Syaikh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili –hafidhahullah- ketika mengomentari firman Allah –Subhanahu Wa Ta’ala-:
يآأيها لذين آمنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط ولايجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا, إعدلوا هو أقرب للتقوى
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada tershadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil, berlaku adillah, karena sikap adil itu lebih dekat kepada taqwa.[15]
Beliau mengatakan:
و العدل هنا عام في كل شيئ, ومن ذلك العدل في البغض, فلا ينبغي بغضنا للمتلبسين ببغض صغائر البدع أة الذنوب كبغض المقترفين للكبائر منهما ولا يكون بعضنا لهؤلاء كبغضنا للكفار مثلا, فإن هذا من العدل المأمور به في الدين
Artinya: Dan sikap adil [yang diperintahkan dalam ayat ini] umum dalam segala hal, dan diantaranya sikap adil dalam membenci, maka tidak seyogyanya kebencian kita terhadap sebagian orang yang terjatuh dalam bid’ah dan maksiyat yang kecil, sama dengan kebencian kita kepada orang yang terkontaminasi dengan bid’ah dan maksiyat yang besar, dan kebencian kita kepada mereka harus berbeda dengan kebencian kepada orang-orang kafir, sesungguhnya hal ini adalah sikap adil yang diperintahkan dalam agama ini.[16]
Dan jika hal ini telah kita sepakati bersama, maka sangat mungkin bagi kita untuk bersepakat lagi, bahwa menyikapi orang yang terjatuh dalam amalan yang diperselisihkan kebid’ahannya oleh para ulama, tentu berbeda dengan sikap kita terhadap orang yang terjatuh dengan amalan yang telah disepakati kebid’ahannya, wallahu a’lam
3. Allah berfirman dalam al-Qur’an:
و قد نزّل عليكم في الكتاب أن إذا سمعتم آيات الله يكفر به و يستهزأ به فلا تقعدوا معهم حتي يخوضوا في حديث غيره إنكم إذا مثلهم
Artinya: Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah di ingkari dan diperolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya (apabila kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.[17]
Al-Imam al-Baghawi –rahimahullah- menukil dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhu-, bahwa beliau mengatakan:
دخل في هذه الأية كل محدث في الدين و كل مبتدع إلي يوم القيام
Artinya: Masuk dalam (larangan) ayat ini setiap orang yang mengada-adakan perkara dalam masalah agama, dan masuk pula setiap ahlu bid’ah sampai dating hari kiamat.[18]
Perkataan Ibnu Abbas –radhiyallahu anhu-:
لاتجالس أهل الأهواء فإنّ مجالستهم ممرضة للقلب
Artinya: Jangan kamu bermajlis dengan ahlu bid’ah, karena bermajlis dengan mereka akan mewariskan penyakit dalam hati.[19]
Perkataan Sufyan ats-Tsauri –rahimahullah-:
من أصغي بأذنيه إلي صاحب البدعة خرج من عصمة الله
Artinya: Barangsiapa yang menyimak dengan telinganya perkataan ahlu bid’ah, maka dia telah keluar dari penjagaan Allah.[20]
al-Fudhail bin Iyadh –rahimahullah- mengatakan:
لا تجلس مع صاحب بدعة فإني أخاف أن تنزل عليك اللعنة
Artinya: Janganlah kamu bermajlis dengan ahli bid’ah, sesungguhnya saya khawatir akan jatuh kepadamu laknat.[21]
Ikhwah yang dirahmati Allah, kumpulan dalil dan atsar di atas bermuara pada sebuah kesimpulan, yaitu motifasi untuk menghajr dan memboikot ahlu bid’ah, dan larangan untuk bermajlis dengan mereka, sebab bergaul dan berinteraksi dengan mereka akan mendatangkan mafsadat [kerusakan], diantaranya adalah adanya potensi untuk menularnya syubhat-syubhat mereka ke dalam hati kita, dan kekhawatiran tertipunya umat dengan menganggap ahlu bid’ah tersebut sebagai ahlu sunnah sehingga kemudian menganggap mereka sebagai orang yang layak menjadi referensi dalam urusan agama. Namun sebuah hakikat yang mungkin perlu untuk kita ketahui, bahwa hukum yang dikandung oleh dalil dan atsar di atas tidaklah mutlak, akan tetapi muqayyad [terikat] dengan dhawabith [kriteria] syar’i dalam membumikan dalil dan atsar di atas pada alam nyata, dan hal ini tentunya bisa kita pahami dengan mengumpulkan atsar dan fatwa para ulama ahlu sunnah di setiap zaman terkait masalah sikap hajr dan boikot terhadap ahlu bid’ah.
Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Allah melimpahkan rahmat dan taufiknya kepada kita-, sesungguhnya hajr dan memboikot orang yang melanggar syariat –baik ahlu bid’ah ataupun ahlu ma’shiyat- tidaklah disyariatkan kecuali dengan dua tujuan:
Pertama : Untuk memberikan hukuman kepada “terdakwa”, dan memberikan efek jera kepadanya.
Kedua : Kekhawatiran terjadinya dharar [bahaya] dan munculnya fitnah dari bermajlisnya kita dengan mereka.[22]
Kemudian beliau menukil perkataan Ibnu Abdil Barr –rahimahullah-:
ولا هجرة إلاّ لمن ترجو تأديبه بها أو تخاف من شره في بدعة أو غيرها
Artinya: Dan tidak ada sikap hajr dan boikot –kepada mukhalif- kecuali bagi yang kamu harapkan kejeraannya dari sikap tersebut, atau karena kekhawatiranmu dari keburukan pada bid’ahnya ataupun keburukan selainnya.[23]
Dan “kelayakan” penerapan sikap hajr dan boikot kepada mukhalif, seyogyanya ditinjau dari sisi “kwalitas” sang ahli bid’ah, apakah sang ahli bid’ah melakukan bid’ahnya secara terang-terangan atau secara sirriyah??, apakah sang ahli bid’ah merupakan penyeru terhadap bid’ahnya atau tidak??, Perhatikanlah perkataan Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berikut ini:
فلهذا ونحوه رأي المسلمون أن يهجروا من ظهرت عليه علامات الزيغ, من المظهرين للبدع الداعين إليها, و المظاهرين للكبائر, فأما من كان مستترا بمعصية, أو مسرّا لبدعة غير مكفرّة فإنّ هذا لا يهجر, وإنما يهجر الداعي إلي البدعة إذ الهجر نوع من العقوبة, و إنما يعاقب من أطهر المعصية قولا أو عملا
Artinya: Dan berdasarkan ini dan yang selainnya, maka kaum muslimin berpendapat disyariatkannya metode hajr bagi yang menampakkan tanda-tanda kesesatannya, [yaitu] orang yang terang-terangan dalam melaksanakan bid’ah serta menjadi penyeru bagi bid’ah tersebut, dan orang yang melakukan dosa besar secara terang-terangan, adapun orang yang melakukan kemaksiyatan atau melakukan bid’ah yang tidak mengeluarkannya dari koridor islam[24] dengan sembunyi-sembunyi, maka yang seperti ini tidak layak untuk dihajr, yang berhak untuk dihajr hanyalah yang menjadi penyeru bagi bid’ahnya, sebab sikap hajr merupakan salah satu bentuk hukuman, dan sesungguhnya yang layak untuk menerima hukuman hanyalah orang yang menampakkan maksiyat baik perkataan maupun perbuatan.[25]
Dan tentunya fatwa dari Syaikh Islam Ibnu Taimiyah merupakan kesimpulan dari fatwa-fatwa ulama salaf kita, diantaranya fatwa Imam Ahmad –rahimahullah- ketika ditanya tentang masalah perkataan “lafdhi bil qur’ani makhluqun” [bacaan al-qur’anku adalah makhluq], maka beliau mengatakan:
هذا كلام جهم, من كان يخاصم فلا يجالس و لا يكلم و الجهمي كافر
Artinya: Ini adalah perkataan Jahm [bin Shafwan], barang siapa yang menjadi penyeru [da’i] dan mendebat [untuk membela pemikiran ini] maka jangan bermajlis dan berbicara dengannya, dan orang jahmiyah kafir.[26]
Dhahir dari fatwa beliau ini adalah jika seorang ahli bid’ah tidak menjadi penyeru bagi bid’ahnya dan tidak melakukannya dengan terang-terangan, maka dibolehkan untuk bermajlis dengannya.[27]
Dan diantara hal yang harus ditinjau dalam praktek hajr dan boikot adalah sisi waktu, keadaan dan tempat, adapun dalil dan perkataan para ulama salaf kita yang bersifat keras terhadap ahli bid’ah, yang menyuruh untuk memboikot mereka dan melarang untuk bermajlis dengan mereka, maka ada kemungkinan perkataan ini dikatakan pada zaman dan tempat yang mayoritasnya ahli sunnah, zaman dan tempat yang kuat hegemoni ahli sunnahnya dan lemah kekuatan ahli bid’ah, namun apabila sebaliknya, maka metode hajr dan boikot tidak bisa diterapkan, mari kita perhatikan atsar-atsar dari ulama salaf berikut ini:
Perkataan Imam Ahmad –rahimahullah-:
لو تركنا الرواية عن القدرية لتركناها عن أكثر أهل البصرة
Artinya: Jika kita tidak mengambil riwayat dari penganut paham qadariyah, maka kita akan tinggalkan riwayat mayoritas penduduk bashrah.[28]
Para ulama salaf kita tidak memboikot penganut paham Qadariyah di kota Bashrah karena mayoritas penduduk kota Bashrah berpemahaman Qadariyah, demikian juga dengan kota kufah, yang sangat kuat hegemoni paham Syiah-nya, bahkan para ulama kita mengambil hadits-hadits Rasulullah –shallahu alaihi wasallam- dari sebagian mereka, realita sejarah ini tentunya membuktikan fiqih ulama salaf dalam memahami zaman, kondisi dan keadaan, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
ولهذا كان يفرّق بين الأماكن التي كثرت فيها البدع كما كثر القدر في البصرة, و التنجيم بالخراسان, و التشيّع بالكوفة و بين ما ليس كذالك, ويفرّق بين الأئمة المطاعين وغيرهم
Artinya: Oleh karena itu, dibedakan antara tempat yang berkembang pesat bid’ah di dalamnya, sebagaimana merebaknya bid’ah Qadariyah di
Fadhilatus Syaikh Bakr Abu Zaid –rahimahullah- menegaskan dalam kitabnya:
فإذا كانت الغلبة و الظهور لأهل السنة كانت مشرؤعية هجر المبتدع قائمة علي أصلها, وإن كانت القوة و الكثرة للمبتدعة –ولاحول ولا قوة إلاّ بالله- فلا المبتدع ولا غيره يرتدع بالهجر ولا يحصل المقصود الشرعي, لم يشرع الهجر و كان المسلك التأليف خشية زيادة الشر
Artinya: Jika hegemoni dan kekuasaan ahli sunnah kuat maka disyariatkan untuk menerapkan metode hajr dan boikot terhadap ahli bid’ah, namun jika kekuatan dan kwantitas ahli bid’ah lebih besar –laa haula walaa quwwata illa billah-, dan tidak ada efek jera bagi ahli bid’ah dan [maslahat] bagi yang lainnya [dari metode hajr dan boikot], dan tidak dapat merealisasikan tujuan syar’i, maka tidak disyariatkan menerapkan metode hajr dan boikot terhadap mereka, dan [lebih baik] menggunakan metode ta’liful qulub untuk menghindari meluasnya keburukan.[30]
Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah- mengatakan: “Pendapat saya, –wallahu a’lam-, bahwa perkataan salaf (yang keras terhadap ahli bid’ah) berlaku pada jaww salafi (kondisi masyarakat yang didominasi pengikut manhaj salaf); yaitu kondisi yang penuh dengan keimanan yang kuat dan ittiba’ yang benar kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat. Masalah ini sama persis dengan masalah muqatha’ah -pemutusan hubungan atau boikot- seorang muslim terhadap muslim yang lain dalam rangka mendidik dan memberi pelajaran kepadanya. Ini merupakan sunnah yang diketahui umum. Namun yang menjadi keyakinan saya, -dan saya sering sekali ditanya mengenai hal ini- bahwa zaman kita tidak sesuai untuk diterapkan muqatha’ah. Zaman kita ini tidak cocok untuk memutuskan hubungan dengan para ahli bid’ah. Sebab konsekwensinya -yakni hajr ahli bid’ah itu- berarti engkau akan tinggal di puncak gunung dan engkau jauh dari masyarakat. Hal ini dikarenakan tatkala engkau meng-hajr masyarakat –karena kefasikan atau kebid’ahan mereka- tidaklah hal ini memberi pengaruh (positif) sebagaimana pengaruh yang timbul di zaman salaf yang mengucapkan kalimat-kalimat (keras terhadap ahli bid’ah) tersebut”.[31]
Fadhilatus Syaikh al-Albani –rahimahullah- menambahkan: “Secara umum, pada zaman ini aku sama sekali tidak menasehatkan untuk menggunakan metode penerapan hajr sebagai solusi, karena mudharatnya lebih banyak dari manfaatnya.[32].
Berkata Fadhilatus Syaikh al-Allamah Muhammad bin Sholih al-Utsaimin –rahimahullah-: “Namun pada zaman sekarang ini, kebanyakan pelaku kemaksiatan jika di-hajr maka semakin sombong dan menjadi-jadi dalam kemaksiatan mereka, semakin jauh dari ahli ilmu, serta semakin menjauhkan (orang lain) dari ahli ilmu, sehingga penerapan hajr tidak memberikan faedah bagi mereka, dan juga bagi selain mereka, jika demikian keadaannya, maka kita katakan bahwa hajr adalah obat yang digunakan apabila menghasilkan kesembuhan. Namun jika tidak mendatangkan atau justru membinasakan, maka ia tidak digunakan”.[33]
Ikhwah yang dirahmati Allah, kesimpulan dari pembahasan ini adalah sebagai berikut:
A. Metode hajr disyariatkan untuk merealisasikan dua hal:
Pertama: Untuk memberikan hukuman kepada “terdakwa”, dan memberikan efek jera kepadanya.
Kedua : Kekhawatiran terjadinya dharar [bahaya] dan munculnya fitnah dari bermajlisnya kita dengan mereka.
B. Berdasarkan pembahasan ini, maka nampak jelas bagi kita bahwa metode hajr tidak diterapkan secara mutlak di semua keadaan dan zaman, dan tidak dipraktekkan kepada semua ahli bid’ah, namun metode ini dibumikan jika dapat merealisasikan tujuan-tujuan syar’i diatas, dan jika tidak dapat merealisasikan tujuan-tujuan syar’i tersebut, maka tidak syariatkan untuk menerapkan metode hajr dan boikot, dan diharapkan mencari metode alternatif dalam bermuamalah dengan ahli bid’ah demi merealisasikan maslahat, bahkan boleh jadi metode ta’liful qulub yang disyariatkan.[34]
Pembaca yang dirahmati Allah, inilah perincian pembahasan tentang fiqh berinteraksi dengan ahli bid’ah, intinya sikap memboikot ahli bid’ah tergantung masa, zaman, keadaan serta maslahat dan mafsadatnya, sebagaimana metode ta’liful qulub terhadap mereka terkait dengan masa, zaman, keadaan serta maslahat dan mafsadatnya pula. Selama ini –kebanyakan kita- hanya mendengar dan membaca tentang sikap keras terhadap ahli bid’ah, memboikot mereka tanpa ada perincian, bahkan terkadang cenderung untuk menjatuhkan vonis terhadap para duat yang memilih metode ta’liful qulub dengan sebagian ahli bid’ah, maka semoga tulisan ini bisa mewakili perincian metode mu’amalah dengan ahli bid’ah, dan mungkin yang lebih penting, semoga kami tidak dituduh mengumpulkan “keganjilan-keganjilan” para ulama dalam masalah ini, Allahu Musta’an.
Penting
a) Sangat dianjurkan bagi kaum muslimin yang awam untuk menggunakan metode boikot kepada ahli bid’ah, terutama pentolan dan tokohnya, karena dikhawatirkan mereka tersyubhat tanpa mampu menjawab syubhat-syubhat tersebut.
b) Dianjurkan bagi para da’i dan penuntut ilmu untuk menebarkan cahaya ahlu sunnah kepada kaum muslimin, karena sebagian kaum muslimin yang awam terkontaminasi dengan bid’ah dan kesyirikan disebabkan faktor lingkungan dan kebodohan, maka sangat diharapkan bagi para da’i dan penuntut ilmu untuk menggunakan metode ta’liful qulub kepada mereka, agar tersibak kegelapan bid’ah dengan cahaya sunnah.
c) Jika kita menilik atsar dari para ulama diatas, maka metode boikot dan hajr “dibumikan” kepada ahli bid’ah tulen, dan jika kita membandingkan dengan zaman sekarang, maka kita menemukan metode boikot dan tahdzir dihadiahkan kepada para duat yang disinyalir sebagai ahli bid’ah, atau diduga memiliki sirriyah, atau disinyalir memiliki hubungan dengan para hizbiyyin, maka ini berbeda kasusnya, sebab hukum asal seorang muslim adalah seorang yang adil [ahli sunnah], dan tidak teranulir hukum tersebut kecuali dengan keyakinan dan bukan dengan dugaan semata.
d) Jika mencermati atsar-atsar diatas, dan mencoba untuk menggali situasi para ulama salaf kita, maka kita akan mendapatkan bahwa bid’ah yang tersebar pada zaman mereka adalah bid’ah yang telah disepakati tentang kesesatannya, contohnya bid’ah tentang khalqul qur’an, bid’ah qodariyah dan jabariyah [tentang taqdir], bid’ah rafidhah, fitnah takfir kaum muslimin, bid’ah wihdatul wujud dan selainnya, adapun permasalahan yang menjadi titik perselisihan sebagian duat pada zaman ini amat berbeda, permasalahan tandhim –tanpa hizbiyah-, masalah manhaj muwazanah, masalah partisipasi dalam pemilu, ta’awun dengan sebagian ahli bid’ah dalam kebaikan, sikap inshof kepada Sayyid Quthub dan Hasan al-Banna[35] adalah masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama kita, maka –menurut kami- sangat prematur jika kemudian kita mencap para duat yang mentarjih legalnya hal-hal diatas sebagai ahli bid’ah –baik tabdi’ mutlak ataupun tabdi’ mu’ayyan- dan kemudian memboikot dan mentahdzir mereka, padahal secara aqidah dan manhaj memiliki kesamaan.
Menanggapi Syubhat
B) Tuduhan yang dilabelkan kepada kami, bahwa kami tidak bisa membedakan antara tabdi’ mutlak dengan tabdi’ mu’ayyan, dengan asumsi, bahwa kami telah mentaqrir adanya sebagian kaum muslimin yang menjatuhkan vonis tabdi’ mu’ayyan kepada kami.
Tanggapan:
Sebagaimana kami jelaskan dalam artikel kami yang lalu, bahwa kami mengenal tabdi’ mutlak dan tabdi’ mu’ayyan, bahkan mengenalkannya kepada para murid-murid kami, adapun kengeyelan kami, bahwa sebagian kaum muslimin telah menjatuhkan vonis tabdi’ mu’ayyan kepada kami lewat tulisan, muhadharah dan situs-situs mereka, maka hal ini berdasarkan tegaknya qara-in [indikator] di lapangan, diantaranya:
1. Sikap yang ditunjukkan oleh kaum ini kepada para kader Wahdah Islamiyah berupa sikap keras, permusuhan, boikot, tidak menjawab salam dan lain sebagainya, dengan dalil atsar dan perkataan dari para ulama salaf terkait sikap keras terhadap ahli bid’ah.
2. Kami mendapatkan sebagian dari kaum ini enggan untuk mendengarkan ceramah dan siraman rohani dari para asatidzah kami, dan ini adalah pengalaman kami pribadi dan pengamalan sebagian asatidzah, mereka akan keluar dari masjid jika mengetahui akan ada ceramah dari asatidzah Wahdah Islamiyah, dan hal ini mereka lakukan dalam ceramah tarawih, atau kultum setelah subuh, menurut mereka hal ini adalah pengejawantahan dari perkataan para ulama salaf terkait larangan mengambil ilmu dari ahli bid’ah atau larangan mendengarkan perkataan ahli bid’ah.
Inilah qara-in [indikator] yang kami temukan di lapangan dakwah, dan tentunya orang yang mendapatkan perlakuan seperti ini akan merasa bahwa telah jatuh vonis tabdi’ kepada orang tersebut, coba kita perhatikan sikap saudara kita [akh Sofyan Khalid] ketika kami menanggapi artikelnya dengan sikap keras, dia merasa didhalimi dan menuduh kami berdusta atas namanya, padahal –seingat kami- tidak ada perkataan kami yang mencela agamanya dan keadilan, maka adalah hal yang lazim ketika kami menyimpulkan bahwa telah jatuh vonis tabdi’ mu’ayyan kepada kami dengan terkumpulnya indikator di atas.
B) Tudingan bahwa kami salah dalam memahami sikap Ibnu Taimiyah –rahimahullah- kepada al-Hallaj, ketika beliau menafikan perkataan-perkataan yang dinisbahkan kepada al-Hallaj disebabkan kuatnya indikasi untuk menolak perkataan tersebut, dan menuduh bahwa kami berupaya untuk mengumpulkan keganjilan para ulama demi membela manhaj kami.
Tanggapan:
1. Adapun tudingan bahwa kami salah dalam memahami sikap Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, maka kami mengatakan bahwa jika kami memang benar-benar terjerembab dalam kesalahan, maka kami bertaubat kepada Allah –Azza wa |Jalla-atas kesalahan kami, merupakan hal yang jamak ketika kami terjatuh dalam kesalahan, karena kapasitas kami sebagai manusia yang lemah.
2. Yang kami maksudkan sebagai pembelaan kepada al-Hallaj, bukanlah pembelaaan secara mutlak, namun mutlaqud difa’, yaitu sifat inshof dan tidak mendhalimi orang lain kendatipun kepada dedengkot ahli bid’ah, dan tidak menisbatkan tuduhan-tuduhan dusta kepada mereka, hal ini senada dengan yang dikatakan oleh al-Qarafi dalam al-Furuq 4/207-208, beliau mengatakan:
أرباب البدع و التصانيف المضلة, ينبغي أن يشهر للناس فسادها و عيبها, وأنهم علي غير الصواب ليحذرها الناس الضعفاء فلا يقعوا فيها, وينفر عن تلك المفاسد ما أمكن, بشرط ألاّ يتعدي فيها الصدق, ولا يفتري الفواحش ما لم يفعله, بل يقتصر على مافيهم من المنفرات الخاصة, فلا يقال علي المبتدع إنه يشرب الخمر ولا أنه يزني ولا غير ذلك مما ليس في.
Artinya: Para tokoh ahli bid’ah dan penulis buku sesat, maka seyogyanya dijelaskan kerusakan dan kesesatannya di hadapan manusia, bahwa mereka telah menyelisihi kebenaran agar manusia yang awam tidak terjatuh dalam kesalahan mereka, dan memperingatan manusia atas kesesatan mereka semampu mungkin, dengan syarat tidak melampaui kejujuran, dan tidak berdusta dengan menisbatkan kekejian kepada mereka yang tidak dilakukan, bahkan mencukupkan diri dengan kesesatan yang telah valid nisbahnya, maka tidak dikatakan kepada ahli bid’ah sesungguhnya dia peminum khamr, atau tidak dikatakan dia berzina dan perkataan yang lainnya, padahal mereka tidak melakukannya.
3. Adapun tudingan bahwa kami mengumpulkan keganjilan para ulama demi mempertahankan manhaj kami, maka kami mengatakan dengan lapang dada sebagai berikut:
a. Bahwa mungkin saja yang ditudingkan itu benar, namun sebagai syawahid [penguat] kami telah menukil akhlaq Ibnu Taimiyah kepada ahli bid’ah di zamannya, sebagaimana kami goretkan di atas, dan sepanjang pengetahuan kami belum ada dari kalangan ulama yang mengatakan bahwa akhlaq tersebut merupakan keganjilan dari Syaikh Islam Ibnu Taimiyah.
b. Sikap Ibnu Taimiyah tersebut tidak hanya di lakukan kepada al-Hallaj, namun beliau lakukan kepada yang lainnya, diantara contohnya: larangan dari Ibnu Taimiyah untuk menisbahkan kesesatan dari para ahli bid’ah di damaskus kepada Ibnu Makhluf [Majmu’ul Fatawa 3/218], pembelaan beliau kepada al-Hakim Thirmidzi [lihat ar-Rasa-il wal Masa-il 4-5/74], sikap inshof Ibnu Taimiyah kepada Rabi’ah al’Adawiyah [lihat Majmu-ul Fatawa 2/310]. Bahkan sikap serupa ditampakkan oleh Imam Ahmad –rahimahullalh- kepada para sejawat Ibnu Abi Najih, kendati beliau menetapkan bid’ah qadariyah kepada mereka, namun beliau menafikan mereka sebagai ahli kalam [lihat al’Ilal Wa Ma’rifatul Rijal 3/260], dan juga ditampakkan oleh ad-Dzahabi kepada Rabiah al’Adawiyah [lihat Tarikh Islam, wafayat tahun 171-180 H, hal 118-119], wallahu a’lam.
Ayyuhal ikhwal, inilah yang ingin kami paparkan dalam artikel ini, dan kami tidak mengklaim kebenaran yang mutlak dalam masalah ini, sebagaimana yang kita pahami bersama, bahwa manusia rentan terjatuh dalam kesalahan, nasehat yang bijak dan kritikan yang ilmiyah tentunya dibutuhkan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut, akhirnya shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad –shallahu ‘alaihi wa sallam- hingga hari kiamat menjelang.
[1] . Dzammul Kalam karya al-Harawi, hal 195
[2] . Syarhu Sunnah karya Barbahari 61
[3] . Majmu’ul Fatawa 30/201
[4] . Lihat Syarhus Sunnah karya al-Barbahari, hal. 129
[5] . ar-Raddu ‘Ala Bakri hal. 257
[6] . Minhajus Sunnah 5/156-158
[7] . Lihat al-Jami’ Li Sirati Syaikh Islam
[8] . Lihat al-Jami’ Li Sirati Syaikh Islam 431, 478, 607, dan silahkan merujuk ke artikel kami dengan tema:”Akhlaq Orang Yang Besar”.
[9] . Lihat Madarikus Salikin 2/345
[10] . Lihat Madarikus Salikin 2/345
[11] . Jika para ikhwah sekalian ingin mengetahui “kebobrokan” pemikiran al-Bakri, maka silahkan merujuk buku “ar-Raddu ‘Ala al-Bakri” karya Syaikh Islam Ibnu Taimiyah.
[12]. Lihat al-Jami’ Li Sirati Syaikhil Islam hal. 479, 679
[13] . Lihat al-‘Uqud ad-Duriyah karya salah seorang murid beliau Ibnu Abdil Hadi, hal. 286-287, dan hal. 289
[14] . Hilyatul Auliya’ 2/285, dan atsar di atas diriwayatkan pula dari Muhammad bin Sirin dan al-Imam as-Syafi’i –rahimahumallah-.
[15] . al-Maidah 8
[16] . Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jamaah 2/463
[17] .
[18] . Tafsir al-Baghawi 1/491
[19] . Lihat as-Syariah karya al-Ajurri hal. 61
[20] . Syarhus Sunnah karya al-Barbahari hal. 127
[21] , Syarhus Sunnah hal. 128
[22] . Silahkan merujuk buku Mauqif Ahlus Sunnah Wal Jamaah Min Ahlil Ahwa-i Wal Bida’, karya Fadhilatus Syaikh Ibrahim bin Amir ar-Ruhauiliy –hafidhahullah-, jilid 2/553. dengan sedikit perubahan.
[23] . at-Tamhid karya Ibnu Abdil Barr 6/119
[24] . Perkataan ini menunjukkan bahwa perbuatan bid’ah bertingkat-tingkat, ada bid’ah yang “hanya” menfasikkan dan tidak mengeluarkan pelakunya dari agama islam, dan ada pula bid’ah yang berkonsekwensi pada keluarnya pelakunya dari ruang lingkup islam, Allahu a’lam.
[25] . Majmu’ul Fatawa 24/174-175, menukil dari buku Mauqif Ahlis Sunnah.
[26] . Masa-il Imam Ahmad Biriwayati Ibni Hani’ 2/157, menukil dari kitab Mauqif Ahli Sunnah
[27] . Lihat Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahli Ahwa-i Wal Bida’ 2/555
[28] . Majmu’ al-Fatawa 28/206
[29] . Idem
[30] . Hajrul Mubtadi’ karya Syaikh Bakr Abu Zaid, hal. 45
[31] . Silsilah al-Huda wa an-Nuur, kaset no. 511. .
[32] . Silsilah al-Huda wa An-Nuur, kaset no. 666; tanggal 7 Sya’ban 1413 H.
[33] . Majmuu’ Fataawa Ibnu Utsaimin, Juz III/11-12, soal no. 382.
[34] . Lihat Mauqif Ahli Sunnah Wal Jamaah Min Ahli Ahwa-i Wal Bida’ 2/562, dengan sedikit perubahan.
[35] . Sebagian permasalahan ini telah kami bahas dalam situs ini.
Penjelasan yang betul-betul ilmiah, tidak subyektif dan tidak menyudutkan pihak lain, menambah wawasan saya. Terima kasih, semoga Allah tetap memberi anda kemampuan untuk menyampaikan Al-Qur'an dan Sunnah yang sahih
salam kenal ya, sama-sama al inshof. tak tunggu kunjungan dan komentarnya
koq al-inshof ga ad materi baru?..
Jangan lupa untuk diterbitkan bukunya, Ustadz. Agar ada berita dan informasi yang berimbang. Syukron atas penjelasannya.
semoga Allah menjaga antum jami'an di atas islam dan sunnah