Analisis Lengkap tentang Hukum Musik dalam Islam dari Awal Hingga Akhir
Mereka yang hidup di akhir zaman sering kali terpaku pada irama musik atau melodi nyanyian. Bahkan beberapa di antara kita, dahulu, mungkin terobsesi dengan jenis suara semacam itu, bahkan mendengarnya merupakan rutinitas harian. Hal yang sama juga dialami oleh seseorang yang disebutkan dalam cerita ini (Fulan). Dulu, hidupnya sangat terkait dengan gitar dan musik. Namun, sekarang, kehidupannya berubah drastis. Setelah diperkenalkan kepada Al-Haq (penerangan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah), dia mulai menjauhi nyanyian secara perlahan. Alhamdulillah, dia menemukan pengganti yang lebih baik, yaitu dengan meresapi firman Allah (Al-Qur’an) yang semakin memperdalam cinta dan kerinduannya kepada Sang Pencipta.
Apa yang menyebabkan perubahan ini, dan dia meninggalkan musik? Tentu, itu adalah hasil dari taufik Allah dan hujan ilmu yang diterimanya. Dengan pengetahuan syar’i yang dia pelajari, hatinya mulai terketuk dan sadar akan kebenaran. Dengan memahami dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis yang mengingatkan akan bahaya kesenangan yang mengalihkan perhatian, dia mulai mengurangi keterlibatannya dalam musik. Bimbingan dan nasihat ulama juga membantu dia memahami dengan lebih jelas tentang hukum nyanyian.
Sangatlah bermanfaat untuk merenungkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis, serta pendapat para ulama tentang hukum nyanyian, karena mungkin beberapa di antara kita masih tertarik dan candu padanya. Dengan pembahasan seperti ini, semoga Allah membuka hati kita dan memberi petunjuk kepada kita seperti yang dialami oleh tokoh yang disebutkan tadi (Fulan). Amin.
A. Beberapa Ayat Al-Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”
Pertama: Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Terjemahnya: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7)
Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan لَهْوَ الْحَدِيثِ “lahwal hadits” dalam ayat tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsir ayat tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakri –rahimahullah-. Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsir ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu ‘anhu– berkata,
الغِنَاءُ، وَالَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ، يُرَدِّدُهَا ثَلاَث َمَرَّاتٍ.
Artinya: “Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali. [Lihat Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 20/127, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.]
Penafsiran senada disampaikan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug (genderang). [Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/105, Mawqi’ At Tafasir.]
Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap kemungkaran.” Lalu, Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in. [Lihat Fathul Qadir, Asy Syaukani, 5/483, Mawqi’ At Tafasir.]
Jika ada yang mengatakan, “Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?”
Maka, cukup kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat bisa menjadi hujjah, bahkan bisa dianggap sama dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (derajat marfu’). Simaklah perkataan Ibnul Qayyim setelah menjelaskan penafsiran mengenai “lahwal hadits” di atas sebagai berikut,
“Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam kitab tafsirnya di Al Mustadrok mengatakan bahwa seharusnya setiap orang yang haus terhadap ilmu mengetahui bahwa tafsiran sahabat –yang mereka ini menyaksikan turunnya wahyu- menurut Bukhari dan Muslim dianggap sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tempat lainnya, beliau mengatakan bahwa menurutnya, penafsiran sahabat tentang suatu ayat sama statusnya dengan hadits marfu’ (yang sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Lalu, Ibnul Qayyim mengatakan, “Walaupun itu adalah penafsiran sahabat, tetap penafsiran mereka lebih didahulukan daripada penafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat yang paling mengerti tentang maksud dari ayat yang diturunkan oleh Allah karena Al-Qur’an turun di masa mereka hidup”. [Lihat Ighatsatul Lahfan min Masho-idisy Syaithon, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/240, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, 1395 H]
Jadi, jelaslah bahwa pemaknaan لَهْوَ الْحَدِيثِ /lahwal hadits/ dengan nyanyian patut kita terima karena ini adalah perkataan sahabat yang statusnya bisa sama dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun”
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ , وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ , وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ , فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا
Terjemahnya: “Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka, bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (QS. An Najm: 59-62)
Apa yang dimaksud سَامِدُونَ /saamiduun/?
Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas. [Lihat Zaadul Masiir, 5/448.]
‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an, namun mereka malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas).” [Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/258.]
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela dalam Al Qur’an.
B. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian
Hadits Pertama
Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.” [Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas.] Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram.
Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-.
Memang, ada sebagian ulama semacam Ibnu Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat beliau sesudahnya seperti Al Ghozali yang menyatakan bahwa hadits di atas memiliki cacat sehingga mereka pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka mengatakan bahwa sanad hadits ini munqothi’ (terputus) karena Al Bukhari tidak memaushulkan sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah hal ini, kami akan kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah:
Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan beliau betul mendengar langsung darinya. Jadi, jika Al Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, itu sama saja dengan perkataan Al Bukhari langsung dari Hisyam.
Kedua, jika Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak akan mengatakan dengan lafazh jazm (tegas). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm, sudah pasti beliau mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling mungkin, karena sangat banyak orang yang meriwayatkan (hadits) dari Hisyam. Hisyam adalah guru yang sudah sangat masyhur. Adapun Al Bukhari adalah hamba yang sangat tidak mungkin melakukan tadlis (kecurangan dalam periwayatan).
Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini dalam kitabnya yang disebut dengan kitab shahih, yang tentu saja hal ini bisa dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah shahih menurut Al Bukhari, lalu mengapa beliau memasukkan hadits tersebut dalam kitab shahih?
Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini secara mu’allaq (di bagian awal sanad ada yang terputus). Namun, di sini beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola yang artinya dia berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa atau yudzkaru, yang artinya telah diriwayatkan atau telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, “Qoola: qoola Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, …]”, maka itu sama saja beliau mengatakan hadits tersebut disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima, seandainya berbagai alasan di atas kita buang, hadits ini tetaplah shahih dan bersambung karena dilihat dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits berikutnya. [Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/259-260.]
Hadits Kedua
Dari Abu Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ
Artinya: “Sungguh, akan ada orang-orang dari umatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi.” [HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.]
Hadits Ketiga
Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau berkata,
عُمَرَ سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. قَالَ فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
Artinya: Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih mendengarnya.” Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.” Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi.” [HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.]
Keterangan Hadits
Dari dua hadits pertama, dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan menghalalkan musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang menganggap halal. Begitu pula pada hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu ‘Umar bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar mencontohkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dengannya yaitu menjauhkan manusia dari mendengar musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang.
Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari mendengar suara nyanyian atau alat musik, namun tidak sampai menunjukkan keharamannya, jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) rahimahullah berikut ini,
اللَّهُمَّ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي سَمَاعِهِ ضَرَرٌ دِينِيٌّ لَا يَنْدَفِعُ إلَّا بِالسَّدِّ
Artinya: “Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak mendengarnya.” [Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroini, 11/567, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.]
C. Pendapat Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)
1. Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.”
2. Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang nyanyian, lalu beliau menjawab, “Aku melarang nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu orang yang bertanya tadi mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim pun mengatakan,”Wahai anak saudaraku, jika Allah telah memisahkan yang benar dan yang keliru, lantas pada posisi mana Allah meletakkan ‘nyanyian’?”
3. ‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya adalah, ”Hendaklah yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi pekertimu adalah kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal dari setan dan ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku mengetahui dari para ulama yang terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan alat musik serta gandrung padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan meninggalkan nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki kecerdasan daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”
4. Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”
5. Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”
5. Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian karena nyanyian itu hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk kepayang. … Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong seseorang untuk berbuat zina.” [Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, hal. 289, Darul Kutub Al ‘Arobi, cetakan pertama, 1405 H]
D. Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian
1. Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa. [Lihat Talbis Iblis, 282.]
2. Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.” [Lihat Talbis Iblis, 284.]
3. Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.” [Lihat Talbis Iblis, 283.]
4. Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.” [Lihat Talbis Iblis, 280.]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.” [Majmu’ Al Fatawa, 11/576-577.]
E. Bila Engkau Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Beliau mengatakan,
“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya pun akan semakin sempurna.”
Lalu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati. Maka, pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk mendengarnya.” [Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim li Mukholafati Ash-haabil Jahiim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq & Ta’liq: Dr. Nashir ‘Abdul Karim Al ‘Aql, 1/543, Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1419 H]
Jadi, perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam di atas) memang betul-betul terjadi pada orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan dengan nyanyian bait-bait sya’ir sufiyah. Tujuan mereka mungkin adalah untuk menata hati. Namun, sayang seribu sayang, jalan yang ditempuh adalah jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak masyru’, yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al Qur’an.
Syaikhul Islam mengatakan,
“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala mendengar Al-Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir sufiyah. Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur’an, hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan lisannya akan sering keliru.” [Majmu’ Al Fatawa, 11/567.]
F. Adapun melatunkan bait-bait nasyid asalnya dibolehkan, namun tidak berlaku secara mutlak.
Adapun Nasyid, dari kajian yang kami lakukan hukumnya mubah. Yang dimaksud dengan Nasyid dalam bahasa Arab adalah mengangkat suara dengan membaca syair-syair sambil berusaha membanguskan dan melembutkan suara.
Jika kita amati kehidupan Rasulullah, maka kita dapatkan beliau pernah mendengarkan syair dan nasyid, bahkan diantara sahabat Nabi ada penyairnya, seperti Hisaan bin Tsabit, ‘Amir bin Akwa’ dan Anjasyah radhiyallahu anhu.
Adapun tentang bernasyid, maka Imam Bukhari meriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, bahwa ketika para sahabat menggali (Khandak) dan Rasulullah melihat para sahabat kecapekan dan kelaparan, maka beliau pun bernasyid/bersyair:
” اللهم لا عيش إلا عيش الآخرة * فاغفر للأنصار والمهاجرة ”
Dan dijawab oleh para sahabat:
نحن الذين بايعوا محمدا * على الجهاد ما بقينا أبدا
Dan para ulama kontemporer seperti Syaikh Bin Baz, Syaikh Muhammad bin sholeh al- Utsaimin, Syaikh Albani, Syaikh Abdullah Al-Jibrin berpendapat bahwa hukum nasyid adalah mubah, dan sebagian dari mereka menganggap Nasyid seperti Sya’ir.
Melatunkan bait syair nasyid yang dibolehkan apabila memenuhi beberapa syarat berikut:
1. Bukan lantunan yang mendayu-dayu sebagaimana yang diperagakan oleh para wanita.
2. Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar Al Qur’an.
3. Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat membuat orang yang mendengarnya menari dan berdansa.
4. Tidak diiringi musik/alat musik.
5. Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan nadanya, namun tujuannya adalah untuk mendengar nasyid (bait syair).
6. Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada acara-acara yang penuh kegembiraan dan masyru’ (disyariatkan) saja (Hari Raya dan Walimah Pernikahan). [Seperti terdapat riwayat dari ‘Umar bahwa beliau membolehkan memukul rebana (ad-duf) pada acara nikah dan khitan. Dan ini adalah pengkhususan dari dalil umum yang melarang alat musik. Sehingga tidak tepat jika rebana ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan alat musik yang lain. (Lihat An Nur Al Kaasyif fii Bayaani Hukmil Ghina wal Ma’azif, hal. 61, Asy Syamilah)]
7. Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan semangat ketika keletihan atau ketika berjihad.
8. Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang dari kewajiban. [Lihat An Nur Al Kaasyif fii Bayaani Hukmil Ghina wal Ma’azif, hal. 44-45, Asy Syamilah.]
9. Konten dari nasyid tersebut tidak menyelelisihi syariat, seperti mengandung kesyirikan atau nyanyian-nyanyian porno atau kekufuran atau ejekan dan olokan.
10. Kontennya dapat membangkitkan semangat, memberikan nasehat-nasehat dan Hikmah-hikmah.(dari komite fatwa Arab Saudi).
11 . Tidak terlalu banyak dalam menikmati Nasyid, sehingga bisa melalaikan tugas dan kewajiban.
12. Tidak ada background suara yang menyerupai suara musik, meskipun dari suara mulut yang menyerupai alat musik (biasa disebut akapela) , syaikh Abdul Aziz At-Tarifi mengatakan:
ما شابه الباطل فهو باطل
Sesuatu yang menyerupai kebatilan, maka hukumnya batil (juga).
G. Hukum Mendengarkan Musik Secara Tidak Sengaja
Musik atau nyanyian yang diiringi dengan musik hukumnya haram, namun perlu dibedakan antara orang yang sengaja mendengarkan musik dan orang yang tidak sengaja mendengarkannya. Larangan di atas hanya bagi orang yang mendengarkannya dengan sengaja tanpa ada paksaan, tidak mencakup orang yang mendengarkannya tanpa sengaja atau terpaksa. Nafi’ mengisahkan bahwa pernah Ibnu Umar mendengar suara seruling seorang pengembala maka beliau menutup kedua telinganya dengan kedua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan dan berkata: ”wahai Nafi’, apakah engkau dengar (suara seruling)?, aku jawab: Ya. kemudian beliau berjalan hingga aku katakan: Sudah tidak terdengar (suara seruling). Lalu beliau meletakkan kembali tangannya dan kembali ke jalan kemudian berkata: Demikianlah ketika aku melihat Rasulullah mendengar suara seruling pengembala, beliau melakukan sebagaimana yang aku lakukan tadi” [HR.Abu Daud].
Ibnu Taimiyah berkata: ”Larangan tertuju bagi yang sengaja mendengarkan, tidak bagi yang tidak sengaja dengar,… oleh karena itu Rasulullah tidak perintah Ibnu Umar untuk menutup telinganya ketika mendengar seruling pengembala karena ia tidak bersengaja mendengarkannya” [Majmu’ fatawa, 11/630].
Dengan demikian, larangan mendengarkan musik hanya tertuju bagi orang yang sengaja mendengarkannya. Adapun jika tidak disengaja dan diluar kontrolnya, seperti musik di hp, televisi, kendaraan, pesawat, tempat pembelanjaan, rumah orang lain yang semua itu bukan miliknya atau tidak dalam kontrolnya maka semua itu tidak berdosa baginya jika terdengar, dan dianjurkan melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan Ibnu Umar, yakni dengan menutup kedua telinga ketika terdengar suara musik. Juga dengan tetap berusaha mengingkarinya semampu mungkin, selemah lemahnya dengan hati. Tapi jika hal tersebut miliknya atau di bawah kekuasaannya maka ia wajib menghentikannya, misalnya TV miliknya, ia harus menghindari musik musik yang ditayangkan dengan mematikan volume suara Tv ketika suatu tayangan diawali atau disertai dengan musik, kecuali jika tayangan yang ia butuhkan, seperti berita, disertai dengan musik maka boleh ia mendengarkan berita dengan niat hanya mendengarkan berita, bukan musiknya, maka hal ini tidak berdosa sebagaimana dijelaskan di atas.
H. Hikmah Diharamkannya Nyanyian Dan Alat Musik
Seorang Muslim wajib meyakini bahwasanya dalam setiap perkara yang Allah Ta’ala syari’atkan kepada hamba-hamba-Nya berupa perintah, larangan, dan pembolehan, Dia memiliki hikmah bahkan hikmah yang banyak. Orang yang mengetahui akan mengetahuinya dan orang yang tidak mengetahui tidak akan mengetahuinya. Hikmah itu nampak bagi sebagian orang dan tersembunyi atas sebagian yang lain. Oleh karena itu, seorang Muslim wajib bersegera melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala, dan tidak boleh menunda-nunda sampai ia mengetahui hikmahnya karena hal itu di antara hal yang dapat menafikan iman, seorang muslim wajib taat dan berserah diri secara mutlak kepada Allah, Pembuat syari’at Yang Maha bijaksana. Karena itulah Allah Ta’ala berfirman di dalam Al- Qur-anul Karim:
فلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ هُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وسلموا تسليما
Terjemahnya: “Maka demi Rabb-mu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Di atas hal inilah Salafush Shalih menjalani kehidupannya sehingga Allah Ta’ala memuliakan mereka, membukakan negeri-negeri dan hati-hati manusia bagi mereka, dan generasi akhir ummat ini tidak akan menjadi baik, kecuali dengan apa yang menjadikan baik generasi terdahulu. Banyak terdapat atsar dari para Salaf dari kalangan Shahabat dan selain mereka yang menunjukkan hikmah diharamkannya lagu dan musik, di antara hikmahnya ialah:
1. Nyanyian membuat lalai dari berdzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, dan dari melakukan berbagai kewajiban syariat
Hikmah ini di ambil dari kalimat ‘’Lahwal Hadits” (perkataan yang tidak berguna) dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرى لَهُوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَتَخِذَهَا هُزُوا أَوْلَيْكَ هُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Terjemahnya: “Dan di antara manusia (ada) orang-orang yang mem- pergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan- nya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6)
Ayat ini turun berkenaan dengan nyanyian dan yang sejenisnya.
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallaahu ‘anhu mengatakan, “Ayat ini turun berkenaan dengan nyanyian dan yang sepertinya.”
‘Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Lahwal hadiits (percakapan kosong) adalah nyanyian. Demi Dzat yang tidak ada ilah selain Dia.” Beliau mengulangi perkataannya tiga kali.
Dan masih banyak perkataan Salafush Shalih serupa dalam menafsirkan ayat di atas. (Lihat Bab Pertama: Dalil-Dalil dari Al-Qur-an Tentang Haramnya Nyanyian dan Musik).
2. Nyanyian dan musik dapat menumbuhkan kemunafikan di dalam hati
Abdullah bin Mas’ud radhiallaahu ‘anhu mengatakan, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.”
Asy-Sya’bi (wafat th. 105 H) rahimahullaah mengatakan, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan di dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman, dan sesungguhnya dzikir menumbuhkan keimanan di dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman.”
Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya nyanyian memiliki kekhususan yang memiliki pengaruh dalam mewarnai hati dengan kemunafikan, dan tumbuhnya kemunafikan di dalam hati sebagaimana tumbuhnya tanaman karena air.
Di antara kekhususan nyanyian itu adalah ia melengahkan hati dan memalingkannya dari memahami, merenungkan, dan mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an dan nyanyian tidak akan pernah bersatu dalam satu hati, keduanya selalu kontradiksi. Sebab, Al-Qur-an melarang dari mengikuti hawa nafsu, memerintahkan ‘iffah (menjaga kehormatan), menjauhi syahwat nafsu dan sebab-sebab kesesatan, serta melarang dari mengikuti langkah-langkah setan. Sebaliknya, nyanyian memerintahkan lawan dari semua itu, menganggapnya baik (menghiasinya), membakar nafsu untuk menikmati syahwat kesesatan sehingga menggerakkan hatinya agar berbuat segala yang dirasa manis dan nikmat. Sebagian orang-orang ‘arif mengatakan, “Bagi suatu kaum, mendengarkan nyanyian bisa melahirkan kemunafikan, kedurhakaan, kedustaan, kemungkaran, serta mengikuti hawa nafsu.”
Dan yang paling banyak yaitu melahirkan kecintaan kepada shuwar (laki-laki atau wanita yang tidak halal), menganggap baik yang buruk dan keji, dan kecanduan padanya menjadikan hati terasa berat terhadap Al-Quran, dan benci untuk mendengarkannya. Lalu jika hal ini tidak disebut sebagai kemunafikan, maka tidak ada lagi hakikat sebenarnya dari kemunafikan !”
Kemudian beliau melanjutkan, “Jadi, nyanyian bisa merusak hati, dan jika hati telah rusak maka kemuna- fikan merajalela di dalamnya. Pada kesimpulannya, jika orang yang berakal merenungkan keadaan orang-orang yang menyukai nyanyian dan keadaan orang-orang yang ahli dzikir dan Al-Qur’an, niscaya dia mengetahui kecerdasan dan kedalaman pemahaman para Shahabat tentang penyakit hati dan obatnya.
3. Dapat melalaikan hati
Menghalangi hati untuk memahami Al-Qur’an dan merenungkannnya serta mengamalkan kandungannya
Al-Qur’an dan nyanyian tidak akan bertemu secara bersamaan dalam hati selamanya. Karena Al-Qur’an melarang mengikuti hawa nafsu dan memerintahkan untuk menjaga kesucian hati. Sedangkan nyanyian memerintahkan sebaliknya, bahkan menghiasinya dan merangsang jiwa manusia untuk mengikuti hawa nafsu.
Nyanyian dan minuman keras ibarat saudara kembar dalam merangsang jiwa untuk melakukan keburukan. Saling mendukung dan menopang satu sama lain.
4. Nyanyian itu pencabut kewibawaan seseorang
Nyanyian dapat menyerap masuk ke dalam pusat khayalan, lalu membangkitkan nafsu dan syahwat yang terpendam di dalamnya. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Karakter-karakter khas yang terdapat pada musik tersebut mencakup semua jenis musik, baik itu musik rock, pop, dangdut, maupun musik Islami. Karena hal ini memang telah terbukti di kalangan para pecinta musik. Dan memang, nyanyian dan musik ini sangat besar pengaruhnya bagi para pelaku dan pendengarnya dari segala sisi, baik dari akidahnya, akhlaknya, maupun dari akal pikirannya yang telah menunjukkan adanya kemerosotan yang sangat signifikan jika dibanding dengan generasi kakek nenek kita, yang mana dulu masih jarang ditemukan adanya nyanyian ataupun musik.
I. Syubhat-syubhat Orang yang Membolehkan Nyanyian dan Musik Serta Bantahannya
Orang-orang yang hobi lagu dan musik menyandarkan pendapat mereka kepada beberapa dalil, di antaranya:
Syubhat Pertama:
Dalam menghalalkan lagu, mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَتِ
Artinya: “… Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik.” (QS. Al-A’raaf: 157)
Mereka menafsirkan kata “ath-thayyibaat (segala yang baik)” dengan “segala yang lezat” atau “segala yang menyenangkan”. Dengan demikian maka suara-suara para penyanyi adalah termasuk hal yang menyenangkan, begitu pula lagu dan musik. Konsekuensinya, semua itu halal.
Bantahan terhadap syubhat ini:
Mereka tidak membawakan konteks ayat secara lengkap, padahal secara lengkap ayat tersebut berbunyi:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِي الْأُمِنَ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَنَةِ وَالْإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَتِ ويحرم عَلَيْهِمُ
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis), yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan yang menghalal- kan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka ….” (QS. Al-A’raaf: 157)
Mereka menafsirkan kata ath-thayyibaat dengan pendekatan bahasa, bukan dengan pendekatan syar’i sehingga mereka menarik kesimpulan bahwa setiap yang menyenangkan adalah halal. Tafsir yang dari kata ath-thayyibaat adalah segala yang pernah diharamkan atas bangsa Yahudi karena kezaliman mereka, akan dihalalkan oleh Nabi yang ummi, yaitu Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam jika mereka beriman dan mengikuti beliau. Hal ini sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
Artinya: “Karena kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haram kan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan ….” (QS. An-Nisaa’ : 160)
Semua yang diharamkan tersebut adalah semua binatang yang berkuku, serta beberapa bagian dari sapi dan domba, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرِ وَمِنَ البَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ذَلِكَ جَزَيْنَهُم ينيهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
Artinya: “Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku, dan kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya. Dan sungguh, Kami Mahabenar.” (QS. Al-An’aam : 146)
Dari penafsiran ini dapat diketahui bahwa maksud ath-thayyibaat dalam ayat yang disebut di atas adalah segala hewan yang berkuku, dan lemak dari sapi dan domba, kecuali lemak dari beberapa bagiannya.
Syubhat Kedua:
Mereka juga berdalil dengan hadits ‘Aisyah rhadhiallaahu ‘anha yang menyebutkan ada dua anak gadis kecil yang menyanyi dan menabuh rebana pada saat hari raya. Dalam membolehkan lagu dan musik ini, mereka beralasan dengan pengingkaran Nabi terhadap Abu Bakar ketika dia mengatakan, “Seruling setan di sisi Nabi ?” di dalam hadits tersebut.
Bantahan terhadap syubhat ini:
Alasan mereka sudah dibantah oleh para ulama, yang kesimpulannya sebagai berikut:
a) Hal itu sebagai rukhshah (keringanan).
b) Nyanyian itu dilakukan oleh dua gadis kecil yang belum baligh (bukan biduan), dan ini tidak mengapa.
c) Pengharaman terhadap alat musik adalah umum, sedangkan kejadian ini khusus sehingga hukumnya dikecualikan.
d) Perkataan Abu Bakar “seruling setan” menunjukkan pemahaman yang sudah diketahui olehnya bahwa lagu dan permainan rebana adalah terlarang. Adapun pengingkaran Nabi kepada Abu Bakar, maka sesungguhnya Nabi menjelaskan hal itu kepadanya dan memberitahukan hukumnya dengan diiringi penjelasan hikmah bahwa hari itu adalah hari raya, yaitu kegembiraan yang sesuai syariat, maka seperti itu tidak diingkari, sebagaimana tidak diingkari dalam pernikahan.
J. Penutup
Kami hanya ingin mengingatkan bahwa pengganti nyanyian dan musik adalah Al Qur’an. Dengan mendengarkan, membaca, menghafalkan, mengkaji, merenungi, mengamalkan, dan mendakwahkan Al-Qur’anlah hati kita akan hidup dan tertata karena inilah yang disyari’atkan.
Ingatlah bahwa Al-Qur’an dan musik sama sekali tidak bisa bersatu dalam satu hati. Kita bisa memperhatikan perkataan murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati seseorang dari memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah, Al-Qur’an dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati karena keduanya itu saling bertolak belakang. Al Quran melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu, Al-Qur’an memerintahkan kita untuk menjaga kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda jiwa. Al-Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng dari kebenaran dan melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian memerintahkan pada hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.” [Ighatsatul Lahfan, 1/248-249.]
Dari sini, pantaskah Al-Qur’an ditinggalkan hanya karena terbuai dengan nyanyian? Ingatlah, jika seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang lebih baik.
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
Artinya: “Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.” [HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.]
Tatkala Allah memerintahkan pada sesuatu dan melarang dari sesuatu pasti ada maslahat dan manfaat di balik itu semua. Sibukkanlah diri dengan mengkaji ilmu dan berinteraksi juga mentadabburi Al-Quran, niscaya perlahan-lahan perkara yang tidak manfaat semacam nyanyian akan ditinggalkan. Semoga Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap orang yang membaca risalah ini.
Wallahu A’lam.