Apakah Dibolehkan Meminta Pertolongan (Beristighatsah) kepada Nabi Muhammad saw Setelah Beliau Wafat?
Bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahi Rabbi al-‘alamin washsholatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Wa Ba’du:
Kesyirikan pertama kali terjadi di dunia ini melalui pengagungan terhadap kuburan orang-orang saleh terdahulu. Beberapa nama dalam al-Qur’an yang Allah –Ta’ala- sebutkan sebagai sembahan orang-orang musyrik dahulu merupakan nama orang-orang saleh yang kemudian dipertuhankan.
Setiap muslim hendaknya mengambil ibrah dan pelajaran pada kasus-kasus terdahulu yang menyebabkan umat manusia terjatuh dalam dosa kesyirikan, agar tidak terjatuh dan binasa karena dosa yang sama, sebagaimana binasanya umat-umat terdahulu. Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam-
لاَ يُلْدَغُ المُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ
“Seorang mukmin tidak boleh jatuh dalam lubang yang sama dua kali.” [Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, tahqiq Muhammad Zahir bin Nashir an-Nashir, Jilid 8, hal. 117, Daar Thuuq an-Najah, cet. 1, 1422 H. Maktabah Syamilah.]
Salah satu perbuatan yang berkaitan dengan kuburan dan orang yang telah meninggal dunia adalah melakukan istighatsah pada orang yang telah meninggal dunia. Makalah ini akan berupaya menjelaskan hukum terkaiat melakukan istighatsah pada orang yang telah meninggal dunia, boleh atau tidak?
Dengan memohon pertolongan pada Allah –Ta’ala- materi ini akan disajikan pada beberapa sub judul.
- Defenisi Istighatsah
Istighatsah berasal dari bahasa Arab. Asal katanya adalah “Ghaatsa-Yaghustusu” ((غاث-يغوث yang bermakna menolong. Disebut dalam wazan istif’aal (استفعال) yang bermakna tholab yaitu permintaan atau permohonan, sehingga dibaca istaghaatsa-yastaghiitsu (استغاث- يستغيث) yang bermakna meminta pertolongan. Istigatsah merupakan mashdar dari kata istaghaatsa-yastaghitsu itu.
Secara istilah, istighatsah adalah suatu perbuatan meminta pertolongan guna menghilangkan kesulitan. Dalam Kitab Fathu al-Majid disebutkan:
اَلْاِسْتِغَاثَةُ هِيَ طَلَبُ الْغَوْثِ، وَهُوَ إِزَالَةُ الشِّدَّةِ كَالِاسْتِنْصَارِ طَلَبُ النَّصْرِ، وَالِاسْتِعَانَةُ طَلَبُ الْعَوْنِ
“Istighatsah adalah meminta pertolongan yaitu untuk menghilangkan kesulitan. Seperti kata istinshaar yang makna meminta pertolongan atau isti’aanah yang juga bermkna meminta pertoloongan.” [Abdurrahman bin Hasan Alu Syekh, Fath al-Majid, hal. 142, Daar as-Salam-Riyadh, T. cet..cet., t.th.]
- Perbedaan Antara Istighatsah dan Doa
Istighatsah merupakan satu jenis ibadah yang kadang dilakukan dalam bentuk doa dan kadang dalam bentuk permintaan biasa tanpa unsur ibadah doa kepada manusia, yang memang mampu memberikan pertolongan. Istighatsah tidaklah ia dilakukan kecuali terjadi sesuatu yang sulit guna meminta dihilangkannya sesuatu yang sulit itu. Berbeda dengan doa, ia bersifat umum, dilakukan pada saat sulit atau tidak.
Syekh Abdurrahman bin Hasan Alu Syekh[ Ia adalah Syekh Abdurrahman bin Hassan bin Muhammad bin Abd al-Wahhab, cucu dari Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. “Abdurrahman bin Hassan Aalu asy-Syekh”, Wikipedia al-Mausuu’ah al-Hurrah. ar.wikipedia.org/wiki/عبد_الرحمن_بن_حسن_آل_الشيخ (2 September 2024).] –rahimahullah- berkata:
اَلْفَرْقُ بَيْنَ الِاسْتِغَاثَةِ وَالدُّعَاءِ أَنَّ الِاسْتِغَاثَةَ لَا تَكُونُ إِلَّا مِنَ الْمَكْرُوبِ، وَالدُّعَاءُ أَعَمُّ مِنَ الِاسْتِغَاثَةِ؛ لِأَنَّهُ يَكُونُ مِنَ الْمَكْرُوبِ وَغَيْرِهِ
“Perbedaan antara istighatsah dan doa yaitu istighatsah tidaklah dipanjatkan kecuali terjadi sesuatu yang sulit, adapun doa ia lebih umum dari istighatsah,bisa untuk sesuatu yang sulit atau selainnya.”[ Ibid.]
Istighatsah yang dilakukan pada seorang yang masih hidup yang memang mampu memberikan pertolongan, maka dilakukan dalam bentuk permintaan biasa, tanpa unsur ibadah dan keyakinan bahwa orang tersebut secara dzat memiliki kemampuan menghilangkan kesulitan tanpa bantuan siapapun. Sehingga, seorang yang memberikan pertolongan itu tetap harus berkeyakinan bahwa ia hanya merupakan “sebab” terjadinya pertolongan. Adapun yang memberi pertolongan tetaplah Allah –Azza wajalla-.
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin[ Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin adalah seorang ulama bermadzhab Hanbali Salafi yang mulia. Sangat luar biasa keahliannya dalam menjelaskan matan-matan juga dalam mengambil istinbat (kesimpulan) faedah dan hukum. Berasal dari kota Unaizah Provinsi Qasim. Dia pernah menjadi murid dari Syekh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah-. (Muhammad Khair Ramadhan Yusuf, Detik-Detik Terakhir Kehidupan 20 Tokoh Populer Islam (Muhammad Faqih FR Lc dan Nunung Nuraeni Lc, Terjemahan), hal. 279, Istanbul-Cipayung, t.cet., t.th.)] –rahimahullah- berkata:
وَإِذَا طَلَبْتَ مِنْ أَحَدٍ الْغَوْثَ وَهُوَ قَادِرٌ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْكَ تَصْحِيحًا لِتَوْحِيدِكَ أَنْ تَعْتَقِدَ أَنَّهُ مُجَرَّدُ سَبَبٍ، وَأَنَّهُ لَا تَأْثِيرَ لَهُ بِذَاتِهِ فِي إِزَالَةِ الشِّدَّةِ، لِأَنَّكَ رُبَّمَا تَعْتَمِدُ عَلَيْهِ وَتَنْسَى خَالِقَ السَّبَبِ، وَهَذَا قَادِحٌ فِي كَمَالِ التَّوْحِيدِ
“Jika engkau meminta pertolongan pada seseorang dan ia mampu melakukannya, maka wajib atasmu untuk memperbaiki pemahaman tauhidmu. Yaitu, hendaknya engkau meyakini bahwa ia hanya sekedar menjadi ‘sebab’(terjadinya pertolongan). Ia tidak memiliki kemampuan secara dzat menghilangkan kesulitan itu. Karena mungkin engkau berharap pada dirinya lalu lupa yang menciptakan ‘sebab’ itu. Ini merupakan sesutau yang buruk yang menghilangkan kesempurnaan tauhidmu.”[ Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, hal. 168, Daar Ibni al-Jauzi-Damam, cet. 8, 1438 H.)]
- Hukum Beristighatsah kepada Allah
Beristighatsah kepada Allah –Azza wajalla- hukumnya wajib. Sebab ia adalah doa dan merupakan satu ibadah yang agung.
Allah –Azza wajalla- berfirman:
إِذۡ تَسۡتَغِيثُونَ رَبَّكُمۡ فَٱسۡتَجَابَ لَكُمۡ أَنِّي مُمِدُّكُم بِأَلۡفٖ مِّنَ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ مُرۡدِفِينَ
“(Ingatlah), ketika kamu beritighatsah (memohon pertolongan) kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut”.[QS. Al-Anfal: 9]
Menjelaskan ayat ini, Imam Ibnu Katsir[ Ia adalah Imad ad-Din Ismail bin Umar bin Katsir al-Bashrawi ad-Dimasyqi –rahimahullah-, wafat tahun 774 H., penulis kitab-kitab klasik yang sangat banyak, salah satu yang paling agung dari karya-karyanya adalah kitab tafsirnya yang sudah diketahui oleh banyak orang.” Lihat: Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, tahqiq MuhammadAiman asy-Syabrawi, Jilid 1, hal 29, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1427 H. ] –rahimahullah- dalam tafsirnya menukil satu hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad[ Ia adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal –rahimahullah-, salah satu imam madzhab dan darinya lahir madzhab Hanbali. Lihat: Qadhi Abu al-Husain Muhammad bin Abi Ya’la, Thobaqaat al-Hanabilah, Jilid 1, hal. 4, Daar al-Ma’rifah-Beirut, t.cet., t.tth. ] –rahimahullah- bahwa ayat ini berkenaan dengan istihgatsah yang dilakukan oleh Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- pada saat perang badar. Nabi Muhammad –Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihat pasukannya yang hanya berjumlah 300 orang lebih sementara dipihak musuh berjumlah 1000 orang lebih. Maka Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- menghadap kiblat seraya berdoa “Yaa Allah tunaikanlah untukku apa yang Engkau telah janjikan untukku. Yaa Allah, jika sekelompok orang ini dari kalangan kaum muslimin binasa, niscaya tidak akan lagi manusia yang menyembahmu di muka bumi ini selama-lamanya”. Beliau terus beristighatsah dengan doa tersebut hingga jatuhlah selendangnya. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq –radhiyallahu ‘anhu- datang dan berkata, “Wahai Nabi Allah, cukuplah doamu itu. Sesungguhnya Allah –Azza wajalla- akan menunaikan apa yang telah Dia janjikan kepadamu”. Maka Allah –Azza wajalla- menurunkan ayat ini.[ Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid 2, hal. 264, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet. 3, 1433 H.]
- Hukum Istightsah Pada Orang Saleh yang Telah Wafat
Apa yang terjadi pada sebagian masyarakat dalam berdoa yang memiliki kaitan dengan orang saleh yang telah meninggal dunia ada tiga bentuk, yaitu:
a. Berdoa dengan meminta hajat pada yang telah meninggal dunia
b. Berdoa dengan meminta pada Nabi yang telah meninggal dunia agar Nabi berdoa kepada Allah
c. Berdoa kepada Allah dengan bertawassul menggunakan jah atau dzat Nabi
Menjelaskan tiga bentuk perbuatan ini, Syekh al-Islam Ibnu Taimiyyah[ Ia adalah Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd as-Salam bin Taimiyah, seorang imam ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, ahli ushul dan seorang yang zuhud. Gelarnya Taqiyyuddin, nama kuniahnya Abu al-Abbas. Ia digelari pula sebagai Syekh al-Islam dan gurunya pada ulama.” Lihat: Ibnu Rajab al-Hanbali, Adz-Dzail ‘Ala Thobaqaat al-Hanabilah, Jilid 4, hal.387, Daar al-Ma’rifah-Beirut, t.cet., t.tth.] –rahimahullah- berkata:
وَقَدْ ذَكَرَ عُلَمَاءُ الْإِسْلَامِ وَأَئِمَّةُ الدِّينِ الْأَدْعِيَةَ الشَّرْعِيَّةَ، وَأَعْرَضُوا عَنِ الْأَدْعِيَةِ الْبِدْعِيَّةِ، فَيَنْبَغِي اتِّبَاعُ ذَلِكَ. وَالْمَرَاتِبُ فِي هَذَا الْبَابِ ثَلَاثٌ: (إِحْدَاهَا): أَنْ يَدْعُوَ غَيْرَ اللَّهِ وَهُوَ مَيِّتٌ أَوْ غَائِبٌ، سَوَاءٌ كَانَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ أَوْ غَيْرِهِمْ فَيَقُولَ: يَا سَيِّدِي فُلَانٌ أَغِثْنِي أَوْ أَنَا أَسْتَجِيرُ بِكَ أَوْ أَسْتَغِيثُ بِكَ أَوِ انْصُرْنِي عَلَى عَدُوِّي وَنَحْوَ ذَلِكَ فَهَذَا هُوَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ…. (الثَّانِيَةُ): أَنْ يُقَالَ لِلْمَيِّتِ أَوِ الْغَائِبِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ: ادْعُ اللَّهَ لِي، أَوِ ادْعُ لَنَا رَبَّكَ، أَوِ اسْأَلِ اللَّهَ لَنَا، كَمَا تَقُولُ النَّصَارَى لِمَرْيَمَ وَغَيْرِهَا فَهَذَا أَيْضًا لَا يَسْتَرِيبُ عَالِمٌ أَنَّهُ غَيْرُ جَائِزٍ، وَأَنَّهُ مِنَ الْبِدَعِ الَّتِي لَمْ يَفْعَلْهَا أَحَدٌ مِنْ سَلَفِ الْأُمَّةِ، وَإِنْ كَانَ السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الْقُبُورِ جَائِزًا، وَمُخَاطَبَتُهُمْ جَائِزَةً كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ إِذَا زَارُوا الْقُبُورَ… (الثَّالِثَةُ): أَنْ يُقَالَ: أَسْأَلُكَ بِفُلَانٍ أَوْ بِجَاهِ فُلَانٍ عِنْدَكَ وَنَحْوَ ذَلِكَ الَّذِي تَقَدَّمَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَبِي يُوسُفَ وَغَيْرِهِمَا أَنَّهُ مَنْهِيٌّ عَنْهُ. وَتَقَدَّمَ أَيْضًا أَنَّ هَذَا لَيْسَ بِمَشْهُورٍ عَنِ الصَّحَابَةِ، بَلْ عَدَلُوا عَنْهُ إِلَى التَّوَسُّلِ بِدُعَاءِ الْعَبَّاسِ وَغَيْرِهِ
“Pada bab ini para ulama dan imam-imam kaum muslimin telah menyebutkan doa-doa yang syar’i dan menolak doa-doa yang bid’ah. Oleh karenanya, sepantasnya mengikuti apa yang telah mereka sebutkan ini. Adapun urutanya ada tiga, yaitu: (yang pertama) berdoa pada selian Allah –Azza wajalla- baik itu mayyit atau pada makhluk yang ghaib, entah itu para Nabi dan orang-orang saleh atau selain mereka. Misalnya ia berkata: “Wahai Tuanku, tolonglah aku”, atau ia berkata “Aku berlindung padamu” atau ia berkata “Aku meminta tolong padamu” atau ia berkata, “Tolonglah aku menghadapi musuhku.” Atau kalimat-kalimat selainnya. Ini merupakan bentuk kesyirikan kepada Allah… (Kedua) seseorang berkata keapda mayyit atau makhluk yang tidak berada bersamanya (ghaib) dari kalangan Nabi dan orang-orang saleh “Berdoalah kepada Allah untukku” atau dengan doa, “Berdoalah keapda Allah untuk kami”, atau dengan perkataan, “Mintalah kepada Allah untuk kami”, sebagaimana oarang-orang nashrani berkata pada Maryam dan pada selainnya. Hal ini juga tidak diragukan oleh seorang alim bahwa hukumnya tidak boleh dan merupakan perbuatan bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh salah seorang pun dari salaf umat ini, walaupun memberi salam pada penghuni kubur hukumnya boleh dan menyapa mereka juga boleh sebagaimana Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya jika menziarahi kuburan… (ketiga) seseorang berkata, “Aku memohon kepadaMu dengan kedudukan fulan di sisiMu” dan doa-doa seperti itu yang sebelumnya telah dijelaskan ketidakbolehannya dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf serta selain mereka berdua. Telah dijelaskan pula bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang masyhur dikalangan sahabat, bahkan mereka saat itu justru bertawassul dengan doa al-Abbas dan selainnya.”[ Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abd al-Aziz al-Jundi danAsyraf Jalal asy-Syarqawi, jilid 1, hal. 410-414, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1435 H.]
Ketiga urutan doa yang disebutkan oleh Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- memiliki hukum yang berbeda-beda. Adapun yang pertama, yaitu berdoa dengan meminta hajat pada mayat, Nabi atau orang-orang saleh lainnya, maka hal ini merupakan kesyirikan yang disepakati oleh seluruh ulama.
Allah –Azza wajalla- berfirman:
وَلَا تَدۡعُ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَۖ فَإِن فَعَلۡتَ فَإِنَّكَ إِذٗا مِّنَ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.”[ QS. Yunus: 106]
Al-Imam Muhammad bin Jarir ath-Thobari[ Ia adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Abu Ja’far. Ia adalah imamnya para alim ulama. penlis kitab-kitab besar dan tafsir yang terkenal. Lihat: Ibnu Katsir, Thobaqaat Fuqahaa asy-Syafi’iyyin, tahqiq Muhammad Ahmad Abdul Halim, Jilid 1, hal. 274, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet. 1. 1439 H.] –rahimahullah- berkata:
يَقُولُ تَعَالَى ذِكْرُهُ: وَلَا تَدْعُ يَا مُحَمَّدُ مِنْ دُونِ مَعْبُودِكَ، وَخَالِقِكَ شَيْئًا لَا يَنْفَعُكَ فِي الدُّنْيَا، وَلَا فِي الْآخِرَةِ، وَلَا يَضُرُّكَ فِي دِينٍ وَلَا دُنْيَا، يَعْنِي بِذَلِكَ الْآلِهَةَ وَالْأَصْنَامَ، يَقُولُ: لَا تَعْبُدْهَا رَاجِيًا نَفْعَهَا أَوْ خَائِفًا ضُرَّهَا، فَإِنَّهَا لَا تَنْفَعُ وَلَا تَضُرُّ، فَإِنْ فَعَلْتَ ذَلِكَ فَدَعَوْتَهَا مِنْ دُونِ اللَّهِ {فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ} [يونس: 106] يَقُولُ: مِنَ الْمُشْرِكِينَ بِاللَّهِ، الظَّالِمِي أَنْفُسِهِمْ.
“Allah –Ta’ala Dzikruhu- berfirman, “Wahai Muhammad janganlah engkau berdoa sesuatu apapun pada selain yang engkau sembah dan yang telah menciptakanmu. Hal itu tidak akan memberikan manfaat di dunia dan di akhirat. Ia juga tidak akan memberikan mudharat kepadamu pada agamamu dan duniamu. Maksudnya adalah tuhan-tuhan (palsu) dan berhala-berhala itu”. Allah berfirman, “Janganlah engkau menyembehnya mengharapkan manfaat padanya atau takut dapat memberikan mudharat, karena sesungguhnya hal itu tidak akan memberikan manfaat dan tidak akan memberikan mudharat. Jika engkau melakukan itu, yaitu engkau berdoa pada selain Allah, maka engkau termasuk orang yang zalim”. Allah berfirman, “Engkau akan termasuk menjadi orang-orang yang menyekutukan Allah yang zalim terhadap dirinya sendiri.”[ Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wiil Aay al-Qur’an, tahqiq Islam Manshur Abd al-Hamid dkk, jilid 6, hal. 309, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.]
Allah –Azza Wajalla- menjelaskan bahwa Nabi Muhammad –Shallallahu ‘alaihi wasallam- termasuk diantara makhluk yang tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat. Allah –Azza wajalla- berfirman:
قُل لَّآ أَمۡلِكُ لِنَفۡسِي ضَرّٗا وَلَا نَفۡعًا إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُۗ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah.”[ QS. Yunus 49]
Imam Asy-Syaukani[ Ia adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdillah asy-Syaukani, penulis kitab tafsir Fath al-Qadir al-Jami’ Baina Fanni ar-Riwayah Wa ad-Dirayah Min ‘Ilm at-Tafsir . ] –rahimahullah-. dalam tafsirnya ia berkata:
“Maksudnya, sesuatu terjadi karena kehendak Allah, bagaimana aku mampu sementara aku tidak mampu mendatangkan manfaat ataupun mudharat pada diriku. Pada ayat ini terdapat nasehat yang teramat agung dan larangan yang kuat terhadap orang-orang yang dalam beragama memanggil Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan beristighatsah padanya ketika terjadi musibah, yang mana musibah itu hanya mampu dihilangkan oleh Allah –Azza wajalla-. Demikian pula orang yang minta pada Rasul apa yang rasul tidak mampu lakukan kecuali Allah. Karena ini adalah kedudukan bagi Allah Penguiasa alam yang telah menciptakan para nabi dan orang-orang saleh serta seluruh makhluk, memberikan rezki, menghidupkan dan mematikan mereka. Bagaimana ia meminta pada nabi dari nabi-nabi Allah atau malaikat dari malaikat-malaikat Allah atau salah seorang dari orang-orang saleh, apa yang ia tidak mampu lakukan lalu meninggalkan meminta pada Allah yang mampu melakukan segala sesuatu, yang memberi dan menahan? Cukuplah bagimu ayat ini sebagai nasehat, karena penghulu anak cucu Adam dan penutup para Rasul telah diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan pada hambaNya, “Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku” bagaimana mungkin hal itu dimilliki oleh selainNya, bagaimana hal itu dimiliki oleh seorang yang kedudukannya tidak sesuai dengan kedudukan Allah. Duhai, betapa mengherankan orang-orang yang i’tikaf di kuburan orang-orang yang telah mati yang telah tertimbun di dalam tanah, lalu meminta hajat-hajat mereka pada penghuni kubur itu sesuatu yang hanya mampu dilakukan oleh Allah. Bagaimana mereka tidak sadar kalau mereka telah terjatuh pada perbuatan syirik dan tidak memperhatikan kalau mereka sudah menyelishi makna Laa Ilaah Illallah?!![ Asy-Syaukani, Fath al-Qadiral-Jami’ Baina Faani ar-Riwayah Wa Ad-Dirayah Fii Ilm Tafsiir, tahqiq Yusuf al-Ghawusy, hal. 627, Daar al-Ma’rifah-Beirut, cet. 5, 1429 H.]
Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di[ Ia adalah Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah bin Nashir as-Sa’di an-Nashiri at-Tamimi. Salah seorang ulama Arab Saudi yang lahir di kota Unaizah Lahir tahun 1307 H. dan wafat pada tahun 1376 H. Diantara ulama besar Arab Saudi yang merupakan muridnya adalah Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –rahimahullah-. Lihat: “Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di”, Wikipedia al-Mausuu’ah al-Hurrah. ar.wikipedia.org/wiki/عبد-الرحمن-بن-ناصر-السعدي#أعماله-التي-قام-بها (28 Juli 2024).] -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan ayat tersebut:
وَهَذَا وَصْفٌ لِكُلِّ مَخْلُوقٍ، أَنَّهُ لَا يَنْفَعُ وَلَا يَضُرُّ، وَإِنَّمَا النَّافِعُ الضَّارُّ، هُوَ اللَّهُ تَعَالَى. {فَإِنْ فَعَلْتَ} بِأَنْ دَعَوْتَ مِنْ دُونِ اللَّهِ، مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ {فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ} أَيِ: الضَّارِّينَ أَنْفُسَهُمْ بِإِهْلَاكِهَا، وَهَذَا الظُّلْمُ هُوَ الشِّرْكُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: {إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ} فَإِذَا كَانَ خَيْرُ الْخَلْقِ، لَوْ دَعَا مَعَ اللَّهِ غَيْرَهُ، لَكَانَ مِنَ الظَّالِمِينَ الْمُشْرِكِينَ فَكَيْفَ بِغَيْرِهِ؟!
“Ini merupakan sifat semua makhluk, bahwasanya ia tidak dapat memberi manfaat ataupun mudharat. Yang dapat mendatangkan manfaat ataupun mudharat hanyalah Allah –Azza wajalla-. “Jika engkau melakukannya” maksudnya jika engkau berdoa pada selain Allah yang tidak mampu memberikan manfaat kepadamu ataupun mudharat “Maka engkau termasuk orang-orang yang zalim”, maskudnya, orang-orang yang rugi jiwanya dengan membinasakannya. Kata ‘zalim’ yang disebutkan dalam ayat ini maksudnya adalah kesyirikan sebagaimana firman Allah (yang artinya): “Sesungguhnya kesyirikan merupakan kezaliman yang paling besar”. Olehnya, seorang makhluk terbaik (Rasulullah), jika ia berdoa kepada Allah dan pada selainNya bisa dimasukkan dalam kategori orang-orang zalim yang telah menyekutukan Allah –Azza wajalla-, maka bagaimana dengan selain dirinya?[ Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Taisir al-Karim al-Mannan Fi Tafsir al-Kalam al-Mannan, Tahqiq Abdurrahman bin Mu’alla al-Luwaihaq, hal. 431, Daar Ashdaa Li al-Mujtama’-Qasim, t.cet., t.th.]
Satu dalil yang menjelaskan kekafran orang-orang yang berdoa meminta hajat pada orang yang telah meninggal dunia adalah firman Allah –Azza wajalla-:
أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلۡخَالِصُۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحۡكُمُ بَيۡنَهُمۡ فِي مَا هُمۡ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي مَنۡ هُوَ كَٰذِبٞ كَفَّارٞ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”[ QS. Az-Zumar: 3]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
فَبَيَّنَ سُبْحَانَهُ أَنَّ مَنِ اتَّخَذَ الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا فَهُوَ كَافِرٌ مَعَ أَنَّ الْمُشْرِكِينَ إِنَّمَا كَانُوا يَتَّخِذُونَهُمْ شُفَعَاءَ وَيَتَقَرَّبُونَ بِهِمْ إِلَى اللَّهِ زُلْفَى، فَإِذَا كَانَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ دَعَوْا مَخْلُوقًا لِيَشْفَعَ لَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ كَمَا يَشْفَعُ الْمَخْلُوقُ عِنْدَ الْمَخْلُوقِ فَيَسْأَلُهُ وَيَرْغَبُ إِلَيْهِ بِلَا إِذْنِهِ وَقَدْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ مُشْرِكِينَ كُفَّارًا مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ، فَكَيْفَ بِشِرْكِ هَؤُلَاءِ الْفَلَاسِفَةِ
“Allah –Azza wajalla- menjelaskan bahwa siapa yang menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai tuhan maka dia kafir. Padahal, kaum musyrikin saat itu hanya menjadikan mereka sebagai pemberi syafa’at dan mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan berdoa pada mereka. Jika mereka yang berdoa pada makhluk untuk memberi syafa’at kepada mereka suatu saat nanti di sisi Allah, sebagaimana makhluk memberi syafa’at di sisi makhluk lalu ia meminta padanya dan sangat berharap padanya tanpa izin Allah dikategorikan sebagai musyrik yang kafir, maka bagaimana dengan kesyirikan orang-orang filsafat?”[ Ibnu Taimiyah, Ar-Rad ‘Ala al-Manthiqiyyin, tahqiq Muhammad bin Abdurrahman al-Khamis, hal. 578, Muassasah ar-Rayyan-Libanon, cet. 3, 2017. ]
Para ulama mazhab hanbali menukil perkataan Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- bahwa perbuatan berdoa pada orang yang telah meninggal dunia termasuk Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebagai perbuatan syirik. Misalnya, Imam Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhouyan[ Ia adalah Ibrahim bin Muhammad bin Salim Bin Dhouyan. Salah seorang ulama Madzhab Hambali yang hidup tahun 1275-1353 H. Lihat: “Ibnu Dhouyan”, al-Maktabah asy-Syamilah. https://shamela.ws/author/583 (22 juli 2024) ] –rahimahullah-, ia berkata:
وَقَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: أَوْ كَانَ مُبْغِضًا لِرَسُولِهِ، أَوْ مَا جَاءَ بِهِ اتِّفَاقًا، أَوْ جَعَلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ وَسَائِطَ يَتَوَكَّلُ عَلَيْهِمْ، وَيَدْعُوهُمْ وَيَسْأَلُهُمْ: كَفَرَ إِجْمَاعًا
“(Diantara perkara yang dapat menyebabkan murtadnya seseorang yaitu) membenci RasulNya, atau membenci apa yang datang dengannya (sunnah-sunnahmya) yang hal itu telah disepakati. Atau, ia menjadikan adanya perantara (wasilah) antara Allah dengan dirinya, ia bertawakkal padanya serta berdoa dan meminta kepadanya. Hal ini merupakan perbuatan kufur berdasarkan ijma’ ulama.”[ Ibnu Dhouyan, Manaar as-Sabil Fii Syarhi ad-Dalil, Jilid 2, hal. 299, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)]
Sebelum Imam Ibnu Dhouyan –rahimahullah-, kalam Imam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- juga dinukil oleh imam al-Bahuti[ Ia adalah Manshur bin Yunus bin Sholah ad-Din bin Hasan bin Ahmad bin Ali bin Idris al-Bahuti. Ia merupakan seorang ulama mazhab Hanbali terkemuka di Mesir pada pada zamannya. Lahir pada tahun 1000 H. dan wafat pada Tahun 1051 H. Lihat: “Al-Bahuti”, Wikipedia al-Mausu’ah al-Hurrah.”ar.wikipedia.org/wiki/البهوتي. (24. Juli 2024)] –rahimahullah- dalam Kasysyaf al-Qina[ Manshur bin Yunus Al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina, , juz 6, hal. 168, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, Maktabah Syamilah. ]’dan ulama hanabilah lainnya. Tidak hanya ulama mazhab Hambali yang semazhab dengan Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-, Sebagian ulama madzhab Syafi’iyyah juga menyepakati perkataan Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- tersebut.
Sebagian ulama tidak menganggap istighatsah kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang telah wafat dengan berdoa langsung kepadanya sebagai bentuk perbuatan syirik, selama tidak meyakini adanya kekhususan Tuhan juga ada padanya- atau meminta perkara yang mana hal itu hanya Allah –Azza wajalla- yang dapat memberikannya, seperti rezki, kehidupan, kematian rahmat dan ampunan. Misalnya, Imam ath-Thufi al-Hanbali –rahimahullah-[ Ia adalah Sulaiman bin Abd al-Qawibin abd al-Karim bin Sa’id ath-Thufi ash-sharshari al-Baghdadi. Seorang ulama ahli fikh dan ushul yang cerdas. Gelarnya adalah Najm ad-Din, nama kuniahnya Abu ar-Rabi’. Lihat: Ibnu Rajab al-Hanbali, adz-Dzail ‘Ala Thabaqaat al-Hanabilah, jilid 4, hal. 366, Daar al-Ma’rifah-Beirut, t.cet., t.th.]. Ketika ia menjawab ulama-ulama yang tidak membolehkan istighatsah keapda orang yang telah meninggal dunia termasuk pada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan alasan bahwa tidak boleh beristighatsah pada makhluk tentang perkara yang menjadi kekhususan bagi Allah –Azza wajalla-, seperti meminta rahmat, ampunan, rezki, kehidupan, meminta anak dan hal-hal lainnya, ia berkata:
أَنَّ مَا ذَكَرْتُمُوهُ أَمْرٌ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ مَعْلُومٌ عِنْدَ صِغَارِ الْمُسْلِمِينَ فَضْلًا عَنْ كَبِيرِهِمْ أَنَّ الْمَخْلُوقَ عَلَى الْإِطْلَاقِ لَا يُطْلَبُ مِنْهُ وَلَا يُنْسَبُ إِلَيْهِ فِعْلُ مَا اخْتَصَّتِ الْقُدْرَةُ الْإِلَهِيَّةُ بِهِ
“Adapun yang kalian sebutkan itu merupakan sesuatu yang disepakati (ijma’) dan telah maklim pada anak-anak kaum muslimin apalagi mereka yang telah dewasa, bahwa makhluk secara mutlak tidak dimintai dan tidak dinisbatkan padanya perbuatan yang merupakan kekhsusan tuhan.”[ Ath-Thufi, al-Isyaaraat al-Ilahiyah Ila al-Mabahits al-Ushuliyah, tahqiq Muhammad Hasan Muhammad Hasan Isma’il Asy-Syafi’I, hal. 480, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet.1, 1426 H.]
Imam ath-Thufi –rahimahullah- sepakat bahwa seluruh makhluk tidak dimintai padanya perkara-perkara yang mana hal itu menjadi kekhsusan bagi Allah. Misalnya, meminta rahmat, ampunan, rezki, kesehatan dan hal-hal lainnya, bahkan beeliau mengakui hal itu sebagai perkara yang disepakati seluruh ulama.
Pendapat imam ath-Thufi –rahimahullah- bahwa seorang muslim boleh beristighatsah pada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- sekalipun telah wafat tanpa permintaan yang menjadi kekhususan tuhan, seperti syafa’at, sebenarnya melanggar ijma’ yang ia sendiri yakini. Dalih yang ia sampaikan bahwa pada hari kiamat nanti Rasulullah –Shalallahu ‘alaihi wasallam- akan diberikan kesempatan untuk memberikan syafa’at, tidak menjadi dalil yang benar untuk meminta langsung pada Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang telah wafat, karena beberapa hal:
Yang pertama: Memberi syafa’at merupakan kekuhususan bagi Allah –Azza wajalla- dan tidak seorang pun yang dapat memberi syafa’at termasuk Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan orang-orang saleh selainnya, kecuali telah mendapat izin dari Allah –Ta’ala-. Hal itu Allah –Ta’ala- tegaskan dalam firmanNya:
مَن ذَا ٱلَّذِي يَشۡفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذۡنِهِۦۚ
“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya.”[ QS. Al-Baqarah: 255]
Imam ath-Thobari –rahimahullah- berkata:
وَإِنَّمَا قَالَ ذَٰلِكَ تَعَالَىٰ ذِكْرُهُ لِأَنَّ ٱلْمُشْرِكِينَ قَالُوا۟: مَا نَعْبُدُ أَوْثَانَنَا هَٰذِهِۦٓ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓ! فَقَالَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ ذِكْرُهُ لَهُمْ: لِى مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ مَعَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ مَلْكًاۖ فَلَا يَنْبَغِىٓ ٱلْعِبَادَةُ لِغَيْرِىۖ فَلَا تَعْبُدُوا۟ ٱلْأَوْثَٰنَ ٱلَّتِى تَزْعُمُونَ أَنَّهَا تُقَرِّبُكُمْ مِنِّى زُلْفَىٰٓ إِنَّهَا لَا تَنفَعُكُمْ عِندِى وَلَا تُغْنِى عَنكُمْ شَيْـًۭٔا وَلَا يُشَفِّعُ عِندِىٓ أَحَدٌۭ لِأَحَدٍۢ إِلَّا بِتَخْلِيَتِىٓ إِيَّاهُ وَٱلشَّفَٰعَةُ لِمَن يَشْفَعُ لَهُۥ مِنْ رُسُلِى وَٰوَلِيَّائِى وَأَهْلِ طَاعَتِى.
“Allah –Ta’ala- berkata seperti itu karena kaum musyrikin berkata, “Tidaklah kami beribadah (berdoa) pada berhala kami, melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Oleh karena itu, Allah befirman pada mereka, “Milikkulah semua apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, begitu pula dengan langit dan bumi itu. Oleh karenanya, tidak pantas bagi kalian beribadah pada selainKu, janganlah kalian menyembah berhala yang kalian klaim bisa mendekatkan diri kalian kepadaKu dengan sedekat-dekatnya. Karena hal itu tidak akan bermanfaat pada kalian di sisiKu dan tidak akan menyelamatkan kalian sedikitpun”. Dan syafa’at itu diberikan pada orang-orang yang dapat memberikan syafa’at mulai dari kalangan Rasul, wali-wali Allah dan orang-orang yang taat.”[ Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wiil Aay al-Qur’an, tahqiq Islam Manshur Abd al-Hamid dkk, jilid 2, hal. 773, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.]
Imam Ibnu al-Jauzi[ Ia adalah Abu al-Faraj Abdurrahman bin al-Jauzi, seorang ahli tafsir dan bergelar al-Hafizh Jamaluddin. Seorang ulama besar mazhab Hambali yang pakar dalam fiqh, tafsir dan lainnya. Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, tahqiq Muhammad Aiman asy-Syabrawi, jilid 15, hal. 455,Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1427 H. ] –rahimahullah- berkata:
قَوْلُهُ تَعَالَىٰ: مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ، فِيهِ رَدٌّ عَلَىٰ مَن قَالَ: مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَىٰ ٱللَّهِ زُلْفَٰى.
“Firman Allah –Ta’ala- (yang artinya): “Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya,” merupakan bantahan kepada orang-orang yang berkata,”Tidaklah kami beribadah kepada mereka melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatNya.”[ Abdurrahman bin al-Jauzi, Zaad al-Maisir Fi Ilmi at-Tafsir, tahqiq Dr. Anas Asy-Syami, Jilid 1, hal. 162, Dar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1445 H. ]
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah[ Ia adalah Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’ad bin Jariz az-Zar’I ad-Dimasyqy. Seorang ahli fiqh dan ushul, ahli tafsir dan seorang ahli nahwu. Ia lebih dikenal dengan nama dan gelarnya Syamsuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, guru dari Imam Ibnu Rajab al-Hanbali. Lihat: Lihat: Ibnu Rajab al-Hanbali, Adz-Dzail ‘Ala Thobaqaat al-Hanabilah, Jilid 4, hal.447, Daar al-Ma’rifah-Beirut, t.cet., t.tth.] –rahimahullah- berkata:
وَالَّذِي فِي قُلُوبِ هَؤُلَاءِ الْمُشْرِكِينَ وَسَلَفِهِمْ أَنَّ آلِهَتَهُمْ تَشْفَعُ لَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ، وَهَذَا عَيْنُ الشِّرْكِ، وَقَدْ أَنْكَرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ذَلِكَ فِي كِتَابِهِ وَأَبْطَلَهُ، وَأَخْبَرَ أَنَّ الشَّفَاعَةَ كُلَّهَا لَهُ، وَأَنَّهُ لَا يَشْفَعُ عِنْدَهُ أَحَدٌ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ يَشْفَعَ فِيهِ، وَرَضِيَ قَوْلَهُ وَعَمَلَهُ، وَهُمْ أَهْلُ التَّوْحِيدِ، الَّذِينَ لَمْ يَتَّخِذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ شُفَعَاءَ، فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ يَأْذَنُ لِمَنْ شَاءَ فِي الشَّفَاعَةِ لَهُمْ، حَيْثُ لَمْ يَتَّخِذْهُمْ شُفَعَاءَ مِنْ دُونِهِ
“Dalam benak kaum musyrikin dan pendahulu mereka bahwa sembahan-sembahan merekalah yang akan memberikan syafa’at di sisi Allah. Ini merupakan inti kesyirikan itu. Allah –Azza wajalla- mengingkari mereka dalam kitabNya dan menjelaskan kebatilannya serta mengabarkan bahwa syafa’at semunya hanyalah milik Allah. Tidak ada seorangpun yang akan memberikan syafa’at kecuali setelah mendapatkan izinNya dan ridha terhadap ucapan dan perbuatannya. Mereka adalah ahli tauhid yang tidak menjadikan selainNya sebagai pemberi syafa’at. Allah mengizinkan kepada siapa yang dikehendakiNya untuk memberi syafa’at karena mereka tidak menjadikan selainnya sebagai pemberi syafa’at.”[ Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madaarij as-Salikin Baina Manazil Iyyaaka Na’budu Wa Iyyaaka Nasta’in, tahqiq ‘Imad ‘Amir, Jilid 1, hal. 278, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1426 H.]
Imam Ibnu Qayyim al-Juziyyah –rahimahullah- juga berkata:
وَتَأَمَّلْ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ – وَقَدْ سَأَلَهُ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ – قَالَ «أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ» كَيْفَ جَعَلَ أَعْظَمَ الْأَسْبَابِ الَّتِي تُنَالُ بِهَا شَفَاعَتُهُ تَجْرِيدَ التَّوْحِيدِ، عَكْسَ مَا عِنْدَ الْمُشْرِكِينَ أَنَّ الشَّفَاعَةَ تُنَالُ بِاتِّخَاذِهِمْ أَوْلِيَاءَهُمْ شُفَعَاءَ، وَعِبَادَتِهِمْ وَمُوَالَاتِهِمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ، فَقَلَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا فِي زَعْمِهِمُ الْكَاذِبِ، وَأَخْبَرَ أَنَّ سَبَبَ الشَّفَاعَةِ هُوَ تَجْرِيدُ التَّوْحِيدِ، فَحِينَئِذٍ يَأْذَنُ اللَّهُ لِلشَّافِعِ أَنْ يُشَفَّعَ.
وَمِنْ جَهْلِ الْمُشْرِكِ اعْتِقَادُهُ أَنَّ مَنِ اتَّخَذَهُ وَلِيًّا أَوْ شَفِيعًا أَنَّهُ يَشْفَعُ لَهُ، وَيَنْفَعُهُ عِنْدَ اللَّهِ، كَمَا يَكُونُ خَوَاصُّ الْمُلُوكِ وَالْوُلَاةِ تَنْفَعُ شَفَاعَتُهُمْ مَنْ وَالَاهُمْ، وَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَشْفَعُ عِنْدَهُ أَحَدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلَا يَأْذَنُ فِي الشَّفَاعَةِ إِلَّا لِمَنْ رَضِيَ قَوْلَهُ وَعَمَلَه
Perhatikanlah sabda Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- yang pernah bertanya keapdanya “Siapakah manusia yang paling berbahagia dengan mendapatkan syafa’atmu wahai Rasulullah? Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- menjawab dan berkata “Manusia yang paling bahagia mendapatkan syafa’atku adalah seorang yang mengatakan Laa Ilaaha Illallah dengan ikhlas di dalam hatinya.” Bagaimana ia menjadikan sebab yang paling agung yang dengannya mendapatkan syafa’atnya yaitu kesungguhan dalam pengamalan tauhid. Ini berbeda dengan pemahaman kaum musyrikin, yang meyakini bahwa syafa’atnya dapat diraih dengan menjadikannya sebagai wali/pelindung guna mendapatkan syafa’atnya, mereka beribadah pada wali/pelindung itu selain beribadah pada Allah. Namun, nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- membalik sesuai kenyataan apa yang mereka klaim secara dusta dan menjelaskan bahwa sebab diraihnya syafa’at adalah dengan kesungguhan dalam pengalaman tauhid.
Diantara kejahilan seorang musyrik yaitu keyakinannya bahwa barangsiapa menjadikan (makhluk) sebagai pelindung atau pemberi syafa’at (selain Allah) niscaya pelindungnya itu akan memberikan syafa’at padanya, sebagaimana para elit kerajaan dan penguasa yang syafa’atnya bermanfaat pada seorang yang ia lindungi. Mereka tidak tahu bahwa seseorang tidak dapat memberi syafa’at di sisi Allah kecuali setelah mendapat izinNya dan Allah tidak memberi izin kecuali bagi orang yang Allah ridhai perkataannya.”[ Ibid]
Imam al-Baghawi[ Ia adalah al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad Muhyi as-Sunnah, Abu Muhammad al-Baghawi, salah seorang ulama tafsir dan hadits dalam madzhab Syafi’i, pemilik karya agung tafsir Ma’alim at-Tanzil dan kitab Syarh as-Sunnah. Lihat: . Lihat: Ibnu Katsir, Thobaqaat Fuqahaa asy-Syafi’iyyin, tahqiq Muhammad Ahmad Abdul Halim, Jilid 2, hal. 40, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet. 1. 1439 H.] –rahimahullah- berkata:
مَن ذَا ٱلَّذِي يَشفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذنِهِ أي بأمره
“Firman Allah “Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya” maksudnya yaitu kecuali setelah mendapat perintahNya.”[ Abu Muhammad al-Husain Bin Mas’ud al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, tahqiq Dr. Anas Asy-Syami, Jilid 1, hal. 183, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1442 H.]
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata:
وأَخْبَرَ أَنَّ ٱلْمَلَائِكَةَ ٱلَّتِى فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ مِنَ ٱلْمُقَرَّبِينَ وَغَيْرِهِمْ، كُلُّهُمْ عِبَادٌۭ خَٰضِعُونَ لِلَّهِ، لَا يُشَفِّعُونَ عِندَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ لِمَنْ ٱرْتَضَىٰ، وَلَيْسُوا۟ عِندَهُ كَٱلْأُمَرَاءِ عِندَ مُلُوكِهِمْ، يَشْفَعُونَ عِندَهُمْ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فِيمَا أَحَبَّهُ ٱلْمُلُوكُ وَأَبَوْهُ.
“Allah –Ta’ala- mengabarkan bahwa para malaikat yang ada di langit yang dekat dan selain mereka, semuanya hanyalah hamba yang tunduk pada Allah., mereka tidak mampu memberikan syafa’at di sisiNya melainkan setelah mendapat izinNya bagi orang-orang yang diridhoiNya. Mereka di sisi Allah tidak seperti pemerintah di sisi raja-raja mereka. Mereka memberi syafa’at tanpa seizin raja, direstui atau tidak, mereka tetap melakukannya.”[ Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid 4, hal. 40 Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet. 3, 1433 H.]
Berdasarkan ayat tersebut, maka meminta langsung keapada Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- setelah wafatnya merupakan permintaan terhadap sesuatu yang berada diluar kemampuan Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan merupakan kekhususan bagi Allah –Azza wajala- yang tidak boleh dilakukan pada seorangpun dari kalangan manusia ataupun makhluk lainnya.
Allah –Azza wajalla- berfirman:
وَلَا تَدۡعُ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَۖ فَإِن فَعَلۡتَ فَإِنَّكَ إِذٗا مِّنَ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.”[ QS. Yunus: 106]
Jadi, imam ath-Thufi menyelisihi ijma’ yang ia yakini sendiri berkaiatan dengan hal ini.
Kedua: Apa yang dilakukan oleh Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- berupa memberi syafa’aat pada hari kiamat dilakukan setelah mendapat izin atau perintah dari Allah –Azza wajala-. Hal itu berarti dilakukan setelah mendapat kemampuan dari Allah –Azza wajalla- sebagaimana ia hidup. Keadaan itu bukanlah keadaan sebagaimana ketika belum diperintahkan oleh Allah –Ta’ala- yang tidak bisa berbuat apa-apa. Maka, berhujjah dengan hadits itu tentu merupakan suatu kekeliruan.
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- sendiri tidak pernah mengajarkan untuk meminta padanya setelah kematiannya, hal itu karena larangan menyekutukan Allah dalam ibadah doa. Justru yang beliau ajarkan adalah melakukan amalan-amalan yang jika seorang hamba melakukannya niscaya ia akan mendapatkan syafa’at Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- dengannya, misalnya mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallah secara ikhlas dari dalam hati[ Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ
“Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku pada hari kiamat adalah seorang yang mengcupkan kalimat laa Ilaaha Illallah secara ikhlas dari dalam hatinya.” Lihat: Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, tahqiq Muhammad Zahir bin Nashir an-Nashir, Jilid 8, hal. 117, Daar Thuuq an-Najah, cet. 1, 1422 H. Maktabah Syamilah. ], dzikir setelah Adzan[ Berdasakan sabda Rasulullah –Shallallahu ‘alaihiwasallam-:
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ القَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الوَسِيلَةَ وَالفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ
“Barangsiapa mengatakan “Allahumma Rabb hadzihi ad-Da’wati at-Tammah Wa ash-Sholati al-Qaaimah Aati Muhammadan al-Wasilata Wa al-Fadhilah Wab’asthu Maqaaman Mahmuudan alladzi Wa’adtah, halal atasnya syafa’atku pada hari kiamat.” Lihat: Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, tahqiq Muhammad Zahir bin Nashir an-Nashir, Jilid 6, hal. 86, Daar Thuuq an-Najah, cet. 1, 1422 H. Maktabah Syamilah.], Bersabar atas kesulitan di kota Madinah[ Berdasarkan sabda Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam-
لَا يَصْبِرُ عَلَى لَأْوَاءِ الْمَدِينَةِ وَشِدَّتِهَا أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِي، إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْ شَهِيدًا
“Tidaklah salah seorang dari umatku yang sanggup bersabar atas kesusahan dan kesulitan di kota Madinah ini, kecuali aku akan menjadi pembela atau saksi baginya kelak pada hari kiamat.” Lihat: Muslim, al-Musnad ash-Shahih al-Muktashar Binaqli al-Adli ‘An ‘al-Adli Ila Rasulillah –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, tahqiq Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Jilid 2, hal. 1004, Daar Ihyaa at-Turats al-Arabi-Beirut, t.cet., t.th., Maktabah Syamilah. ] dan meninggal di kota Madinah.[ Berdasarkan Sabda Nabi –Shallallahu ‘alihi wasallam-
مَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَمُوتَ بِالْمَدِينَةِ فَلْيَفْعَلْ، فَإِنِّي أَشْفَعُ لِمَنْ مَاتَ بِهَا
“Siapa yang bisa meninggal dunia di Madinah, maka hendaklah ia lakukan (meninggal dunia di dalamnnya). Karena aku akan memberi syafa’at terhadap orang-orang yang meninggal dunia di dalamnya.” Lihat: Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, tahqiq Syu’aib al-Arnauth dkk, Jilid 9, hal. 320, Muassasah ar-Risalah, cet.1, 1421 H., Maktabah Syamilah] Atau amalan lainnya yang mendapatkan janji dari Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa siapa yang melakukannya niscaya akan mendapatkan syafa’at darinya pada hari kiamat.
Bahkan, ketika ada diantara sahabat Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang meminta padanya ketika masih hidup untuk menemaninya di surga, Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- memintanya untuk membantu dirinya dalam meraih keinginannya dengan memperbanyak sujud kepada Allah –Azza wajalla-.[ Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Aku pernah bermalam bersama dengan Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu aku datang kepadanya dengan membawa air wudhu dan keperluannya dariku.” Lalu beliau bersabda, “Mintalah sesuatu.” Lalu aku berkata, “Aku meminta agar bisa menemanimu di surga,” Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Atau selain itu?” Aku berkata, “Itulah permintaanku.” Maka Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku untuk meraih keinginanmu dengan memperbanyak sujud.” Muslim, al-Musnad ash-Shahih al-Muktashar Binaqli al-Adli ‘An ‘al-Adli Ila Rasulillah –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, tahqiq Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Jilid 1, hal. 353, Daar Ihyaa at-Turats al-Arabi-Beirut, t.cet., t.th., Maktabah Syamilah. ]
Itu merupakan bukti bahwa nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- diberikan izin untuk memberi syafa’at hanya pada orang-orang yang beramal sesuai petunjuknya yaitu orang-orang yang mengamalkan ajaran tauhid secara sempurna sebagai balasan yang baik dari satu ketaatan. Oleh karenanya, beliau mengajarkan amalan-amalan yang dapat menjadikan seseorang berhak mendapatkan syafa’at itu dan tidak pernah mengajari manusia untuk meminta padanya setelah kematiannya.
Imam Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata:
وَاللَّهُ لَمْ يَجْعَلِ اسْتِغَاثَتَهُ وَسُؤَالَهُ سَبَبًا لِإِذْنِهِ، وَإِنَّمَا السَّبَبُ لِإِذْنِهِ كَمَالُ التَّوْحِيدِ
“Allah –Azza wajalla- tidak menjadikan istighatsah pada mayyit atau meminta padanya sebagai sebab yang dapat mendatangkan izinNya.Yang Allah –Ta’ala- jadikan sebagai sebab yang mendatangkan izinNya adalah kesempurnaan pengamalan tauhid.”[ Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madaarij as-Salikin Baina Manazil Iyyaaka Na’budu Wa Iyyaaka Nasta’in, tahqiq ‘Imad ‘Amir, Jilid 1, hal. 284, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1426 H.]
Ketiga, Sekiranya boleh meminta pada orang yang telah meninggal dunia, lalu mengapa orang-orang yang berdoa pada orang yang telah meinggal dunia dari kalalangan orang-orang saleh untuk mendapatkan syafa’at dari Allah –Ta’ala- divonis telah melakukan kesyirikan oleh Allah –Ta’ala-??
Allah –Azza wajalla- berfirman:
أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلۡخَالِصُۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحۡكُمُ بَيۡنَهُمۡ فِي مَا هُمۡ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي مَنۡ هُوَ كَٰذِبٞ كَفَّارٞ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”[ QS. Az-Zumar: 3]
Imam al-Baghawi –rahimahullah- dalam tafsirnya ketika menjelaskan firman Allah –Azza wajalla- لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى menukil perkataan Qatadah[ Ia adalah Qatadah bin Di’amah bin Qatadah bin ‘Aziz as-Sadusi, seorang qudwahnya para ahli tafsir dan hadits. Lihat: Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, Jilid 5, hal 270,Muassash a-Risalah, cet. 3., 1405 H., Maktabah Syamilah.] –rahimahullah-:
وذلك إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ: مَنْ رَبُّكُمْ وَمَنْ خَلَقَكُمْ وَمَنْ خلق السموات وَالْأَرْضَ؟ قَالُوا: اللَّهُ، فَيُقَالُ لَهُمْ: فَمَا مَعْنَى عِبَادَتِكُمُ الْأَوْثَانَ؟ قَالُوا: لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى، أَيْ قُرْبَى، وَهُوَ اسْمٌ أُقِيمَ فِي مَقَامِ الْمَصْدَرِ، كَأَنَّهُ قَالَ: إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ تَقْرِيبًا وَيَشْفَعُوا لَنَا عِنْدَ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ، يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، مِنْ أَمْرِ الدِّينِ، إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كاذِبٌ كَفَّارٌ
“Hal itu karena jika dikatakan kepada mereka, “Siapakah Rabb kalian dan siapa yang menciptakan langit dan bumi,” mereka akan berkata, “Allah”. Lalu jika dikatakan kepada mereka, “Apa makna ibadah kalian pada berhala-berhala ini?” mereka berkata, “Untuk mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Seolah ia berkata, “Tidaklah kami menyembahnya melainkan agar mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya dan memberi kami syafa’at untuk kami di sisi Allah.” Sesungguhya Allah memutuskan perkara diantara mereka pada hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan dari urusan agama ini. Sesungguhnnya Allah tidak memberi hidayah pada para pendusta lagi kafir.”[ Abu Muhammad al-Husain Bin Mas’ud al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, tahqiq Dr. Anas Asy-Syami, Jilid 2, hal. 425, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1442 H.]
Allah –Azza wajalla- juga berfirman:
وَمَنۡ أَضَلُّ مِمَّن يَدۡعُواْ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَن لَّا يَسۡتَجِيبُ لَهُۥٓ إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَهُمۡ عَن دُعَآئِهِمۡ غَٰفِلُونَ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berdoa pada selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?[ QS. A-Ahqaf: 5]
Allah –Azza wajalla- juga berfiman:
إِن تَدۡعُوهُمۡ لَا يَسۡمَعُواْ دُعَآءَكُمۡ وَلَوۡ سَمِعُواْ مَا ٱسۡتَجَابُواْ لَكُمۡۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يَكۡفُرُونَ بِشِرۡكِكُمۡۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثۡلُ خَبِيرٖ
“Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui”.[ QS. Fathir: 14]
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata:
يَعْنِي: الْآلِهَةَ الَّتِي تَدْعُونَهَا مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَسْمَعُونَ دُعَاءَكُمْ ؛ لِأَنَّهَا جَمَادٌ لَا أَرْوَاحَ فِيهَا {وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ} أَيْ: لَا يَقْدِرُونَ عَلَى مَا تَطْلُبُونَ مِنْهَا
“Maksudnya adalah para tuhan yang mereka seru selain Allah tidak mendengar doa mereka, karena ia hanyalah benda mati yang tidak memiliki arwah di dalamnya. FirmanNya “Sekiranya mereka mendengar niscaya tidak akan mengabulkan doa kalian” maksudnya mereka tidak mampu mengabulkan apa yang mereka minta itu.”[ Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid 3, hal. 492, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet. 3, 1433 H.]
Semua ini menunjukkan larangan berdoa pada selain Allah –Azza wajalla- dan bahwa berdoa pada selain Allah merupakan kesyirikan. Menjadikan orang-orang saleh yang telah wafat sebagai wali yang diseru agar mendapat syafa’at pada hari kiamat merupakan kesyrikan yang terjadi pada zaman dahulu, bahkan kesyirikan pertama di muka bumi ini terjadi karena pengangungan terhadap orang-orang saleh yang telah meninggal dunia tanpa ilmu di zaman Nabi Nuh –alaihi assalam-, hingga akhirnya mereka menyembahnya dengan berdoa kepadanya.
Demikian pula yang terjadi pada al-Lata, tuhan yang disembah orang-orang Arab dahulu. Imam al-Qurthubi[ Ia adalah Abu Abdillah al-Qurthubi pemilik karya agung Tasfir al-Kabir (al-Jami’ Li Ahkaam al-Qur’an). Lihat. Adz-Dzahabi, al-‘Uluw Li al-Aly al-Azhim, tahqiq Prof. Abdullah bin Sholih al-Barrak, jilid 2, hal. 1210, Daar al-Aqidah-Riyadh, cet.1, 1440 H.] –rahimahullah- tatkala menjelaskan tuhan orang-orang kafir yang bernama al-Lata yang disebutkan dalam al-Qur’an, beliau berkata:
وَقَالُوا: كَانَ رَجُلًا يَلُتُّ السَّوِيقَ لِلْحَاجِّ- ذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ- فَلَمَّا مَاتَ عَكَفُوا عَلَى قَبْرِهِ فَعَبَدُوهُ
“Orang-orang menyebutkan bahwa Lata adalah seorang laki-laki yang membuat roti sawiq untuk jama’ah haji. –Imam Bukhari[ Ia adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, tahqiq Muhammad Aiman asy-Syabrawi, jilid 15, hal. 455,Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1427 H. ] menyebutkannya dari Abdullah bin Abbas-. Ketika Lata meninggal dunia, orang-orang melakukan i’itikaf (fokus ibadah) di kuburnya hingga menyembahnya[ Al-Qurthuby, al-Jami’ Li Ahkaam al-Qur’an, tahqiq Dr. Hamid Ahmad ath-Thohir, Jilid 9, vol. 17, hal. 82-83, Daar al-Ghad al-Jadid-Kairo,cet.1, 1431 H. ].”
Dari dalil-dalil ini maka berhujjah dengan kisah Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang memberi syafa’at pada hari kiamat kelak adalah hujjah yang tidak tepat, bahkan bisa menjatuhkan seseorang dalam perbuatan menyekutukan Allah, wal’iyadzubillah.
Imam as-Safarini[ Ia adalah Syekh Muhammad bin Ahmad bin Salim bin Sulaiman as-Safarini, seorang ulama bermadzhab hambali yang lahir di Nablusi tahun 1114 H. Lihat: Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarh al-Aqidah as-Safariniyah, hal. 17, Madar al-Wathon Li an-Nasyr-Unaizah, cet.1, 1426 H.] –rahimahullah- berkata:
أَمَّا مَن كَانَ قَصْدُهُ بِالزِّيَارَةِ أَنْ يَطْلُبَ حَوَائِجَهُ مِنَ ٱلْمَيْتِ فَهَٰذَا لَا يَشُكُّ عَاقِلٌۭ فِى قُبْحِهِ وَتَحْرِيمِهِ إِذِ ٱلْحَوَائِجُ مَنُوطَةٌۭ لِخَٰلِقِهَا فَلَيْسَ إِلَّا ٱللَّهُ يَقْضِى حَاجَةَ مَن شَكَّ فِى هَٰذَا طَغَىٰ وَتَمَرَّدَ.
“Adapun seorang yang maksud ziarahnya adalah meminta hajat-hajatnya pada mayat (penghuni kubur itu) maka hal ini tidak diragukan oleh orang yang berakal akan keburukan dan keharamannya. Sebab hajat-hajat berkaitan dengan penciptanya. Tidak ada seorangpun yang dapat memenuhi hajat melainkan Allah –Azza wajalla-. siapa yang ragu akan hal ini, maka ia telah melampaui batas dan berbuat durhaka.”[ As-Saffarini, al-Buhuru az-Zakhirah Fii Ulum al-Aakhirah, tahqiq Abd al-Aziz Ahmad bin Muhammad bin Hamud al-Musyaiqih, hal. 397, Daar al-Aashimah-Riyahd, cet.1, 1430 H. ],[ Perkataan imam as-Safarini –rahimahullah- akan disempurnakan pada penjelasan kondisi kedua dari pembahasan istighatsah, yaitu berdoa kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- agar beliau memintakan syafa’at kepada Allah –Azza wajalla- sekalipun beliau telah meninggal dunia. Karena imam Safarini adalah seorang ulama yang membolehkannya. Hanya saja, dinukilkan perkataannya pada halaman ini untuk menjelaskan bahwa beliau termasuk ulama yang mengharamkan perbuatan meminta hajat secara langsung pada mayit atau berdoa kepada mayit untuk meminta hajat karena hal itu merupakan suatu perbuatan syirik, sekalipun ia membolehkan tawassul kepadanya walau telah meninggal dunia.]
Kondisi yang kedua, yaitu meminta kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- agar berdoa kepada Allah –Azza wajalla- guna meminta hajat, syafa’at atau lainnya. Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat, diantara mereka ada yang membolehkan dan diantara lainnya melarangnya. Yang melarangan hal ini terbagi dua pula, ada yang menganggapnya sebagai perbuatan syirik dan ada yang menganggpnya sebagai perbuatan bid’ah yang tidak sampai pada perkara syirik, hanya saja ia bisa membuka pintu kesyirikan.
Adapun yang membolehkan mislanya, imam as-Safarini –rahimahullah-[ Ia berkata:
وَأَمَّا إِذَا كَانَ قَصْدُهُ ٱلدُّعَاءَ عِندَ قَبْرِ ٱلْمَيْتِ أَوِ ٱلتَّوَسُّلَ بِهِ فَلَيْسَ بِمُحَرَّمٍۢ.
“Adapun jika maskudnya adalah berdoa di sisi kuburan mayit atau bertawassul dengannya, maka perbuatan itu bukan perbuatan yang haram.” Lihat: As-Saffarini, al-Buhuru az-Zakhirah Fii Ulum al-Aakhirah, tahqiq Abd al-Aziz Ahmad bin Muhammad bin Hamud al-Musyaiqih, hal. 397, Daar al-Aashimah-Riyahd, cet.1, 1430 H.], Imam Ibnu Katsir –rahimahullah-[ Hal ini dapat dilihat dalam tasfsirnya pada surah an-Nisa: 64 yang menjelaskan kandungan ayat dan menyebutkan kisah al-Utbiy yang datang pada kuburan Nabi dan ia melihat seorang Arab Badui meminta ampunan dan syafa’at kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- dikuburannya, lalu ia melihat Rasul dalam tidurnya yang berpesan agar menghampiri seorang Arab Badui tersebut karena Allah –Azza wajalla- telah mengampuninya. Kisah ini disebutkan oleh imam Ibnu Katsir tanpa komentar apappun, justru ia menyebutnya untuk mengaitkannya dengan ayat. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid 2, hal. 264, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet. 3, 1433 H.]dan imam an-Nawawi[ Ia adalah Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarf an-Nawawi seorang ulama muharrir madzhab Syafi’i. Lihat: Lihat: Ibnu Katsir, Thobaqaat Fuqahaa asy-Syafi’iyyin, tahqiq Muhammad Ahmad Abdul Halim, Jilid 2, hal. 268, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet. 1. 1439 H.],[ Hujjah yang ia sampaikan sama dengan yang disebutkan oleh imam Ibnu Katsir –rahimahullah-, yaitu hikayat kisah al-Utby. Lihat: an-Nawawy, al-Adzkar, tahqiq Abu Uwais Yusuf bin Ahmad al-Bakry, hal. 257, Bait al-Afkar ad-Dauliyah-Jordan, t.cet., t.th.] –rahimahullah-. Ulama yang melarang namun tidak menganggpnya sebagai kesyirikan, hanya saja menganggapnya sebagai perbuatan yang sangat dapat mengantarkan pada kesyirikan misalnya Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-.[ Pada saat menjelaskan urutan istightasah ia tidak memasukkan keadaan ini pada perbuatan syirik. Hanya saja ia menganggapnya sebagai pebuatan yang dapat berakhir pada kesyirikan. Beliau berkata:
فَعُلِمَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُسْأَلَ الْمَيِّتُ شَيْئًا: لَا يُطْلَبُ مِنْهُ أَنْ يَدْعُوَ اللَّهَ لَهُ وَلَا غَيْرَ ذَلِكَ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُشْكَى إلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ مَصَائِبِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ؛ وَلَوْ جَازَ أَنْ يُشْكَى إلَيْهِ ذَلِكَ فِي حَيَاتِهِ فَإِنَّ ذَلِكَ فِي حَيَاتِهِ لَا يُفْضِي إلَى الشِّرْكِ وَهَذَا يُفْضِي إلَى الشِّرْكِ لِأَنَّهُ فِي حَيَاتِهِ مُكَلَّفٌ أَنْ يُجِيبَ سُؤَالَ مَنْ سَأَلَهُ لِمَا لَهُ فِي ذَلِكَ مِنْ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ وَبَعْدَ الْمَوْتِ لَيْسَ مُكَلَّفًا
“Telah diketahui bahwa tidak boleh meminta sesuatu apapun pada mayit, tidak meminta padanya untuk berdoa kepada Allah dan tidak pula selainnya. Tidak boleh pula ia berkeluh kesah padanya tentang musibah dunia dan agmama (yang ia sedang hadapi). Sekalipun berkeluh kesah padanya boleh saja semasa hidupnya, karena ketika masih hidup hal itu tidak mengarahkan pada kesyirikan sedangkan hal ini (setelah wafatnya) dapat mengarahkan pada kesyirikan. Hal itu karena pada masa hidupnya ia adalah seorang mukallaf yang bisa menjawab permintaan orang yang meminta padanya yang mana dengan hal itu ia bisa mendapatkan pahala. Adapaun setelah kematian, maka ia bukan lah seorang mukallaf (maksudnya: sudah tidak bisa berbuat apa-apa-pent). Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abd al-Aziz al-Jundi danAsyraf Jalal asy-Syarqawi, jilid 1, hal. 410-414, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1435 H.
Difahami dari perkataan Syekh al-Islam –rahimahullah- ini bahwa perbuatan meminta pada Nabi agar nabi –Shallalahu ‘alaihi wasallam- berdoa pada Allah –Azza wajalla- merupakan sarana dari sarana yang dapat menjerumuskan pada perbuatan syirik, tapi secara asal tidak sampai pada kesyrikran. Hal itu karena di awal perkataannya ketika menyebut hal ini, ia menjelaskannya hanya sebagai perbuatan bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh seorang salafpun, tidak sebagaimana keadaan pertama beliau tegas mengatakan perbuatan itu segai perbuatan syirik. Adapun kondisi kedua ini ia menyebutnya dengan kalimat “وَهَذَا يُفْضِي إلَى الشِّرْكِ”. Yang kita pahami dari perkataan ini bahwa maksudnya adalah dapat mengarahkan atau dapat mengakibatkan perbuatan syirik. Sebab, kadang seseorang tidak sadar meminta hajatnya langsung kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- ketika melakukan hal ini. Wallahu a’lam.] Ulama yang menganggap hal ini sebagai perbuatan syirik misalnya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah-. ia berkata:
وَمِنْ أَنْوَاعِهِ طَلَبُ الْحَوَائِجِ مِنَ الْمَوْتَى، وَالِاسْتِغَاثَةُ بِهِمْ، وَالتَّوَجُّهُ إِلَيْهِمْ. وَهَذَا أَصْلُ شِرْكِ الْعَالَمِ، فَإِنَّ الْمَيِّتَ قَدِ انْقَطَعَ عَمَلُهُ، وَهُوَ لَا يَمْلِكُ لِنَفْسِهِ ضَرَّا وَلَا نَفْعًا، فَضْلًا عَمَّنِ اسْتَغَاثَ بِهِ وَسَأَلَهُ قَضَاءَ حَاجَتِهِ، أَوْ سَأَلَهُ أَنْ يَشْفَعَ لَهُ إِلَى اللَّهِ فِيهَا
“Diantara bentuk kesyirikan adalah meminta hajat pada mayit dan beristighatsah pada mereka serta menghadap pada mereka. Ini merupakan asal kesyirikan di alam ini. Sebab mayit telah terputus amalannya. Ia tidak mampu memberikan manfaat atau mendatangkan mudharat untuk dirinya sendiri apalagi terhadap yang beristighatsah dengannya atau meminta dipenuhi hajatnya atau meminta agar dimintakan syafa’at untuknya kepada Allah.”[ Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madaarij as-Salikin Baina Manazil Iyyaaka Na’budu Wa Iyyaaka Nasta’in, tahqiq ‘Imad ‘Amir, Jilid 1, hal. 284, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1426 H.]
Hujjah ulama yang membolehkan meminta pada Nabi untuk berdoa pada Allah setelah kematiannya ini adalah hikayat kisah al-‘Utbiy[ Ia adalah muhammad bin Abdullah bin Amr bin Mu’awiyah bin Amr bin Utbah bin Abu Sufyan. Lihat: Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, tahqiq Muhammad Aiman asy-Syabrawi, Jilid 9, hal 138, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1427 H.] yang datang pada kuburan Nabi dan ia melihat seorang Arab Badui meminta ampunan dan syafa’at kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- dikuburannya, lalu ia melihat Rasul dalam tidurnya yang berpesan agar menghampiri seorang Arab Badui tersebut karena Allah –Azza wajalla- telah mengampuninya..
Hanya saja, hikayat kisah ini tidak bisa menjadi hujjah karena beberapa hal:
Yang pertama:Kisah ini lemah bahkan sebagian ulama menganggapnya palsu[ Diantara ulama yang menyebut kisah ini sebagai kisah palsu adalah Syekh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah-. Lihat” Qissah al-Utbiy al-Marwiyah Fi Qaulhi Ta’ala Walau Annahum Idz Zholamuu Anfusahum Baatihlatun, al-Mauqi’ ar-Rasmi’ Li Samahati Asy-Syekh al-Imam Ibni Baz, binbaz.org.sa/pearls/536/قصة-العتبي-المروية-في-قوله-تعالى-ولو-أنهم-إذ-ظلموا-أنفسهم-باطلة. (4 Agustus 2024)].Imam an-Nawawi –rahimahullah- dan imam Ibnu Katsir –rahimahullah- menukilkannya tanpa menyebut sanadnya. Kisah ini dinukil pula oleh imam Ibnu Quddamah[ Ia adalah Syekh al-Islam Muwafaqq ad-Din Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Quddamah. Lihat: Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, tahqiq Muhammad Aiman asy-Syabrawi, Jilid 16, hal 149, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1427 H.] –rahimahullah- dalam al-Mughni[ Lihat: Ibnu Quddamah, al-Mughni, tahqiq Dr. Muhammad Syarifuddn Khattab dan Dr. As-Sayyid Muhammad as-Sayyid, Jilid 5, hal.110, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1425 H.] juga tanpa sanad. Yang menyebutkan sanadnyapun terjadi idhtirab[ Idhtirab adalah kisah yang diriwayatkan dalam beberapa wajh yang berbeda-beda, yang karenanya tidak bisa digabungkan dan tidak pula bisa ditarjih. Lihat: Dr. Abdullah bin Aburrahim al-Bukhari, at-Ta’liqaat ar-Radhiyyah ‘Ala al-Manzhumah al-Baiquniyyah, hal. 219, Daar al-Istiqamah-Kairo, cet.1, 1429 H. ] pada perawinya bahkan pada matannya.
Al-Imam Muhammad ibnu Abdil Hadi[ Dia adalah Muhammad bin Abd al-Hadi bin Yusuf bin Muhammad bin Quddamah Abu Abdillah. Ia adalah seorang ahli fiqh, imam dan ahli sanad yang digelari Syamsuddin. Demikian penuturan Imam Ibnu Rajab al-Hanbali. Lihat: Ibnu Rajab al-Hanbali, Adz-Dzail ‘Ala Thobaqaat al-Hanabilah, Jilid 4, hal. 460, Daar al-Ma’rifah-Beirut, t.cet., t.tth.] –rahimahullah- berkata:
وَهذهِ الحِكايةُ الَّتِي ذَكَرَهَا بَعْضُهُمْ يَرْوِيهَا عَنِ العَتْبِيِّ بِلَا إِسْنَادٍ، وَبَعْضُهُمْ يَرْوِيهَا عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَرْبٍ الهِلَاليِّ، وَبَعْضُهُمْ يَرْوِيهَا عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ أَبِي الحَسَنِ الزَّعْفَرَانِيِّ عَنْ الأَعْرَابِيِّ، وَقَدْ ذَكَرَهَا البَيْهَقِيُّ فِي كِتَابِ “شَعْبِ الإِيمَانِ” بِإِسْنَادٍ مُظْلِمٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رُوحٍ بْنِ يَزِيدٍ بْنِ البَصْرِيِّ، حَدَّثَنِي أَبُو حَرْبٍ الهِلَاليُّ قَالَ: حَجَّ أَعْرَابِيٌّ فَلَمَّا جَاءَ إِلَىٰ بَابِ مَسْجِدِ رَسُولِ ٱللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنَاخَ رَاحِلَتَهُ فَعَقَلَهَا، ثُمَّ دَخَلَ ٱلْمَسْجِدَ حَتَّىٰ أَتَىٰ القَبْرَ، ثُمَّ ذَكَرَ نَحْوَ مَا تَقَدَّمَ، وَقَدْ وَضَعَ لَهَا بَعْضُ الكَذَّابِينَ إِسْنَادًا إِلَىٰ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَارِبٍ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهُ كَمَا سَيَأْتِي ذِكْرُهُ.
وَفِي الجُمْلَةِ: لَيْسَتْ هَذِهِ الحِكَايَةُ المَنكُورَةُ عَنِ الأَعْرَابِيِّ مِمَّا يَقُومُ بِهِ حُجَّةٌ وَإِسْنَادُهَا مُظْلِمٌ مُخْتَلِفٌ وَلَفْظُهَا مُخْتَلِفٌ أَيْضًا، وَلَوْ كَانَتْ ثَابِتَةً لَمْ يَكُنْ فِيهَا حُجَّةٌ عَلَىٰ مَطْلُوبِ ٱلْمُعَارِضِ، وَلَا يَصِحُّ ٱلِٱحْتِجَاجُ بِمِثْلِ هَذِهِ الحِكَايَةِ، وَلَا ٱلِاعْتِمَادُ عَلَىٰ مِثْلِهَا عِندَ أَهْلِ العِلْمِ وَبِٱللَّهِ التَّوْفِيقُ.
“Hikayat yang disebutkan oleh sebagian mereka ini diriwayatkan dari al-Utbiy. Sebagian mereka meriwayatkannya dari Muhammad bin Harb al-Hilali[ Periwayatan dari Muhammad bin Harb al-Hilali dinisbatkan oleh as-Subki pada riwayat yang disebutkan oleh Imam Ibnu Asakir dalam Tarikhnya dan Imam Ibnu al-Jauzi dalam Matsir Azmi as-Sakin. Lihat: As-Subki, Syifaau as-Siqam Fii Ziyarati Khairi al-Anam, tahqiq Husain Muhammad ‘Ali Syukri, hal. 199, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet.1, 1429 H. ], sebagian mereka lagi meriwayatkannya dari Muhammad bin Harb Dari Abu al-Hasan az-Za’farani dari al-A’rabi [belum ada refeernsi primer periwayat dari jalur Abu al-Hasan az-Za’farani]. Disebutkan pula oleh Imam al-Baihaqi[ Ia adalah imam al-Hafiz Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa al-Khurasani. Lihat: Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, tahqiq Muhammad Aiman asy-Syabrawi, Jilid 13, hal 363, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1427 H.] –rahimahullah- dalam kitab Syu’ab al-Iman dengan isnad muzhlim[ Isnad muzhlim disebutkan oleh beberapa ulama dengan makna yang berbeda-beda. Kadang maksudnya adalah banyaknya periwayat yang tidak diketahui keadaannya, kadang juga untuk meneybutkan banyaknya periwayat yang lemah dalam satu riwayat, kadang juga karena banyaknya illah dalam satu riwayat. Ringkasnya keseluruhan ulama tersebut menyebutnya untuk menunjukkan lemahnya satu hadits atau satu riwayat. ] (sanad yang sangat lemah) dari Muhammad bin Ruh bin Yazid bin al-Bashri, Abu Harb al-Hilali[ Lihat: al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, tahiqiq Dr. Abd. Al-Ali Abd al-Hamid Hamid, jilid 6, hal. 60, Maktabah ar-Rusyd Li an-Nasyir wa at-Tauzi’-Riyadh, cet.1, 1423 H. Maktabah Syamilah] menceritakan kepadaku, seorang Arab Badui berhaji. Ketika ia telah sampai pada pintu masjid Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- ia memarkirkan untanya lalu mengikatnya. Kemudian ia masuk ke dalam masjid hingga datang pada kuburan Nabi –Shallallahu ‘alahi wasallam- kemudian disebutkan sebagaiamana kisah yang telah diceritakan sebelumnya. Sebagian pendusta telah membuatkan untuk kisah ini sanad yang palsu kepada Ali bin Abi Thalib[ Imam al-Qurthubi –rahimahullah- menyebutkan kisah ini dari periwayat Abu Shadiq Dari Ali bin Abi Thalib. Dr. Hamid Ahmad ath-Thohir selaku muhaqqiq tafsir al-Qurthubi menjelaskan bahwa riwayat ini adalah riwayat yang batil karena hadits Abu Shadiq dari Ali mursal dikarenakan ia merupakan seorang yang berada pada thobaqah 4 dari kalangan tabi’in. Lihat: Al-Qurthuby, al-Jami’ Li Ahkaam al-Qur’an, tahqiq Dr. Hamid Ahmad ath-Thohir, Jilid 3, vol. 15, hal. 195, Daar al-Ghad al-Jadid-Kairo,cet.1, 1431 H.] –radhiyallahu ‘anhu-. Ringkasnya, hikayat yang mungkar dari Arab Badui ini tidak bisa menjadi hujjah yang tegak, sanadnya muzhlim (sangat lemah) dan berbeda-beda, demikian pula lafaznya berbeda-beda. Sekiranyapun sahih, tidak ada padanya sesuatu yang bisa menjadi hujjah, sebab tidak boleh berhujjah dengan hikayat seperti ini dan bersandar padanya sebagaimana penuturan para ulama.”[ Muhammad bin Abd al-Hadi, ash-Sharim al-Munki Fii ar-Raddi ‘Ala as-Subki, tahqiq Abu Abdirrahman as-Salafy Aqil bin Muhammad bin Zaid al-Maqthari al-Yamani, hal.246, Muassasah ar-Rayyan-Beirut, cet. 2, 1424 H.]
Kedua,, kisah ini menyelishi larangan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- menjadikan kuburannya sebagai Ied, yaitu sebagai tempat berkumpul untuk berdoa ataupun beribadah secara khusus layaknya masjid di sana. Sementara kisah al-Utbiy itu menjelaskan adanya orang-orang yang datang menyengaja untuk berkeluh kesah dan meminta pada Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk dimohonkan ampunan. Sekiranya kisah itu benar, niscaya tidak ada pelarangan untuk berkumpul dan membiasakan diri menziarahi kuburan Nabi untuk meminta doa padanya, sebab hal itu merupakan sesuatu yang disyariatkan menurut klaim mereka. Padahal sabda Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا
“Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai ied.”[ Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, tahiqiq Muhammad Muhyiddin Abd al-Hamid, jilid 2, hal. 218, al-Maktabah al-Ashriyah-Beirut, t.cet., t.th. Maktabah Syamilah.]
Imam as-Subki[ Ia adalah ‘Ali bin Abd al-Kafi as-Subki asy-Syafi’I. Lihat: Adz-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffazh, jilid 4, hal. 200, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet.1, 1419 H. Maktabah Syamilah.] -Ghafarahullah- memang menakwil makna hadits ini hingga tidak sesuai zahir yang diucapkan oleh Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Hadits yang seharusnya memberikan informasi larangan membiasakan diri untuk mendatangi kuburan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- sekehendak hati[ Makna ini disebutkan oleh imam al-Munawi asy-Syafi’i –rahimahullah- dalam Faidh al-Qadirnya. Beliau berkata
لَا تَجْعَلُوا۟ قَبْرِى عِيدًا تَعُودُونَ إِلَيْهِ مَتَىٰٓ أَرَدْتُمْ أَنْ تَصَلُّوا۟ عَلَىَّ، وَظَاهِرُهُ يَنهَىٰ عَنْ ٱلْمُعَاوَدَةِ وَٱلْمَرَادُ ٱلْمَنْعُ عَمَّا يُوجِبُهُ وَهُوَ ظَنُّهُمْ أَنْ دُعَاءَ ٱلْغَائِبِ لَا يَصِلُ إِلَيْهِ.
“Jangan kalian jadikan kuburanku sebagai ied yang jika kalian hendak bersholawaat kepadaku kalian mendatanginya. Secara zahir hal ini merupakan larangan untuk membiasakan diri mendatanginya. Maksudnya larangan terhadap yang mewajibkannya yaitu prasangkan mereka bahwa doa seorang yang ghaib tidak sampai kepadanya. Lihat: al-Munawy, Syarh Jaami’ ash-Shagir, jilid 4, hal. 199, al-Maktabatu at-Tijariyah al-Kubra-Mesir, cet.1, 1356 H.] menjadi perintah untuk selalu mendatangi kuburan Nabi –
Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan tidak mendatanginya sekali setahun menurutnya. Ia berkata:
لَا تَتَّخِذُوا لَهَا وَقْتًا مَخْصُوصًا لَا تَكُونُ الزِّيَارَةُ إلَّا فِيهِ، أَوْ لَا تَتَّخِذُوهُ كَالْعِيدِ فِي الْعُكُوفِ عَلَيْهِ وَإِظْهَارِ الزِّينَةِ وَالِاجْتِمَاعِ لِلَّهْوِ وَغَيْرِهِ
“Janganlah kalian jadikan untuk kuburan itu waktu yang khusus yang tidaklah kalian menziarahinya kecuali waktu itu saja. Atau janganlah kalian jadikan seperti (ied) hari raya (yang dilakukan sekali setahun-pent) dalam I’tikaf padanya dan menampakkan perhiasaan dan berkumpul untuk hal-hal yang melalaikan dan selainnya.”[ Pernyataan ini dinukil oleh imam asy-Syaukani dalam Nail al-Authornya. Lihat: Asy-Syaukani, Nail al-Author, tahqiq ‘Isham ad-Din ash-Shababti, jilid 5, hal. 115, Daar al-Hadits-Mesir, cet.1, 1413 H. Maktabah Syamilah.]
Pernyataan imam As-Subki ini dibantah oleh imam Ibnu Qayyim al-Jauziah –rahimahullah-. ia berkata:
وَقَدْ حَرَّفَ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ بَعْضُ مَنْ أَخَذَ شَبَهًا مِنَ النَّصَارَىٰ بِالْشِّرْكِ، وَشَبَهًا مِنَ الْيَهُودِ بِالْتَّحْرِيفِ، فَقَالَ: هَذَا أَمْرٌ بِمُلَازَمَةِ قَبْرِهِ، وَالْعَكُوفِ عِندَهُ، وَاعْتِيَادِ قَصْدِهِ وَانْتِيَابِهِ، وَنَهْيٌ أَنْ يُجْعَلَ كَالْعِيدِ الَّذِي إِنَّمَا يَكُونُ فِي الْعَامِ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ، فَكَأَنَّهُ قَالَ: لَا تَجْعَلُوهُ بِمَنْزِلَةِ الْعِيدِ الَّذِي يَكُونُ مِنَ الْحَوْلِ إِلَى الْحَوْلِ، وَاقْصِدُوهُ كُلَّ سَاعَةٍ وَكُلَّ وَقْتٍ.
وَهَذَا مُرَاغَمَةٌ وَمُحَادَّةٌ لِلَّهِ وَمُنَاقَضَةٌ لِمَا قَصَدَهُ الرَّسُولُ صلى الله عليه وسلم وَقَلْبٌ لِلْحَقَائِقِ… وَلَوْ أَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا قَالَهُ هَؤُلَاءِ الضَّلَّالِ لَمْ يَنْهَ عَنْ اتِّخَاذِ قُبُورِ الْأَنْبِيَاءِ مَسَاجِدَ، وَيَلْعَنَ فَاعِلَ ذَلِكَ. فَإِنَّهُ إِذَا لَعَنَ مَنْ اتَّخَذَها مَسَاجِدَ يُعْبَدُ اللَّهُ فِيهَا، فَكَيْفَ يَأْمُرُ بِمُلَازَمَتِهَا وَالْعَكُوفِ عِندَهَا، وَأَنْ يُعْتَادَ قَصْدُهَا وَإِتْيَانُهَا، وَلا تَجْعَلُوهَا كَالْعِيدِ الَّذِي يَجِيءُ مِنَ الْحَوْلِ إِلَى الْحَوْلِ؟ وَكَيْفَ يَسْتَأْذِنُ رَبَّهُ أَنْ لَا يَجْعَلَ قَبْرَهُ وَثَنًا يُعْبَدُ؟ وَكَيْفَ يَقُولُ: أَعْلَمُ الْخَلْقِ بِذَٰلِكَ: “وَلَوْلَا ذَٰلِكَ لَأَبْرَزْتُ قَبْرِي، وَلَكِنْ خِشْتُ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا”؟ وَكَيْفَ يَقُولُ: “لَا تَجْعَلُوا۟ قَبْرِى عِيدًا، وَصَلُّوا۟ عَلَىَّ حَيْثُمَا كُنتُمْ”؟ وَكَيْفَ لَمْ يَفْهَمْ أَصْحَابُهُ وَأَهْلُ بَيْتِهِ مِنْ ذَٰلِكَ مَا فَهِمَهُ هَؤُلَاءِ الضَّلَّالِ الَّذِينَ جَمَعُوا۟ بَيْنَ الشِّرْكِ وَالتَّحْرِيفِ؟
“Sebagian orang yang memiliki kemiripan dengan kelompok Nashrani dalam perbuatan syirik dan kemiripan dengan Yahudi dalam hal penyelewengan makna kalimat, telah melakukan penyelewengan makna terhadap hadits-hadits ini (hadits larangan menjadikan kubran Nabi sebagai ied/tempat berkumpul). Kata mereka, hadits ini merupakan perintah untuk senantiasa menunggui dan melakukan I’tikaf di kuburannya, serta tidak menjadikannya seperti hari raya yang dilakukan setahun sekali atau dua kali. Seolah-olah mereka berkata bahwa Nabi bersabda, “Jangan kalian jadikan kuburanku seperti hari raya yang hanya dilakukan sekali setahun, tapi kunjungilah kuburanku setiap waktu dan setiap saat.”
Kalimat mereka ini adalah satu bentuk penentangan dan membatalkan maksud Rasulullah -Shallallahu ‘laihi wasallam- serta pemutarbalikan fakta…
Sekiranya Rasul memerintahkan sebagaimana apa yang mereka katakan itu, niscaya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak akan melarang membagun masjid di atas kuburan dan tidak pula akan melaknat pelakunya. Maka bagaimana mungkin Rasulullah melarang melakukan itu dan melaknat pelakunya sedang beliau memerintahkan untuk selalu menunggui dan I’tikaf dikuburannya? Bagimana mungkin seorang wanita yang paling pandai dari makhluk Allah berkata, “Kalau bukan karena adanya laknat dari Nabi menjadikan kuburan sebagai masjid niscaya akan ditampakkan kuburan Nabi, hanya saja khawatir orang-orang menjadikannya sebagai masjid? Bagaimana mungkin para sahabat dan keluarga Nabi tidak memahami ucapan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- seperti yang dipahami orang-orang yang sesat itu?”[ Ali bin Hasan bin Ali bin Abd al-Hamid al-Halabi al-Atsari, Mawarid al-Aman al-Muntaqa Min Ighatsati al-Lahafan Fi Mashayid asy-Syaithan Li al-Imam Ibni Qayyim al-Jauziyah, hal. 206-207, Daar Ibni al-Jauzi-Damam, cet.1, 1439 H.]
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani[ Ia adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajr al-Kinan al-Asqalani, seorang ulama pakar hadits. Lihat: asy-Syaukani, al-Badru ath-Lai’ Bi Mahasin Min Ba’di al-Qarni as-Sabi’, jilid 1, hal. 88, Daar al-Ma’rifah-Beirut, t.cet., t.th, Maktabah Syamilah.] –rahimahullah- berkata:
قَوْلُهُ لَأُبْرِزَ قَبْرُهُ أَيْ لَكُشِفَ قَبْرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يُتَّخَذْ عَلَيْهِ الْحَائِلُ وَالْمُرَادُ الدَّفْنُ خَارِجَ بَيْتِهِ وَهَذَا قَالَتْهُ عَائِشَةُ قَبْلَ أَنْ يُوَسَّعَ الْمَسْجِدُ النَّبَوِيُّ وَلِهَذَا لَمَّا وُسِّعَ الْمَسْجِدُ جُعِلَتْ حُجْرَتُهَا مُثَلَّثَةَ الشَّكْلِ مُحَدَّدَةً حَتَّى لَا يَتَأَتَّى لِأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ إِلَى جِهَةِ الْقَبْرِ مَعَ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ
“(Perkataan Aisyah) sekiranya bukan karena hal itu niscaya kuburan Nabi akan ditampakkan. Maksudnya, akan diperlihatkan kuburan Nabi dan tidak dijadikan adanya penghalang padanya. Maksudnya, akan dikuburkan di luar rumah Nabi. Ini disampaikan oleh Aisyah sebelum perluasan masjid Nabawi. Setelah perluasan masjid Nabawi, maka kamar Aisyah dijadikan berbentuk segitiga yang berbatas agar orang tidak mencoba datang dan melaksanakan sholat di arah kubur Nabi dan menghadap kiblat,”[ Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, jilid 3, hal. 256, Daar as-Salam-Riyadh, cet.1, 1421 H. ]
Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata:
إِنَّمَا نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اتِّخَاذِ قَبْرِهِ وَقَبْرِ غَيْرِهِ مَسْجِدًا خَوْفًا مِنَ الْمُبَالَغَةِ فِي تَعْظِيمِهِ وَالِافْتِتَانِ بِهِ فَرُبَّمَا أَدَّى ذَلِكَ إِلَى الْكُفْرِ كَمَا جَرَى لِكَثِيرٍ مِنَ الْأُمَمِ الْخَالِيَةِ ولما احتاجت الصَّحَابَةُ رِضْوانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ وَالتَّابِعُونَ إِلَى الزِّيَادَةِ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ كَثُرَ الْمُسْلِمُونَ وَامْتَدَّتِ الزِّيَادَةُ إِلَى أَنْ دَخَلَتْ بُيُوتُ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ فِيهِ وَمِنْهَا حُجْرَةُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا مَدْفِنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبَيْهِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا بَنَوْا عَلَى الْقَبْرِ حِيطَانًا مُرْتَفِعَةً مُسْتَدِيرَةً حَوْلَهُ لِئَلَّا يَظْهَرَ فِي الْمَسْجِدِ فَيُصَلِّيَ إِلَيْهِ الْعَوَامُّ وَيُؤَدِّي الْمَحْذُورَ ثُمَّ بَنَوْا جِدَارَيْنِ مِنْ رُكْنَيِ الْقَبْرِ الشَّمَالِيَّيْنِ وَحَرَّفُوهُمَا حَتَّى الْتَقَيَا حَتَّى لَا يَتَمَكَّنَ أَحَدٌ مِنِ اسْتِقْبَالِ الْقَبْرِ
“Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang menjadikan kuburannya dan kuburan selainnya sebagai masjid karena khawatir orang-orang akan berlebihan dalam mengagungkan dirinya, juga karena khawatir orang-orang akan terfitnah hingga terjatuh dalam kekufuran sebagaimana yang terjadi pada kebanyakan umat-umat sebelumnya. Ketika para sahabat –semoga Allah meridhai mereka- dan para tabi’in telah butuh perluasan masjid Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, ketika jumlah kaum muslimin yang semakin banyak, maka dipandang penambahan dengan memasukkan rumah-rumah ummahaat al-mukminin di dalamnya, dan diantaranya adalah kamar Aisyah tempat penguburan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan dua sahabatnya yaitu Abu Bakar dan Umar -radhiyallahu ‘anhuma-. Olehnya, mereka membangun satu dinding yang sangat tinggi yang membelakangi sekelilingnya agar kuburan itu tidak nampak dalam masjid hingga orang-orang awam melaksanakan sholat menghadapnya dan melaksanakan hal-hal yang dilarang. Kemudian dibuat lagi dua dinding pada dua sudut kubur lalu dimiringkan hingga kedua dinding itu saling bertemu, agar orang-orang tidak mampu menghadap ke arah kuburan”.[ An-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Tahqiq Hani al-Hajj dan Imad Zaki al-Barudi, Jilid 2, juz 5, hal.12, Daar at-Taufiqiyyah Li at-Turts-Kairo, t.cet, t.th.]
Adanya pembuatan dinding untuk menghalangi manusia mendatanginya yang dilakukan oleh para sahabat zaman dahulu merupakan dalil bahwa menyengaja mendatanginya untuk meminta doa padanya adalah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Sebab, jika memang masksud hadits tersebut sesuai yang dipahami oleh as-Subki itu benar, bukankah membuat dinding penghalang pada kubruan Nabi agar orang tidak mendatanginya merupakan sikap tidak beradab pada Nabi?? Apakah semua sahabat bersepakat untuk durhaka pada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, termasuk istrinya sendiri?
Oleh karenanya, Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- ketika mengoemntari hikayat kisah al-Utbiy tersebut, ia berkata:
وَلِهَٰذَا اسْتَحَبَّ طَائِفَةٌۭ مِنْ مُتَأَخِّرِى الفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِى وَأَحْمَدَ، مِثْلَ ذَٰلِكَ، وَحَجَّجُوا۟ بِهَٰذِهِ الحِكَايَةِ الَّتِى لَا يُثْبِتُ بِهَا حُكْمٌۭ شَرْعِىٌّ، لَا سِيَّمَا فِى مِثْلِ هَٰذَا الْأَمْرِ الَّذِى لَوْ كَانَ مَشْرُوعًۭا مَنْدُوبًۭا؛ لَكَانَ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ أَعْلَمَ بِهِ وَأَعْمَلَ بِهِ مِنْ غَيْرِهِمْ.
“Oleh karena itu sebagian kelompok dari ulama belakangan mazhab Syafi’I dan Hambali menganjurkan hal ini. Mereka berhujjah dengan hikayat kisah yang mana hukum syar’i tidak bisa diterapkan dengannya. Apalagi pada perkara ini, sekiranya ia adalah sesuatu yang disyariatkan dan dianjurkan, niscaya para sahabat Nabi dan tabi’in yang paling paham akan hal ini dan paling mengamalkan hal ini dari selain mereka.”[ Ibnu Taimiyah, Iqthidhaa ash-Shiraath al-Mustaqim Mukhalafatu Ashab al-Jahim, hal. 333, Daar Ibni al-Jauzi-Kairo, cet. 1, 1432 H.]
Ketiga, kisah ini berhujjah dengan mimpi bertemu dengan Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu mengabarkan bahwa Arab Badui tersbut telah diampuni oleh Allah –Azza wajalla-. Menyampaikan informasi bahwa seseorang sudah diampuni oleh Allah –Azza wajalla- merupakan kabar yang butuh informasi langsung dari Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang masih hidup. Adapun mimpi, tidak bisa dietrima persaksiannya.
Imam an-Nawawi –rahimahullah- berkata:
لَا يَجُوزُ إِثْبَاتُ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِهِ لِأَنَّ حَالَةَ النَّوْمِ لَيْسَتْ حَالَةَ ضَبْطٍ وَتَحْقِيقٍ لِمَا يَسْمَعُهُ الرَّائِي وَقَدِ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ مِنْ شَرْطِ مَنْ تُقْبَلُ رِوَايَتُهُ وَشَهَادَتُهُ أَنْ يَكُونَ مُتَيَقِّظًا لَا مغفلا ولا سىء الْحِفْظِ وَلَا كَثِيرَ الْخَطَأِ وَلَا مُخْتَلَّ الضَّبْطِ وَالنَّائِمُ لَيْسَ بِهَذِهِ الصِّفَةِ
“Tidak boleh menetapkan hukum syar’i dengan mimpi, karena tidur bukanlah keadaan seseorang yang sedang mampu mengontrol dirinya dan bukan pula pada keeadaan yang sesuai realita terhadap apa yang didengar oleh seorang perawi. Para ulama telah bersepakat bahwa syarat diterimanya riwayat dan persaksian seseorang adalah dalam keadaan terjaga (tidak dalam keaan tidur), bukan yang sedang dalam keadaan lalai, dan bukan pula pada orang yang buruk hafalannya serta banyak salahnya dan yang hilang dhobtnya. Dan orang yang tidur, tidak memiliki sifat yang merupakan syarat diterimanya riwayat serta persaksiannya.[ An-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Tahqiq Hani al-Hajj dan Imad Zaki al-Barudi, Jilid 1, juz 1, hal.98, Daar at-Taufiqiyyah Li at-Turts-Kairo, t.cet, t.th.]
Dari alasan-alasan ini, maka kisah al-Utbiy sama sekali tidak bisa menjadi hujjah dibolehkannya meminta dimmohonkan syafa’at atau ampunan pada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang telah wafat. Wallahu a’lam.
Dari pemaparan ini, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang meminta pada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk di doakan kepada Allah, atau dimohonkan ampunan lewat dirinya, juga merupakan perbuatan syirik dalam doa. Hal ini karena berdoa pada sesauatu yang ghaib (tidak sedang bersamanya) merupakan kekhususan bagi Allah -Azza wajalla- yang tidak ada pada makhlukNya seorang pun termasuk para Nabi saat hidup apalagi setelah mereka meninggal dunia. Hal itu karena memberikan pertolongan pada yang meminta pertolongan, menjawab pertanyaan pada orang yang bertanya dan memberikan bantuan pada orang yang minta bantuan, tidak hanya mempersyaratkan adanya kemampuan melakukannya, tapi ada syarat sebelumnya yang harus terpenuhi, yaitu ilmu. Siapa saja yang tidak mengetahui permintaan seseorang maka bagaimana ia menjawab orang yang bertanya atau meminta bantuan padanya? Dan, jika ada yang meyakini bahwa Nabi mampu mendengar atau mengetahui sesuatu yang ghaib maka sungguh ia menjadikan kekhususan bagi Allah –Ta’ala- ada pada diri Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Oleh karenanya, tidak ada satupun hadits yang menunjukkan para sahabat berdoa pada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- atau meminta tolong kepadanya di masa hidupnya sekalipun, sementara beliau tidak ada di sisi mereka. Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- juga tidak pernah mengajari mereka seperti itu.
Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
بَلْ وَلَا أَحَدٌ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلَهُ شَرَعُوا لِلنَّاسِ أَنْ يَدْعُوا الْمَلَائِكَةَ وَالْأَنْبِيَاءَ وَالصَّالِحِينَ وَلَا يَسْتَشْفِعُوا بِهِمْ لَا بَعْدَ مَمَاتِهِمْ وَلَا فِي مَغِيبِهِمْ
“Bahkan tidak ada satupun nabi dari para nabi-nabi sebelumnya yang menyariatkan pada manusia agar berdoa pada para Malaikat, para nabi dan orang-orang saleh. Para Nabi tidak pula memerintahkan agar manusia meminta syafa’at dengan mereka, tidak setelah mereka meninggal dunia dan tidak pula dalam keghaiban (ketiadaan di sisi) mereka.”[ Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abd al-Aziz al-Jundi danAsyraf Jalal asy-Syarqawi, jilid 1, hal. 280, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1435 H.]
Ia juga berkata:
أَنْ يَدْعُوَ غَيْرَ ٱللَّهِ وَهُوَ مَيْتٌ أَوْ غَائِبٌۭ، سَوَاءً كَانَ مِنَ ٱلْأَنْبِيَاءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ أَوْ غَيْرِهِمْ، فَيَقُولُ: يَا سِيدِى فُلَانٌۭ أَغِيثْنِى أَوْ أَنَاۤ أَسْتَجِيرُ بِكَ أَوْ أَسْتَغِيثُ بِكَ أَوْ ٱنصُرْنِى عَلَىٰ عَدُوِّى وَنَحْوَىٰ ذَٰلِكَ فَهَٰذَا هُوَ ٱلشِّرْكُ بِٱللَّهِ.
“Berdoa pada selian Allah –Azza wajalla- baik itu mayyit atau pada makhluk yang ghaib, entah itu para Nabi dan orang-orang saleh atau selain mereka. Misalnya ia berkata: “Wahai Tuanku, tolonglah aku”, atau ia berkata “Aku berlindung padamu” atau ia berkata “Aku meminta tolong padamu” atau ia berkata, “Tolonglah aku menghadapi musuhku.” Atau kalimat-kalimat selainnya. Ini merupakan bentuk kesyirikan kepada Allah.”[ Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abd al-Aziz al-Jundi danAsyraf Jalal asy-Syarqawi, jilid 1, hal. 410-414, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1435 H.]
Hal ini karena meminta padanya dalam keghaibannya menunjukkan adanya klaim bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengetahui ilmu ghaib atau adanya pengetahuan yang tidak terbatas layaknya pada Allah. Padahal, pengetahuan menusia terbatas pada apa yang ia dengar atau lihat. Begitupula terhadap perkara yang ghaib, hanya Allah –Azza wajalla- yang mengetahuinya. Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengetahui ilmu ghaib bahkan diperintahkan untuk menyampaikan hal itu pada manusia.
Allah –Azza wajalla- berfirman:
قُل لَّآ أَمۡلِكُ لِنَفۡسِي نَفۡعٗا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُۚ وَلَوۡ كُنتُ أَعۡلَمُ ٱلۡغَيۡبَ لَٱسۡتَكۡثَرۡتُ مِنَ ٱلۡخَيۡرِ وَمَا مَسَّنِيَ ٱلسُّوٓءُۚ إِنۡ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٞ وَبَشِيرٞ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”.[ QS. Al-A’raf: 88]
Imam Jalaluddin as-Suyuthi[ Ia adalah Abdurrahman bin Abu Bakar bin Muhammad bin Khudari as-Suyuthi. Lihat: Syekh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (Khairul Amru Harahap Lc, M.H.I dan Achmad Faozan Lc, M.Ag., terjemahan), hal. 349,Pustaka al-Kautsar-Jakarta Timur, cet.7, 2009 M.] –rahimahullah- dalam Tafsir Jalalin[ Tafsir Jalalin adalah satu kitab tafsir yang ditulis oleh dua orang ulama yang bergelar jalaluddin. Yang pertama kali menulisnya adalah imam Jalaluddin al-Mahalli –rahimahullah- menulis mulai dari tafsir surah al-Kahfi hingga surah an-Nas. Kemudian ia menulis tafsir al-Fatihah lalu meninggal dunia. Penulisannya kemudian dilanjutkan oleh imam as-Suyuthi –rahimahullah- dimulai dari surah al-Baqarah hingga akhir surah al-Isra dengan metode penulisan yang sama. Lihat: “Muallifaa Tafsir al-Jalalin”,Islamweb. islamweb.net/ar/fatwa/20593/مؤلفا-تفسير-الجلالين (6 agustus 2024)] menyebutkan:
دوَلَوْ كُنْت أَعْلَم الْغَيْب} مَا غَابَ عَنِّي {لَاسْتَكْثَرْت مِنْ الْخَيْر وَمَا مَسَّنِيَ السُّوء} مِنْ فَقْر وَغَيْره لِاحْتِرَازِي عَنْهُ بِاجْتِنَابِ الْمَضَارّ
“Jika aku mengetahui yang ghaib yaitu sesuatu yang tidak tampak bagiku, niscaya aku akan membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan, seperti kemiskinan dan lainnya karena aku pasti bisa menjaga diri dengan menghidarinya.”[ Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir Jalalain, hal. 175, ad-Daar al-Alamiyah-Kairo, cet.1, 1436 H.]
Allah –Azza wajalla- juga berfirman:
قُل لَّآ أَقُولُ لَكُمۡ عِندِي خَزَآئِنُ ٱللَّهِ وَلَآ أَعۡلَمُ ٱلۡغَيۡبَ وَلَآ أَقُولُ لَكُمۡ إِنِّي مَلَكٌۖ إِنۡ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰٓ إِلَيَّۚ
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”[ QS. Al-AN’am: 50]
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengetahui hal yang ghaib dimasa hidupnya, apatahlagi setelah kewafatannya??
Allah –Azza wajalla- berfirman:
إِن تَدۡعُوهُمۡ لَا يَسۡمَعُواْ دُعَآءَكُمۡ وَلَوۡ سَمِعُواْ مَا ٱسۡتَجَابُواْ لَكُمۡۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يَكۡفُرُونَ بِشِرۡكِكُمۡۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثۡلُ خَبِيرٖ
“Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.”[ QS. Fathir: 14]
Imam ath-Thobari –rahimahullah- berkata:
يَقُولُ تَعَالَىٰ ذِكْرُهُ: إِن تَدْعُوا۟ أَيُّهَا ٱلنَّاسُ هَٰٓؤُلَاءِ ٱلْءَٰلِهَةَ الَّتِى تَعْبُدُونَهَا مِن دُونِ ٱللَّهِ لَا يَسْمَعُونَ دُعَاءَكُمْ؛ لِأَنَّهَا جَمَادٌ لَا تَفْهَمُ عَنْكُمْ مَا تَقُولُونَ، وَلَوْ سَمِعُوا۟ مَا ٱسْتَجَابُوا۟ لَكُمْ، يَقُولُ: وَلَوْ سَمِعُوا۟ دُعَاءَكُمْ إِيَّاهُمْ وَفَهِمُوا۟ عَنْكُمْ أَنَّهَا قَوْلُكُمْ، بِأَنْ جُعِلَ لَهُمْ سَمْعٌ يَسْمَعُونَ بِهِ، مَا ٱسْتَجَابُوا۟ لَكُمْ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ نَاطِقَةً، وَلَيْسَ كُلُّ سَامِعٍ قَوْلًۭا مُتَيَسِّرًۭا لَهُ ٱلْجَوَابُ عَنْهُ.
“Allah –Ta’ala- berfirman, “Jika kalian berdoa pada tuhan-tuhan yang kalian sembah selain Allah itu wahai sekalian manusia, mereka tidak akan mendengar doa-doa kalian, karena ia adalah sesautu yang telah mati tidak paham apa yang kalian katakan. Firman Allah –Azza wajalla- “Jikapun mereka mendengar kalian niscaya mereka tidak akan dapat menajwab kalian” maksudnya, jikapun mereka mendengar doa-doa kalian terhadap mereka, juga memahami perkataan kalian, dengan menjadikan pada mereka pendengaran yang dengannya dapat mendengar “Tetap saja tidak bisa menjawab kalian” karena ia tidak bisa berbicara. Tidak semua yang mendenar perkataan akan mudah baginya menjawabnya.”[ Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wiil Aay al-Qur’an, tahqiq Islam Manshur Abd al-Hamid dkk, jilid 9, hal. 376, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H ]
Allah –Azza wajalla- berfirman:
وَٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ لَا يَخۡلُقُونَ شَيۡٔٗا وَهُمۡ يُخۡلَقُونَ أَمۡوَٰتٌ غَيۡرُ أَحۡيَآءٖۖ وَمَا يَشۡعُرُونَ أَيَّانَ يُبۡعَثُونَ
“Dan apa-apa yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang mereka itu (sendiri) dibuat orang. (Apa yang mereka seru itu) adalah benda mati tidak hidup, dan tidak mengetahui bilakah penyembah-penyembahnya akan dibangkitkan.”[ QS. An-Nahl: 20-21]
Kesimpulannya, meminta pada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk meminta doa atau meminta syafa’at setelah wafatnya merupakan perbuatan syirik yang tidak boleh dilakukan.[ Sebagian orang menentang serta mengingkari hal ini seraya mengatakan “Apakah para ulama dan imam-imam besar kaum muslimin yang telah diakui keilmuannya yang membolehkan hal ini seperti imam Ibnu Katsir, Imam an-Nawawi dan lainnya mengajarkan kesyirikan sedangkan engkau tidak mengajarkan kesyirikan dan lebih paham tauhid daripada mereka? Kita jawab: “Mereka tidak pernah mengajari manusia berbuat kesyirkan, bahkan sesungguhnya mereka merupakan diantara ulama yang paling keras menentang kesyirikan. Pendapat mereka dalam membolehkan hal ini terjadi karena perkara yang tersamarkan oleh mereka, sehingga mengiranya bukan sebagai perkara syirik. Hal ini bahkan pernah hampir terjadi di zaman sahabat.
Imam Ibnu Rajab al-Hambali -rahimahullah- berkata:
رُوِىَ عَنْ ٱلْمَعْرُورِ بْنِ سُوَيْدٍ، قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ عُمَرَ فِى حَجَّةٍ حَجَّهَا، فَلَمَّا إِنْصَرَفَ رَءَاَى ٱلنَّاسَ مَسْجِدًۭا فَبَادَرُوهُ، فَقَالَ: مَا هَٰذَا؟ قَالُوا۟: مَسْجِدٌ صَلَّى فِيهِ النَّبِىُّ – صَلَّىٰ ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَقَالَ: هَٰكَذَا هَلَكَ أَهْلُ ٱلْكِتَابِ قَبْلَكُمْ، اتَّخَذُوا۟ ءَاثَارَ أَنْبِيَآئِهِمْ بِيَعًۭا، مَن عَرَضَتْ لَهُۥ مِنكُمْ فِيهِ ٱلصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ، وَمَن لَمْ تَعْرِضْ لَهُۥ ٱلصَّلَاةُ فَلْيَمْضِ.
“Driwayatkan dari al-Ma’rur bin Suwaid dia berkata, kami pernah keluar bersama Umar pada satu ibadah haji yang ia lakukan. Ketika ia pergi, ia melihat orang-orang yang bergegas ke satu masjid, lalu Umar berkata, “Ada apa ini?” Mereka berkata, “Ini adalah masjid yang dahulu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah melaksanakan sholat di dalamnya.” Maka Umar berkata, “Seperti perbuatan kalian inilah orang-orang ahli kitab sebelum kalian binasa. Mereka menjadikan atsar-atsar Nabi-Nabi mereka sebagai tempat ibadah. Siapa diantara kalian yang mendapatkan waktu sholat disana maka sholatlah. Namun, jika tidak, maka hendaklah ia berlalu.” Lihat: Ibnu Rajab al-Hambali, Fathu al-Bari Fi Syarhi Sahih al-Bukhari, Tahqiq Abu Mu’adz Thariq bin Audhullah Muhammad, Jilid 2, hal. 300, Daar Ibni al-Jauzi-Damam, cet 1, 1440 H.)
Apa yang dilakukan oleh Umar bin Khtattab -radhiyallahu ‘anhu- adalah upaya beliau untuk menjaga manusia dari segala jalan yang bisa saja menjerumuskan manusia pada kesyirikan, yaitu mengkultuskan sesuatu yang tidak perlu dikultuskan. Olehnya, sebagaimana diriwaytkan oleh Nafi’ –rahimahullah-, ketika Umar -radhiyallahu ‘anhu- mendengar adanya orang-orang yang datang ke satu pohon tempat pelaksanaan baiat dan melaksanakan sholat di bawah pohon itu, maka Umar -radhiyallahu ‘anhu- memerintahkan untuk menebang pohon tersebut. (Ibnu Rajab al-Hambali, Fathu al-Bari Fi Syarhi Sahih al-Bukhari, Tahqiq Abu Mu’adz Thariq bin Audhullah Muhammad, Jilid 2, hal. 300, Daar Ibni al-Jauzi-Damam, cet 1, 1440 H.)
Para sahabat dahulu pernah meminta kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-agar dibuatkan dzatu anwath yaitu sebatang pohon yang padanya digantungkan keinginan-keinginan) hingga Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- menegur mereka dan berkata, “Subhanallah, ini seperti perkataan kaum Musa jadikan untuk kami tuhan sebagaimana tuhan mereka.” Lihat: Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wiil Aay al-Qur’an, tahqiq Islam Manshur Abd al-Hamid dkk, jilid 5, hal. 471, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.
Kisah itu menunjukkan bahwa ada perkara-perkara yang tersamarkan pada manusia sehingga mengiranya bukan perkara kesyrikan namun ternyata ia adalah perkara syirik. Kita tidak pernah mengklaim lebih pandai dan lebih paham ilmu agama daripada para ulama itu. Hanya saja, ada sebagaian perkara yang kadang tersamarkan oleh suatu kaum sehingga salah dalam berpendapat tentangnya dan ada orang lain yang mengetahuinya.]
Kondisi yang ketiga, yaitu berdoa kepada Allah dengan cara bertawassull menggunakan jah (kedudukan) atau dzat atau kedudukan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang telah wafat. Perbuatan ini walaupun tidak masuk dalam kategori perbuatan syirik, ia masuk dalam kategori perbuatan bid’ah yang haram yang juga dapat mengantarkan seseorang pada perbuatan syirik. Tidak dinafikan bahwa memang diantara ulama ada yang membolehkan hal ini[ Diantaranya adalah imam al-Izz bin Abd as-Salam dan imam asy-Syaukani –rahimahumallah-.], hanya saja tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari sahabatnya untuk berdoa kepada Allah –Ta’ala- dengan bertawassul menggunakan kedudukannya, dzat atau haknya di sisi Allah –Azza wajalla-, karena tidak ada hak seorang makhlukpun atas Allah –Azza wajalla-[ Maksudnya tidak ada satupun makhluk yang memiliki hak dirinya sendiri atas Allah. Hak itu ada jika Allah menjadikan sesuatu menjadi hak baginya, mislanya hak bagi hamba untuk tidak diazab jika mereka mentauhidkan Allah –Ta’ala- atau hak untuk dikabulkan doanya jika mereka berdoa kepadaNya, karena Allah telah menjanjikan itu pada hamba yang berdoa kepadaNya.
Oleh karena itu, Imam Ibnu Abi al-Izz –rahimahullah- dalam Syarh Aqidah Thahawiyahnya menyebutkan perbedaan antara orang yang menyebut dalam doanya “Dengan hak orang yang berdoa kepadaMu” dan “Dengan hak NabiMu”. Adapun berdoa dengan ucapan “Dengan hak orang yang meminta kepadaMu’ itu dibolehkan karena Allah –Ta’ala- telah menjanjikan mereka dengan pengijabahan doa jika mereka meminta padaNya. Sedangkan meminta “Dengan hak nabiMu” sekalipun Allah menjadikan untuknya hak dengan janjiNya yang benar, tapi hak itu tidak sesuai dengan pengijabahan doa dengannya (dengan kata lain, hak itu tidak berkaitan dengan pengijabahan doa-pent). Ini seperti orang yang berkata, “Karena hambaMu adalah orang saleh maka kabulkanlah doaku. Justru ini merupakan bentuk I’tida (perbuatan yang melampaui batas) dalam doa. Sementara Allah –Azza wajalla- telah berfirman:
ٱدۡعُواْ رَبَّكُمۡ تَضَرُّعٗا وَخُفۡيَةًۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55). Lihat: Ibnu Abi al-Izz, Syarh al-Aqidah ath-Thohawiyyah, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdurrahman at-Turki dan Syu’aib al-Arnauth, jilid 1, hal. 361, Daar ar-Risalah-Beirut, cet. 2, 1433 H.
Hujjah imam Ibnu Abi al-Izz –rahimahullah- terhadap pembolehann berdoa dengan menyebut hak orang yang berdoa kepada Allah, merupakan hadits yang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Syekh a-Albani –rahimahullah- menjelaskan kedhaifan hadits ini dalam kitab Tawassulnya. Lihat: Muhammad Nashiruddin al-Albani, at-Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu, hal. 92, Maktabah al-Ma’arif Li an-Naysri wa at-Tauzi’, cet.1, 1421 H.]. Oleh karena itu, hukum yang benar akan hal ini adalah haram, sebab ia merupakan perbuatan bid’ah.
Imam al-Kasaani[ Ia adalah Alauddin al-Kasani atau al-Kasyani seorang seorang ulama yang ahli dalam fiqh Hanafi dan sangat terkenal akan hal itu dan merupakan salah satu tokoh besar dalam deretan ulama-ulama mazhab Hanafi. Ia digelari sebagai rajanya ulama hadits di masanya. Ia wafat pada tahun 580 H. Lihat: “Alauddin al-Kasani”, Wikipedia al-Mausuu’ah al-Hurrah. ar.wikipedia.org/wiki/علاء-الدين-الكاساني (9 agustus 2024).] –rahimahullah- berkata:
وَيُكْرَهُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَقُولَ فِي دُعَائِهِ أَسْأَلُك بِحَقِّ أَنْبِيَائِك وَرُسُلِك وَبِحَقِّ فُلَانٍ لِأَنَّهُ لَا حَقَّ لِأَحَدٍ عَلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى جَلَّ شَأْنُهُ
“Makruh bagi seorang yang berdoa berkata dalam doanya, “Aku memohon kepadaMu dengan hak para NabiMu atau hak para RasulMu, karena tidak ada hak seorangpun atas Allah –Subhanahu wata’ala- yang Maha Tinggi kedudukannya.[ Al-Kasani, Badaa-I’ ash-Shnaa-I’ Fi Tartiib asy-Syara-I’, jilid 5, hal. 126, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet.2, 1406 H.]
Imam Abu al-Barakaat al-Alusi[ Dia adalah Khairuddin Abu al-Barakaat an-Nu’man bin Syihab ad-Diin Abu ats-Tsanaa Mahmun bin Abdillah Aaluusi, putra dari seorang ulama besar yang bermadzahab Hanafi yang menulis kitab Tafsir terkenal Ruuh al-Ma’ani. Lihat: Al-Allamah al-Atsari an-Nu’man al-Alusi, al-Alukah ats-Tsaqafiyah. alukah.net/culture/0/916/العلامة-الأثري-النعمان-الأبوسي/. (18 Agustus 2024)] –rahimahullah- berkata:
وفي جَمِيعِ مَتُونِهِمْ: أَنَّ قَوْلَ ٱلدَّاعِىِ ٱلتَّوَسُّلِ بِحَقِّ ٱلْأَنْبِيَآءِ وَٱلْأَوْلِيَآءِ، وَبِحَقِّ ٱلْبَيْتِ وَٱلْمُشْعَرِ ٱلْحَرَامِ – مَكْرُوهٌ كَرَاهَةَ تَحْرِيمٍ، وَهِيَ كَالْحَرَامِ فِى ٱلْعُقُوبَةِ بِالنَّارِ عِندَ مُحَمَّدٍ، وَعَلَّلُوا۟ ذَٰلِكَ بِقَوْلِهِمْ: لِأَنَّهُ لَا حَقَّ لِلْمَخْلُوقِ عَلَى ٱلْخَٰلِقِ.
“Dan, pada semua mutun mazhab Hanafi menyebutkan bahwa perkataan seorang yang berdoa menggunakan hak para Nabi, para wali, hak ka’bah dan al-Masy’ar al-Haram merupakan sesuatu yang hukumnya makruh pengharaman, sebagaimana haramnya menyiksa dengan api menurut imam Muhammad. Mereka menjelaskan sebabnya yaitu karena tidak ada hak makhluk atas Tuhan Sang Pencipta.[ Abu al-Barakaat al-Alusi, Jalaau al-‘Ainain Bimuhakamati al-Ahmadain, tahqiq Ad-Dani bin Munir Alu Zahwi, hal. 442, al-Maktabah al-Ashriyah-Beirut, cet.1, 1427 H.]
Imam Ibnu Abi al-Izz[ Dia adalah Imam al-Allamah Shadruddin Abu al-Hasan Ali bin Alauddin Ali bin SyamsuddinAbu Abdillah Muhammad bin SyarifuddinAbu al-Barakaat Muhammad bin Izzuddin Abu al-Izz.] –rahimahullah- berkata:
قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَصَاحِبَاهُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ: يُكْرَهُ أَنْ يَقُولَ الدَّاعِي: أَسْأَلُكَ بِحَقِّ فُلَانٍ، أَوْ بِحَقِّ أَنْبِيَائِكَ وَرُسُلِكَ، وَبِحَقِّ الْبَيْتِ الْحَرَامِ
“Abu Hanifah[ Ia adalah imam al-Faqih, ulama besar Iraq Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutho at-Taimi, imam besar mazhab Hanafi. Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, Jilid 6, hal 390,Muassash a-Risalah, cet. 3., 1405 H., Maktabah Syamilah.] dan dua sahabatnya –semoga Allah meridhoi mereka- berkata: “Makruh hukumnya seseorang berdoa dengan lafaz “Aku memohon kepadaMu dengan hak fulan, atau hak para Nabi dan RasulMu dan hak Bait al-Haram.”[ Ibnu Abi al-Izz, Syarh al-Aqidah ath-Thohawiyyah, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdurrahman at-Turki dan Syu’aib al-Arnauth, jilid 1, hal. 362, Daar ar-Risalah-Beirut, cet. 2, 1433 H.]
- Dalil-dalil yang Membolehkan Istightsah pada Nabi saw Setelah Wafat dan Jawaban Terhadapnya
- Klaim Ijma’ Ulama
Beberapa ulama mengklaim adanya ijma’ tentang kebolehan beristighatsah kepada Nabi Muhammad –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Diantara ulama yang mengklaim ijma’ akan hal ini adalah imam ath-Thufi[ Ath-Thufi, al-Isyaaraat al-Ilahiyah Ila al-Mabahits al-Ushuliyah, tahqiq Muhammad Hasan Muhammad Hasan Isma’il Asy-Syafi’I, hal. 480, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet.1, 1426 H.] dan imam as-Subki. Bahkan imam as-Subki mengklaim bahwa semua ulama sepakat hingga datang Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-. ia berkata:
اعْلَمْ أَنَّهُ يَجُوزُ وَيَحْسُنُ التَّوَسُّلُ وَٱلِٱسْتِغَاثَةُ وَٱلتَّشَفُّعُ بِالنَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم إِلَىٰ رَبِّهِۦ سُبْحَٰنَهُ وَتَعَٰلَىٰ، وَجَوَازُ ذَٰلِكَ وَحُسْنُهُ مِنَ ٱلْأُمُورِ ٱلْمَعْلُومَةِ لِكُلِّ ذِي دِينٍ، ٱلْمَعْرُوفَةِ مِنْ فِعْلِ ٱلْأَنْبِيَآءِ وَٱلْمُرْسَلِينَ وَسِيرَةِ ٱلسَّلَفِ ٱلصَّٰلِحِينَ وَٱلْعُلَمَآءِ وَٱلْعَوَامِّ مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ. وَلَمْ يُنْكِرْ أَحَدٌۭ ذَٰلِكَ مِنْ أَهْلِ ٱلْأَدْيَانِ، وَلَا سُمِعَ بِهِۦ فِى زَمَانٍۢ مِنَ ٱلْأَزْمَٰنِ، حَتَّىٰ جَآءَ ٱبْنُ تَيْمِيَّةَ، فَتَكَلَّمَ فِى ذَٰلِكَ بِكَلَامٍ يُلَبِّسُ فِيهِ عَلَى ٱلضَّعَفَاءِ ٱلْأَغْمَارِ، وَٱبْتَدَعَ مَا لَمْ يُسْبَقْ إِلَيْهِ فِى سَائِرِ ٱلْأَعْصَارِ.
“Ketahuilah bahwasanya boleh dan merupakan perbuatan yang baik bertawassul dan beristighatsah dan meminta syafa’at dengan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada Allah –Azza wajalla-. Kebolehan dan kebaikan perbuatan ini merupakan perkara yang telah maklum bagi semua orang yang baik agamanya, yang telah ma’ruf dari perbuatan para nabi dan rasul, jalan para salaf, para ulama hingga kalangan awam kaum muslimin. Tidak ada yang mengingkari hal itu dari para ahli agama, tidak terdengar adanya pengingkaran sampai datang Ibnu Taimiyah yang berbicara tentang itu. Ia mentalbis pada orang-orang lemah. Ia membuat bid’ah yang belum pernah ada mendahuluinya dari kalangan manusia di seluruh zaman.”[ As-Subki, Syifaau as-Siqam Fii Ziyarati Khairi al-Anam, tahqiq Husain Muhammad ‘Ali Syukri, hal. 357, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet.1, 1429 H. ]
Perkataan imam as-Subki ini kemudian diikuti oleh orang-orang setelahnya tanpa menelitinya, utamanya sebagian orang yang memiliki penyakit hati pada da’i yang menyeru pada pemurinan ibadah dan tauhid kepada Allah –Ta’ala-.
Namun klaim ijma’ akan kebolehan ini tidak benar. Terkait klaim ijma’ tawassul dengan jah dan dzat Nabi –Shallalahu ‘alaihi wasallam- telah terbentahkan dengan penjelasan sebelumnya, berupa nukilan kalam ulama yang melarang tawassul menggunakan jah Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, diantaranya yaitu Imam Abu Hanifah –rahimahullah- dan dua orang sahabatnya, serta ulama lainnya yang telah disebutkan sebelumnya.
Kemudian, klaim ijma’ kebolehan istighatsah pada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan tidak ada yang melarangnya hingga datang Ibnu Taimiyah –rahimahullah- ini juga merupakan pernyataan yang tidak benar.
Imam al-Qadhi Abu Ya’la Ibnu al-Farra al-Hanbali[ Ia adalah imam al-Allamah al-Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain bin Muhammad bin Khalf bin Ahmad al-Baghdadi al-Hanbali Ibnu al-Farra. Lihat: Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, Jilid 18, hal 89,Muassash a-Risalah, cet. 3., 1405 H., Maktabah Syamilah.] –rahimahullah- pernah ditanya tentang seseorang yang menyebut nama Muhammad dan ‘Ali ketika ia mengalami kesulitan, ia kemudian menjawab:
إِنْ قَصْدَ ٱلِٱسْتِعَانَةِ فَهُوَ مُخْطِئٌۭ لِأَنَّ ٱلْغَوْثَ مِنَ ٱللَّهِ تَعَٰلَىٰ فَقَالَ: وَهُمَا مَيْتَانِ فَلَا يَصِحُّ ٱلْغَوْثُ مِنْهُمَا، وَلِأَنَّهُ يَجِبُ تَقْدِيمُ ٱللَّهِ عَلَىٰ غَيْرِهِ.
“Jika maksudnya dengan memanggil nama itu adalah meminta pertolongan maka ia telah melakukan perbuatan yang salah. Karena pertolongan datang dari Allah –Ta’ala-“. Ia juga berkata, “Keduanya telah wafat, maka pertolongan tidak bisa dari keduanya dan karena menadahulukan Allah dari selainNya merupakan kewajiban.”[ Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Badai’ al-Fawaid, tahqiq Sayyid Imran dan Amir Shalah, jilid 2, vol.4, hal. 814, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1427 H.]
Imam al-Qadhi Abu Ya’la –rahimahullah- adalah seorang ulama yang wafat pada tahun 458 H sedangkan imam Ibnu lahir pada tahun 661 H. Sehingga, jarak kelahiran Imam Ibnu Taimiyah dan kewafatan imam Abu Ya’la yaitu 203 tahun. Dari sini, tuduhan dan klaim Imam as-Subki terbukti tidak benar.
Sebelum Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu ‘Aqil[ Ia adalah imam al-allamah al-Bahr Abu al-Wafaa Ali bin Aqil bin Muhammad bin Aqil bin Abdllah al-Baghdadi, salah seorang ulama besar mazhab Hanabilah. Lihat: Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, tahqiq MuhammadAiman asy-Syabrawi, Jilid 14, hal 330, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1427 H.] –rahimahullah- lebih dahulu berkata:
وَهُمْ كُفَّارٌ عِندِى بِهَٰذِهِ ٱلْأَوْضَاعِ مِثْلَ تَعْظِيمِ ٱلْقُبُورِ وَإِكْرَامِهَا بِمَا نَهَى ٱلشَّرْعُ عَنْهُ مِنْ إِيقَادِ ٱلنِّيرَانِ وَتَقْبِيلِهَا وَتَخْلِيفِهَا وَخِطَابِ ٱلْمَوْتَىٰ بِٱلْأَلْوَاحِ وَكُتُبِ ٱلرِّقَاعِ فِيهَا: يَا مَوْلَايَ أَفْعَلُ بِى كَذَا وَكَذَا وَأَخْذِ ٱلتُّرَابِ تَبَرُّكًۭا وَإِفَاضَةِ ٱلطِّيبِ عَلَىٰ ٱلْقُبُورِ.
“Bagiku, mereka dengan sifat-sifat ini adalah orang-orang kafir, seperti mengangungkan kuburan, memulikannya dengan perbuatan yang dilarang oleh syariat, menyalakan api di atasnya, menciumnya dan berbicara dengan mayat menggunakan lembaran lauh dan menulis padanya kalimat “Wahai tuanku, lakukanlah begini dan begini, mengambil tanah kuburan dengan alasan mengambil berkah, menyirami wangian di atas kuburan.”[ Dinukil oleh imam Ibnu al-Jauzi dalam Talbis Iblis. Lihat: Ibnu al-Jauzi, Talbis Iblis, hal. 575, Daar al-Wasathiyah-Kairo, cet. 2, 1436 H.]
Imam Ibnu Aqil wafat pada tahun 513 H sedangkan Imam Ibnu Taimiyah lahir pada tahun 616 H. jarak antara keduanya lebih 100 tahun. Dari sini terbukti bahwa klaim Imam as-Subki akan ijma’ kebolehan istighatsah pada orang yang telah meninnggal dunia dan tidak ada yang mengingkarinya adalah satu kedustaan. Wallahu A’lam.
Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- justru menukil ijma’ ulama akan pelarangan beristighatsah pada orang-orang yang telah meninggal dunia, pada Nabi atau orang-orang saleh kaum muslimin. Nukilan beliau disepakati oleh para ulama Hanabilah setelahnya dan ulama-ulama seain mazhab Hanabailah.
Hal ini sebagaimana dinukilkan oleh imam Ibnu Dhouyan –rahimahullah-:
وَقَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: أَوْ كَانَ مُبْغِضًا لِرَسُولِهِ، أَوْ مَا جَاءَ بِهِ اتِّفَاقًا، أَوْ جَعَلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ وَسَائِطًا يَتَوَكَّلُ عَلَيْهِمْ، وَيَدْعُوهُمْ وَيَسْأَلُهُمْ: كَفَرَ إِجْمَاعًا.
“Syekh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah –rahimahullah berkata: “-(Diantara perkara yang dapat menyebabkan murtadnya seseorang yaitu) membenci RasulNya, atau membenci apa yang datang dengannya (sunnah-sunnahmya) yang hal itu telah disepakati. Atau, ia menjadikan adanya perantara (wasilah) antara Allah dengan dirinya, ia bertawakkal padanya serta berdoa dan meminta kepadanya. Hal ini merupakan perbuatan kufur berdasarkan ijma’ ulama.”[ Ibnu Dhouyan, Manaar as-Sabil Fii Syarhi ad-Dalil, Jilid 2, hal. 299, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.)]
Yang mengingkari perbuatan istighatsah pada mayit dan menganggapnya sebagai perbuatan syirik bukan kalangan Hanabilah saja. Imam al-Maqrizi[ Ia adalah Ahmad bin Ali bin Abd al-Qadir bin Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad bin Tamim al-Maqrizi. Demikian ia menulis namanya sendiri dalam kitab Mukhtashar al-Kamil. Lihat: al-Maqrizi, Mukhtashar al-Kamil Fii adh-Dhuafaa, tahqiq Aiman bin Arif ad-Dimasyq, hal. 844, Maktanah Sunnah-Kairo, cet. 1. 1415 H.] –rahimahullah- seorang ulama bermazhab Syafi’I juga mengingkari itu dan menyebutnya sebagai kesyirikan. ia berkata:
وَقَوْمٌ يَزُورُونَهُمْ يَدْعُونَ بِهِمْ، فَهَؤُلَاءِ هُمْ الْمُشْرِكُونَ
“Ada suatu kaum yang menziarahi mereka dan berdoa pada mereka, mereka adalah orang-orang yang telah menyekutukan Allah.”[ Al-Maqirizi, Tajrid at-Tauhdi al-Mufid, tahqiq Dr. Ali bin Muhammad al-Imran, hal 54, Daar ash-Shami’I Li an-Nasyr Wa at-Tauzi’-Riyadh, cet. 3, 1436 H.]
Ada satu buku yang sangat berfaidah tentang hal ini yang mengumpulkan perkataan-perkataan ulama mazhab Hanafi dalam membentengi umat dari finah kesyirikan para penyembah kubur yang ditulis oleh Dr. Syamsuddin al-Afghani dengan judul Juhud Ulama al-Hanafiyah Fii Ibthali Aqaid al-Quburiyah. Untuk lebih menambah faidah, silahkan kembali pada buku tersebut.
- Nabi Hidup di Dalam Kuburnya
Salah satu hujjah orang-orang yang beristighatsah pada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- yaitu bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- hidup di dalam kuburnya. Sehingga, ia mampu mendengar dan melakukan apa yang diminta oleh seorang muslim sebagaimana ia hidup di dunia. Mereka kemudian berhujjah dengan firman Allah –Azza wajalla-:
فَأَخَذَتۡهُمُ ٱلرَّجۡفَةُ فَأَصۡبَحُواْ فِي دَارِهِمۡ جَٰثِمِينَ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ شُعَيۡبٗا كَأَن لَّمۡ يَغۡنَوۡاْ فِيهَاۚ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ شُعَيۡبٗا كَانُواْ هُمُ ٱلۡخَٰسِرِينَ فَتَوَلَّىٰ عَنۡهُمۡ وَقَالَ يَٰقَوۡمِ لَقَدۡ أَبۡلَغۡتُكُمۡ رِسَٰلَٰتِ رَبِّي وَنَصَحۡتُ لَكُمۡۖ فَكَيۡفَ ءَاسَىٰ عَلَىٰ قَوۡمٖ كَٰفِرِينَ
“Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka, (yaitu) orang-orang yang mendustakan Syu’aib seolah-olah mereka belum pernah berdiam di kota itu; orang-orang yang mendustakan Syu’aib mereka itulah orang-orang yang merugi. Maka Syu’aib meninggalkan mereka seraya berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku telah memberi nasehat kepadamu. Maka bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?”[ QS. Al-A’raf: 91-93]
Hujjah mereka juga yaitu hadits-hadits yang menunjukkan bahwa orang yang berada di dalam kubur dapat menjawab salam orang yang memberi salam kepada mereka di dunia, sehingga menunjukkan mereka bisa beramal di dalam kubur mereka.
Imam ath-Thufi –ghafarahullah-. dalam Isyarat Ilahiyahnya. berkata: “Bahwa jika beristighatsah pada orang yang masih hidup dibolehkan, maka pada orang yang telah meninggal dunia lebih utama untuk didahulukan, hal itu karena beberapa alasan:
1. Mereka telah berada di Daar al-Karamah (tempat yang mulia) dan Daar al-Jazaa (tempat balasan amalan) sedangkan orang yang masih hidup masih ada pada Daar at-Taklif (tempat pembebanan amalan).
2. Orang yang telah meninggal dunia telah terpisah dari kehidupan dunia yang kemudian dapat menyampaikan mereka pada kehidupan akhirat. Adapun orang yang masih hidup masih berada di alam dunia.
3. Para syuhada terhijab dengan kehidupan mereka, adapun kematian mereka merupakan bentuk kehidupan yang mendapat rezki dengannya.
Pernyataan ini merupakan sesuatu yang salah dari beberapa sisi:
1. Orang yang telah meninggal dunia memang dapat mendengar dan menjawab salam orang yang memberi salam pada mereka, tapi hanya sebatas pada yang dikabarkan oleh Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang alam barzakh yang ghaib. Mereka sudah tidak dapat beramal lagi[ Imam al-Baghawi menyebutkan dalam Syarh Sunnahnya bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثَةٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ ” هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ، أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُجْرٍ
“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang saleh yang mendoakannya. Hadits ini sahih diriwayatkan oleh imam Muslim dari Ali Bin Jabir.” Lihat: al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, tahqiq Sa’id as-Sinnari, Jilid 1, hal. 210, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1434 H.] layaknya saat berada di alam dunia, seperti berdoa untuk diri mereka sendiri atau menjawab permintaan orang lain, melaksanakan sholat[ Pada persitiwa isra’ dan Mi’raj Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihat para Nabi yang melakansakan sholat. Hal ini tentu saja setelah kematian mereka. Tapi, kejadian ini merupakan kejadian khusus untuk menunjukkan keMahakuasaan Allah –Ta’ala- yang terjadi atas perintah Allah. Adapun sholat di alam barzakh atau amalan saleh lainnya secara umum untuk menambah timbangan kebaikan mereka di akhirat, maka hal itu sudah tidak dapat lagi di lakukan. Hal ini berdasakan firman Allah –Azza wajalla-:
حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ رَبِّ ٱرۡجِعُونِ لَعَلِّيٓ أَعۡمَلُ صَٰلِحٗا فِيمَا تَرَكۡتُۚ كَلَّآۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَاۖ وَمِن وَرَآئِهِم بَرۡزَخٌ إِلَىٰ يَوۡمِ يُبۡعَثُونَ
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.”(QS. Al-Mukminun: 99-100)
Juga firman Allah –Azza wajalla-
وَأَنفِقُواْ مِن مَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنِيٓ إِلَىٰٓ أَجَلٖ قَرِيبٖ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS. Al-Munafiquun: 10)
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata: “Ayat ini berkaitan dengan perintah Allah –Ta’ala- kepada orang-orang beriman agar tidak terlalaikan oleh harta dan dan anak-anak mereka serta agar dapat berinfak di jalan Allah, sebelum datangnya kematian. Sebab, pada hari kiamat semua akan menyesal setelah kematiannya dan meminta untuk dipanjangkan masa hidupnya walau sedikit saja, agar dapat melakukan apa yang dahulu ia lalaikan. Semuanya akan menyesal sesuai dengan kelalaiannya.” Lihat: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid 4, hal. 321, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet. 3, 1433 H.
Kalimat “Agar menjadi orang-orang saleh” pada ayat tersebut bentuknya umum sehingga maksudnya agar dapat melakukan kewajiban-kewajiban lainnya. Demikian ditafsirkan oleh imam ath-Thobari –rahimahullah-. Lihat: Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wiil Aay al-Qur’an, tahqiq Islam Manshur Abd al-Hamid dkk, jilid 10, h827al. 309, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.], beriman atau amalan lainnya. Maka meminta pada mereka jelas suatu kesia-sian, sebab kehidupan mereka di alam barzakh juga merupakan kehidupan yang memiliki batas-batas. Jangankan untuk mendoakan untuk orang lain, mendoakan untuk diri mereka sendiri mereka sudah tidak bisa lagi.
2. Kehidupan setelah kematian tidak hanya dirasakan oleh orang-orang saleh saja, tapi juga oleh orang-orang kafir yang mendapat siksa. Oleh karena itu, terdapat informasi di dalam al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menjelaskan bahwa mereka dapat berbicara kemana jasad mereka akan diantarkan[ Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari –rahimahullah- bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا وُضِعَتِ الجِنَازَةُ، فَاحْتَمَلَهَا الرِّجَالُ عَلَى أَعْنَاقِهِمْ، فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَالَتْ: قَدِّمُونِي، قَدِّمُونِي، وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ صَالِحَةٍ قَالَتْ: يَا وَيْلَهَا، أَيْنَ يَذْهَبُونَ بِهَا؟ يَسْمَعُ صَوْتَهَا كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الإِنْسَانَ، وَلَوْ سَمِعَهَا الإِنْسَانُ لَصَعِقَ
“Jika jenazah diletakkan lalu diantarkan oleh para pemandu di atas pundak mereka, maka jika jenazah tersebut termasuk orang shalih (semasa hidupnya) maka dia akan berkata: ‘Bersegeralah kalian, bersegeralah kalian (membawa aku)’. Dan jika ia bukan dari orang shalih, maka dia akan berkata: ‘Celaka, kemana mereka akan membawanya?’. Suara jenazah itu didengar oleh setiap makhluq kecuali manusia dan seandainya ada manusia yang mendengarnya tentu dia akan jatuh pingsan”. Lihat: Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, tahqiq Muhammad Zahir bin Nashir an-Nashir, Jilid 2, hal. 100, Daar Thuuq an-Najah, cet. 1, 1422 H. Maktabah Syamilah.], atau melihat siksa mereka di neraka. Itu adalah kehidupan alam barzakh bagi mereka.
Allah –Azza wajalla- berfirman:
ٱلنَّارُ يُعۡرَضُونَ عَلَيۡهَا غُدُوّٗا وَعَشِيّٗاۚ وَيَوۡمَ تَقُومُ ٱلسَّاعَةُ أَدۡخِلُوٓاْ ءَالَ فِرۡعَوۡنَ أَشَدَّ ٱلۡعَذَابِ
“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras”.[ QS. Ghafir: 46]
Ayat ini menunjukkan kehidupan barzakh orang kafir yang mendapat siksa. Sekiranya kehidupan barzakh sama dengan kehidupan dunia, yaitu dapat beramal, meminta atau berdoa, niscaya orang-orang kafir akan beriman dan meminta agar diselamatkan dari siksa api neraka. Demikianpula orang-orang beriman, mereka akan meminta agar kehidupan mereka di akhirat bisa berada pada tempat yang lebih tinggi dari yang lainnya.
3. Kehidupan barzakh berbeda dengan kehidupan dunia. Mereka memang dapat mendengar tapi tidak mampu menjawab. Hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang diriwayatkan oleh imam ath-Thobarani[ Ia adalah imam al-Hafizh Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Muthayyir al-Lakhmi ath-Thobarani. Lihat: Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, tahqiq MuhammadAiman asy-Syabrawi, Jilid 12, hal 201, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1427 H.] –rahimahullah- dan disahihkan sanadnya oleh imam Ibnu Hajar –rahimahullah-, di dalam Fathu al-Barinya ia berkata:
وَلِلطَّبَرَانِيِّ من حَدِيث بن مَسْعُودٍ مِثْلُهُ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ وَمِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سِيدَانِ نَحْوَهُ وَفِيهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ يَسْمَعُونَ قَالَ يَسْمَعُونَ كَمَا تَسْمَعُونَ وَلَكِن لَا يجيبون
“Dalam riwayat Thobarani dari hadits Ibnu Mas’ud dan yang semisalnya dengan sanad yang sahih dan dari hadits Abdullah bin Saidan dan semisalnya, di dalamnya para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka mendengar? Beliau bersabda, Ya” akan tetapi mereka tidak mampu menjawab.”[ Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, jilid 7, hal. 379, Daar as-Salam-Riyadh, cet.1, 1421 H. ]
Hadits ini semakin menjelaskan maksud firman Allah –Azza wajalla-:
إِن تَدۡعُوهُمۡ لَا يَسۡمَعُواْ دُعَآءَكُمۡ وَلَوۡ سَمِعُواْ مَا ٱسۡتَجَابُواْ لَكُمۡۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يَكۡفُرُونَ بِشِرۡكِكُمۡۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثۡلُ خَبِيرٖ
“Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.”[ QS. Fathir: 14]
Adapun ayat yang disebutkan di atas, maka ayat tersebut tidak sedang menunjukkan kebolehan beristighatsah dengan orang mati sama sekali. Namun menunjukkan bahwa orang yang telah mati masih dapat mendengar namun sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ayat itu merupakan hujjah atas mereka dan bukan hujjah untuk mereka.
- Tawassul Adam dengan Nama Nabi saw
Para pelaku isthighatsah kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh imam Hakim[ Ia adalah imam al-Hafizh al-Allamah Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Hamdawaih bin al-Hakam. Lihat: Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, tahqiq MuhammadAiman asy-Syabrawi, Jilid 1, hal 29, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1427 H.] –rahimahullah-
لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لَمَا غَفَرْتَ لِي، فَقَالَ اللَّهُ: يَا آدَمُ، وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقْهُ؟ قَالَ: يَا رَبِّ، لِأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيَدِكَ وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوحِكَ رَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ عَلَىَ قَوَائِمِ الْعَرْشِ مَكْتُوبًا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ فَعَلِمْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ إِلَى اسْمِكَ إِلَّا أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ، فَقَالَ اللَّهُ: صَدَقْتَ يَا آدَمُ، إِنَّهُ لَأُحِبُّ الْخَلْقِ إِلَيَّ ادْعُنِي بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ وَلَوْلَا مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ. هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ
“Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata, “Wahai Tuhanku, aku memohon kepadaMu dengan hak Muhammad terhadap apa yang Engkau ampunkan untukku.” Maka Allah berfirman, “Wahai Adam, bagaimana engkau mengetahui Adam sementara aku belum menciptakanNya?” Adam menjawab, “Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau telah menciptakanKu dengan TanganMu dan meniupkan ruh ciptaanMu kepadaku, aku mengangkat kepalaku dan aku melihat pada tiang-tiang Arsy tertulis Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah, maka aku mengetahui bahwa tidaklah Engkau menghimpun pada namaMu melainkan ia adalah makhluk yang paling Engkau cintai. Maka Allah berfirman, “Kamu benar wahai Adam. Dia adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdoalah kepadaKu dengan haknya. Aku telah mengampunimu. Kalau bukan karena Muhammad aku tidak akan menciptakanmu.” (Imam Hakim berkata) hadits ini sahih.[ Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala Shahihain, tahqiq Musthofa Abd al-Qadir Atho, jilid 2, hal. 672, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet.1, 1411 H. Maktabah Syamilah]
Para ulama berhujjah dengan hadits yang disahihkan oleh imam Hakim ini dan berkata ini menunjukkan bolehnya beristighatsah pada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebelum penciptaannya. Hadits ini sebenarnya berkaitan dengan tawassul bukan istighatsah yang sementara dibahas dalam makalah ini. Hanya saja, yang membolehkan istightsah pada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak membedakan antara tawassul maupun istighatsah. Hal ini disebutkan oleh imam as-Subki dalam Syifa as-Siqamnya. Ia berkata:
وَلَا فَرْقَ فِي هَذَا الْمَعْنَى بَيْنَ أَنْ يُعَبَّرَ عَنْهُ بِلفْظِ التَّوَسُّلِ أَوِ الِاسْتِغَاثَةِ أَوِ التَّشَفُّعِ أَوِ التَّجَوُّهِ.
“Tidak ada beda pada makna ini walaupun disebut dengan lafaz tawassul, atau istighatsah atau tasyaffu’ (minta syafa’at) atau tajawwuh.”[ As-Subki, Syifaau as-Siqam Fii Ziyarati Khairi al-Anam, tahqiq Husain Muhammad ‘Ali Syukri, hal. 363, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet.1, 1429 H. ]
Berhujjah dengan hadits ini untuk membolehkan istighatsah pada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- setelah wafatnya adalah satu kesalahan. Selain karena hal ini tidak berkaitan dengan istighatsah dalam makna khusus yang sedang dibahas dalam tulisan ini, hal itu karena beberapa alasan:
- Hadits ini palsu. Pensahihan imam Hakim terhadap hadits ini diingkari oleh para ulama hadits.
Imam adz-Dzahabi[ Ia adalah Syekh al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Ibrahim adz-Dzahabi. Lihat: As-Subki, Thobaqaar Asy-Syafi’iyyah, tahqiq Dr. Mahmud Muhammad ath-Thonahi dan Dr. Abd al-Fattah Muhammad, jilid 9 hal. 97, Hajr li ath-Thiba’ah Wa an-Nasyr wa a-Tauzi’, cet.2, 1413 H. Maktabah Syamilah. ] –rahimahullah- berkata setelah pensahihan imam Hakim ini:
بَلْ مَوْضُوعٌ وَعَبْدُ الرَّحْمَانِ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ الذَّكُورِ فِي إِسْنَادِهِ وَاهٍ… وَفِيهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَسْلَمَ الفِهْرِيُّ وَلَا أَدْرِي مَنْ هُوَ.
“Justru hadits ini palsu. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang disebut dalam sanadnya adalah seorang yang lemah. Dan dalam sanadnya pula terdapat Abdullah bin Aslam al-Fihri, aku tidak tahu siapa dia.”[ Ibnu Mulaqqin, Muktashar Mustadrak al-Hafiz adz-Dzahabi Ala Msutadrak Abi Abdillah al-Hakim, tahqiq Abdullah bin Hamd al-Luhaidan, juz 2, hal.1069, Daar al-Ashimah-Riyad, cet.1, 1411 H. ]
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani –rahimahullah- menyebut hadits ini sebagai hadits yang batil karena dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muslim Abu al-Harits al-Fihri yang meriwaytakan dari Ismail bin Maslama’ah bin Qa’nab dari Abdurrahman bin Yazid bin Aslam.[ IbnuHajar al-Asqalani, Lisan al-Mizan, tahqiq Dairah al-Ma’arif an-Nizhamiyah, jilid 3, hal. 360, Muassasah al-I’lami Li al-Mathbu’ah-Beirut, cet.2, 1390 H. Maktabah Syamilah]
Syekh al-Albani[ Ia adalah imam al-Muhaddits Abu Abdirrahman Muhammad bin Haji Nuh bin Najati Bin Adam al-Asyqudri al-Albani al-Arnuthi. Lihat: “Muhammad Nashiruddin al-Albani”, Wikipedia al-Mausuu’ah al-Hurrah, ar.wikipedia.org/wiki/محمد_ناصر_الدين_الألباني . (25 Agustus 2024).] –rahimahullah- berkata:
وَمِنْ تَنَاقُضِ الحَاكِمِ فِي المُسْتَدْرِكِ نَفْسِهِ أَنَّهُ أَوْرَدَ فِيهِ حَدِيثًا آخَرَ لِعَبْدِ الرَّحْمَانِ هَذَا وَلَمْ يُصَحِّحْهُ بَلْ قَالَ وَالشَّيْخَانِ لَمْ يَحْتَجَّا بِعَبْدِ الرَّحْمَانِ بْنِ زَيْدٍ
“Diantara konrtradiksi Imam Hakim dalam kitab Mustadrak itu sendiri, ia menyebutkan satu hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman ini namun ia tidak mensahihkannya[ Hal ini ia sebutkan pada hadits nomor 5428 dalam al-Mustadrak.lihat: Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala Shahihain, tahqiq Musthofa Abd al-Qadir Atho, jilid 3, hal. 374, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet.1, 1411 H. Maktabah Syamilah].”[ Muhammad Nashiruddin al-Albani, at-Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu, hal. 104, Maktabah al-Ma’arif Li an-Naysri wa at-Tauzi’, cet.1, 1421 H.]
- Selain hadits ini merupakan hadits palsu, matan hadits ini juga menyelisihi ayat al-Qur’an yang menginformasikan tentang taubatnya Adam dan Hawwa. Sebagaimana di dalam surah al-Baqarah, keduanya menerima kalimat dari Allah untuk mengakui kesalahan dan memohon ampunan pada saat mereka berdoa, hingga Allah –Ta’ala- mengampuni mereka.
Allah –Azza wajalla- berfirman:
فَتَلَقَّىٰٓ ءَادَمُ مِن رَّبِّهِۦ كَلِمَٰتٖ فَتَابَ عَلَيۡهِۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”[ QS. Al-Baqarah: 37]
Imam Ibnu Jarir ath-Thobari –rahimahullah- berkata:
وَالَّذِي يَدُلُّ عَلَيْهِ كِتَابُ اللَّهِ، أَنَّ الْكَلِمَاتِ الَّتِي تَلَقَّاهُنَّ آدَمُ مِنْ رَبِّهِ، هُنَّ الْكَلِمَاتِ الَّتِي أَخْبَرَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَهَا مُتَنَصِّلًا بِقِيلِهَا إِلَى رَبِّهِ، مُعْتَرِفًا بِذَنْبِهِ، وَهُوَ قَوْلُهُ: “رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ”
“Yang ditunjukkan oleh Kitabullah bahwa kalimat yang mereka terima dari Tuhannya adalah kalimat yang Allah –Ta’ala- kabarkan berupa pengakuan akan kesalahan kepada Tuhannya, pengakuan terhadap dosanya yaitu firman Allah, “Rabbanaa Zholamnaa Anfusanaa wa illam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakunanna min al-Khaasiriin (Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menzalimi diri kami. Jika engkau tidak mengampuni kami niscaya kami akan termasuk orang-orang yang merugi ).”[ Ath-Thobari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wiil Aay al-Qur’an, tahqiq Islam Manshur Abd al-Hamid dkk, jilid 1, hal. 384, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1431 H.]
Zahir ayat ini bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh imam Hakim tersebut, karena zahir ayat menunjukkan bahwa pengampunan Adam dan Hawwa bukan karena tawassul dengan hak Nabi Muhammad –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, melainkan karena pengakuan dosa mereka dan sikap menghinakan diri di hadapan Allah saat memohon ampunan.
- Allah Memerintahkan Mencari Wasilah
Para pelaku istighatsah pada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- berhujjah dengan firman Allah –Azza wajalla-:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱبۡتَغُوٓاْ إِلَيۡهِ ٱلۡوَسِيلَةَ وَجَٰهِدُواْ فِي سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”[ QS. Al-Maidah: 35]
Kata mereka, ayat ini secara zahir menunjukkan bahwa Allah memerintahkan hambaNya untuk mencari wasilah dalam berdoa kepadaNya. Dan, wasilah itu adalah seorang yang saleh yang memiliki kedudukan di sisi Allah. Ibarat seorang manusia yang ingin meminta sesuatu pada seorang raja, ia sebaiknya memiliki seorang sahabat yang memiliki kedekatan dengan raja yang menjadi wasilah baginya agar permintaannya dikabulkan. Begitu dalam pemahaman mereka.
Tapi, ayat yang mereka sebutkan itu bukanlah hujjah untuk mereka, melainkan hujjah atas mereka sendiri. Sebab, ayat itu tidak memerintahkan seorang hamba untuk meminta pada makhluk dalam berdoa kepadaNya, melainkan agar seorang manusia berdoa kepada Allah dengan keikhlasan padaNya.
Syekh asy-Syinqithi [Ia adalah Syekh Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar bin Abd al-Qadir asy-Syinqithi, seorang ulama ahli tafsir yang berasal dari negri Syinqith (Mauritania) ] –rahimahullah- dalam tafsirnya berkata:
التَّحْقِيقُ فِي مَعْنَى الْوَسِيلَةِ هُوَ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ عَامَّةَ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَنَّهَا التَّقَرُّبُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى بِالْإِخْلَاصِ لَهُ فِي الْعِبَادَةِ، عَلَى وَفْقِ مَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ… وَبِهَذَا التَّحْقِيقِ تَعْلَمُ أَنَّ مَا يَزْعُمُهُ كَثِيرٌ مِنْ مَلَاحِدَةِ أَتْبَاعِ الْجُهَّالِ الْمُدَّعِينَ لِلتَّصَوُّفِ مِنْ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْوَسِيلَةِ فِي الْآيَةِ الشَّيْخُ الَّذِي يَكُونُ لَهُ وَاسِطَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، أَنَّهُ تَخَبُّطٌ فِي الْجَهْلِ وَالْعَمَى وَضَلَالٌ مُبِينٌ وَتَلَاعُبٌ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَاتِّخَاذُ الْوَسَائِطِ مَنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ أَصُولِ كُفْرِ الْكَفَّارِ، كَمَا صَرَّحَ بِهِ تَعَالَى فِي قَوْلِهِ عَنْهُمْ: مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Tahqiq pada makna wasilah yaitu pernyataan umumnya para ulama bahwa makna wasilah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas dalam beribadah sesuai ajaran Rasul –Shallallahu ‘alaihi wasallam… dengan tahqiq ini engkau mengetahui bahwa apa yang diklaim oleh kebanyakan orang sesat pengikut kebodohan yang mengklaim diri sebagai tasawwuf bahwa makna wasilah adalah seorang Syekh yang menjadi perantara antara dirinya dengan Tuhan merupakan satu bentuk kebodohan dan kesesatan yang nyata serta bermain-main terhadap kitab Allah –Ta’ala. Sebab, menjadikan perantara selain Allah merupakan asas kekufuran orang-orang kafir zaman dahulu. sebagaimana penegasan Allah –Azza wajalla- di dalam al-Qur’an tentang perkataan mereka, “Kami tidaklah beribadah pada mereka, melainkan untuk mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.”[ Asy-Syinqithi, Adhawa al-Bayan Fii Idhaah al-Qur’an bi al-Qur’an, jilid 1, hal. 403, Daar al-Fikr-Beirut, t.cet., 1415 H.]
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- menyebutkan beberapa hadits yang menjelaskan makna wasilah dalam tafsirnya terkait ayat ini, namun tidak satupun hadits yang menyebutkan bahwa maknanya adalah seorang Syekh yang menjadi perantara antara Allah –Ta’ala- dengan hambaNya. Beliau menyebutkan beberapa makna berdasarkan penafsiran para ulama tafsir seperti Ibnu Abbas yang menafsirkannya sebagai Qurbah (kedekatan) dan Qatadah yang menafsirkannya dengan makna mendekatkan diri kepada Allah dengan berbuiat ketaatan padaNya.[ Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, hal. 273-274, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet. 3, 1433 H.]
Imam Ibnu al-Jauzi –rahimahullah- menyebutkan bahwa makna wasilah pada ayat itu hanya ada dua pendapat dikalangan ulanma, yaitu sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- bahwa maknanya adalah al-Qurbah, dan sebagaimana yang disebutkan oleh Qatadah –rahimahullah- bahwa maknanya adalah mendekatkan diri dengan sesuatu yang diridhai Allah –Ta’ala-.[ Abdurrahman bin al-Jauzi, Zaad al-Maisir Fi Ilmi at-Tafsir, tahqiq Dr. Anas Asy-Syami, Jilid 1, hal. 389, Dar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1445 H. ]
Oleh karena itu, berhujjah dengan ayat tersebut untuk menjadikan perantra antara Allah dengan hambaNya dalam berdoa merupakan hujjah yang salah kaprah, bahkan termasuk bentuk bermain-main dengan ayat Allah –Azza wajalla- sebagaimana yang diungkapkan oleh Syekh asy-Syinqithi –rahimahullah-. Seorang yang melakukan itu telah datang dengan makna baru yang tidak pernah diucapkan oleh para ulama sebelumnya, bahkan dengan kejahilannya itu ia menjadikan kesyrikan pada Allah –Azza wajalla- menjadi perbuatan yang ia anjurkan.
Menjadikan perantara untuk mendapatkan wasilah (kedudukan yang dekat) di sisi Allah –Ta’ala- sudah dilakukan oleh kaum musyrikin sebelumya. Mererka berdoa pada jin atau malaikat untuk mendapat wasilah itu atau hal lainnya seperti syafa’at di sisi Allah –Azza wajalla-, atau untuk menghilangkan musibah atau kesulitan yang sedang mereka alami. Allah –Azza wajalla- berfirman:
قُلِ ٱدۡعُواْ ٱلَّذِينَ زَعَمۡتُم مِّن دُونِهِۦ فَلَا يَمۡلِكُونَ كَشۡفَ ٱلضُّرِّ عَنكُمۡ وَلَا تَحۡوِيلًا أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِيلَةَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ وَيَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحۡذُورٗا
“Katakanlah: “Berdoalah pada mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya”. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.”[ QS. Al-Isra: 57]
Imam Ibnu al-Jauzi –rahimahullah- ketika menjelaskan makna firman Allah –Ta’ala- “يدعون” menyebutkan bahwa kebanyakan ulama berpendapat maknanya adalah berdoa pada mereka.[ Abdurrahman bin al-Jauzi, Zaad al-Maisir Fi Ilmi at-Tafsir, tahqiq Dr. Anas Asy-Syami, Jilid 2, hal. 25, Dar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1445 H.]
Intinya, berhujjah dengan ayat yang mereka sebutkan adalah hujjah atas diri mereka sendiri.
- Ada Sahabat yang Pernah Kekuburan Nabi saw dan Meminta Agar Diturunkan Hujan
Salah satu hujjah yang mereka sebutkan terkait kebolehan beristightsah pada orang yang telah meninggal dunia adalah kisah seseorang yang mendatangi kuburan Nabi di masa paceklik. Laki-laki itu kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, mintalah hujan untuk umatmu, mereka sudah hampir binasa. Maka Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatangi laki-laki tersebut dalam mimpinya lalu berkata, “Datanglah pada Umar dan sampaikan salamku, sesungguhnya kalian akan dianugrahi hujan, katakanlah padanya, “Cermatlah, cermatlah.” Lalu Umar menangis lalu berkata, “Aku tidak akan menunda kecuali sesuatu yang tidak mampu aku lakukan.”
Kisah ini disebutkan oleh imam Ibnu Katsir –rahimahullah- dalam al-Bidayah Wa an-Nihayah dan ia mengatakan bahwa sanad kisah ini sahih.[ Ibnu Katsir, al-Bidayah Wa an-Nihayah, tahqiq Muhammad Samih Umar, jilid 4, juz 7, hal. 197, Ibda’ Li al-I’lam Wa an-Nasyr-Kairo, cet. 20, 1442 H. ] Kisah ini juga disebutkan oleh imam Ibnu Hajar al-Asqalani –rahimahullah- dan mengatakan bahwa sanadnya sahih.[ Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, jilid 2, hal. 639, Daar as-Salam-Riyadh, cet.1, 1421 H. ]
Hanya saja, status kebenaran kisah ini tidak tepat. Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah- berkata: “Penyebutan kisah ini sebagai kisah yang benar tidak dapat diterima, sebab laki-laki yang meriwayatkan kisah ini adalah Malik Dar. Ia adalah seorang yang tidak diketahui kekuatan dhabt dan adalahnya. Padahal, dua hal ini merupakan syarat yang paling mendasar pada setaiap sanad yang sahih sebagaimana telah tetap dalam ilmu mustholah hadits.[ Muhammad Nashiruddin al-Albani, at-Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu, hal. 118, Maktabah al-Ma’arif Li an-Naysri wa at-Tauzi’, cet.1, 1421 H]
Imam Ibnu al-Mundzir[ Ia adalah imam al-hafizh al-Allamah Syekh al-Islam Abu Bakr Muhammad bin Ibrahim bin al-Munzir. Lihat: Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, tahqiq MuhammadAiman asy-Syabrawi, Jilid 11, hal 300, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1427 H. ] -rahimahullah- ketika menyebutkan kisah lain yang diriwayatkan oleh imam Thobarani –rahimahullah- yang mana dalam sanad periwayatannya terdapat Malik ad-Dar, ia berkata:
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيّ فِي الْكَبِير وَرُوَاته إِلَى مَالك الدَّار ثِقَات مَشْهُورُونَ وَمَالك الدَّار لَا أعرفهُ
“Kisah ini diriwaytakan oleh imam ath-Thobarani dalam al-Kabir. Periwayatannya sampai pada Malik ad-Dar semuanyua terkenal. Adapun Malik ad-Dar, saya tidak mengetahuinya.”[ Ibnu al-Mundzir, At-Targhib Wa at-Tarhib Min al-Hadist asy-Syarif, tahqiq Ibrahim Syamsuddin, Jilid 2 ,hal. 29, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet. 1, 1418 H. Maktabah Syamilah.]
Karena kemajhulan pelaku kisah ini, maka tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, sebab kisah ini menyelishii perbuatan para sahabat Nabi, bahkan pelakunya melakukan perbuatan yang mungkar berupa meminta pada Nabi yang telah wafat yang tidak pernah diperintahkann oleh Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Bahkan perbuatan para sahabat dengan membuat penghalang pada kuburan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- agar orang-orang tidak mendatanginya merupakan upaya agar orang-orang tidak datang meminta kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Ataukah perbuatan seluruh sahabat itu salah dan perbuatan orang yang tidak diketahui itu benar?
Akankah Ijma’ para sahabat itu salah dan perbutan seorang manusia yang tidak diketahui siapa dia dianggap benar? Ini adalah sesuatu yang mustahil!
Kisah ini juga berhujjah dengan mimpi, sedangkan mimpi tidak bisa dijadikan sebagai hujjah untuk menetapkan hukum syar’i, apalagi jika perbuatan itu memang melanggar hukum syar’i. Mimpi tidak bisa menghapus hukum yang telah ada sama sekali.
Imam an-Nawawi –rahimahullah- berkata:
لَا يَجُوزُ إِثْبَاتُ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِهِ لِأَنَّ حَالَةَ النَّوْمِ لَيْسَتْ حَالَةَ ضَبْطٍ وَتَحْقِيقٍ لِمَا يَسْمَعُهُ الرَّائِي وَقَدِ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ مِنْ شَرْطِ مَنْ تُقْبَلُ رِوَايَتُهُ وَشَهَادَتُهُ أَنْ يَكُونَ مُتَيَقِّظًا لَا مغفلا ولا سىء الْحِفْظِ وَلَا كَثِيرَ الْخَطَأِ وَلَا مُخْتَلَّ الضَّبْطِ وَالنَّائِمُ لَيْسَ بِهَذِهِ الصِّفَةِ
“Tidak boleh menetapkan hukum syar’i dengan mimpi, karena tidur bukanlah keadaan seseorang yang sedang mampu mengontrol dirinya dan bukan pula pada keeadaan yang sesuai realita terhadap apa yang didengar oleh seorang perawi. Para ulama telah bersepakat bahwa syarat diterimanya riwayat dan persaksian seseorang adalah dalam keadaan terjaga (tidak dalam keaan tidur), bukan yang sedang dalam keadaan lalai, dan bukan pula pada orang yang buruk hafalannya serta banyak salahnya dan yang hilang dhobtnya. Dan orang yang tidur, tidak memiliki sifat yang merupakan syarat diterimanya riwayat serta persaksiannya.[ An-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Tahqiq Hani al-Hajj dan Imad Zaki al-Barudi, Jilid 1, juz 1, hal.98, Daar at-Taufiqiyyah Li at-Turts-Kairo, t.cet, t.th.]
Maka, kisah ini jelas tidak bisa menjadi hujjah. Bahkan, sekiranya kisah ini sahih, jelas tidak bisa dijadikan hujjah karena menyelisihi perbuatan masyoritas sahabat. Jika Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- yang membolehkan mencuci tangan sampai pada bahu tidak bisa diterima karena menyelisihi para sahabat dalam tata cara wudhu, maka bagaimana lagi dengan penyelisihan yang berdampak pada perbuatan syirik?
Dan hanya kepada Allah jualan kita memohon petunjuk dan hidayah taufikNya.
4. Status Keislaman Seorang yang Beristighatsah pada Nabi Karena Menganggapnya Sebagai Sesuatu yang Dibolehkan dan Bukan Kesyirikan
Seorang yang menetapkan tauhid uluhiyah, beriman kepada Rasul dan hari kiamat kemudian ia tersamarkan pada beberapa perkara agama ini termasuk melakukan istighatsah pada selain Allah atau sekedar membolehkannya karena syubhat dan kesungguhannya mencari kebenaran, serta tidak menentang pada syariat, maka ia dikategorikan sebagai seorang yang mendapatkan udzur jahil atau takwil. Ia tidak bisa dihukumi kafir karena perbuatannya yang salah karena ini.
Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
وَهَكَذَا الْأَقْوَالُ الَّتِي يَكْفُرُ قَائِلُهَا قَدْ يَكُونُ الرَّجُلُ لَمْ تَبْلُغْهُ النُّصُوصُ الْمُوجِبَةُ لِمَعْرِفَةِ الْحَقِّ وَقَدْ تَكُونُ عِنْدَهُ وَلَمْ تَثْبُتْ عِنْدَهُ أَوْ لَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ فَهْمِهَا وَقَدْ يَكُونُ قَدْ عَرَضَتْ لَهُ شُبُهَاتٌ يَعْذُرُهُ اللَّهُ بِهَا فَمَنْ كَانَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ مُجْتَهِدًا فِي طَلَبِ الْحَقِّ وَأَخْطَأَ فَإِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ لَهُ خَطَأَهُ كَائِنًا مَا كَانَ سَوَاءٌ كَانَ فِي الْمَسَائِلِ النَّظَرِيَّةِ أَوْ الْعَمَلِيَّةِ هَذَا الَّذِي عَلَيْهِ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَجَمَاهِيرُ أَئِمَّةِ الْإِسْلَامِ
“Dan demikianlah perkataan-perkataan yang mana pengucapnya dapat menjadi kafir karenanya. Kadang, tidak sampai pada seseorang nash-nash yang mewajibkan padanya mengetahui kebenaran, kadang pula telah sampai padanya nash-nash itu tapi tidak tsabit baginya atau ia belum mampu memahaminya. kadang pula, ia terpapar syubhat yang dengannya Allah memberikan udzur padanya. Maka, siapa saja dari kalangan orang-orang beriman, yang telah bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran lalu ia salah, maka Allah akan mengampuni kesalahannya itu, bagaimanapun kesalahan itu, entah itu pada permasalahan nazhariah atau permasalahan ilmiah. Ini merupakan sikap pada sahabat-sahabat Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan sikap mayoritas ulama-ulama islam.”[ Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abd al-Aziz al-Jundi dan Asyraf Jalal asy-Syarqawi, jilid 12, hal. 192 , Daar al-Hadits-Kairo, t.cet., 1435 H.]
Hanya saja, udzur jahil ini dapat terangkat dengan adanya ulama yang mengingatkan dirinya akan keharaman atau terlarangnya perbuatan itu. Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُكَفِّرَ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ – وَإِنْ أَخْطَأَ أَوْ غَلِطَ – حَتَّى تَقَامَ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْمَحَجَّةُ وَمَن ثَبَتَ إِسْلَامُهُ بِيَقِينٍ لَمْ يَزُلْ ذَلِكَ عَنْهُ بِالشَّكِّ، بَلْ لَا يَزُولُ إِلَّا بَعْدَ إِقَامَةِ الْحُجَّةِ وَإِزَالَةِ الشُّبْهَةِ
“Tidak boleh seorangpun mengkafirkan salah seorang muslim -walau ia berbuat salah- sampai ditegakkan hujjah padanya dan dijelaskan untuknya arah hujjah itu. Barangsiapa telah nyata keislamannya dengan keyakinan maka tidak akan hilang darinya keislaman itu karena keragu-raguan, bahkan tidak akan hilang darinya keislamannya kecuali setalah tegaknya hujjah dan hilangnya syubhat.”[ Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abdul Aziz al-Jundiy dan Asyraf Jalal asy-Syarqawi, Jilid 6, hal 645, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet, 1435 H.]
Terjadi perbedaan dalam pelaksanaan penegakkan hujjah antara satu zaman dengan zaman lainnya, satu tempat dengan tempat lainnya, antara satu orang dengan orang lainnya. Kadang terjadi Iqamatul hujjah pada orang-orang kafir pada satu zaman dan tidak pada zaman lainnya, pada satu tempat dan tidak pada tempat lainnya sebagaimana kadang terlaksana pada satu orang dan tidak pada orang lainnya. Hal itu karena ia tidak memahami dan tidak bisa membedakan. Seperti pada anak kecil, orang gila, atau karena seseorang tidak mampu memahami. Seperti seorang yang tidak paham perkataan dan tidak ada yang bisa menerjemahkannya. Maka orang seperti ini laksana seorang yang tuli yang tidak bisa mendengar apapun dan tidak mampu memahami.[ Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Shahih Thariq al-Hijratain Wa Baab as-Sa’adatain, hal 478, Daar Ibni al-Jauzi-Kairo, cet 1, 1432 H]
Namun. jika dakwah tauhid telah sampai dan tersebar pada satu tempat, telah terdengar dan sampai pada seseorang, namun orang itu melalaikan dakwah itu, sedang tidak ada penghalang pada dirinya untuk memahami dakwah itu kecuali karena dia sendiri yang tidak mau mempelajarinya, acuh terhadapnya dan memgabaikannya maka orang seperti ini tidak bisa mendapatkan udzur kejahilan.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah- berkata:
فَإِنَّ حُجَّةَ اللَّهِ قَامَتْ عَلَى الْعَبْدِ بِإِرْسَالِ الرَّسُولِ وَإِنْزَالِ الْكِتَابِ وَبُلُوغِ ذَلِكَ إِلَيْهِ وَتَمَكُّنِهِ مِنَ الْعِلْمِ بِهِ سَوَاءٌ عَلِمَ أَوْ جَهِلَ، فَكُلُّ مَنْ تَمَكَّنَ مِنْ مَعْرِفَةِ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ وَنَهَى عَنْهُ فَقَصَّرَ عَنْهُ وَلَمْ يَعْرِفْهُ فَقَدْ قَامَتْ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ وَاللَّهُ لَا يُعَذِّبُ أَحَدًا إِلَّا بَعْدَ قِيَامِ الْحُجَّةِ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya hujjah Allah telah tegak pada seorang hamba dengan diutusnya Rasul, diturunkannya kitab, sampainya dakwah itu padanya dan adanya kemampuan padanya untuk mengetahui hujjah itu. Sama saja, ia memahami hujjah itu atau jahil terhadapnya. Semua orang yang pada dasarnya bisa mengetahui apa yang Allah perintahkan dan apa yang Allah larang, namun ia mengabaikan hal itu sehingga tidak mengetahui nya, maka hujjah telah tegak padanya. Allah tidak akan mengazab seseorang kecuali telah tegak hujjah padanya.”[ Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madarij as-Salikin, Tahqiq Imad Amir, Jilid 1, Hal 180, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet, 1426 H.]
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rahimahullah- juga berkata:
وَكُلُّ مَنْ أَعْرَضَ عَنِ الِاهْتِدَاءِ بِالْوَحْيِ الَّذِي هُوَ ذِكْرُ اللَّهِ فَلَا بُدَّ أَنْ يَقُولَ هَذَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ. فَإِنْ قِيلَ فَهَلْ لِهَذَا عُذْرٌ فِي ضَلَالَتِهِ إِذَا كَانَ يَحْسِبُ أَنَّهُ عَلَى هُدًى كَمَا قَالَ تَعَالَى: “وَيَحْسِبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ” قِيلَ: لَا عُذْرَ لِهَذَا وَأَمْثَالِهِ مِنَ الضَّلَالِ الَّذِينَ مَنْشَأُ ضَلَالِهِمُ الإِعْرَاضُ عَنِ الْوَحْيِ الَّذِي جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ وَلَوْ ظَنَّ أَنَّهُ مُهْتَدٍ. فَإِنَّهُ مُفَرِّطٌ بِإِعْرَاضِهِ عَنْ اتِّبَاعِ دَاعِيِ الْهُدَى، فَإِذَا ضَلَّ فَإِنَّمَا أَتَى مِنْ تَفْرِيطِهِ وَإِعْرَاضِهِ. وَهَذَا بِخِلَافِ مَنْ كَانَ ضَلَالُهُ لِعَدَمِ بُلُوغِ الرِّسَالَةِ وَعَجْزِهِ عَنْ الْوُصُولِ إِلَيْهَا. فَذَاكَ لَهُ حُكْمٌ آخَرُ، وَالْوَعِيدُ فِي الْقُرْآنِ إِنَّمَا يَتَنَاوَلُ الْأَوَّلَ. وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُعَذِّبُ أَحَدًا إِلَّا بَعْدَ إِقَامَةِ الْحُجَّةِ عَلَيْهِ.
“Semua orang yang berpaling dari petunjuk wahyu maka ia harus mengatakan (mempertanggungjawabkan) ini pada hari kiamat. Jika dikatakan, “Tidakkah orang ini mendapat udzur dari kesesatannya, jika ia mengira bahwa dirinya berada di atas petunjuk, sebagaimana firman Allah (yang artinya): Dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk”, maka katakan bahwa tidak ada udzur bagi orang-orang sepertinya atas kesesatan yang mana kesesatan itu disebabkan oleh keberpalingannya terhadap wahyu yang datang dengannya Rasul. Jika ia mengira bahwa dirinya mendapat petunjuk maka ia lalai dengan berpaling dari da’i yang menyeru pada petunjuk. Jika ia telah tersesat, maka kesesatan itu disebabkan oleh kelalaian dan berpalingnya. Hal ini berbeda dengan orang yang tersesat karena tidak sampainya dakwah atau karena lemahnya ia memahami dakwah yang sampai kepadanya. Ini memiliki hukum yang lain. Adapun ancaman yang ada di dalam al-Qur’an, sesungguhnya mengacu pada kaum yang pertama disebutkan. Adapun kelompok yang kedua, maka sesungguhnya Allah tidak mengazab seseorang kecuali telah tegak padanya hujjah.”[ Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Miftah Daar as-Sa’adah, hal 65, Daar Ibni al-Jauzi-Kairo, Cet 1, 1433 H]
Kesimpulannya, para ulama yang telah berusaha mencari kebenaran kemudian dalam usaha mereka mencari kebenaran itu mereka terkena syubhat sehingga mereka tidak memahami kebenaran dan berucap dengan pendapat yang salah atau bahkan sampai pada tingkat kekufuran, maka ia tidak bisa dihukumi kafir karenanya, sebagaimana penjelasan di atas.
Wallahu A’lam Bishshawab.