Sebenarnya, pembahasan validitas sanad naskah akidah Imāmunā Asy-Syāfi’iy riwayat Al-‘Usyāriy ini tidak lagi diperlukan mengingat kesahihan sanad dan matannya tak lagi diragukan, dan para ulama telah turun temurun menukil dan berhujah dengannya dalam buku-buku mereka. Namun, segelintir orang, terutama yang berafiliasi pada akidah Asy’ariyah, berupaya menggugat kesahihan sanad naskah akidah ini dengan dalih kedaifan derajat Imam Al-‘Usyāriy yang merupakan perawi naskah ini. Sekaligus mereka ingin memaksakan diri bahwa akidah Imam Asy-Syāfi’iy sama dengan akidah Asy’ariyah.  

Olehnya itu, demi memaparkan secara gamblang tentang kesahihan naskah ini serta pembuktian kesalafian akidah Imam Asy-Syāfi’iy, kami merasa perlu membahasnya secara lebih detail dalam tulisan ini.

Manuskrip dan Cetakan Naskah Riwayat Al-‘Usyāriy

Naskah riwayat ini dengan redaksi lengkap yang telah disebutkan sebelumnya diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Ali bin Al-Fatḥ Al-‘Usyāriy (imam ṡiqah), dari Ali bin Abdul Aziz Al-Barża’iy (seorang ṡiqah – Tārīkh Bagdād: 13/482), dari Imam Ibnu Abī Ḥātim (imam ṡiqah), dari Yunus bin Abdil-A’lā (imam ṡiqah), dari Imāmunā Asy-Syāfi’iy. Sanad ini secara musalsal (turun-temurun) diriwayatkan oleh para ulama dan imam di eranya masing-masing. Naskah riwayat Al-‘Usyāriy ini bisa didapatkan lewat:

1- Manuskrip naskahnya yang khusus dibaca secara turun temurun oleh para ulama, di antaranya: naskah manuskrip Berlin (Jerman) dan manuskrip Universitas Islam Madinah (KSA). Dan naskah ini telah di-taḥqīq dalam beberapa buku, di antaranya dalam buku:

a- Ar-Rasā`il Al-‘Aqadiyyah Al-Mansūbah li Al-Imām Asy-Syāfi’iy (85).

b- Al-Jāmi’ fī ‘Aqā`id Ahl As-Sunnah (232)

2- Nukilan naskah akidah ini secara lengkap juga disebutkan oleh para ulama dalam buku-buku mereka, di antaranya:

a- As-Silafiy dalam Aṡ-Ṡalāṡūn min Al-Masyīkhah Al-Bagdādiyah (13),

b- Abu Zakarya Al-Azdiy dalam Manāzil Al-A`immah (218), dan

c- Ibn Abī Ya’lā dalam Ṭabaqāt Al-Ḥanābilah (1/283).

Naskah akidah ini juga diriwayatkan secara ringkas oleh Imam Ibnu Abī Ḥātim dalam bukunya “Ādāb Asy-Syāfi’iy wa Manāqibuhu”. Sehingga ini berarti, meskipun Al-‘Usyāriy tidak meriwayatkan naskah akidah ini, sanadnya sudah sahih dengan sanad ‘āliy (tinggi); karena diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim (imam ṡiqah), dari Yunus bin Abdil-A’lā (imam ṡiqah), dari Asy-Syāfi’iy -raḥimahullāh-. Riwayat Ibnu Abī Ḥātim ini disebutkan secara ringkas oleh beberapa ulama besar, di antaranya:

1- Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar -raḥimahullāh- dalam Fatḥ Al-Bārī (13/407), dengan ucapan beliau:

وأخرج بن أبي حاتم في مناقب الشافعي عن يونس بن عبد الأعلى, سمعت الشافعي يقول: “لله أسماء وصفات لا يسع أحدا ردها ومن خالف بعد ثبوت الحجة عليه فقد كفر وأما قبل قيام الحجة فإنه يعذر بالجهل لأن علم ذلك لا يدرك بالعقل ولا الروية والفكر فنثبت هذه الصفات وننفي عنه التشبيه كما نفى عن نفسه فقال: (ليس كمثله شيء)”.

[ Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dalam Manāqib Asy-Syāfi’iy, dari Yunus bin Abdil-A’lā, ia berkata: Saya mendengar Asy-Syāfi’iy berkata: “Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tidak ada alasan bagi seorang pun untuk menafikannya. Siapa yang menyelisihinya setelah sabitnya hujah atasnya maka ia telah kafir. Adapun bila sebelum ditegakkan hujah atasnya, maka ia diberikan uzur lantaran kejahilannya, karena ilmu tentang itu (nama-nama dan sifat Allah) tidak bisa diketahui lewat logika, penalaran, dan pikiran. Sebab itu, kita wajib menetapkan wujud sifat ini dan menafikan tasybīh (penyerupaannya dengan makhluk) sebagaimana Dia firmankan tentang diri-Nya: “Dia tidak serupa dengan sesuatu pun.” ]

2- Naskah akidah Imam Asy-Syāfi’iy ini juga dinukil secara ringkas dengan lafal yang sama oleh Imam Ibnul-Qayyim -raḥimahullāh- dalam Ijtimā’ Al-Juyūsy Al-Islāmiyyah (2/165).

3– Juga secara ringkas seperti ini disebutkan oleh Imam Al-Alūsiy -raḥimahullāh- dalam Kitab Tafsir Rūḥ Al-Ma’ānī (8/473).

Inilah tiga nukilan risalah akidah Imam Asy-Syāfi’iy dari 3 ulama besar Ahli Sunnah. Mungkin Anda akan bertanya: kenapa akidah ini tidak ada dalam naskah kitab Ādāb Asy-Syāfi’iy wa Manāqibuhu yang dicetak, dan hanya disebutkan oleh 3 ulama tersebut? Jawabannya adalah sebagai berikut:

1- Naskah akidah Asy-Syāfi’iy ini pasti telah tercecer dari naskah buku Ādāb Asy-Syāfi’iy wa Manāqibuhu tersebut, dan hal ini bukanlah aib besar bagi sebuah buku selama nas yang tercecer tersebut disebutkan secara valid apalagi oleh lebih dari satu orang dalam buku-buku mereka yang berbeda. Persoalan nas yang tercecer dari naskah buku asli ini sudah merupakan hal biasa dalam kajian manuskrip atau ilmu filologi, dan ini banyak dijumpai dalam proses taḥqīq atau penyuntingan buku-buku klasik.

2- Lagipula naskah manuskrip kitab Ādāb Asy-Syāfi’iy wa Manāqibuhu hanyalah satu (lihat taḥqīq ‘Abdul-Ganiy: hal.12-13, dan taḥqīq Al-Baiḍāniy: hal. 78), sehingga kita tidak bisa membandingkannya dengan naskah lain. Namun, selama naskah ini disebutkan oleh tiga ulama besar terpercaya di atas bahwa naskah itu ada dalam kitab Ibnu Abī Ḥātim, maka ini menunjukkan bahwa nas itu telah benar-benar tercecer.

Kajian Ke-siqah-an Al-‘Usyāriy

Dalam kajian ilmu hadis, sanad riwayat Al-‘Usyāriy ini sebenarnya tak lagi perlu dikaji, karena ia hanya berupa hiasan, lantaran sanad aslinya sudah ada dalam buku Ibnu Abī Ḥātim yang disebutkan tiga ulama di atas. Ini sama halnya bila kita meriwayatkan Sunan Abu Daud dengan sanad yang bersambung ke Imam Abu Daud. Sanad dari kita ke Abu Daud tak lagi menentukan kesahihan hadis-hadis Sunan Abi Daud, karena hadis itu sudah sabit dalam Sunan Abi Daud, sehingga yang kita perlu kaji adalah sanad dari Abu Daud ke Kanjeng Nabi kita, Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-. Dalam kasus kita ini, maka yang kita hanya kaji adalah sanad dari Ibnu Abī Ḥātim ke Imam Asy-Syāfi’iy.

Mungkin Anda akan bertanya lagi: Kenapa riwayat Al-‘Usyāriy naskah redaksinya panjang sedangkan riwayat Ibnu Abī Ḥātim yang dinukil oleh ketiga ulama di atas ringkas? Jawabannya adalah:

1- Para ulama tersebut memang menyebutkannya secara ringkas karena nas akidah itu agak panjang, dan meringkas nukilan panjang sudah merupakan kebiasaan mereka.

2- Nukilan yang tidak disebutkan oleh tiga ulama tersebut dari nas akidah Imam Asy-Syāfi’iy adalah sekitar setengah halaman, dan itu pun hanya merupakan contoh-contoh sifat yang ditetapkan oleh Imam Asy-Syāfi’iy bagi Allah -Ta’ālā- beserta dalilnya, tidak lebih. Sehingga penghilangan nukilan tersebut bukanlah hal yang substansial karena yang dinukil oleh tiga ulama itu berupa kaedah umum dan sangat urgen dalam menetapkan sifat Allah dan menafikan tasybih-nya dengan makhluk.

Meskipun demikian, Syekh Muhammad Zāhid Al-Kauṡariy dalam As-Saif Aṣ-Ṣaqīl (160), atau Ḥasan As-Saqqāf dalam Daf’u Asy-Syubah (73) tetap mendaifkan naskah akidah ini dengan dalih bahwa Al-‘Usyāriy merupakan rawi daif.  

Perlu diketahui, bahwa ulama hadis yang mendaifkan Al-‘Usyāriy ini hanyalah Aż-Żahabiy dalam ucapannya (di Mīzān Al-I’tidāl: 3/656):

شيخ صدوق معروف، لكن أدخلوا عليه أشياء فحدث بها بسلامة باطن، منها حديث موضوع في فضل ليلة عاشوراء, ومنها عقيدة للشافعي.  

[ Seorang syaikh ṣadūq yang makruf. Namun, ada beberapa riwayat yang dimanipulasikan padanya sehingga ia mengabarkan riwayat-riwayat tersebut dengan tanpa menyadari hal itu. Di antaranya: hadis palsu keutamaan malam Asyura, dan akidah Asy-Syāfi’iy ]

            Ucapan beliau ini kemudian dinukil oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalāniy dalam Lisān Al-Mīzān (5/301).

Sementara ulama-ulama hadis lain malah men-ṡiqah-kan Al-‘Usyāriy, simak ucapan mereka:

1- Ucapan Al-Khaṭīb Al-Bagdādiy yang merupakan murid langsung dari Al-‘Usyāriy ini dan paling tahu tentang ke-ṡiqah-an gurunya (Tārīkh Bagdād: 3/322):

كتبت عنه، وكان ثقة دينا صالحا،

[ Saya telah menulis riwayat darinya, dan beliau seorang ṡiqah, agamais, dan saleh ]

2- Abu Bakar Al-Anṣāriy (Qāḍī Al-Māristān) yang juga merupakan murid dekat Al-‘Usyāriy dalam bukunya “Al-Amālī” men-ṣiqah-kannya dengan ucapan: “Aṣ-Ṣāliḥ Aṡ-Ṡiqah.” (dinukil Syaikh Ḥātim Al-‘Auniy dalam ta’līq-nya terhadap Aḥādīṡ ASy-Syuyūkh Aṡ-Ṡiqāt: 2/437). 

3- Ucapan Ibnul-Jauziy dalam dua bukunya (Manāqib Al-Imām Aḥmad: 692, dan Al-Muntaẓim: 16/59):

له الرواية الواسعة والدين الغزير

[ Ia memiliki riwayat yang banyak dan sikap keagamaan yang kental ]

 وكان ثقة دينا صالحا..  

[ Beliau seorang ṡiqah, agamais, dan saleh ]

4- Ucapan Ibnu Kaṡīr (Al-Bidāyah wa An-Nihāyah: 12/104)

كَانَ ثِقَةً دَيِّنًا صَالِحًا

[ Beliau seorang ṡiqah, agamais, dan saleh ]

5- Ucapan As-Sakhāwiy (Fatḥ Al-Mugīṡ: 2/276):

الْحَنْبَلِيِّ الثِّقَةِ الصَّالِحِ

 [ Beliau seorang bermazhab hanbaliy, ṡiqah dan saleh ]

Itulah ucapan 5 ulama besar ilmu hadis tentang ke-ṡiqah-an Al-‘Usyāriy, dan dua di antaranya adalah murid dekat Al-‘Usyariy dan orang yang paling mengetahui ke-ṣiqah-an dirinya. Seandainya mereka berdua yang lebih mengetahui sosok Al-‘Usyāriy ini mengetahui kedaifan atau keteledoran guru mereka dalam meriwayatkan naskah akidah ASy-Syāfi’iy ini mereka pasti menyebutkannya. Kira-kira ucapan mereka ini lebih kita percayai, ataukah Aż-Żahabiy yang menyendiri dalam mendaifkannya?!

Oleh karena itu, setelah menyebutkan pandangan Aż-Żahabiy ini, Syaikh Ḥātim menambahkan: “Yang men-ṡiqah-kan dirinya seperti Al-Khaṭīb dan Abu Bakar Al-Anṣāriy (Qāḍī Al-Māristān) yang keduanya merupakan ulama yang paling mengenal dirinya karena keduanya adalah muridnya, bahkan selain keduanya juga para ulama men-ṡiqah-kannya. Dan amalan (para ulama) adalah men-ṡiqah-kannya, sehingga Aḍ-Ḍiyā` meriwayatkan hadis-hadisnya dalam Al-Mukhtārāh (salah satu kitab Aṣ-Ṣaḥīḥ)… sehingga rawi seperti ini tidak bisa diterima klaim Jarḥ padanya kecuali dengan bukti yang meyakinkan”.

Ucapan Syaikh Ḥātim ini sangat jelas bahwa beliau mengisyaratkan Jarḥ Aż-Żahabiy tidak memiliki bukti yang jelas sehingga harus ditolak. Bila apa yang dikatakan Aż-Żahabiy benar-benar ada, maka Al-Khaṭīb dan Qāḍī Al-Māristān tak mungkin tak menjelaskannya, padahal mereka berdua adalah dua murid terdekatnya dan manusia yang paling mengenal dirinya.

Selain itu, Syaikh Ḥātim tampaknya paham betul dengan berbagai kaidah Jarḥ, bahwa tidak semua Jarḥ Mufassar langsung diterima apalagi pada imam yang sangat populer di eranya, tapi harus melalui uji validitas, terlebih lagi bila Jarḥ itu menyelisihi tauṡīq seluruh ulama, baik murid-murid mereka ataupun ulama yang dating setelah mereka. Imam At-Tāj As-Subkiy –ṭayyaballāhu ṡarāhu- telah menjelaskan ini dalam ucapannya (Ṭabaqāt Asy-Syāfi’iyyah: 2/12):

أَن الْجَارِح لَا يقبل مِنْهُ الْجرْح وَإِن فسره فِي حق من غلبت طاعاته عَلَى مَعَاصيه ومادحوه عَلَى ذاميه ومزكوه عَلَى جارحيه إِذا كَانَت هُنَاكَ قرينَة يشْهد الْعقل بِأَن مثلهَا حَامِل عَلَى الوقيعة فِي الذى جرحه من تعصب مذهبي أَو مُنَافَسَة دنيوية كَمَا يكون من النظراء أَو غير ذَلِك فَنَقُول مثلا لَا يلْتَفت إِلَى كَلَام ابْن أَبِي ذيب فِي مَالك وَابْن معِين فِي الشَّافِعِي وَالنَّسَائِيّ فِي أَحْمَد بْن صَالح لِأَن هَؤُلَاءِ أَئِمَّة مَشْهُورُونَ صَار الْجَارِح لَهُم كالآتي بِخَبَر غَرِيب لَو صَحَّ لتوفرت الدَّوَاعِي عَلَى نَقله .

[ “Pen-Jarḥ tidak diterima ucapan Jarḥ-nya meskipun mufassar bila itu ditujukan pada rawi yang ketaatannya lebih dominan, pemujinya lebih banyak daripada pencelanya, dan pen-ta’dīl-nya lebih banyak dari pen-jarḥ-nya bila ada indikasi yang masuk akal. Seperti karena adanya fanatisme mazhab, persaingan duniawi sebagaimana terjadi antar para penyaing (rekan), dan “faktor-faktor lainnya”. Sehingga kami katakan: tidak perlu memperhatikan celaan Ibnu Abi Żi`b kepada Malik, atau Ibnu Ma’īn ke Imam Asy-Syāfi’iy, An-Nasā`iy ke Ahmad bin Ṣālih = karena “mereka semua adalah imam-imam yang populer, pen-Jarḥ mereka laksana orang yang membawa kabar gaib, dan bila itu sahih maka akan banyak factor yang memasyhurkan penukilannya…” ]

Perhatikan kalimat “mereka semua adalah imam-imam yang populer, pen-jarḥ mereka laksana orang yang membawa kabar gaib, dan bila itu sahih maka akan banyak factor yang memasyhurkan penukilannya…”. Kalimat ini sangat urgen dalam kaidah jarḥ.  Sebab itulah, para ulama meletakkan kaidah dalam Jarḥ Mufassar ini dengan menyatakan: Jarḥ tidak bisa diterima bila ditujukan pada imam yang ‘adālah-nya (ketakwaan dan kekuatan hafalannya) sangat masyhur dan keimamannya sangat populer (Lihat: Ḍawābit Al-Jarḥ wa At-Ta’dīl: 77). Dan Imam Al-‘Usyāriy adalah imamnya ahli hadis di eranya yang populer tidak hanya dengan ke-ṡiqah-an dirinya, tapi juga dengan ibadah dan kesalehannya!

Aż-Żahabiy Malah Berhujah dengan Naskah Akidah Asy-Syāfi’iy Ini

 Ketahuilah, bahwa Imam Aż-Żahabiy ini meskipun mendaifkan Al-‘Usyāriy, tapi ia mendaifkan nas akidah Imam Asy-Syāfi’iy ini hanya dari jalur Al-‘Usyāriy ini. Adapun dari jalur lain, maka Aż-Żahabiy malah berhujah dan berpatokan dengan nas akidah ini, bahwa ia adalah nas akidah yang sah dari Imāmunā Asy-Syāfi’iy! Coba kita lihat nukilannya:

1- Dalam kitab Al-‘Arsy (2/293) yang merupakan buku akidah salafiyah tentang Arasy dan penetapan bahwa Allah ber-istiwā` di atasnya:

 وعن ابن أبي حاتم سمعت يونس، قال: سمعت الشافعي يقول: ” لله أسماء وصفات لا يسع أحدا قامت عليه الحجة ردها، فإن خالف بعد ثبوت الحجة عليه3 فهو كافر، فأما قبل ثبوت الحجة عليه فمعذور بالجهل، لأن علم ذلك لا يدرك بالعقل، ولا بالروية والفكر، ونثبت هذه الصفات وننفي عنها التشبيه، كما نفى عن نفسه، قال {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ}.” رواه شيخ الإسلام في عقيدة الشافعي، وغيره، بإسناد كلهم ثقات. 

Coba baca penggalan yang terakhir itu [ Diriwayatkan oleh Syaikhul Islam dan selainnya dalam buku Akidah Asy-Syāfi’iy dengan sanad yang seluruh rawinya ṡiqah ]. Ternyata Aż-Żahabiy mensahihkannya lewat jalur Syaikhul Islam. Itu bukan Ibnu Taimiyah yang selalu Anda nyinyiri, wahai Al-Ḥabīb! Tapi itu adalah Syaikhul Islam Al-Hakāriy (kita akan kaji riwayatnya di bagian ketiga).

2- Dalam Al-‘Uluw (116) yang merupakan buku akidah salafiyah yang menetapkan ketinggian Allah secara zat-Nya di atas seluruh makhluk.

وَعَن يُونُس بن عبد الْأَعْلَى سَمِعت الشَّافِعِي يَقُول لله تَعَالَى أَسمَاء وصفات لَا يسع أحدا قَامَت عَلَيْهِ الْحجَّة ردهَا

3- Dalam As-Siyar (10/79):

وقال شيخ الإسلام علي بن أحمد بن يوسف الهكاري، في كتاب (عقيدة الشافعي) له: أخبرنا أبو يعلى الخليل بن عبد الله الحافظ، أخبرنا أبو القاسم بن علقمة الأبهري، حدثنا عبد الرحمن بن أبي حاتم، حدثنا يونس بن عبد الأعلى، سمعت أبا عبد الله الشافعي يقول – وقد سئل عن صفات الله -تعالى- وما يؤمن به – فقال: لله أسماء وصفات، جاء بها كتابه، وأخبر بها نبيه -صلى الله عليه وسلم- أمته، لا يسع أحدا قامت عليه الحجة ردها، لأن القرآن نزل بها، وصح عن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- القول بها، فإن خالف ذلك بعد ثبوت الحجة عليه، فهو كافر، فأما قبل ثبوت الحجة، فمعذور بالجهل، لأن علم ذلك لا يدرك بالعقل، ولا بالروية والفكر، ولا نكفر بالجهل بها أحدا، إلا بعد انتهاء الخبر إليه بها، ونثبت هذه الصفات، وننفي عنها التشبيه، كما نفاه عن نفسه، فقال: {ليس كمثله شيء وهو السميع البصير} [الشورى: 11] .

4- Dalam Al-Arba’īn (84) yang merupakan buku akidah salafiyah yang menetapkan (iṡbāt) sifat-sifat Allah tanpa ditakwil, tasybīh, dan tafwīḍ:

 وقال الإمام الشافعي فيما رواه عنه يونس بن عبد الأعلى، وقد سئل عن صفات الله فقال: لله أسمار وصفات لا يسع أحدا قامت عليه الحجة ردها، لأن القرآن نزل بها، وصح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم القول بها، فإن خالف ذلك بعد ثبوت الحجة عليه فهو كافر، فأما قبل ثبوت الحجة عليه من جهة الخبر فمعذور بالجهل، لأن علم ذلك لا يدرك بالعقل، ولا بالرؤية والفكر.

Jadi, Aż-Żahabiy tetap mensahihkan riwayat nas akidah Asy-Syāfi’iy ini dari riwayat lain, yaitu riwayat Ibnu Abī Ḥātim yang merupakan pusar jalurnya, dan juga riwayat Al-Hakāriy berikut!

Naskah Akidah Imam Asy-Syāfi’iy Ini Diriwayatkan Juga oleh Al-Hakāriy

Riwayat nas akidah Asy-Syāfi’iy ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Ahmad Al-Hakāriy. [lihat: Ar-Rasā`il Al-‘Aqadiyyah Al-Mansūbah li Al-Imām Asy-Syāfi’iy: 236].

Ia meriwayatkannya dari Al-Khalīl bin Abdillah Al-Qazwainiy (seorang hafiz ilmu hadis, ṡiqah, dan pakar ilmu ‘Ilal – At-Taqyīd: 626, dan As-Siyar: 10/79), dari Al-Qasim Al-Abhuriy (seorang ṡiqah: Aṡ-Ṡiqāt karya Ibn Quṭlūbugā: 8/10), dari Ibnu Abī Ḥātim, dari Yunus bin ‘Abdil-A’lā, dari Imāmunā Asy-Syāfi’iy.

Dalam sanad yang ini ada rawi yang didaifkan, yaitu Al-Hakāriy sendiri sebagaimana dinukil Aż-Żahabiy dalam As-Siyar (19/68):

وقال ابن عساكر: لم يكن موثقا في روايته

[ Ibnu ‘Asākir berkata, “Dia tidak dinilai ṡiqah dalam riwayatnya.” ]

Meskipun ia daif, tapi ia masih bisa diterima sebagai penguat riwayat Al-‘Usyāriy di atas. Bahkan, sanad Al-‘Usyāriy dan Al-Hakāriy ke Ibnu Abī Ḥātim sebenarnya tidak terlalu menentukan, karena nas akidah Asy-Syāfi’iy ini sudah sabit dalam Kitab Ādāb Asy-Syāfi’iy wa Manāqibuhu yang dinukil oleh tiga ulama yang disebutkan di awal bahasan ini.

Bukti Valid Lain tentang Kesalafian Akidah Imam Asy-Syāfi’iy

Selain itu, kevalidan akidah salafiah Imam  Asy-Syāfi’iy tak hanya terbatas pada naskah akidah riwayat yang kita bahas ini. Ada banyak nas-nas akidah yang diriwayatkan dari Imam Asy-Syāfi’iy yang menunjukkan akidahnya adalah akidah salaf, bisa dijumpai dalam Kitab Al-Lālakā`iy (Syarḥ Uṣūl I’tiqād Ahli As-Sunnah), Kitab Ibn Baṭṭah (Al-Ibānah), Kitab Al-Ājurriy (Asy-Syarī’ah), dan buku-buku lainnya dengan sanad-sanad yang sahih.

Lagi pula rata-rata murid kibar beliau berakidah salaf, yaitu:

1- Al-Muzaniy dengan kitabnya Syarḥ As-Sunnah,

2- Al-Ḥumaidiy dengan kitabnya Uṣul As-Sunnah,

3- Ibn Al-Madīniy dengan risalah akidahnya dalam Syarḥ Uṣūl I’tiqād Ahli As-Sunnah,

4- Abu Ṡaur dengan nas akidahnya dalam Syarḥ Uṣūl I’tiqād Ahli As-Sunnah,

5- Bahkan Imam Ahmad dalam banyak buku akidahnya.

Ini belum berupa nas-nas akidah murid-murid kibar beliau lainnya yang disebutkan dalam buku-buku akidah, seperti: Ibn ‘Abdil-Ḥakam, Yunus bin ‘Abdil-A’lā, Al-Buwaiṭiy, dll.

Ini semua menunjukkan bahwa seandainya akidah Asy-Syāfi’iy sama dengan akidah Asy’ariyah maka mustahil seluruh murid kibarnya tersebut menyelisihi akidahnya Imam Asy-Syāfi’iy. Jadi, mereka semua adalah para ulama salaf yang bersepakat menyepakati akidah Imāmunā Asy-Syāfi’iy, yaitu akidah salafiyah Ahli Sunnah wal Jama’ah yang sesungguhnya.

[ Bersambung ]

Tinggalkan Komentar

By admin