Terminologi Takwil dan Penerapannya di Kalangan Salaf dan Khalaf

Dalam kajian nama-nama dan sifat-sifat Allah istilah takwil dan penggunaannya telah menjadi bias. Sehingga kadang penjelasan makna zahir dari nama ataupun sifat Allah pada ayat tertentu dengan menggunakan ayat lain atau pun hadis yang berhubungan dengannya dianggap sebagai takwil. Padahal dalam tradisi salaf penjelasan tersebut sesungguhnya bukanlah takwil melainkan tafsir ayat dengan ayat atau dengan hadis.

Terminologi takwil dalam tradisi keilmuan ulama muta’akhkhirin berbeda dengan terminologi takwil dalam tradisi keilmuan ulama salaf. Takwil dalam terminologi ulama muta’akhkhirin adalah mengalihkan makna suatu lafaz dari maknanya yang rajih (zahir) kepada makna yang marjuh disebabkan adanya dalil yang mengalihkannya.

Sedang takwil dalam terminologi ulama salaf diartikan dengan salah satu di antara pengertian berikut:

Pertama: tafsir suatu lafaz dan penjelasan maknanya.

Kedua: esensi yang kepadanya kembali suatu kalam. Makna ini biasa disebut sebagai akibat atau hasil akhir dari suatu hal. (Lihat: Adhwa al-Bayan fi Iedhah Al-Qur’an bi Al-Qur’an, karya Syaikh Muhammad Amin al-Syinqithi: I/190. Ma’alim Ushul al-Fiqh inda Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Karya Prof. Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani, hal 386).

Dalam Ilmu Usul Fikih, dalil ataupun dalih yang dipakai ahli takwil untuk memalingkan makna zahir kepada makna non zahir (marjuh) dibagi menjadi tiga:

  1. Dalil yang sahih dan proporsional; baik ayat, hadis atau pun ijmak, maka takwil dengannya menjadi takwil sahih atau qarib.
  2. Dalil atau dalih yang diklaim sebagai dalil tidak proporsional maka takwil dengannya menjadikan takwil tersebut fasid atau batil.
  3. Tanpa dalil atau dalih sama sekali, maka cara ini dikategorikan sebagai bentuk mempermainkan nas-nas syar’i. (Lihat: Adhwa al-Bayan fi Iedhah Al-Qur’an bi Al-Qur’an, karya Syaikh Muhammad Amin al-Syinqithi: I/190-191, Ma’alim Ushul al-Fiqh inda Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Karya Prof. Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani, hal 386).

Cara yang ketiga tersebut dilakoni oleh orang-orang Syi’ah atau Rafidhah ketika menakwil ayat tertentu dalam Alquran, seperti saat mereka menakwil kata al-baqarah (sapi betina) yang terdapat dalam ayat ke 67 dari surat al-Baqarah dan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-baqarah adalah Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha. Karena takwil tersebut tidak berdasarkan dalil maka dikategorikan sebagai tindakan mempermainkan nas Alquran.

Sedang cara kedua dilakukan oleh ahli kalam dalam menakwil nama-nama dan sifat-sifat Allah. Umumnya mereka menakwil sifat-sifat Allah dengan mengalihkan makna zahirnya kepada makna marjuh dengan menggunakan logika. Seperti saat mereka menakwil sifat nuzul Allah (turunnya Allah) ke langit terendah di sepertiga terakhir setiap malam. Mereka menakwilnya dengan turunnya malaikat, atau rahmat, atau perintah Allah. Menurut mereka, bukan Allah yang turun, karena jika Allah yang turun maka hal tersebut berkonsekuensi bahwa Arsy akan berada di atasNya, sementara hal tersebut tidak layak bagi Allah, atau berkonsekuensi bahwa Allah akan berada di langit terendah sepanjang waktu disebabkan adanya perbedaan waktu sepertiga malam terakhir di setiap negeri atau kawasan yang berbeda dari negeri dan kawasan lainnya.

Juga Ketika mereka menakwil sifat maji’ Allah (datangnya Allah pada hari kiamat) dan mengatakan datangnya perintah Allah. Karena menurut mereka, jika makna zahirnya dipakai, yaitu Allah benar-benar datang maka konsekuensinya Allah itu bergerak, atau mengosongkan tempat yang ditinggalkan dan mengisi tempat yang dituju, sementara hal tersebut merupakan karakter jisim, sedang Allah bukanlah jisim.

Sedang cara pertama dipakai atau diakomodir oleh salaf, sekalipun sejatinya tidak disebut sebagai takwil, melainkan tafsir. Baik tafsir ayat dengan ayat ataupun dengan hadis. Misalnya ketika para salaf menjelaskan sifat ma‘iyyah (kebersamaan Allah) dengan makhluk yang disebut dalam firman Allah:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا ۖ وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari padanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4).

Ketika ayat ini ditafsirkan oleh para salaf bahwa ma’iyyah Allah dengan makhluk adalah kebersamaan ilmu dan penglihatan Allah, artinya ilmu dan penglihatan Allah yang menyertai makhluk dan bukan zat-Nya yang bersama makhluk. Maka sesungguhnya itu bukanlah takwil karena maknanya dalam konteks ayat sesuai zahirnya. Sebab awal ayat berbicara tentang ilmu Allah dan akhir ayat berbicara tentang penglihatan Allah terhadap perbuatan hamba.

Demikian halnya dengan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ

Artinya: “Kasihilah dirimu dengan tidak mengangkat suara berlebihan, karena kalian sesungguhnya tidak berdoa kepada zat yang tuli ataupun gaib, tetapi sungguh kalian sedang berdoa kepada Zat yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat dan Dia bersama kalian.“ (HR. Bukhari No. 4205 dan Muslim No. 2704).

Kebersamaan Allah dengan hamba yang berdoa adalah kebersamaan pendengaran. Penafsiran ini tidak keluar dari makna zahir sehingga tidak dikatakan sebagai takwil. Pun kalau dikatakan sebagai takwil maka takwil tersebut didukung oleh dalil dari konteks hadis itu sendiri.

Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah menegaskan, “Berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, dibolehkan salah satu ayat ditafsirkan dengan zahir ayat lain dan memalingkan dengannya dari zahir kalam. Tidak ada larangan dalam hal ini di kalangan Ahlussunnah. Meski tindakan tersebut disebut sebagai takwil dan pengalihan makna zahir tetapi hal itu karena didukung oleh dilalah Alquran dan sejalan dengan Sunah serta disetujui oleh salaf. Karena hal tersebut merupakan tafsir ayat Alquran dengan Alquran dan bukan tafsir dengan rakyu (akal). Yang terlarang adalah memalingkan Alquran dari kandungannya tanpa dilalah dari Allah, RasulNya dan para salaf.” (Lihat: Majmu’ al-Fatawa: VI/21).

Demikian halnya, ketika para salaf membagi ma’iyyah Allah menjadi ma’iyyah umum yang bermakna kebersamaan ilmu, penglihatan dan pendengaran Allah dengan makhluk secara umum, baik yang taat ataupun yang durhaka. Dan ma‘iyyah khusus, yaitu khusus untuk orang-orang taat, yang berarti kebersamaan Allah dengan makhluk tertentu dengan pertolongan, bantuan dan kemenangan dariNya. Dinamakan ma‘iyyah khusus karena khusus bagi orang atau kelompok tertentu. Hal ini diketahui dari konteks dalilnya. Misalnya ma’iyyah dalam firman Allah:

“Sewaktu dia (Muhammad) berkata kepada temannya: “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40). Ini adalah ma’iyyah khusus, yaitu kebersamaan Allah dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu saat bersembunyi di Gua Tsur.

Demikian halnya dengan firman Allah: “Allah berfirman: “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.“ (QS. Thaha: 46). Ini adalah ma’iyyah khusus, yaitu kebersamaan Allah dengan Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam sewaktu diperintah oleh Allah untuk menjumpai dan mendakwahi Fir’aun.

Begitu pula dengan firman Allah:

“Bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46). Ini juga ma’iyyah khusus, yaitu khusus untuk orang-orang yang sabar.

Hal tersebut sejatinya tidak dinamakan sebagai takwil karena hal tersebut merupakan makna zahir dari ayat-ayat ma’iyyah yang didukung oleh ayat, hadis dan atsar dari salaf. (Lihat: Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, Prof. Dr. Khalid al-Mushlih: X/7-8).

Tinggalkan Komentar

By admin