Ulama Rabbānī dan Ulama Sū’: Menentukan Sikap Umat dalam Fitnah Akhir Zaman

Pendahuluan

Ulama adalah pilar umat. Keberadaan mereka menjadi tolok ukur keberlangsungan dakwah dan terpeliharanya ilmu agama. Namun, tidak semua yang disebut ulama adalah pembimbing kepada kebenaran. Al-Qur`ān dan Sunnah memberikan pemisahan tegas antara ulama rabbānī dan ulama sū’ (ulama yang jahat). Di akhir zaman, tatkala topeng kebaikan dipakai oleh orang zalim, umat wajib memahami siapa ulama sejati yang patut diikuti, dan siapa yang justru membawa kepada kesesatan.

I. Dua Jenis Ulama Menurut Al-Qur’an

1. Ulama Rabbānī (Ulama Akhirat)

Dalam al-Qur`an, kata ‘ulamā’ yang merupakan bentuk plural dari kata ‘ālim’ disebutkan sebanyak dua kali. Ulama pertama terdapat dalam surah Fathir [35] ayat 28; sedangkan yang berikutnya terdapat dalam Surah asy-Syu’ara [26] ayat 197.

Dua Kategori Ulama dalam Perspektif al-Qur’an

Dari dua bentuk ulama yang disebutkan, al-Qur’an mengelompokkan mereka ke dalam dua golongan. Pertama, ulama rabbani, yakni sosok ulama yang patut dijadikan panutan. Kedua, ulama sū’ (ulama buruk), yaitu mereka yang perilakunya harus dihindari.

Ulama Rabbani

Terkait ulama pada kelompok pertama, al-Qur’an menjelaskan dalam firman-Nya:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fāṭir [35]: 28)

Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan ulama adalah mereka yang memiliki ilmu sehingga mengantarkan kepada khasyah (rasa takut yang disertai pengagungan) kepada Allah. Rasa takut ini berbeda dengan khauf, yang lebih menunjukkan ketakutan karena kelemahan diri.

Menurut penjelasan Syekh Mannā’ al-Qaṭṭān dalam Mabāḥits fī ‘Ulūm al-Qur`ān (2000: 207), khasyah memiliki makna lebih dalam dibanding khauf. Khasyah merupakan rasa takut yang muncul dari pengagungan terhadap yang ditakuti, meskipun yang merasakannya adalah orang yang kuat. Kata ini juga secara morfologis menunjukkan makna keagungan dan dalam penggunaannya sering dikaitkan dengan Allah, seperti pada QS. Fāṭir: 28 dan al-Aḥzāb: 39.

Dengan demikian, ulama yang tergolong rabbani adalah mereka yang ilmunya menjadikan mereka semakin takut dan tunduk kepada Allah, dengan rasa hormat dan pengagungan. Takutnya bukan karena ancaman duniawi, melainkan karena keagungan dan kemuliaan Allah. Mereka mendekat kepada Allah karena cinta dan ta’zhim, bukan karena ketakutan seperti seseorang yang melarikan diri dari bahaya.

Imam al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (I/77) menyebut ulama jenis ini sebagai ‘Ulamā al-Ākhirah (ulama akhirat), yang ciri-cirinya antara lain: memiliki khasyah, bersikap khusyuk, rendah hati (tawadhu`), berakhlak mulia, dan lebih mengutamakan akhirat daripada dunia (zuhud).

Selain khasyah, ulama rabbani—sebagaimana yang pernah disifati oleh Ali bin Abi Ṭālib—adalah sosok yang mengarahkan seluruh orientasi kehidupan dunia-akhiratnya kepada Allah, Rabb semesta alam. Hal ini sejalan dengan salah satu Asmā’ul Ḥusnā: al-‘Ālīm (Maha Mengetahui). Maka, menjadi sebuah keniscayaan bagi ulama rabbani untuk menjadikan Allah sebagai sandaran ilmu dan tujuan hidupnya, bukan demi kepentingan dunia yang sementara. Sebesar apa pun ilmunya, mereka menyadari bahwa:

“Di atas setiap yang berilmu, ada Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yūsuf [12]: 76)

Lebih dari itu, ketika Allah menjadi pusat orientasi, ulama dapat bercermin pada berbagai pasangan dari nama al-‘Ālīm dalam al-Qur’an, seperti: Wāsi‘un ‘Ālīm (2:115), Syākirun ‘Ālīm (2:158), Samī‘un ‘Ālīm (2:181), ‘Ālīmun Ḥakīm (4:11 & 6:83), ‘Ālīmun Ḥalīm (4:12), ‘Ālīmun Khabīr (4:35), dan ‘Ālīmun Qadīr (16:70).

Dari kombinasi nama-nama tersebut, dapat disimpulkan bahwa ulama rabbani bukan hanya berilmu dan takut kepada Allah, tetapi juga memiliki keluasan wawasan, rasa syukur, kemampuan mendengar dengan baik, bijaksana, lemah lembut, profesional dalam bidangnya, serta memiliki kapasitas dan kompetensi yang mumpuni.

2. Ulama Sū’ (Ulama Dunia yang Jahat)

Allah ﷻ menyindir ulama seperti ini dalam kisah Bani Israil:

أَوَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ آيَةً أَنْ يَعْلَمَهُ عُلَمَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ
“Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?” (QS. Asy-Syu’arā’: 197)

Mereka mengetahui kebenaran, namun menyembunyikannya karena takut kehilangan dunia.

Dalam al-Qur`an ada beberapa ciri yang menunjukkan bahwa ulama Bani Israil –pada galibnya—  adalah ulama Sū` (buruk) yang tak patut diteladani. Bahkan termasuk kebanyakan dari Bani Israil sendiri juga memiliki ciri-ciri demikian.

II. Ciri-Ciri Ulama Sū’ dalam al-Qur’an dan Sunnah

1. Menjual Ilmu Demi Dunia

اشْتَرَوْا بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا
“Mereka menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah.” (QS. Āli ‘Imrān: 187)

Rasulullah ﷺ bersabda:
« إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي: كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ اللِّسَانِ »
“Yang paling aku takutkan atas umatku adalah munafik yang pandai bicara.” (HR. Aḥmad, no. 15325, Sahih)

2. Ilmunya Tidak Diamalkan

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
“Mengapa kamu menyuruh orang lain berbuat baik, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri?” (QS. al-Baqarah: 44)

Rasulullah ﷺ bersabda:

« مَثَلُ الَّذِي يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ، وَيَنْسَى نَفْسَهُ، مَثَلُ الْفَتِيلَةِ، تُضِيءُ لِلنَّاسِ، وَتَحْرِقُ نَفْسَهَا »
“Perumpamaan orang alim yang mengajari manusia tapi melupakan dirinya, seperti sumbu lampu yang menerangi orang lain tapi membakar dirinya sendiri.” (HR. at-Ṭabarānī, Dishahihkan oleh Syaikh al-Albānī dalam As-Silsilah aṣ-Ṣaḥīḥah)

3. Mengejar Ridha Manusia dan Hawa Nafsu

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا
“Bacakanlah kisah orang yang Kami beri ayat-ayat Kami, namun dia melepaskannya… Ia lebih memilih dunia dan mengikuti hawa nafsu.” (QS. al-A’rāf: 175–176)

4. Menjadi Alat Penguasa Zalim

سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ، فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكِذْبِهِمْ، وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ، وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ، وَمَنْ لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِمْ، وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَإِنَّهُ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ، وَسَيَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ

Artinya:
“Akan ada setelahku para penguasa. Barang siapa masuk kepada mereka lalu membenarkan kedustaan mereka dan membantu kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku dan aku bukan golongannya, dan dia tidak akan mendatangi telagaku. Dan barang siapa tidak masuk kepada mereka, tidak membantu kezaliman mereka, maka dia bagian dariku dan aku bagian darinya, dan dia akan datang ke telagaku.”

(HR. An-Nasa’i dalam al-Kubrā no. 7145, dinilai sahih oleh al-Albānī dalam as-Silsilah as-Ṣaḥīḥah no. 1847.)

Sebenarnya masih banyak sifat lain seperti, mencampuradukkan antara yang haq dan batil; suka menyalahi janji; tidak takut kepada Allah; menyuruh orang berbuat baik tapi melupakan diri sendiri; berhati keras; suka menyuruh berbuat munkar dan melarang berbuat baik; terlalu materialistik dan ciri negatif lainnya yang menunjukkan mereka adalah ulama Sū` yang tak pantas diteladani.

III. Mengikuti Ulama yang Dibenci oleh Orang Kafir

Ulama sejati akan dibenci oleh musuh-musuh Allah karena mereka menyuarakan kebenaran.

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka.”(QS. al-Baqarah: 120)

Jika seorang “ulama” disanjung oleh orang kafir, didukung media musuh Islam, bahkan memuji sistem mereka, maka sungguh ia telah menyimpang.

Ulama sejati akan dibenci oleh orang kafir dan orang munafik karena:

  1. Teguh dalam membela syariat
  2. Tidak berkompromi dalam menyuarakan kebenaran
  3. Tidak mencari popularitas di hadapan media musuh Islam
  4. Loba dalam menyatukan barisan umat Islam.

Sebaliknya, ulama yang dielu-elukan oleh musuh Islam patut dicurigai. Mereka adalah orang yang:

  1. Membela penguasa zalim
  2. Mengaburkan hukum syar’i
  3. Menjual agama demi kekuasaan
  4. Memecahbelah barisan umat Islam.

IV. Contoh Ulama Su’ Hari Ini (*)

*Lihat Referensi: Qanāt Manhajiyyah li-Ma‘rifat al-Wāqi‘ al-Islāmī Siyāsiyyan wa-‘Askariyyan wa-Manhajiyyan. (https://t.me/elnakadyalielkoradhy)‎

‎‎Madākhilah: Ironi, Kultus Thaghut, dan Pengkhianatan terhadap Umat

Contoh nyata ulama su’ hari ini dapat kita saksikan dalam gerakan Madākhilah, yang berpakaian seperti ahlussunnah namun menjadi pembela setia thaghut. Mereka justru menyebut para mujahid dan dai reformis sebagai lebih berbahaya dari Yahudi. Mereka adalah simbol dari ulama yang menjual ilmu demi dunia, menjilat kekuasaan, dan menyebar fitnah atas nama sunnah.

‎‎‎‎Madākhilah: Menuduh, Tapi Terjerumus Sendiri

‎‎Salah satu ironi paling besar dalam dunia pemikiran kontemporer adalah apa yang dilakukan oleh kelompok Madākhilah.

‎‎Mereka menulis buku-buku khusus untuk mengafirkan Sayyid Quthb -rahimahullah-, bahkan menuduh bahwa beliaulah sumber munculnya pemikiran takfir terhadap masyarakat Islam.

‎‎Padahal, Sayyid Quthb -rahimahullah- dalam tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān hanya berkata:

‎‎ “ٱرْتَدَّتِ ٱلْبَشَرِيَّةُ عَنۡ مَعۡنَى لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ…”

‎”Umat manusia telah murtad dari makna Lā ilāha illallāh…”

‎‎Beliau kemudian menegaskan bahwa masih ada sekelompok kecil kaum Muslimin yang menjaga Islam sebagaimana diturunkan, dan merekalah yang memikul tanggung jawab dakwah dan perubahan.

‎‎Namun Madākhilah memotong kalimat tersebut dari konteksnya, dan menjadikannya alasan untuk menyerang serta menuduh Sayyid Quthb sebagai pengkafir umat.

‎‎‎Tapi Lihat Apa yang Mereka Katakan Sendiri!

‎‎Tokoh utama Madākhilah pernah menyatakan secara terbuka:

‎‎ “Umat ini tidak meninggalkan satu pun kepercayaan atau amalan musuh-musuh Allah kecuali mereka mengikutinya.”

‎‎Pernyataan ini lebih eksplisit dan fatal dibanding apa yang mereka tuduhkan kepada Sayyid Quthb -rahimahullah-. Sebab keyakinan musuh-musuh Allah seperti Yahudi dan Nasrani adalah kekufuran akbar, dan mengikuti mereka dalam hal itu adalah murtad dari Islam.

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَـٰمِ دِينًۭا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْـَٔاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ

‎ “Barang siapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi.” (QS. Āli ‘Imrān: 85)

‎‎Maka, mereka sendiri terjatuh pada apa yang mereka tuduhkan kepada Sayyid Quthb.

‎‎‎Manhaj Madākhilah: Membela Thaghut, Memusuhi Mujahid

‎‎Ciri khas dakwah Madākhilah adalah:

  1. ‎‎ Menyanjung penguasa zalim
  2. ‎ Menekan semangat jihad dan amar ma’ruf nahi munkar
  3. ‎ Menyerang ulama dan aktivis Islam yang menyerukan perubahan
  4. ‎ Menggembosi semangat perlawanan dan revolusi Islam

‎‎Mereka bahkan menyebut Ikhwanul Muslimin, Sururiyyah, Quthbiyyah, dan sejenisnya sebagai lebih berbahaya bagi umat dibanding Yahudi.

‎Cukup cari nama tokoh mereka dan frasa “lebih berbahaya dari Yahudi”, maka akan muncul rekaman, tulisan, dan artikel yang menyatakan hal ini.

‎‎ أَشِدَّاءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ

‎”Tegas terhadap orang-orang kafir, dan penuh kasih sayang di antara mereka (kaum Muslimin).”‎ (QS. Al-Fath: 29)

‎Tapi Madākhilah melakukan sebaliknya: lunak terhadap musuh, bengis terhadap mujahidin.

‎‎Mereka bahkan memuji tokoh seperti Husni Mubarak, menyebutnya sebagai “pemimpin besar umat Islam” dan menyeru umat agar mengikuti ucapannya—alih-alih bertobat kepada Allah dari kezaliman.

وَلَا تَرْكَنُوٓا۟ إِلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ فَتَمَسَّكُمُ ٱلنَّارُ

‎”Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.”‎ (QS. Hūd: 113)

‎‎Racun Manhaj yang Bermulut Sunnah

‎‎Apa yang menjatuhkan Maddākhilah dalam kesesatan adalah kemunafikan, loyalitas kepada thaghut, dan ambisi menjilat kekuasaan. Mereka menyamar dengan jubah sunnah, padahal menjadi pelindung rezim kafir dan pengkhianat dakwah Islam.

‎‎ إِنَّ ٱلْمُنَـٰفِقِينَ فِى ٱلدَّرْكِ ٱلْأَسْفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ

‎”Sesungguhnya orang-orang munafik (akan ditempatkan) di dasar neraka yang paling bawah.”‎ (QS. An-Nisā’: 145)

Wallahul Musta’an.

V. Hukum Bergembira atas Wafatnya Ulama Su’

1. Bergembira Karena Berkurangnya Keburukan

Rasulullah ﷺ bersabda:

« يُسْتَرَاحُ مِنْهُ العِبَادُ وَالبِلادُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ »

“Makhluk, negeri, pohon dan binatang merasa tenang dari kematiannya (orang jahat).” (HR. Bukhārī dan Muslim)

Imam Aḥmad -rahimahullah- saat ditanya tentang kematian pengikut ahlul bid’ah menjawab:

« وَمَن لَا يَفْرَحُ بِهَذَا؟ »

“Siapa yang tidak bergembira dengan hal itu?” (As-Sunnah, al-Khallāl)

2. Tidak Menyolati dan Tidak Mendoakan Rahmat

Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata:

“Ahlul bid’ah yang sesat tidak layak dishalatkan dan tidak didoakan rahmat.” (Majmū’ al-Fatāwā, 3/66)

3. Waspada terhadap Jejak dan Pengaruhnya

Wafatnya tokoh sesat bukan akhir dari kesesatannya. Pemikiran, pengikut, dan karya-karya mereka tetap menyebar dan harus diwaspadai.

VI. Solusi: Regenerasi Ulama Rabbani

Rasulullah ﷺ bersabda:
« إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ »
“Allah tidak mencabut ilmu dengan sekali cabut dari dada manusia, namun dengan mewafatkan para ulama.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Maka wajib bagi pemuda Islam menuntut ilmu dan mempersiapkan diri menjadi ulama rabbani, bukan ulama dunia.

Penutup

Ulama rabbani adalah pelita zaman, sedang ulama su’ adalah fitnah akhir zaman. Jangan tertipu oleh gelar dan jubah. Lihatlah pada amal, keikhlasan, keberpihakan kepada kebenaran, serta keberanian menghadapi kebatilan. Dan ingatlah bahwa ujian besar umat ini bukan hanya dari musuh luar, tapi dari tokoh-tokoh yang menyesatkan dengan dalih keilmuan.

Kesimpulan

  1. Ulama terbagi menjadi dua: Rabbānī (pembimbing umat) dan Sū’ (penyesat umat).
  2. Ikutilah ulama Rabbānī. Ulama Rabbānī takut kepada Allah, mengamalkan ilmunya, dan teguh menyuarakan kebenaran.
  3. Ulama Su’ justru menjual agama demi dunia, mengikuti hawa nafsu, dan menjadi alat kekuasaan.
  4. Wafatnya ulama Su’ adalah nikmat bagi umat karena berkurangnya kesesatan dan fitnah.
  5. Regenerasi ulama Rabbānī adalah tugas semua pihak agar umat tetap dalam jalan lurus.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Daftar Pustaka

Al-Qur’ān al-Karīm.

Aḥmad ibn Ḥanbal. Musnad Aḥmad. No. 15325. Beirut: Mu’assasat ar-Risālah, 1995.

Al-Bukhārī, Muḥammad ibn Ismā‘īl. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Cet. II. Beirut: Dār Ṭawq an-Najāt, 2001.

Al-Ghazālī, Abū Ḥāmid. 2000. Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn. Juz I. Cet. I. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Ḥākim, Muḥammad ibn ‘Abdillāh. Al-Mustadrak ‘ala aṣ-Ṣaḥīḥayn. Cet. I. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990.

Al-Khallāl, Aḥmad ibn Muḥammad. 1992. As-Sunnah. Cet. II. Riyadh: Dār ar-Rāyah.

Al-Qāṭṭān, Mannā’. 2000. Mabāḥits fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Cet. I. Kairo: Maktabah Wahbah.

At-Ṭabarānī, Sulaimān ibn Aḥmad. Al-Mu‘jam al-Kabīr. Cet. II. Kairo: Maktabah Ibn Taymiyyah, 1994.

Ibn Taimiyyah, Aḥmad ibn ‘Abd al-Ḥalīm. 1995. Majmū‘ al-Fatāwā. Cet. I. Kairo: Dār al-Wafā’.

Muslim ibn al-Ḥajjāj. Ṣaḥīḥ Muslim. Cet. I. Beirut: Dār Iḥyā’ at-Turāth al-‘Arabī, 1991.

Online:

Qanāt Manhajiyyah li-Ma‘rifat al-Wāqi‘ al-Islāmī Siyāsiyyan wa-‘Askariyyan wa-Manhajiyyan.

‎ قناة منهجية لمعرفة الواقع الإسلامي سياسياً وعسكرياً ومنهجيا.

‎https://t.me/elnakadyalielkoradhy

Tinggalkan Komentar

By admin