Apakah Adam dan Hawwa Dihukum Karena Maksiat Bukan Karena Lupa?

Adam dan Hawwa –‘Alaihimassholatu wassalaam- adalah manusia yang pertama kali diciptakan di muka bumi. Mereka berdua merupakan leluhur dari seluruh manusia. Sebelum mereka berdua tinggal di bumi, dahulu keduanya tinggal dan menetap di dalam surga. Hanya saja, syaitan berhasil menggelincirkan mereka dalam dosa, sehingga mereka dikeluarkan dari surga.

Allah –Azza wajalla- berfirman:

يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ لَا يَفۡتِنَنَّكُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ كَمَآ أَخۡرَجَ أَبَوَيۡكُم مِّنَ ٱلۡجَنَّةِ 

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga.” (QS. Al-A’raf: 27)

Sebagian kaum muslimin beranggapan bahwa Adam –“Alaihissalaam- dikeluarkan dari surga karena lupa, bukan karena dosa yang dia lakukan. Sebab, di dalam al-Qur’an Allah -Azza wajalla- berfirman:

وَلَقَدۡ عَهِدۡنَآ إِلَىٰٓ ءَادَمَ مِن قَبۡلُ فَنَسِيَ وَلَمۡ نَجِدۡ لَهُۥ عَزۡمٗا 

“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (QS. Thaha: 115)

Menurut mereka, ayat ini sangat jelas menyebutkan bahwa Adam –“Alaihissalaam- lupa terhadap larangan Allah –Azza wajalla-. inilah dosa beliau yang menyebabkan beliau dan istrinya dikeluarkan dari surga.

Hanya saja, jika kaum muslimin berkeyakinan seperti ini, maka akan muncul dua masalah baru. Pertama, jika Adam –“Alaihissalaam- dianggap bersalah karena lupa, maka adilkah kiranya Allah –Azza wajalla- menghukum seseorang karena lupa? Kedua, ayat ini berarti mengalami kontradiksi dengan firman Allah –Azza wajalla:

فَأَكَلَا مِنۡهَا فَبَدَتۡ لَهُمَا سَوۡءَٰتُهُمَا وَطَفِقَا يَخۡصِفَانِ عَلَيۡهِمَا مِن وَرَقِ ٱلۡجَنَّةِۚ وَعَصَىٰٓ ءَادَمُ رَبَّهُۥ فَغَوَىٰ 

“Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.” (QS. Thaha: 121)

Seorang muslim tidak boleh menyifati Allah –Azza wajalla- dengan sifat tidak adil, sebab ketidak adilan merupakan nama lain dari kezaliman. Hal seperti itu tidak ada pada diri Allah –Azza wajalla-, Maha suci Allah dari segala sifat buruk seperti itu. Barangsiapa yang menyifati Allah –Azza wajalla- dengan sifat tersebut, maka ia telah kafir terhadap Allah –Azza wajalla-. Sebab Allah –Azza wajalla- adalah Rabb yang Maha Adil, sangat banyak ayat-ayat di dalam al-Qur’an yang menunjukkan hal itu, misalnya:

وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا ۖ وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ

“Kami akan memasang timbangan yang adil pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya: 47)

Allah -Azza wajalla- juga berfirman:

وَمَا ظَلَمۡنَٰهُمۡ وَلَٰكِن كَانُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ 

“Dan Kami tiada menzhalimi mereka, akan tetapi merekalah yang menzhalimi diri mereka sendiri.” (QS. An-Nahl: 118)

Ringkasnya, Allah –Azza wajalla- tidak akan pernah menzhalimi makhluk-makhluk-Nya sedikitpun. Oleh karena itu, meyakini bawa Adam –‘alaihissalaam- dihukum karena lupa merupakan satu kesalahan yang besar. Sebab Allah -Azza wajalla- tidak menghukumi orang yang melakukan perbuatan salah diluar kesadarannya.

Allah –Azza wajalla- berfirman:

وليسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٞ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡۚ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمًا 

“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 5)

Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata:

فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ وَضَعَ الْحَرَجَ فِي الْخَطَأِ وَرَفَعَ إِثْمَهُ، كَمَا أَرْشَدَ إِلَيْهِ فِي قَوْلِهِ آمِرًا عِبَادَهُ أَنْ يَقُولُوا: {رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا} [الْبَقَرَةِ: 286] . وَثَبَتَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “قَالَ اللَّهُ: قَدْ فَعَلْتُ”. وَفِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِنِ اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ” . وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ: “إِنَّ اللَّهَ رَفَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ، وَمَا يُكرَهُون عَلَيْهِ”. وَقَالَ هَاهُنَا: {وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا} أَيْ: وَإِنَّمَا الْإِثْمُ عَلَى مَنْ تَعَمَّدَ الْبَاطِلَ

“Sesungguhnya Allah -Azza wajalla- menghapuskan kesalahan sebagaimana Dia menunjukan pada hamba-Nya dengan memerintahkan mereka berkata: “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menyiksa kami jika kami lupa atau kami salah (QS. al-Baqarah: 286)”.  Dalam hadits yang diriwaytkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, Allah -Azza wajalla- berfirman: “Aku telah lakukan”. Dalam Sahih Bukhari disebutkan dari Amr bin al-Ash, ia berkata, telah bersabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Jika seorang hakim berijtihad lalu ia benar dalam ijtihadnya, maka ia mendapatkan dua paahala. Namun jika ia salah, ia akan mendapatkan satu kebaikan”. Dalam hadits yang lain disebutkan, “Sesungguhnya Allah –Azza wajalla- memaafkan pada umatku kekeliruan, dan lupa dan perbuatan yang terjadi karena paksaan”. Pada ayat ini, Allah -Azza wajalla- menyebutkan, “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Maksudnya, dosa itu adalah suatu kesalahan yang terjadi karena kesengajaan”. (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid 3, hal. 408, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, Cet 3, 1433 H)

Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

“Apabila salah seorang dari kalian lupa, lalu ia makan dan minum, maka hendaklah ia tetap melanjutkan puasanya, sebab Allah –Azza wajalla- yang telah memberi makan dan minum kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa seorang yang melakukan kesalahan bukan karena kehendak yang didasari kesadaran, maka seseorang tidak berhak mendapatkan hukuman karenanya. Sebagaimana perkataan al-Hafizh Ibnu Katsir –rahimahullah- di atas, bahwa dosa itu adalah kesalahan yang terjadi karena unsur kesengajaan.

Berdasarkan dua dalil ini, meyakini bahwa Allah –Azza wajalla- menghukum Adam –‘Alaihissalaam- karena lupa merupakan keyakinan yang tidak benar.

Firman Allah -Azza wajalla- pada surah Thaha ayat 121: “Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia”,  menegaskan bahwa Adam tidak lupa dalam perbuatannya, melainkan terjadi karena kemaksiatan yang dilakukannya. Sebagian orang mengira hal ini sebagai sesuatu yang kontradiksi, sebab pada surah Thaha ayat 115 disebutkan bahwa Adam –‘Alaihissalaam- melakukan kesalahannya karena nisyan (lupa), sedangkan pada surah Thaha ayat 121 menyebutkan alasannya karena kemaksiatan.

Terkait dengan makna lupa atau nisyan dalam bahasa Arab, maka perlu diketahui bahwa ia memiliki dua makna. Lupa (nisyan) bisa bermakna ترك الشئ عن الذهول وغفلة yang bermakna meninggalkan sesuatu karena kelinglungan dan kelalaian. Lupa (nisyan) juga bisa bermakna الترك عمدا  yaitu meninggalkan dengan sengaja. Adanya dua makna lupa itu dipahami oleh orang Arab.

Ketika Imam Ibnu Jarir ath-Thabari –rahimahullah- menafsirkan firman Allah surah Al-Baqarah ayat 286:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْأَخْطَأْنَا

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Imam ath-Thabari –rahimahullah- berkata:

قيل: إن ” النسيان ” على وجهين: أحدهما على وجه التضييع من العبد والتفريط، والآخر على وجه عجز الناسي عن حفظ ما استحفظ ووكل به، وضعف عقله عن احتماله. فأما الذي يكون من العبد على وجه التضييع منه والتفريط، فهو ترك منه لما أمر بفعله…وأما الذي العبد به غير مؤاخذ، لعجز بنيته عن حفظه، وقلة احتمال عقله

“Disebutkan bahwa lupa itu memiliki dua bentuk. Salah satunya berbentuk penyianyian dari seorang hamba. Bentuk yang lain adalah lupa karena kelemahaman seorang manusia dari mengingat sesuatu yang diperintahkan atau lemah akalnya darinya. Adapun penyianyian seorang hamba, maka itu adalah perbuatannya meninggalkan apa yang diperintahkan kepadanya yang harus ia lakukan…

Sedangkan (lupa yang jika) seorang hamba melakukannya dia tidak mendapat siksa, ia adalah  lupa yang disebabkan oleh lemahnya (kemampuan) menghafal, sedikitnya kekuatan akalnya.” (Ibnu Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Tahqiq Islam Manshur Abdul Hamid dkk,  jilid 3, hal. 72-37, Dar Al-Hadits-Kairo, t. Cet, 1431 H)

Jika kita telah memahami hal ini, maka permasalahannya menjadi jelas bahwa tidak ada kontradiksi antara dua ayat tersebut. Bahkan, surah Thaha ayat 115 sebenarnya sudah memberikan isyarat bahwa Adam melakukannya bukan karena lupa yang biasa dipahami oleh manusia dengan makna hilangnya kesadaran. Sebab Allah -Azza wajalla- menyebutkan pada ayat tersebut kalimat: “Dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat” yaitu tidak ada kemauan yang kuat untuk menjaga perintah Allah –Azza wajalla-.

Olehnya, perbuatannya dianggap sebagai dosa dan kezaliman. Hal itu diakui sendiri oleh Adam ‘alaihissalaam- ketika ia mengakui dosanya kepada Allah –Azza wajalla- bahwa apa yang ia lakukan merupakan satu perbuatan zhalim. Allah –Azza wajalla- menjelaskan perkataannya dalam al-Qur’an:

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ 

“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 23)

Hanya saja, ini merupakan bagian dari sunnatullah yang sempurna. Sebab, setelah peristiwa pengakuan dosa dan taubatnya, Adam dingkat menjadi Nabi, yaitu derajat yang lebih baik dari derajat sebelumnya. Allah -Azza wajalla- berfirman:

ثُمَّ ٱجۡتَبَٰهُ رَبُّهُۥ فَتَابَ عَلَيۡهِ وَهَدَىٰ 

“Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (QS. Thaha: 122)

Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dir -rahimahullah- berkata:

{وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى} فبادرا إلى التوبة والإنابة، وقالا {رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ} فاجتباه ربه، واختاره، ويسر له التوبة {فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى} فكان بعد التوبة أحسن منه قبلها، ورجع كيد العدو عليه، وبطل مكره، فتمت النعمة عليه وعلى ذريته

“Firman Allah, “Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia,” setelah itu ia bergegas melakukan taubat dan kembali kepada Allah. Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”, lalu Allah –Azza wajalla- memilihnya dan memudahkan taubatnya. Keadaannya setelah taubat lebih baik dari keadaan sebelumya, makar musuh justru kembali pada dirinya, dan nikmat Allah semakin sempurna padanya dan keturunannya”. (Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Taisir al-Karim al-Mannan Fi Tafsir Kalam al-Mannan, Tahqiq Abdurrahman bin Mu’alla al-Luwaihaq, hal. 600, Daar Ashdaaa al-Mujtama’-Qasim, t.cet. t.th)

Ringkasnya, Adam dan Hawwa memang dihukum karena maksiat yang mereka lakukan, namun mereka bertaubat sehingga keadaan mereka lebih baik dari sebelumnya.  Tidak ada kontradiksi antara ayat-ayat yang menjelaskan kisah ini walhamdulillah.

Wallahu A’lam.

Tinggalkan Komentar

By admin