Fikih Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah syi’ar yang sangat agung dalam Islam dan merupakan salah satu pilar utamanya. Ini juga menjadi instrumen Masyarakat Rabbani yang diberkahi Allah Ta’ala, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai dalil Al-Qur’an, hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sejarah umat Islam. Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban yang memiliki kedudukan sangat penting dalam ajaran Islam.
1. Definisi Amar Ma’rûf Nahi Munkar
Definisi al-Ma’ruf
ar-Râghib al-Ashfahani rahimahullah (wafat th. 425 H) mengatakan, “al-Ma’rûf adalah satu nama bagi setiap perbuatan yang diketahui kebaikannya oleh akal atau syari’at, sedangkan al-munkar adalah apa yang diingkari oleh keduanya.” [Mufradât fî Gharîbil Qur’ân (hlm. 561)]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan, “al-Ma’rûf adalah satu nama yang mencakup segala yang dicintai oleh Allâh, berupa iman dan amal shalih.” [Iqtidhâ’ush Shirâtil Mustaqîm (I/106) tahqiq Dr. Nashir bin ‘Abdul Karîm al-‘Aql]
Sedang menurut syari’at, al-ma’rûf adalah segala hal yang dianggap baik oleh syari’at, diperintah melakukannya, dipuji dan orang yang melakukannya dipuji pula. Segala bentuk ketaatan kepada Allâh masuk dalam pengertian ini. al-Ma’rûf yang paling utama adalah mentauhidkan Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman kepada-Nya. [Haqîqatul Amri bil Ma’rûf wan Nahyi ‘anil Munkar (hlm. 11)]
Definisi al-Munkar
al-Munkar adalah segala yang dilarang oleh syari’at atau segala yang menyalahi syari’at. [Lihat al-Kabâir wash Shaghâir ‘Anwâ’uha wa Ahkâmuha (hlm. 205).]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “al-Munkar adalah satu nama yang mencakup segala yang di larang Allâh.”[Iqtidhâ’ush Shirâtil Mustaqîm (I/106)]
Ketika menerangkan sifat umat Islam, Imam asy-Syaukâni rahimahullah mengakatakan, “Sesungguhnya mereka menyuruh kepada (perbuatan) yang ma’rûf dalam syari’at ini dan melarang dari yang mungkar. Dan yang dijadikan tolok ukur bahwa sesuatu itu ma’rûf atau mungkar adalah al-Kitab (al-Qur’ân) dan as-Sunnah.” [Irsyâdul Fuhûl (I/247) tahqiq Dr. Sya’bân Muhammad Ismâ’îl]
Dari penjelasan ini, jelas bahwa menentukan suatu keyakinan, perkataan atau perbuatan itu ma’rûf atau munkar bukanlah hak pelaku amar ma’rûf nahi munkar. Namun semua itu dikembalikan kepada penjelasan al-Qur’ân dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. [Lihat al-Qâ’idatul Muhimmah fil Amri bil Ma’rûf wan Nahyi ‘anil Munkar fî Dhau-il Kitâbi was Sunnah (hlm. 6-7) karya Dr. Hamûd bin Ahmad ar-Ruhaili, dengan diringkas]
2. Keutamaan Amar Ma’rûf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan kekhususan dan keistimewaan umat Islam yang akan mempengaruhi kemulian umat Islam. Sehingga Allah kedepankan penyebutannya dari iman dalam firman-Nya,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik“. [QS. Ali Imran: 110]
Demikian pula, Allah membedakan kaum mukminin dari kaum munafikin dengan hal ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“.[QS. At-Taubah: 71]
Ketika membawakan kedua ayat di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, umat Islam adalah umat terbaik bagi segenap umat manusia. Umat yang paling memberi manfaat dan baik kepada manusia. Karena mereka telah menyempurnakan seluruh urusan kebaikan dan kemanfaatan dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Mereka tegakkan hal itu dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka. Inilah anugerah yang sempurna bagi manusia. Umat lain tidak memerintahkan setiap orang kepada semua perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang semua kemungkaran. Merekapun tidak berjihad untuk itu. Bahkan sebagian mereka sama sekali tidak berjihad. Adapun yang berjihad -seperti Bani Israil- kebanyakan jihad mereka untuk mengusir musuh dari negerinya. Sebagaimana orang yang jahat dan dzalim berperang bukan karena menyeru kepada petunjuk dan kebaikan, tidak pula untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini digambarkan dalam ucapan Nabi Musa Alaihissallam.
يَاقَوْمِ ادْخُلُوا اْلأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ قَالُوا يَامُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَن نَّدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِن يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ قَالَ رَجُلاَنِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذاَ دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ قَالُوا يَامُوسَى إِنَّا لَن نَّدْخُلَهَآ أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلآَ إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ
Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata,”Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa. Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya”. Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya,”Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu. Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. Mereka berkata, ”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”. [QS. Al-Maidah: 21-24]
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلإِ مِن بَنِى إِسْرَاءِيلَ مِن بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَّهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُّقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِن كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلاَّ تُقَاتِلُوا قَالُوا وَمَالَنَآ أَلاَّ نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِن دِيَارِنَا وَأَبْنَآئِنَا فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلاَّ قَلِيلاً مِّنْهُمْ وَاللهُ عَلِيمُُ بِالظَّالِمِينَ
“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil (sesudah Nabi Musa wafat) ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab, “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. Mereka menjawab,”Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa orang saja diantara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim“. [QS. Al-Baqarah: 246]
Mereka berperang lantaran diusir dari tanah air beserta anak-anak mereka. Sudah demikian ini, mereka pun masih melanggar perintah. Sehingga tidak dihalalkan begi mereka harta rampasan perang. Demikan juga tidak boleh mengambil budak-budak tawanan perang. [Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Mungkar, hal 34. Kitab ini telah diterjemahkan oleh al-Akh Abu Ihsan dengan judul yang sama, diterbitkan Pustaka at-Tibyan, Solo]
Demikianlah anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat Islam. Dia menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai salah satu tugas penting Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan beliau diutus untuk itu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
الذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الأُمِّي الذِيْ يَجِدُوْنَهُ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِيْ التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَاْلأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَعَزَرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوْا النُّوْرَ الَّذِيْ أَنْزَلَ مَعَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung“. [QS. Al-A’raf: 157).
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan orang-orang yang selalu mewarisi tugas utama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, bahkan memerintahkan umat ini untuk menegakkannya, dalam firman-Nya.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung“. [QS. Al-Imran: 104]
Tugas penting ini sangat luas jangkauannya, baik zaman atau tempat. Meliputi seluruh umat dan bangsa dan terus bergerak dengan jihad dan penyampaian ke seluruh belahan dunia. Tugas ini telah diemban umat Islam sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang hingga hari kiamat nanti.
Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisi rahimahullah (wafat th. 689 H) mengatakan, “Ketahuilah, bahwa amar ma’rûf nahi munkar adalah poros yang paling agung dalam agama. Ia merupakan tugas penting yang karenanya Allâh mengutus para Nabi. Andaikan tugas ini ditiadakan, maka akan muncul kerusakan di mana-mana dan dunia akan hancur.” [Mukhtashar Minhâjil Qâshidîn (hlm. 156)]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Amar ma’rûf nahi munkar merupakan penyebab Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurunkan kitab-kitab-Nya dan mengutus para Rasûl-Nya, serta bagian inti agama.” [Al-Amru bil Ma’rûf wan Nahyu ‘anil Munkar (hlm. 30) tahqiq Abu ‘Abdillah Muhammad bin Sa’id bin Ruslan]
Di antara keutamaan amar ma’rûf nahi munkar yaitu:
- Termasuk kewajiban paling penting dalam Islam.
- Sebagai sebab keutuhan, keselamatan dan kebaikan bagi masyarakat.
- Menghidupkan hati.
- Sebagai faktor yang bisa mengundang pertolongan, kemuliaan dan kekuasaan di bumi.
- Amar ma’rûf nahi munkar termasuk shadaqah.
- Menolak marabahaya.
- Orang yang mencegah dari perbuatan mungkar akan diselamatkan oleh Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Amar ma’rûf nahi mungkar termasuk sifat-sifat orang mukmin yang shalih.
- Amar ma’rûf nahi munkar adalah jihad yang paling utama.
- Amar ma’rûf nahi munkar termasuk sebab dosa diampuni.
- Amar ma’rûf nahi munkar adalah perkataan yang paling baik dan seutama-utama amal.
3. Akibat dan Pengaruh Jelek Meninggalkan Amar Ma’rûf Nahi Munkar
- Mendapat laknat Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , celaan dan kehinaan
- Kerusakan akan semakin parah.
- Mendapat hukuman dari Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Dikuasai oleh musuh-musuh Islam.
- Do’a tidak dikabulkan.
- Akan dibinasakan oleh Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Akan dimintai pertanggung jawabannya pada hari kiamat.
- Jatuh dalam kebinasaan, membuat hati sakit atau bahkan mematikannya.
4. Hukum Mengingkari Kemungkaran
Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan itu ada dua:
Pertama, Fardhu kifayah.
Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berfirman,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh (berbuat) yang ma’rûf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali ‘Imrân: 104]
Mengenai tafsir ayat ini, al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maksud ayat ini ialah hendaklah ada segolongan dari umat ini yang siap memegang peran ini (amar ma’rûf nahi munkar)…” [Tafsîr Ibni Katsîr (II/91)]
Imam Ibnul ‘Arabi berkata, “Ayat ini dan ayat berikutnya merupakan dalil bahwa amar ma’rûf nahi munkar itu fardhu kifâyah…” [Ahkâmul Qur’ân (I/292).]
Oleh karena itu wajib bagi ulil amri (pemerintah) untuk menunjuk sejumlah orang yang memiliki kemampuan dan persiapan untuk menjalankan tugas ini. Karena ada beberapa perbuatan mungkar yang tidak bisa diubah kecuali oleh sejumlah orang tertentu yang memiliki ilmu, pemahaman yang benar dan sikap hikmah. Misalnya untuk membantah firqah Bâthiniyah (shufiyah) dan menjelaskan kekeliruan keyakinan mereka dan lainnya. Apabila lembaga ini menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya. [Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 287) dengan diringkas]
Pengingkaran kemungkaran dengan tangan dan lisan, wajib dilakukan sesuai kemampuan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا عُمِلَتِ الْـخَطِيْئَةُ فِـي الْأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا كَرِهَهَا وَقَالَ مَرَّةً : أَنْكَرَهَا كَمَنْ غَابَ عَنْهَا وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا
Jika sebuah kesalahan dilakukan di muka bumi, maka orang yang melihatnya kemudian membencinya (Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: lalu mengingkarinya) sama seperti orang yang tidak melihatnya sementara orang tidak melihatnya namun merestuinya maka sama seperti orang yang melihatnya. [Hasan: HR. Abu Dâwud (no. 4345) dari al-‘Urs bin ‘Amirah al-Kindi Radhiyallahu anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Hidâyatur Ruwât (no 5069)]
Kedua, Fardhu ‘ain.
Keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya…,” menunjukkan bahwa mengingkari kemungkaran wajib atas setiap individu yang memiliki kemampuan serta mengetahui kemungkaran atau melihatnya. [Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 288)]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya amar ma’rûf nahi munkar adalah fardhu kifâyah kemudian terkadang menjadi fardhu ‘ain jika pada suatu keadaan dan kondisi tertentu tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia.” [Syarah Shahiih Muslim (II/23)]
Jadi, orang yang melihat kesalahan kemudian membencinya dengan hati, sama seperti orang yang tidak melihatnya namun tidak mampu mengingkarinya dengan lisan dan tangannya. Sementara orang yang tidak melihat kesalahan itu kemudian merestuinya, ia sama seperti orang yang melihatnya, namun tidak mengingkarinya padahal ia mampu mengingkarinya. Karena merestui kesalahan-kesalahan termasuk perbuatan haram yang paling buruk serta menyebabkan pengingkaran dalam hati tidak dapat dilaksanakan padahal pengingkaran dengan hati merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan tidak gugur dari siapa pun dalam semua kondisi. [Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/245)]
Dari penjelasan dapat diketahui bahwa mengingkari kemungkaran dengan hati adalah wajib bagi setiap Muslim dalam semua kondisi, sedang mengingkarinya dengan tangan dan lidah itu sesuai dengan kemampuan. [Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/246)] Sebagaimana dalam hadits Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْـمَعَاصِيْ يَقْدِرُوْنَ عَلَـى أَنْ يُغَيِّرُوْا ثُمَّ لَا يُغَيِّرُوْا إِلَّا يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ.
Tidaklah suatu kaum yang dikerjakan ditengah-tengah mereka berbagai kemaksiatan yang mampu mereka mencegahnya namun tidak mereka cegah, melainkan Allâh pasti akan menurunkan hukuman kepada mereka semua. [Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4338) dan ini lafadznya, Ahmad (I/2, 5, 7), at-Tirmidzi (no. 2168, 3057), Ibnu Mâjah (no. 4005), dan Ibnu Hibbân (no. 304, 305). Lihat Takhrîj Hidâyatur Ruwât (IV/485, no. 5070)]
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لَيَسْأَلُ الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقُوْلَ : مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ الْـمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ اللهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ قَالَ : يَا رَبِّ ، رَجَوْتُكَ ، وَفَرِقْتُ مِنَ النَّاسِ.
Sesungguhnya Allâh pasti bertanya kepada seorang hamba pada hari Kiamat hingga Dia bertanya, ‘Apa yang menghalangimu dari mengingkari sebuah kemungkaran jika engkau melihatnya?’ Jika Allâh telah mengajarkan hujjah kepada hamba-Nya tersebut, hamba tersebut berkata, ‘Rabb-ku, aku berharap kepada-Mu, dan aku tinggalkan manusia. [Shahih: HR. Ahmad (III/27,29), Ibnu Mâjah (no. 4017), al-Humaidi dalam Musnadnya(no.739) dan Ibnu Hibbân (no. 7324- at-Ta’lîqâtul Hisân). Lihat Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah (no. 929)]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam khutbahnya,
أَلَا لَا يَمْنَعَنَّ رُجُلًا هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ
Ingatlah, janganlah sekali-kali rasa segan kepada manusia menghalangi seseorang untuk mengatakan kebenaran jika ia mengetahuinya.
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu menangis kemudian berkata, “Sungguh, demi Allah, kita melihat banyak hal kemudian kita segan.”
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad dengan tambahan,
فَإِنَّهُ لَا يُقَرِّبُ مِنْ أَجَلٍ وَلَا يُبَاعِدُ مِنْ رِزْقٍ أَنْ يُقَالَ بِحَقٍّ أَوْ يُذْكَرَ بِعَظِيْمٍ
Karena mengucapkan yang haq atau mengingatkan tentang suatu yang besar tidak mendekatkan kepada ajal dan tidak menjauhkan dari rezeki. [Shahih: HR. Ahmad (III/5, 19, 44, 47, 50, 53, 71, 87, 92), at-Tirmidzi (no. 2191), Ibnu Mâjah (no. 4007), dan Ibnu Hibbân (no. 275, 278-at-Ta’lîqâtul Hisân), al-Hâkim (IV/506), Abu Dâwud at-Thayâlisi (no 2265,2270), dan Abu Ya’la (no 1207),Dishahihkan oleh syaikh al-Albâni dalam at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh ibni Hibbân(no 275,278) dan dalam Silsilah al-ahâdîts ash-Shahîhah (no 168).]
Hadits tersebut ditafsirkan bahwa penghalang untuk mengingkari kemungkaran itu hanya sekedar segan dan bukannya takut yang menghapus kewajiban mengingkari kemungkaran. [Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/248)]
Amar makruf nahi mungkar dapat menjadi fardhu ‘ain, apabila:
Pertama : Ditugaskan oleh Pemerintah
Al Mawardi menyatakan,”Sesungguhnya hukum amar makruf nahi mungkar fardhu ‘ain dengan perintah penguasa”.[Al Mawardi, Al Ahkam Sulthaniyah, hal.391, dinukil dari Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar hal.50]
Kedua : Hanya dia yang mengetahui kema’rufan dan kemungkaran yang terjadi
An Nawawiy berkata,”Sesungguhnya amar makruf nahi mungkar fardhu kifayah. Kemudian menjadi fardhu ‘ain, jika dia berada ditempat yang tidak mengetahuinya kecuali dia”.[An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 2/23]
Ketiga : Kemampuan amar makruf nahi mungkar hanya dimiliki orang tertentu
Jika kemampuan menegakkan amar makruf nahi mungkar terbatas pada sejumlah orang tertentu saja, maka amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain bagi mereka.
An Nawawi berkata,”Terkadang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain, jika berada di tempat yang tidak mungkin menghilangkannya kecuali dia. Seperti seorang yang melihat istri atau anak atau budaknya berbuat kemungkaran atau tidak berbuat kema’rufan”. [An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 2/23]
Keempat : Perubahan keadaan dan kondisi
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz memandang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain dengan sebab perubahan kondisi dan keadaan, ketika beliau berkata, “Ketika sedikitnya para da’i. Banyaknya kemungkaran dan kebodohan yang merata, seperti keadaan kita sekarang ini, maka dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya”.[Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, Ad Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du’at, hal. 16]
Bagaimana Hukum Mengingkari Kemungkaran kepada Penguasa?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الْـجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ (وفي رواية: عَدْلٍ) عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
Jihad terbaik ialah mengatakan kalimat yang haq (dalam riwayat lain: adil) kepada pemimpin yang zhalim. [Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4344), at-Tirmidzi (no. 2174), dan Ibnu Mâjah (no. 4011) dari Abu Sa’id al-Khudri t. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (V/251, 656), Ibnu Mâjah (no. 4012), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (VIII/282, no. 8081), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2473), dan selainnya dari Shahabat Abu Umamah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilatul Ahâdîtsis Shahîhah (no. 491)]
Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata, “Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma, ‘Aku memerintah kebaikan kepada penguasa dan melarangnya dari kemungkaran?’ Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma menjawab, ‘Jika engkau takut dia membunuhmu, jangan engkau lakukan.’ Aku mengulangi perkataanku itu tadi, namun Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma menjawab seperti jawaban semula. Aku mengulangi perkataanku namun Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tetap berkata seperti semula dan berkata, ‘Jika engkau memang harus melakukannya, maka kerjakan secara empat mata dengannya.’ [Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/248)]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً ، وَلكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajibannya [Shahih: HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (II/507-508, bab Kaifa Nashîhatur Ra’iyyah lil Wulât, no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/ 403-404) dan al-Hâkim (III/290) dari Shahabat ‘Iyâdh bin Ghunm Radhiyallahu anhu]
Sedangkan membelot dari penguasa dengan mengangkat pedang (senjata) maka dikhawatirkan menimbulkan sejumlah fitnah yang menyebabkan pertumpahan darah kaum Muslimin. Jika seseorang ingin maju mengingkari kemungkaran para penguasa namun pada saat yang sama dikhawatirkan tindakannya akan membawa dampak negatif kepada keluarga dan tetangganya, maka ia sebaiknya tidak melakukannya. Karena tindakannya akan menimbulkan gangguan bagi orang lain. Itulah yang dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah dan yang lainnya. Jika seseorang khawatir dirinya dibunuh, atau dicambuk, atau dipenjara, atau diborgol, atau diasingkan, atau hartanya dirampas, dan ancaman-ancaman lainnya, maka kewajiban menyuruh para penguasa melakukan kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran menjadi gugur darinya. Ini ditegaskan para imam, diantaranya Imam Mâlik rahimahullah, Ahmad rahimahullah, Ishâq rahimahullah dan lain-lain.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kaidah ini dengan memberikan contoh dalam pernyataan beliau, “Barangsiapa meneliti fitnah besar dan kecil yang terjadi dalam Islam, dia akan tahu bahwa fitnah itu disebabkan karena melalaikan pokok kaidah ini dan tidak sabar dalam (mengingkari) kemungkaran. Menuntut hilangnya kemungkaran, tetapi lahir darinya kemungkaran yang lebih besar. Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat satu kemungkaran besar di Makkah dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa mengubahnya. Bahkan ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam taklukkan Makkah menjadi negeri Islam, Beliau bertekad mengubah Ka’bah dan mengembalikannya sesuai pondasi bangunan Nabi Ibrahim Alaihissallam, tetapi tercegah (walaupun Beliau mampu) oleh kekhawatiran munculnya keburukan yang lebih besar, yaitu khawatir orang-orang Quraisy tidak bisa menerimanya karena mereka baru masuk Islam dan meninggalkan kekufuran. Oleh karena itu, tidak diizinkan mengingkari penguasa dengan tangan, karena menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.” [I’laamul Muwaqqi’iin (IV/338-339). Lihat Dhawaabith al-Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar (hlm. 39-40)]
5. Tingkatan Dalam Mencegah Kemunkaran
Amar ma’rûf nahi munkar memiliki tingkatan yang harus diketahui oleh pelakunya sehingga apa yang dilakukannya sesuai dengan tuntutan syari’at dan adab-adab yang mesti diperhatikan. Tingkatan ini telah diterangkan oleh para Ulama dahulu dan yang sekarang, dan mereka senantiasa menasihati para pelaku amar ma’rûf nahi mungkar dengannya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya syari’at ini berdiri di atas pondasi hikmah dan kemaslahatan dunia-akhirat bagi hamba-hamba Allah. Syari’at ini, seluruhnya adil, rahmat, maslahat dan hikmah. Maka setiap masalah yang keluar dari prinsip keadilan kepada kezhaliman, dari rahmat ke lawannya, dari maslahat ke mafsadat dan dari hikmah kepada kekerasan, maka itu tidak termasuk syari’at meskipun dimasukkan ke dalamnya dengan sebab takwil. Syari’at adalah cermin keadilan Allâh Azza wa Jalla terhadap hamba-Nya, rahmat-Nya diantara hamba-hamba-Nya, pemeliharaan-Nya di bumi dan hikmah Allah yang merupakan petunjuk paling sempurna yang membuktikan keberadaan Allâh Azza wa Jalla dan kejujuran Rasûl-Nya.” [I’laamul Muwaqqi’iin (IV/337)]
Beliau rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada ummatnya untuk mengingkari kemungkaran agar terealisasi perbuatan ma’rûf yang dicintai Allâh dan Rasûl-Nya. Apabila mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar daripadanya dan lebih dimurkai oleh Allâh dan Rasûl-Nya maka tidak diperbolehkan untuk mengingkarinya meskipun Allâh membenci dan memurkai pelakunya. Ini seperti mengingkari para raja dan pemimpin dengan cara memberontak kepada mereka, karena hal itu adalah sumber dari setiap kejelekan dan fitnah sampai akhir masa.” [I’laamul Muwaqqi’iin (IV/338)]
Beliau rahimahullah melanjutkan, “Menghilangkan kemungkaran memiliki empat tingkatan“:
- Kemungkarannya hilang dan digantikan dengan lawannya, yaitu kebaikan.
- Kemungkaran berkurang meskipun tidak hilang seluruhnya.
- Kemungkaran hilang digantikan dengan kemungkaran yang semisalnya.
- Kemungkaran tersebut digantikan dengan kemungkaran yang lebih berat (lebih besar).
Tingkatan yang pertama dan kedua disyari’atkan (untuk dilakukan). Tingkatan yang ketiga –tentang kebolehannya masuk ke area ijtihad-, dan tingkatan yang keempat haram (untuk dilakukan).
Berikut Tingkatan Mengubah Kemungkaran yang Harus Diketahui:
Mengetahui kemungkaran.
Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan syarat-syaratnya.
Tingkatan ini disyaratkan dengan adanya kekuasaan, kemampuan, hikmah, pemahaman, dan jauh dari hawa nafsu.
Mengingkari Kemungkaran dengan Lisan dan Tahapan-tahapannya:
Tahapan pertama, memberikan pengertian dan pelajaran dengan lemah lembut.
Tahapan kedua, melarang dengan cara memberikan pelajaran dan nasihat.
Tahapan ketiga, tegas dalam memberikan nasihat.
Tahapan keempat, mengancam dan menakut-nakuti dengan adzab Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Mengingkari kemungkaran dengan hati
Mengingkari kemungkaran dengan pedang atau senjata
6. Perbedaan Tingkatan Tanggung Jawab Manusia Dalam Mengingkari Kemungkaran
Telah disebutkan sebelumnya bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan semua kita melakukan amar ma’rûf nahi munkar sesuai dengan kemampuan. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah manusia itu berbeda-beda tingkatannya dalam kewajiban ini. Seorang muslim yang awam (minim ilmu) wajib mengerjakan kewajiban ini sesuai kemampuannya. Ia harus menyuruh istri dan anak-anaknya dengan perkara-perkara agama yang telah diketahuinya.
Sedang para ulama memiliki kewajiban yang tidak dimiliki selain mereka karena mereka adalah pewaris para nabi. Jika mereka meremehkan tugas ini maka berbagai kekurangan akan menimpa umat ini, sebagaimana terjadi pada Bani Israil.
Sementara kewajiban pemerintah pada tugas ini sangat besar karena mereka memiliki kekuatan yang dapat memaksa banyak orang untuk kembali dari kemungkaran. Sebab orang yang terpengaruh dengan nasihat dan wejangan itu sangat sedikit. Apabila pemerintah menyepelekan tugas ini, maka ini merupakan bencana besar karena akan menyebabkan tersebarnya kemungkaran serta para pelaku kebatilan dan kefasikan semakin berani melakukan aksi-aksi batil mereka terhadap orang-orang yang berpegang pada kebenaran dan orang-orang yang mengadakan perbaikan. [Lihat Qawaa’id wa Fawaa-id (hlm. 288-289)]
7. Mengingkari Kemungkaran yang Terlihat dan Sudah Diketahui Sebagai Kemungkaran
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran.”
Ini menunjukkan bahwa pengingkaran kemungkaran itu terkait dengan penglihatan. Jika kemungkaran itu tersembunyi dan tidak terlihat, namun seseorang mengetahuinya, maka -dalam sebagian besar riwayat dari Imam Ahmad- orang yang mengetahuinya ini tidak boleh menyelidikinya dan memeriksa sesuatu yang ia ragukan. Di riwayat lain disebutkan dari Imam Ahmad bahwa orang tersebut harus menyingkapnya jika terbukti. Contoh, jika seseorang mendengar suara lagu yang diharamkan atau alat-alat hiburan dan ia mengetahui sumber suara itu, maka ia harus mengingkarinya. Karena kemungkarannya telah terbukti dan ia tahu tempatnya, sehingga sama seperti ia melihat langsung. Itu ditegaskan Imam Ahmad dan beliau berkata, “Jika ia tidak mengetahui tempat kemungkaran, maka tidak terkena kewajiban untuk mengingkari.”
Adapun memanjat tembok untuk mengetahui orang-orang yang berkumpul dalam kemungkaran, maka ini dibenci para imam, seperti Sufyân ats-Tsauri dan lain-lain, karena tindakan tersebut masuk dalam kategori memata-matai yang dilarang. Dikatakan kepada Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu, “Celaka Walid bin ‘Uqbah, jenggotnya meneteskan minuman keras.” Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Allâh melarang kita memata-matai.” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al–Mushannaf (no. 18945), Abu Dawud (no. 4890), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (no. 9741), dan al-Baihaqi (VIII/334) dengan sanad yang shahi]
8. Mengingkari Kemungkaran dengan Hati
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah.”
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِـي أُمَّةٍ قَبـْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَـخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ مَا لَا يَفْعَلُوْنَ ، وَيَفْعَلُوْنَ مَا لَا يُؤْمَرُوْنَ ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الْإِيْمَـانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ.
Tidak ada seorang nabi pun yang diutus Allâh pada salah satu umat sebelumku melainkan ia mempunyai pengikut setia dan orang-orang yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah itu, datang generasi-generasi yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa melawan mereka dengan tangannya, ia orang mukmin. Barangsiapa melawan mereka dengan lisannya, ia orang mukmin. Dan barangsiapa melawan mereka dengan hatinya, ia orang mukmin. Dan di belakang itu tidak ada iman sebesar biji sawi pun. [Shahih: HR. Muslim (no. 50 (80)) dan Ahmad (I/458), Abu ‘Awanah (I/35-36), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (no. 9784), dan Ibnu Mandah dalam Kitaabul Iimaan (no. 184) dari Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu]
Ini menunjukkan bahwa amar ma’rûf nahi munkar termasuk bagian dari iman. Sabda beliau tersebut juga menunjukkan bahwa orang yang sanggup mengerjakan salah satu bagian dari iman itu lebih baik daripada orang yang meninggalkannya dan tidak sanggup mengerjakannya. [Lihat Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/253)]
Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan, baik yang hukumnya fardhu ‘ain atau fardhu kifayah adalah sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan. Adapun mengingkari kemungkaran dengan hati adalah fardhu ‘ain yang tidak bisa gugur bagaimana pun keadaannya. Hati yang tidak mengetahui perbuatan ma’rûf dan tidak mengingkari kemungkaran adalah hati yang kosong dan hampa dari iman. Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu mendengar orang berkata, “Binasalah orang yang tidak menyuruh kepada kebaikan dan tidak melarang dari kemungkaran,” kemudian Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata :
هَلَكَ مَنْ لَـمْ يَعْرِفْ قَلْبُهُ الْـمَعْرُوْفَ وَيُنْكِرُ قَلْبُهُ الْـمُنْكَرَ
Binasalah orang yang hatinya tidak mengetahui kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran. [Atsar shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (IX/no. 8564) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al–Mushannaf (no. 38577). Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawaa-id (VII/275), “Rawi-rawinya adalah rawi-rawi kitab ash-Shahiih.”]
Maksud beliau Radhiyallahu anhu ialah bahwa mengetahui perbuatan ma’rûf dan kemungkaran dengan hati itu adalah kewajiban yang tidak gugur dari siapa pun. Adapun dengan tangan dan lisan sesuai dengan kemampuan. Dan ridha terhadap kemungkaran adalah dosa dan kesalahan yang paling jelek. Tanggung jawab seorang hamba tidak hilang dengan mengingkari kemungkaran dengan hati sampai ia benar-benar tidak mampu mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan dengan sebab bahaya yang mengancam badan atau harta serta ia tidak mempunyai kemampuan menanggung bahaya tersebut.
Faedah mengingkari kemungkaran dengan hati itu sangat sedikit, sedangkan faedah mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan itu sangat banyak. [Lihat Qawaa’id wa Fawaa-id (hlm. 289)]
9. Mengingkari Kemungkaran yang Telah Disepakati Sebagai Kemungkaran
Kemungkaran yang wajib kita hilangkan ialah kemungkaran yang telah disepakati kaum muslimin sebagai kemungkaran seperti syirik, menyekutukan Allâh Azza wa Jalla, menyembah kubur, berdo’a dan meminta kepada selain Allâh Azza wa Jalla, sihir, datang ke dukun ramal, mengada-ada perkara yang baru dalam agama yang tidak ada contoh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau bid’ah, riba, zina, minum khamr (minuman keras), tabarruj (bersolek bagi wanita untuk selain mahramnya), meninggalkan shalat dan yang sepertinya.
Adapun perkara-perkara yang masih diperselisihkan di antara ulama tentang hukum haram atau wajibnya, maka perlu ada perincian. Jika perselisihan dalam permasalahan itu lemah dan hujjah para ulama yang mengharamkannya kuat, maka orang yang melakukan perbuatan yang diperselisihkan hukumnya ini boleh diingkari. Namun jika perselisihan pendapat dalam masalah itu tajam, susah untuk memilih pendapat yang kuat dan tarjih hanya mampu dilakukan oleh para ulama yang berkompeten (mumpuni), maka orang yang melakukan perbuatan seperti ini –wallâhu a’lam– tidak boleh diingkari. [Lihat Qawâ’id wa Fawâ’id (hlm. 290-291)]
Berkaitan dengan masalah kemungkaran yang jelas menyalahi nash dan bukan masalah ijtihâdiyah maka hal ini harus diingkari. Sebab betapa banyak bid’ah, syirik, maksiat dan kemungkaran yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dianggap masalah khilâfiyah dan ijtihâdiyah, padahal perbuatan tersebut adalah syirik, bid’ah dan menyimpang.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Orang yang menyalahi dan menyelisihi al-Qur’ân dan Sunnah yang masyhur atau menyalahi kesepakatan generasi Salaf maka tidak diterima udzur (alasan)nya, maka diberlakukan muamalah terhadapnya seperti muamalah terhadap ahlul bid’ah yaitu wajib mengingkari mereka.” [Lihat Majmû’ Fatâwâ (20/214; 24/172).]
10. Kaidah-kaidah Amar Ma’rûf Nahi Munkar
a. Syari’at adalah pokok dalam menetapkan amar ma’rûf nahi munkar
Sesungguhnya yang menjadi timbangan dan tolok ukur dalam menentukan sesuatu itu ma’rûf atau munkar adalah Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang menjadi kesepakatan Salafush Shalih, dan bukan perkara-perkara yang menyelisihi syari’at namun dianggap baik oleh manusia.
b. Memiliki ilmu dan bashirah tentang hakikat amar ma’rûf nahi munkar
Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullah berkata kepada para da’i yang mengajak manusia ke jalan Allâh dan pelaku amar ma’rûf nahi munkar, “Hendaklah engkau berada di atas bayyinah dalam dakwahmu, maksudnya berada di atas ilmu. Jangan engkau menjadi orang yang tidak tahu terhadap apa yang engkau dakwahkan:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku ! Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allâh dengan bashirah (ilmu)…” [QS. Yûsuf: 108]
Maka harus ada ilmu, karena ilmu adalah wajib. Karena itu jauhilah olehmu berdakwah di atas kebodohan, jauhilah olehmu berbicara tanpa ilmu, karena orang yang tidak tahu itu hanya bisa menghancurkan dan tidak bisa membangun serta hanya bisa merusak dan tidak bisa memperbaiki.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya bekal pertama yang harus dimiliki oleh para da’i yang mengajak ke (jalan) Allâh Azza wa Jalla ialah hendaklah ia berada di atas ilmu dari Kitabullah dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Adapun dakwah tanpa ilmu maka itu adalah dakwah di atas kebodohan, sedang dakwah di atas kebodohan maka lebih besar bahayanya daripada manfaatnya, karena seorang da’i telah menempatkan dirinya sebagai seorang pembimbing dan pendidik; apabila ia bodoh maka ia menjadi orang yang sesat dan menyesatkan. Wal’iyâdzu billâh.” [Zâdud Dâ’iyah (hlm. 7-8) dengan diringkas]
c. Mendahulukan yang paling penting sebelum yang penting.
Sesungguhnya memulai dengan perkara yang paling penting kemudian yang penting merupakan kaidah yang harus ada dalam melaksanakan kewajiban amar ma’rûf nahi munkar. Yaitu hendaklah pelaku amar ma’rûf nahi munkar memulai dengan memperbaiki yang ushûl (pokok-pokok) ‘aqidah. Jadi, pertama kali ia menyuruh untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla semata dan melarang perbuatan syirik, bid’ah, dan khurafat; Kemudian ia menyuruh untuk mendirikan shalat, mengeluarkan zakat; kemudian menyuruh untuk melakukan kewajiban-kewajiban lainnya dan meninggalkan perbuatan-perbuatan haram, kemudian menyuruh untuk melaksanakan sunnah-sunnah dan meninggalkan perkara-perkara yang dimakruhkan.
d. Memikirkan dan menimbang antara maslahat dan mafsadat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata menjelaskan kaidah ini, “Amar ma’rûf tidak boleh menghilangkan kema’rufan lebih banyak, atau mendatangkan kemungkaran yang lebih besar. Nahi munkar tidak boleh mendatangkan kemungkaran yang lebih besar atau menghilangkan kema’rufan yang lebih kuat daripadanya.” [Al-Amru bil Ma’rûf wan Nahyu ‘anil Munkar (hlm. 48) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah]
Syari’at Islam dibangun di atas kaidah mendatangkan maslahat (kebaikan) dan menyempurnakannya serta mencegah mafsadat (kerusakan) dan menghilangkan atau meminimalisirnya. Oleh karena itu, diantara kaidah penting dalam amar ma’rûf nahi munkar ialah memperkirakan maslahat sehingga disyaratkan dalam amar ma’rûf nahi munkar agar tidak menimbulkan mafsadat yang lebih besar dari kemungkaran atau yang sepertinya. Apabila mengingkari kemungkaran menimbulkan kemungkaran yang lebih besar maka kewajiban mengingkari kemungkaran itu menjadi gugur bahkan tidak boleh dilakukan.
11. Memperhatikan Sikap Hikmah dalam Mengingkari Kemungkaran dan Menyuruh kepada Perbuatan Ma’ruf
Allâh Ta’ala berfirman :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah (berdebatlah) mereka dengan cara yang baik…” [QS. an-Nahl: 125]
Di antara bentuk hikmah ialah memperhatikan keadaan orang yang akan kita perintah dan kita larang. Maka di satu kesempatan harus dengan lemah lembut dan bersikap halus sebagaimana firman Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ ﴿٤٣﴾ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” [QS. Thâhâ: 43-44]
Dan pada kesempatan lainnya digunakan sikap tegas dan keras. Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka…” [QS. at-Taubah: 73]
Oleh karena itu, orang yang mengemban tugas ini wajib memiliki sifat-sifat tertentu. Imam Sufyân ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh melakukan amar ma’rûf dan nahi munkar kecuali orang yang memiliki tiga sifat: (1) lemah-lembut dalam menyuruh dan melarang, (2) adil dalam menyuruh dan melarang, dan (3) mengetahui sesuatu yang ia perintahkan dan yang ia larang.” [Lihat Qawâ’id wa Fawâ’id (292-293)]
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Semua manusia butuh sikap lemah lembut dalam amar ma’rûf bukan sikap keras kecuali terhadap orang yang memperlihatkan kefasikan, maka sikap keras tidak diharamkan terhadapnya.”
Beliau rahimahullah juga berkata, “Jika sahabat-sahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berjalan melewati suatu kaum yang mereka lihat melakukan sesuatu yang mereka benci, mereka mengatakan, “Pelan-pelanlah kalian, semoga Allâh merahmati kalian. Pelan-pelanlah kalian, semoga Allâh merahmati kalian.” [Jâmi’ul ‘ulûm wal hikam (II/256)]
12. Pelaku Amar Ma’rûf Nahi Munkar Hendaklah Menjadi Teladan Bagi Orang Lain
Menjadi contoh teladan yang baik bagi orang lain merupakan sifat dan perilaku yang harus ada pada diri da’i dan pelaku amar ma’rûf nahi munkar. Karena pengaruh mencontoh dan taklid kepadanya mempunyai nilai yang besar dalam jiwa orang yang diseru dan diajak. Oleh karena itulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan yang baik dan panutan yang shalih sehingga manusia mengikuti beliau dalam perkataan dan perbuatannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” [QS. al-Ahzâb: 21]
Apabila perbuatan pelaku amar ma’rûf nahi munkar menyalahi perkataannya maka bahayanya tidak hanya mengancam dirinya sendiri bahkan biasanya mengancam orang lain karena ia menjadi teladan yang buruk bagi masyarakatnya. [Lihat Haqîqatul Amri bil Ma’rûf (hlm. 81-82) dengan diringkas]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti? [QS. al-Baqarah: 44]
Jangan sampai kita menjadi seperti orang yang diceritakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
يُـجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِـي النَّارِ فَيَدُوْرُ كَمَـا يَدُوْرُ الْـحِمَـارُ بِرَحَاهُ ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُوْلُوْنَ : يَا فُلَانُ مَا شَأْنُكَ، أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُ بِالْـمَعْرُوْفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْـمُنْكَرِ ؟ قَالَ : كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْـمَعْرُوْفِ وَلَا آتِيْهِ ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْـمُنْـكَرِ وَآتِيْهِ.
Seseorang didatangkan pada hari Kiamat, lalu dilemparkan ke Neraka sehingga usus-ususnya keluar di dalam Neraka, lalu dia berputar-putar seperti berputarnya keledai di batu gilingannya. Penghuni Neraka berkumpul mengelilinginya dan mereka berkata, ‘Wahai fulan! Ada apa denganmu? Bukankah dulu engkau menyuruh kami melakukan kebaikan dan melarang kami dari kemungkaran?’ Dia menjawab, ‘Dulu aku menyuruh kalian melakukan kebaikan namun aku sendiri tidak melakukannya, dan dulu aku melarang kalian dari kemungkaran namun aku sendiri melakukannya. [Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 3267) dan Muslim (no. 2989).]
13. Bahaya Meninggalkan Amar Ma’rûf Nahi Munkar
Apabila kaum muslimin, baik penguasa, Ulama, maupun rakyat, meremehkan dan meninggalkan tugas amar ma’rûf nahi munkar, maka kehinaan dan perbuatan keji akan tersebar dan orang-orang yang fasik akan menguasai orang-orang yang shalih. Sehingga kebenaran dianggap kebatilan dan kebatilan dianggap kebenaran. Ini menyebabkan umat Islam akan mendapatkan malapetaka, di antaranya: [Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 294)]
Dijauhkan dari rahmat Allâh sebagaimana Ahlul Kitâb ketika mereka meninggalkan tugas penting ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dâwud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah dari perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, amat buruk apa yang mereka perbuat.” [QS. al-Mâidah: 78-79]
Akan mendapat kebinasaan di dunia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُوْدِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيْهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اِسْتَهَمُوْا عَلَى سَفِيْنَةٍ ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا ، فَكَانَ الَّذِيْنَ فِـيْ أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْـمَـاءِ مَرُّوْا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ ، فَقَالُوْا : لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِـيْ نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَـمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا ، فَإِنْ يَتْرُكُوْهُمْ وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا ، وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعًا.
Perumpamaan orang-orang yang tegak di atas batas-batas Allâh (melaksanakan hukum-hukum Allah) dan orang-orang yang jatuh (melanggar) batas-batas Allâh seperti satu kaum yang berundi (mengundi pembagian tempat) di atas perahu. Sebagian mendapat tempat di atas dan sebagian di bawah. Adapun orang-orang yang berada di bawah apabila mereka ingin mengambil air mereka mesti melewati orang-orang yang berada di atas, dan mereka mengatakan, ‘Seandainya kita lobangi perahu ini, kita tidak akan mengganggu orang yang berada di atas kita.’ Seandainya orang-orang yang berada di atas membiarkan orang-orang yang berada di bawah melobangi perahu, maka akan binasalah semuanya. Dan seandainya mereka memegang tangan (melarang) orang-orang yang berada di bawah melakukan hal itu, maka selamatlah yang berada di atas dan di bawah semuanya. [Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2493, 2686), at-Tirmidzi (no. 2173), Ahmad (4/268, 269, 270), al-Baihaqi (10/91) dan al-Baghawi (no. 4151), dari Shahabat an-Nu’mân bin Basyir Radhiyallahu anhu]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الظَّالِـمَ فَلَمْ يَأْخُذُوْا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ.
Sungguh, apabila manusia melihat pelaku kezhaliman (kemungkaran), tetapi tidak menghentikan (mengubahnya) dengan tangannya, hampir saja Allâh meratakan adzab kepada mereka. [Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4338), at-Tirmidzi (no. 2168, 3057), Ibnu Mâjah (no. 4005), dan selainnya dari Shahabat Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Albâni dalam Silsilatul Ahâdîtsis Shahîhah (no. 1564)]
Tidak dikabulkannya do’a. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْـمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْـمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ، ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ.
Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Hendaklah kalian menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, atau kalau tidak, hampir saja Allâh menurunkan adzab-Nya kepada kalian, kemudian kalian berdo’a kepada-Nya, namun do’a kalian tidak dikabulkan. [Hasan: HR. Ahmad (V/388-389) dan at-Tirmidzi (no. 2169), dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Hidâyatur Ruwât ‘ala Takhrîjil Ahâdîts Mashâbîh wal Misykât (no. 5068)]
Jika seorang hamba terjatuh dalam kemungkaran maka ia telah menjerumuskan dirinya sendiri untuk mendapatkan hukuman dari Allâh Azza wa Jalla dan kemurkaan-Nya, karena itu, wajib atas seorang muslim menyelamatkan saudaranya dari hukuman dan kemurkaan Allâh yaitu dengan melarangnya dari kemungkaran yang dilakukannya. Dan ini adalah bentuk kasih sayang kepadanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِـي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِـي السَّمَـاءِ
Orang-orang yang menyayangi orang lain, mereka disayangi oleh (Allâh) Yang Maha Penyayang. Maka sayangilah orang yang berada di bumi niscaya kalian disayangi oleh (Allâh) yang berada di langit…[Shahih: HR. Ahmad (II/160), Abu Dâwud (no. 4941), at-Tirmidzi (no. 1924), al-Hâkim (IV/159), dan selainnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu]
Karena Allâh-lah yang berhak ditaati, tidak boleh dimaksiati, wajib diingat tidak boleh dilupakan, wajib disyukuri tidak boleh diingkari, dan dibela dengan jiwa dan harta dari pelanggaran-pelanggaran yang Dia haramkan. Barangsiapa memperhatikan tingkatan tersebut dan tingkatan sebelumnya, maka gangguan apa saja yang ia temui di jalan Allâh menjadi kecil tidak bermakna dan tidak tertutup kemungkinan ia malah berdoa untuk orang yang mengganggunya, seperti disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang nabi yang dipukuli kaumnya kemudian ia mengusap darah dari wajahnya sambil berkata, “Rabb-ku, ampunilah kaumku, karena mereka tidak tahu.” [Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 3477), dan selainnya dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu].
Wallahu A’lam.