Meyakini bahwa Allah tinggi di atas Arsy-Nya adalah akidah ahlusunnah wal jamaah, bukan akidah sesat dan menyesatkan, bukan pula akidah Fir’aun seperti yang selalu dituduhkan dan didengung-dengungkan. Dalil tingginya Allah di atas Arsy-Nya sangat jelas dan begitu banyak bahkan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat: 751 H) mengatakan bahwa dalil tentang ini mencapai 1000 dalil atau lebih. Berikut ini kami nukilkan secara singkat dalil-dalil tentang tingginya Allah di atas Arsy’-Nya dan juga perkataan para ulama imam generasi salaf terdahulu mengenai hal ini.
Dalil Al-Qur’an:
1.Firman Allah ta’ala:
الرحمن على العرش استوى
“Allah Yang Maha Pengasih yang beristiwa’ di atas Arsy.” (Surah Thaha: 5)
Kata “Istawa ‘Alaa” dalam ayat di atas, di dalam bahasa Arab, bermakna “’alaa” atau juga “irtafa’a” yang menunjukkan ketinggian. Imam Bukhari (wafat: 256 H) dalam Kitab Shahih-nya dalam Bab: و كان عرشه على الماء, menukilkan dua tafsiran makna ini dari Imam Abul Aliyah (wafat: 93 H) dan Imam Mujahid (wafat: 104 H) rahimahumallah. Makna ini kemudian diperkuat oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam Bab yang sama dengan menukilkan saksinya dari pemahaman sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yaitu Zainab binti Jahsy radhiyallahu anha, yang tidak lain merupakan istri dari Nabi shallallahu alaihi wasallam sendiri. Beliau (Imam Bukhari) menukilkan perkataan Anas bin Malik radhiyallahu anhu tentang Zainab binti Jahsy radhhiyallahu anha,
فكانت زينب تفخر على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم فتقول: زوجكن أهاليكن وزوجني الله تعالى من فوق سبع سمواته
“Maka Zainab berbangga atas istri-istri Nabi lainnya dan ia (Zainab) berkata, ‘Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian sedangkan saya dinikahkan oleh Allah langsung dari atas langitnya yang tujuh’.”
Dari riwayat-riwayat ini, dapat diketahui dengan gamblang bahwa akidah ini adalah akidah para salafusshalih. Akidah ini adalah akidah para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam dan akidah generasi tabi’in dan tabi’ tabi’in yang datang setelahnya. Akidah ini juga merupakan akidah seluruh Imam ahlusunnah wal jamaah, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah jami’an sebagaimana yang akan kita nukilkan nanti. Bahkan tidak sedikit dari imam selain mereka yang menukilkan kesepakatan (ijma’) dalam masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ishaq bin Rahuyah (wafat: 238 H) rahimahullah, yaang merupakan guru langsung dari Imam Bukhari rahimahullah. Beliau rahimahullah mengatakan,
قال الله: “الرحمن على العرش استوى” إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى
“Allah berfirman, ‘Allah Yang Maha Pengasih yang beristiwa’ di atas Arsy’, para ahli ilmu sepakat bahwa Ia (Allah) di atas Arsy’ beristiwa’ (tinggi).”[1]
Dalil lainnya dari Al-Qur’an,
2. Firman Allah Ta’ala,
يخافون ربّهم من فوقهم ويفعلون ما يؤمرون
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (Surah An-Nahl: 50)
Adapun dalil dari sunnah di antaranya:
3. Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,
ألاَ تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ ، يَأْتِينِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
“Apakah kalian tidak mempercayaiku sedangan aku adalah orang kepercayaan yang ada di langit? Datang kepadaku kabar dari langit pada pagi dan petang hari.”[2]
4. Dan juga Perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam sembari menujukkan jarinya ke langit seraya bersabda,
اللهمّ اشهد ثلاث مرات
“Ya Allah saksikanlah (sebanyak 3x).”[3]
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Perkataan Sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Imam generasi salaf setelahnya
Perkataan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu,
العرش فوق الماء والله فوق العرش لا يخفى عليه شيء من أعمالكم
“Arsy’ di atas air, dan Allah di atas Arsy’ tidak luput darinya segala amalan kalian.”[4]
Perkataan Imam Masruq (wafat: 62 H) rahimahullah dari generasi tabi’in yang merupakan murid langsung dari istri Nabi shallallahu alaihi wasallam, Aisyah radhiyallahu anha. Diriwayatkan oleh Imam Dzahabi dalam kitab Al-Uluw bahwa Imam Masruq apabila meriwayatkan hadis dari Aisyah radhiyallahu anha, beliau mengatakan,
حدثني الصديقة بنت الصديق حبيبة حبيب الله المبرئة من فوق سبع سمواته
“Meriwayatkan kepadaku Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq kecintaan cintanya Allah (Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) yang dibersihkan oleh Allah dari atas tujuh langit-Nya.”[5]
Perkataan Imam Awza’i (wafat: 157 H) rahimahullah dari generasi tabi’ tabi’in,
كنا والتابعون متوافرون نقول: إن الله عز وجل على عرشه ونؤمن بما وردت به السنة من صفاته
“Kami (tabi’ tabi’in) mengatakan dan ketika itu para tabi’in masih banyak (yang hidup): Sesungguhnya Allah di atas Arsy’-Nya dan kami beriman tentang apa yang bersumber dari hadis tentang sifat-sifat-Nya.”[6]
Kemudian, perkataan Imam mazhab Ahlusunnah yang empat, yaitu:
Pertama, Imam Abu Hanifah (wafat: 150 H) rahimahullah mengatakan,
من قال لا أعرف ربّي في السماء أم في الأرض فقد كفر، وكذا من قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض
“Siapa yang mengatakan saya tidak mengetahui Tuhanku apakah Ia di langit atau di bumi maka ia telah kafir, begitu pula yang mengatakan ia tidak mengetahui Arsy’ berada di mana apakah di langit atau di bumi.”[7]
Kedua, Imam Malik (wafat: 179 H) rahimahullah mengatakan,
الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
“Allah di langit dan ilmu-Nya di segala tempat dan tidak ada yang luput bagi-Nya.” [8]
Ketiga, Imam Asy-Syafi’i (wafat: 204 H) rahimahullah mengatakan,
القول في السنة الّتي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل: سفيان ومالك وغيرهما: الإقرار بشهادة أن لا إله إلّا الله وأن محمدا رسول الله وأنّ الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء
“Perkataan tentang sunnah yang aku berada di atasnya dan aku melihat para sahabat kami ahlu hadis dan aku mengambil dari pada mereka seperti Sufyan dan Malik dan selain keduanya: Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut di sembah melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa sesunggunya Allah berada di atas Arsy’-Nya dan di langit-Nya dan Ia mendekat kepada makhluk-Nya bagaimanapun yang Ia kehendaki.”[9]
Keempat, Imam Ahmad (wafat: 241 H) rahimahullah dalam bantahannya terhadap Jahmiyyah mengatakan,
فقلنا لما أنكرتم أن يكون الله على العرش، وقد قال تعالى: الرحمن على العرش استوى
“Maka kami katakan kepada mereka: Kenapa kalian mengingkari bahwa Allah di atas Arsy’ padahal Allah mengatakan: Allah Yang Maha Pengasih yang beristiwa’ di atas Arsy.”[10]
Selanjutnya, beberapa perkataan ulama setelah generasi imam yang empat, di antaranya:
Pertama, Imam Ibnu Khuzaimah (wafat: 311 H) rahimahullah mengatakan,
باب: ذكر البيان أنّ الله عزّ وجلّ في السماء
“Bab: Penjelasan bahwa Allah Azza Wajalla di langit.”[11]
Kedua, Imam Abul Hasan Al-Barbahari (wafat: 329 H) rahimahullah mengatakan,
وهو على عرشه استوى وعلمه بكلّ مكان ولا يخلو من علمه مكان
“Dan Ia (Allah) di atas Arsy’-Nya beristiwa’ (tinggi) dan ilmu-Nya di setiap tempat dan tidak ada satu pun tempat yang luput dari ilmu-Nya.”[12]
Ketiga, Imam Ibnu Batthoh (wafat: 387 H) rahimahullah mengatakan,
أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه محيط بجميع خلقه
“Kaum muslimin dari para Sahabat, Tabi’in dan seluruh ulama dari kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah -tabaraka wa ta’ala- di atas Arsy’-Nya di atas langit-langit-Nya, dan Ia terpisah dari Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluk-Nya.”[13]
Dan masih banyak lagi perkataan ulama ahlusunnah wal jamaah lainnya yang menetapkan sifat tingginya Dzat Allah di atas Arsy’-Nya ini yang belum dapat dinukilkan satu persatu. Dari apa yang dinukilkan di atas, telah jelas bahwa akidah ini bukanlah akidah sesat dan menyesatkan, bukan pula akidah Fir’aun seperti yang selama ini selalu dituduhkan dan didengung-dengungkan. Tidaklah ada yang menolak akidah ini kecuali telah menyelisihi keyakinan dari para salafusshalih terdahulu.
Sanggahan-sanggahan
- Jika ada yang mengatakan bahwa istawa (tinggi) itu bermakna istawla (menguasai) maka kita katakan bahwa tafsiran makna itu bertentangan dengan tafsiran para salaf seperti tafsiran Abul Aliyah dan Imam Mujahid yang telah dinukilkan dari Imam Bukhari di atas. Secara logika, jika makna istawa ini adalah istawla (menguasai), tidak mungkin ayat ini (arrahman alal arsyi istawa) digunakan oleh Imam Ahmad dalam membantah akidah Jahmiyyah dan Muktazilah yang mengatakan Allah di mana-mana. Sungguh sangat tidak nyambung jika Muktazilah dan Jahmiyyah mengatakan Allah ada dimana-mana kemudian Imam Ahmad mengatakan: Tidak! Allah tidak di mana-mana tapi Allah menguasai (istawla) Arsy’!! Tentunya Muktazilah dan Jahmiyyah akan dengan mudah menjawab: memangnya siapa yang mengingkari Allah menguasai Arsy’-Nya? Dan perlu kita ketahui juga bahwa pendapat istawa bermakna istawla itu adalah pendapat Muktazilah dan Jahmiyyah yang telah dibantah oleh Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dalam kitab Ibanah-nya.
- Jika ada yang mengatakan bahwa akidah Allah di atas Arsy’ (langit) adalah akidahnya Fir’aun dengan dalil firman Allah: “Dan Fir‘aun berkata, “Wahai Haman! Buatkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi agar aku sampai ke pintu-pintu (yaitu) pintu-pintu langit, agar aku dapat melihat Tuhannya Musa, tetapi aku tetap memandangnya seorang pendusta (surah Ghafir: 36-37)”, dimana mereka mengatakan bahwa di ayat ini Fir’aun menetapkan bahwa Allah berada di atas langit, maka kita katakan: La hawla walaa quwwata illa billah! Bagaimana bisa satu perkataan Fir’aun sudah cukup bagi Anda untuk menetapkan sifat tingginya Allah di atas langit sedangkan ratusan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah belum cukup untuk menetapkannya? Betapa besarnya musibah bila ini terjadi pada seorang muslim!! Selain itu, kita juga katakan bahwa perkataan Fir’aun dalam ayat tersebut bukan dalam rangka menetapkan (itsbat) tingginya Allah di atas langit (Arsy) namun dalam rangka mendustakan/menafikan keberadaan-Nya di langit. Lalu siapa yang mengajarkan bahwa Allah berada di langit sehingga Fir’aun mencoba mendustakannya? Jawabannya adalah Nabi Musa alaihissalam. Simak penjelasan para ulama salaf mengenai ayat ini:
Imam Ad-Darimi (wafat: 280 H) berkata,
ففي هذه الآبة بيان بين ودلالة ظاهرة أن موسى كان يدعو فرعون إلى معرفة الله بأنه فوق السماء فمن أجل ذلك أمر ببناء الصرح
“Di ayat ini penjelasan yang jelas dan petunjuk yang terang bahwa Musa telah mengajak Fir’aun untuk mengetahui Allah bahwa Ia berada di atas langit, oleh karenanya ia (Fir’aun) memerintahkan untuk membangun bangunan yang tinggi.”[14]
Imam Ibnu Abdil Barr (wafat: 463 H) berkata,
فدل على أن موسى عليه السلام كان يقول: إلهي في السماء وفرعون يظنه كاذبا
“Maka ayat ini menerangkan bahwa Musa alaihissalam telah mengatakan: Tuhanku di langit dan Fir’aun mengira ia (Musa) berdusta.”[15]
Imam Abu Ustman Ash-Shabuni (wafat: 449 H) berkata,
وإنما قال ذلك لأنه سمع موسى عليه السلام يذكر أن ربه في السماء
“Dan sesungguhnya ia (Fir’aun) mengatakan itu (perintah membuat bangunan tinggi) karena ia mendengar bahwa Musa alaihissalam menyebutkan bahwa Tuhannya berada di langit.”[16]
Dan masih banyak lagi perkataan ulama lainnya mengenai hal ini.
- Jika ada yang mengatakan bahwa Allah di atas Arsy’ melazimkan Allah lebih kecil dari pada Arsy’-Nya karena sesuatu yang di atas selalu lebih kecil dari pada yang ada di bawahnya, maka kita katakan bahwa itu bukanlah kaidah yang absolut karena kita semua sepakat bahwa langit yang ada di atas kita lebih besar dari pada bumi yang kita pijaki di bawah namun hal ini tetap bisa terjadi. Tentunya Allah Yang Maha Agung memiliki perumpamaan yang lebih sempurna.
- Jika dikatakan bahwa Allah di atas Arsy’ berarti Allah membutuhkan tempat dan itu tentunya mustahil bagi Allah, maka kita katakan bahwa istiwa-nya Allah di atas Arsy’ adalah bukan dalam rangka membutuhkan tempat namun karena Allah berbuat apa pun yang Ia kehendaki. Dan manusia tidak lah ditanyakan atas apa yang Allah perbuat namun mereka lah yang di tanyakan atas perbuatan mereka.
- Jika dikatakan bahwa menetapkan tingginya Dzat Allah di atas Arsy adalah melazimkan jism bagi Allah dan menyerupakan-Nya dengan makhluk, maka kita katakan bahwa itu tidaklah lazim, kita katakan bahwa Allah tinggi di atas Arsy-Nya dan tingginya Allah sesuai dengan kelayakan Dzat-Nya yang Maha Sempurna dan tidak sama dengan makhluk-Nya.
- Jika dikatakan bahwa telah tetap dari hadis Nabi shallallahu alahi wasallam bahwa Allah turun ke langit dunia di sepertiga akhir malam, dan itu menandakan bahwa Allah tidak pernah di atas Arsy’-Nya karena tidaklah pernah berakhir sepertiga malam akhir di suatu tempat, kecuali ia bermula di tempat yang lain, maka kita katakan bahwa itu sudah masuk kepada ranah mempertanyakan kayfiyyah-nya (cara), dan itu adalah sesuatu yang dicela oleh para ulama ahlusunnah wal jamaah karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak pernah memberitahukannya kepada kita. Oleh karenanya Imam Malik mengatakan,
الاستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة
“Istiwa itu diketahui (maknanya), tetapi caranya majhul (tidak diketahui), dan beriman kepadanya adalah wajib dan mempertanyakannya (cara) adalah bid’ah.”
Dan para ulama kita menetapkan dua sifat ini (nuzul dan istiwa’) tanpa pernah mempertentangkannya satu sama lain, karena Allah memiliki sifat yang sempurna yang tidak sama dengan makluk-Nya. Semestinya setiap muslim tidak mempertanyakan akan hal ini, karena Abu Lahab dan Abu Jahal saja yang senantiasa mencari-cari kontradiksi dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan tidak pernah melontarkannya sebagai sebuah kritikan.
Terakhir, hendaklah kita senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pemahaman salaful ummah agar kita selamat dalam menjalankan agama ini. Semoga Allah merahmati kita semua. Amin.
[1] Lihat Kitab Al-Uluw, hal. 1128.
[2] H.R. Bukhari. no 4116
[3] H.R. Muslim
[4] Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Kitab Asma’ wa Sifat dan Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhidnya.
[5] Lihat Kitab Uluw karya Imam Dzahabi dengan sanad yang sahih.
[6] Diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam Kitab Asma’ wa Sifat, 2/304, dan Imam Adz-Dzahabi dalam Kitab Al-Uluw, 2/940.
[7] Lihat Kitab Ijtima’ Juyush Islamiyah, hal. 139.
[8] Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam Kitab Masa’il-nya halaman 263 dengan sanad yang sahih.
[9] Kitab Mukhtashar Uluw, hal. 176.
[10] Kitab Al-Radd ala’ Al-Jahmiyyah wa Al-Zanadiqah, hal.142.
[11] Kitab Tauhid Ibnu Khuzaimah.
[12] Kitab Syarah Sunnah Lil Barbahari, hal. 1.
[13] Kitab Ibanah (3/136).
[14] Kitab Ar-Rad alal Jahmiyyah, hal. 37.
[15] Kitab At-Tamhid (7/133).
[16] Kitab Aqidah Salaf dan Ashabul Hadis, hal. 176.